"Jadi, kamu menikah dengan pria itu karena ulah kakakmu itu?" Setelah Veshal bertekad dan memberanikan diri untuk bertanya pada Jelita. Kini ia pun mengetahui pengakuan dari mulut Jelita sendiri, mengapa ia bisa tiba-tiba menikah. Veshal yang pernah mendengar sebelumnya dari Zeya pun masih tampak tak percaya sekaligus terkejut, dan masih tak terima dengan permainan takdir yang membelenggu mereka. "Kenapa Jelita, kenapa kamu mengadaikan masa depanmu demi keluarga angkatmu?" tanyanya kembali. Suaranya terdengar Pantau, dengan wajahnya yang menyiratkan kekecewaan. Jelita hanya tersenyum tipis dan berkata, "Saya hanya ingin membalas budi. Tanpa mereka saya tidak akan bisa seperti ini." Veshal tak mampu berkata apapun lagi setelah mendengar apa alasan dari Jelita. Seandainya ia mengetahuinya lebih awal, Veshal akan berusaha mencegah semuanya terjadi. "Tapi bagaimana kamu bertahan dengan cara mereka memperlakukanmu, Jelita. Kamu wanita yang cerdas dan baik, sepantasnya kamu dipe
"Perempuan murahan! Kau mau mempermalukan keluarga kami?!" Belum usai rasa sakit dan terkejut akibat tamparan yang mengenai wajahnya, kini Jelita hanya bisa meringis saat Catherine menarik rambut panjangnya. "Salah saya apa, Tante?" tanya Jelita dengan suara yang tengah menahan rasa sakit. Tak ada perlawanan darinya, ia seakan pasrah diperlakukan seenaknya oleh ibu dari suaminya. "Masih bertanya salahmu apa, hah?! Dasar jalang rendahan! Wanita tidak jelas asal usulnya!" teriak Catherine menghina Jelita sambil terus menerus menarik rambut Jelita. Sebuah tamparan kembali Jelita terima, telinganya terasa berdenging menahan rasa sakit. "Sudah, Nyonya. Sudah." Keadaan terlihat begitu kacau, para asisten rumah tangga pun kewalahan menahan Catherine yang mengamuk bak orang kerasukan. Sementara Jelita terjerembab di lantai dengan wajah yang memar dan rambut yang sudah acak-acakan. "Kau, pergi dari rumahku! Pergi, sialan!" teriak Catherine. Brak! Catherine melempar sebuah
"Lihat kelakuan wanita itu!" Seakan tak ada puasnya, Catherine kembali memprovokasi dengan menunjukan foto-foto itu. Chandra hanya bisa menghela napas melihat tingkah laku istrinya, yang entah mengapa amat sangat membenci Jelita walaupun Jelita tak memiliki salah apapun padanya. "Oh itu, dia sudah bilang kok katanya mau makan siang dengan konsulen dan temannya," jawab Mark singkat dan terkesan tak peduli. Chandra tersenyum, menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya perlahan. "Sudah Daddy bilang, kan? Jangan temakan informasi mentah." "Kamu juga harusnya sudah tahu, bagaimana watak teman-temanmu. Bukankah hobi mereka hanya berfoya-foya dan membuat gosip tidak jelas?" sambung Chandra kembali. "Tapi, mengapa di foto ini hanya berdua? Pasti wanita itu berbohong pada kamu!" kilah Catherine tak mau kalah, karena baginya dirinyalah yang paling benar, dan Jelita hanyalah kambing hitam untuk melampiaskan segala emosi dan kebenciannya. "Pokoknya Mommy mau kamu segera urus percer
"Bi Marni! Bibi!" Suara teriakan menggema, mengiringi pagi hari yang cerah. Catherine tampak sibuk gdengan sebuah tas branded yang ia pilih, dari dalam sebuah lemari kaca miliknya. Dengan cepat bi Marni segera menghampiri Catherine, dengan napas yang terengah-engah." "Ya, Nyah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Cepat panggil si Jelita. Saya dengar hari ini dia libur jadi saya ingin mengajaknya pergi ke mall, yah anggap saja sebagai permintaan maaf saya kemarin karena sudah salah paham," ucapnya tersenyum miring. Entah apa yang tengah direncanakan oleh Catherine, perubahannya yang tiba-tiba sangatlah mencurigakan. Catherine terkenal akan keangkuhannya, maka nyaris mustahil baginya untuk mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu tanpa alasan yang kuat. "Kok bengong, cepat panggil!" serunya sekali lagi. "Baik, Nyah." Bi Marni melangkah dengan tergesa-gesa menuju kamar Jelita. Membuat Mark yang tak sengaja melihatnya baru keluar dari kamar sang ibu dan kini menuju kamar
"Bagaimana menurut, Anda?" Sebuah pertanyaan terlontar untuk pria yang termenung di tengah-tengah agenda pentingnya. Pikirannya melayang, seakan jiwa dan tubuhnya tak berada pada tempat yang sama. "Bagaimana, Tuan Mark?" ucap wanita berkacamata yang tengah berprestasi. Yesi dan Nicky saling berpandangan, seolah tengah berbicara melalui bahasa gerakan tubuh. Nicky segera menginjak kaki Mark cukup keras untuk membawa kembali kesadarannya yang sedari tadi berlalu lalang tanpa arah. "Aw!" pekik Mark yang seketika tertahan karena baru menyadari situasi. Mark sontak merapihkan jas yang ia kenakan lalu melihat ke arah arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Maaf sebelumnya, karena saya kurang sehat, jadi saya mohon izin untuk menyudahi meeting ini dan akan kembali mengatur ulang jadwal pertemuan berikutnya." "Loh, loh, loh, aduh kerjaan lagi!" gumam Yesi lirih. Nasib buruk baginya pagi itu, karena sikap Mark yang tidak seperti biasanya dan terkesan tak profesional, a
Prang! "Maaf, Mbak. Saya kurang hati-hati." Seorang pelayan terlihat panik kala minuman yang ia bawa jatuh dan mengenai pakaian Jelita. Bukannya membela Jelita, Catherine murka dan langsung membentak, "Jelita! Kamu ini benar-benar gak becus ya! Saya, kan bilang kalau kamu harus jaga hati-hati barang belanjaan saya!" Sikap Catherine sontak membuat Jelita terkejut. Ia sama sekali tidak memahami mengapa harus diam disalahkan, padahal sejak tadi ia hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata pun. "Kamu pikir ini berapa harganya? Heh, asal kau tahu, harga dirimu saja tak mampu melampaui harga tas yang saya beli!" bentak Catherine yang cenderung merendahkan. Kini cerita kembali merasa sebagai sebuah objek tontonan menarik, di mana setiap tatapan mata yang memandangnya terasa pedih menusuk hati. Jelita menggigit bibir bagian bawahnya, menahan semua penghinaan yang semakin hari semakin keterlaluan. "Apa salah saya? Sejak tadi saya hanya diam," ucap Jelita berusaha membela dir
Deg! Deg! Deg! Detak jantung Jelita kian semakin cepat, selaras dengan darahnya yang mulai mendidih. Jelita hanya tersenyum tenang, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosinya "Kesini, Sayang. Ayo sapa dulu, Om Chandra dan Mark," ucap Catherine begitu ramah hingga membuat Jelita merasa jijik. Ditambah tatapan wanita bernama Alice itu yang seakan mengejek dirinya, membuatnya kembali berasumsi sendiri akan kedatangan wanita itu. Makan malam dimulai, semua kini menikmati makan malam sambil sesekali bercengkrama. Namun tidak untuk Jelita. Jelita bukan hanya tidak nyaman karena merasa terjebak di tengah-tengah keluarga itu, tetapi juga merasa risih dengan tatapan Alice yang terus menerus mencuri pandang ke arah suaminya. "Alice, bagaimana study kamu?" tanya Chandra menyapa sekedarnya. "Dan bagaimana kabar orang tuamu? Sehat?" "Kebetulan tahun depan saya berniat lanjut S3 di Oxford, Sedangkan orang tua saya sehat, Om." "Sebenarnya saya benar-benar senang bisa bertemu dengan
"Gila, ini gila! Dia sudah tidak waras!" Sambil menatap langit-langit ruangan yang terasa begitu asing baginya, Jelita berkali-kali bergumam sendiri. Ingatannya terus berputar di saat dirinya berdebat dengan Mark. Jelita memegang bibirnya, ia sama sekali tak percaya jika Mark mengecup bibirnya dalam keadaan sadar, bibir dari wanita yang selama ini dianggap rendahan. 'Bibir ini adalah bukti jika sampai kapanpun kamu adalah milikku! Mengerti!' "Maksudnya dia ngomong begitu tuh apa? Sinting aku rasa!" gumam jelita bermonolog sendiri, mengingat apa yang dikatakan Mark pada dirinya. "Masa bodo lah, setidaknya saat ini gak lagi serumah sama Mak Lampir blonde itu." Jelita berusaha memejamkan matanya. Setidaknya kini Mark memutuskan untuk menempatkan Jelita pada penthouse miliknya, tak peduli bagaimana pendapat Catherine. Jelita sama sekali tak menyangka jika permintaan cerainya akan membuatnya keluar dari rumah bak neraka itu. Tok! Tok! "Jelita, buka pintunya!" Jelita y