“Buru-buru kemana? Kamu dikejar musuh?”Karissa memperhatikan Damian yang menatapnya sabar sambil mengarahkan tangan kanan padanya. Ah, ini bukan tipe Damian sekali. Mana pernah Damian menunggu, yang ada suaminya itu langsung menarik kasar atau bahkan menggendongnya.“Menyelamatkanmu,” jawab pria bermata teduh itu.“Dari siapa? Musuh? Musuhku satu-satunya hanya kamu,” canda Karissa.“Aku serius, Sayang ....”Demi apa mendengar nada lembut yang tak pernah lagi Damian ucapkan setelah mereka menikah, membuat Karissa merinding. Bukankah malah bangus kalau pria dingin itu kini sudah kembali mencair seperti dulu? Namun, Karissa justru merasa aneh kalau Damian mode begini.“Sebentar saja. Aku mau buang air kecil.” Karissa berbalik menuju toilet.“Nyonya,” sapa Tony baru saja tiba membawa paper bag di tangan kanannya.Karissa pun menghentikan langkah. “Ah, kamu sudah datang.” Dia maju dua langkah untuk menerima paper bag itu buru-buru.“Damian, aku –“ Ucapan perempuan itu terhenti ketika tak l
[Tuan Luciano, saudara Anda sudah muncul di hadapan Nyonya Karissa]Sebuah pesan yang tertulis di kertas kecil di antara gundukan nasi putih itu berhasil Luciano baca. Mata tajamnya berpindah ke depan, sebuah pintu besi dengan sekotak tralis di atasnya. Satu-satunya sumber cahaya dari luar yang menerangi ruangan gelap nan lembab itu.Penjara bawah tanah Klan Luther. Lebih tepatnya di markas utama milik musuh utama Klan Blackwood, di sinilah Damian disembunyikan.“Beginikah caramu menyapaku, Damian?”Luciano tersenyum kecut. Pria itu entah harus senang atau sedih, setelah mengetahui kalau saudara kembarnya masih hidup. Bahkan Damian yang disangka sudah meninggal itu, kini nampak begitu sehat dan kuat untuk mengibarkan bendera perang padanya.Malam saat di rumah duka, Luciano begitu cepat mendapatkan banyak informasi dari ponsel Ben yang dia sadap. Setelah gagal membuka identitas Damian saat adegan kejar-kejaran, Luciano sengaja menyerahkan diri. Menunjukkan dia begitu lemah tak sadarkan
Luciano tersenyum kecut begitu melihat Damian berdiri di lantai dua. Ini adalah pertemuan pertama setelah tiga tahun lebih terpisah.Seharusnya mereka saling berpelukan, bukan? Saling menanyakan kabar dan bercerita apa yang telah terjadi. Namun, sayangnya kerinduan Luciano terhadap Damian dibayar dengan ekspresi datar dari pria dengan wajah yang sangat mirip itu. Damian di sana hanya diam, menautkan kedua tangannya ke belakang.Seolah pemandangan Luciano yang terkepung dibawah sana adalah sesuatu yang sudah ditunggu olehnya.“Angkat kedua tangan Anda!” teriak musuh perlahan mendekat tanpa menurunkan senjatanya dan tetap waspada.Luciano menurut tanpa melepas tatapannya dari Damian. Dia mengangkat kedua tangannya perlahan.“Kami akan membawa Anda ke Tuan Jacob!”Belum sampai musuh bergerak terlalu dekat. Asap tebal berisi gas air mata mendadak muncul dari empat titik pintu masuk. Kabutnya begitu cepat menutup area pandang aula hingga menimbulkan kekacauan.“Aarrgh! Pedih!”“Tangkap mus
“D-Damian?” bisik Karissa menatap tak percaya ada pria itu di sana.Tubuhnya masih bergetar karena melihat mayat dan darah yang terus mengucur. Hanya saja, kenapa rasa rindunya pada sang suami lebih mendominasi?Padahal kemarin dia baru bertemu kan?Jemari lentik itu saling memilin, jantungnya pun berdebar kencang ketika melihat Luciano berjalan ke arahnya dengan ekspresi datar seperti biasa. Seolah rasa rindu itu terbalas, Karissa melihat langkah suaminya makin melebar kemudian menariknya ke dalam pelukan hangat.“Karissa,” lirih Luciano serak, memeluk erat sampai perut istrinya nyaris terjepit.“Damian, perutku,” cicit Karissa.Pria itu segera melepas. Dia menahan kedua lengan Karissa dan meneliti wanita cantik itu dari atas sampai bawah. “Dia menyentuhmu?”Karissa menggeleng kaku dengan netra tak lepas dari wajah yang nampak sedikit berantakan kali ini. Meski begitu ketampanan suaminya tak pernah pudar.“Kau dari mana? Lama tak pulang.”Luciano tersenyum samar, nyaris tak terlihat.
“Bahkan rasa lidah dan aroma napasku, kamu harus menghapalnya,” bisik Lucian tepat di telinga Karissa. Membuat bulu halus wanita hamil itu menegang akibat sapuan aroma mint membelai manja di sekitar area sensitif belakang telinganya.Hidung mancung Lucian mulai bergerak samar menyentuh kulit pipi, membentuk garis lurus menuju bibir. Demi apa, jantung Karissa berdebar, pikirannya berubah liar dan hasrat yang lama tidur mulai menggelepar. Dia menanti setiap detiknya tentang apa yang akan suaminya lakukan selanjutnya.Hingga satu kecupan mendarat di bibir peach itu sesaat. “Kau menunggu?”Karissa menatap tegang mata hitam Luciano yang berjarak tak sampai satu satu telapak. Detik selanjutnya, pria itu sudah langsung melumat tanpa ragu. Apalagi saat Karissa membuka, dia langsung membelit dan menyesap, mengais, menikmati meski sang istri membalasnya dengan kaku dan canggung.“Bagaimana rasanya?” bisik Luciano saat menjeda ciuman itu sejenak.Mata sayu Karissa reflek menjawab, “Panas.”Bibir
“Damian?” panggilnya mengangkat sedikit tubuhnya sambil melihat sekitar.Sepi.Hanya tersisa aroma parfum maskulin khas sang penguasa itu. “Dia meninggalkanku usai bercinta?” gumamnya sedikit kecewa.Namun, begitu netranya mendongak menatap jam di dinding, bola matanya terbuka. “Jam sepuluh? Yang benar saja!”Mungkin jamnya rusak. Wanita itu beralih meraih ponsel di nakas samping ranjang. Benar. Padahal selelah-lelahnya Karissa, alam bawah sadarnya pasti membangunkannya kurang dari jam tujuh pagi.Dia menghela napas lalu menjatuhkan lagi kepalanya ke bantal. “Pantas saja dia sudah berangkat.”Selama seminggu ini, setiap kali suaminya di rumah sudah pasti menggoda dan lagi-lagi menaklukkan dengan sentuhan panasnya. Sialnya Karissa tak pernah sanggup menolak sentuhan itu. Sentuhan yang memabukkan. Dan sepertinya kali ini sudah di ambang batas tenaga Karissa. Jadi dia tidur cukup lama usai lelaki itu menggempurnya semalam.“Aku ada jadwal ke rumah sakit.”Karissa beranjak dari ranjang, me
“Apa yang sudah ada di tanganku, tidak akan pernah aku lepas,” jawab Luciano pasti.Rosetta menarik napas panjang lalu membuangnya. “Kalau begitu pertemukan mama dengan istrimu.”Luciano tersenyum smirk. Dia memilih duduk di sofa single, kemudian melipat kaki kanannya, bertumpu di atas lutut kaki kiri. Kedua tangannya pun bersandar di atas bahu sofa kanan dan kiri.“Mama sepertinya sudah sangat sehat untuk berdebat,” ucap Luciano yang langsung mengikuti seperti apa lawan bicaranya. Tidak pura-pura lembut, tidak pula mengkhawatirkan kondisi kesehatan ibunya.Ya, setidaknya sekarang dia tidak perlu menyamar lagi. Dia akan kembali menjadi diri sendiri yang dominan dan tak bisa diatur oleh siapapun.“Bertemu istrimu kamu bilang berdebat?”“Urus saja anak mama. Dia baru kembali, kan? Perkara perhiasan yang mama beri, tenang saja. Aku tidak akan membuangnya. Benda itu sudah berada di tangan yang tepat.”Rosetta terdiam sejenak menatap putranya ini. “Kamu cemburu pada saudaramu?”Lagi-lagi L
“Aku akan adukan perbuatanmu pada Damian,” ancam Aubrie menaikkan dagunya seolah menantang.Bukan hanya Karissa, tapi Aiden juga ikut bereaksi ketika nama ayahnya disebut.“Aunty,” panggil Aiden menarik ujung jas putih Karissa. “Dia siapa?”“Aku? Aku kekasih Damian, pemilik rumah sakit ini,” jawab wanita dengan lipstik merah tajam itu.Tak ingin keributan ini ditonton oleh anak kecil, Karissa pun sedikit membungkuk untuk berinteraksi dengan si kecil. “Aiden, kamu sama Bibi Martha pergi ke ruang Pak Dokter, ya? Aunty nanti menyusul.”Martha mengerti. Dia membujuk Aiden, barulah mereka pergi dari sana.“Bahkan kamu tidak mengajarkan kata maaf darinya setelah melakukan kesalahan,” sinis Aubrie.Karissa yang semula sedang memperhatikan kepergian Aiden pun menoleh. Dia teliti wanita di depannya dari atas sampai bawah. Tinggi mereka kurang lebih sama. Bedanya, Aubrie memakai sepatu hak tinggi dan tubuhnya lebih ramping.“Karissa, apa yang baru kamu berbuat? Kamu cari gara-gara dengan nona i
Suara peluru membuat seorang pria di sana mendesis sakit.“Cepat, jalan!”Ya, Luciano baru akan menembakkan peluru ke roda mobil supaya tidak bisa melaju. Namun ada peluru dari arah lain yang lebih dulu menembak pistolnya. Hingga tangannya terluka.“Shit!” umpatnya ketika melihat mobil ambulance dan dua mobil tebal pergi dari sana.Tidak! Luciano tidak akan melepas. Dia berlari sekencang mungkin melewati gerbang. Menghentikan sebuah mobil sedan kecil yang baru akan kelur dari gerbang rumah sakit.“Keluar!” ancamnya menembak pintu dengan pistol lain yang dia bawa. Dia membuka pintu kasar-kasaran, menarik keluar sopir yang ketakutan.Mobil berhasil dia kuasai.Kejar-kejaran gila pun terjadi. Dia sudah seperti serigala yang berlari mengejar mangsa tanpa peduli rintangan di sekitar.Luciano membuka kaca mobil. Dikeluarkan satu pistol dari balik jasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap mengendalikan stir. Di rasa posisi sudah pas, setengah tubuh bagian kirinya keluar jendela
"Hitung waktu kalian," ucap Vincent di jalan darurat menuju ICU. "Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Kita tak memiliki banyak waktu."Orang-orang berseragam rumah sakit, yang sudah dibayar oleh pasukan elite Luther mulai bergerak cepat. Jika Hector sudah mengamankan rumah sakit, pasukan lama Luther juga tak kalah berpengalamannya.Empat pria menyamar jadi petugas medis. Sebagian mengurus Karissa memberikan suntukan obat khusus, sebagian lagi melumpuhkan penjaga.“Bawa mereka keluar. Kita hanya perlu membawa Nyonya selamat. Bukan membunuh orang lain,” ujar salah satu dari mereka.Karissa masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang penuh kabel medis segera dipindahkan ke atas brankar darurat. Hati-hati, tapi tepat dan cepat. Karena mereka sudah berpengalaman."Segera!" lapor salah satunya setelah memastikan Karissa aman di atas brankar.Seolah berpacu dengan waktu, mereka mendorong brankar keluar pintu darurat. Yang bertugas di ruang panel listrik pun mulai sabotase kabel-kabel, sampai me
Sudah tiga hari Luciano memilih tetap di rumah sakit. Meski Hector terus saja mendesak dan menunjukkan kalau orang-orang yang setia pada Luther terus memunculkan diri dan mengancam posisi.Luciano melangkah pelan, mendekati satu ranjang yang dikelilingi alat bantu hidup. Di sana, Karissa terbaring dengan tubuh lemah, selang infus dan kabel-kabel tipis menempel di kulit pucatnya.“Aku pikir sebelum ini kamu sudah lama berbaring. Kenapa sekarang masih juga di sini, hm? Tidakkah kamu bosan, Karissa?"Luciano menarik kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tangan besarnya terulur, menggenggam jemari Karissa yang terasa dingin.“Aku belum akan pergi sebelum kamu mengakui, apa kamu sudah tau tentang identitasmu atau belum. Apapun jawabannya, akan aku terima.”Tak ada jawaban, tentu saja. Hanya suara detak mesin pemantau yang berdetak stabil. Luciano tersenyum miris. Dielusnya punggung tangan istrinya perlahan.“Lalu maumu bagaimana? Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?”Sempat Luciano membenci
“Apa yang terjadi dengan cucu-cucuku?”Hector yang lebih dulu mendekat saat dokter membuka pintu ruang operasi. Tak langsung menjawab, pria yang masih memakai seragam operasi itu menggeser pandangan pada Luciano.“Bagaimana kondisi istriku?” tanya Luciano.Terdengar tenang, tapi tidak dengan sorotnya yang penuh rasa khawatir.“Nyonya Karissa sempat henti jantung dan pendarahan. Sampai sekarang pasien masih dalam masa kritis. Berdoa saja semoga dia bisa kuat sampai membuka mata untuk melihat serta menggendong anak-anaknya.” Dokter itu kini beralih pada Hector.“Bayi kembar telah lahir. Hanya saja kondisi prematur dan terpapar racun membuat mereka harus mendapat perawatan intensif. Tunggu dokter spesialis anak sedang mengurus semuanya.”***Luciano berdiri membeku di depan dinding kaca transparan. Di dalam ruangan, dua inkubator kecil ditempatkan berdekatan. Sepasang bayi kembar lelaki dan perempuan.Hati Luciano yang biasa keras tak bisa disentuh, kini rasanya hancur dan rapuh melihat
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol denga
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer
“Kau bertanya apa hubunganku dengan keluarga Luther? Apa menurutmu aku sehebat itu?” ucap Vincent.Sayangnya sorot tajam Luciano masih menyala ke arahnya. Seolah tak percaya dengan jawaban pria paruh baya ini.“Mereka tidak mungkin bertanya tanpa sebab. Atau –“Luciano memiringkan kepala, lalu mengangkat dagu Vincent dengan satu jarinya.“Karissa adalah kerutunan Luther?” desisnya lirih.Vincent memperhatikan tatapan dari pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Ada satu detik di mana lidahnya ingin bergerak mengucap semuanya. Ah, tidak. Ini belum saatnya. Kalau Luciano tahu bahwa Karissa adalah satu-satunya penerus darah murni Luther, dan anak yang dikandungnya adalah pewaris sah maka mereka tidak akan pernah aman.“Hahahaha! Maksudmu aku adalah anak dari keluarga itu? Apa kamu gila, Luciano?”Mata itu masih menyipit, meski tangannya sudah menjauh dari dagu Vincent.“Cocokkan saja DNA ku dengan DNA keluarga Luther. Orang seperti kalian pasti menyimpan basis data DNA di rumah sa