Mata Karissa melebar ketika cengkeraman di rambut Aubrie terlepas lalu tubuhnya terhuyung ke belakang akibat dorongan Hannah.“Aaakh!” pekiknya saat dia benar-benar hilang keseimbangan.Namun, seseorang tiba-tiba menangkapnya dari belakang. Meski orang itu juga ikut sedikit oleng, setidaknya tubuh Karissa tidak jadi menghantap lantai marmer rumah sakit.Karissa buru-buru membetulkan posisinya untuk kembali berdiri sempurna dan berbalik. Dia mendapati seorang wanita paruh baya berpakaian rapi dan mahal berdiri di hadapannya.“Nyonya! Maaf!” Karissa membungkuk dua kali. “Juga terimakasih,” lanjutnya setelah menegakkan posisinya lagi.Belum sempat wanita itu menjawab, Aubrie sudah lebih dulu bicara.“Tante ....” Nada manja itu membuat netra wanita paruh baya itu bergeser.Dilihatnya rambut perempuan itu yang berantakan dan kacau.“Harusnya tante tidak menolong jalang itu!” tunjuk Aubrie kesal.“Apa yang terjadi sampai kamu bertengkar dengan ibu hamil? Dan –“ Perempuan bernama Carmela mel
Sergio, pria dengan rambut coklat itu tersenyum tipis ketika menemukan sosok yang dicarinya.“Dia tersenyum padaku?” bisik Shiena penuh percaya diri ada orang ganteng mencarinya.“Nyonya,” sapa Sergio pada Karissa.Shiena memperhatikan dua orang itu bergantian. “Kamu mengenalnya?”“Dia asisten Tuan Damian,” jawab Karissa.Shiena pun segera menjepit bibirnya rapat, tak berani berkomentar lagi. Dia bahkan menggeser tubuhnya satu langkah menjauh, memberi akses untuk dua orang itu bicara.“Nyonya, apa Anda sudah selesai praktek? Tuan Damian –““Aiden? Aku diminta menjaganya?” Karissa melirik ke kanan dan kiri, di mana ada beberapa tenaga medis di sana. Salah bicara saja bisa-bisa gosip makin menggila.Sergio tersenyum lagi dan mengangguk. “Ada yang ingin saya sampaikan.”“Shiena, sebentar ya.” Karissa mencolek pinggang sahabatnya ketika dia pergi menjauh.Setelah berada di lokasi aman, barulah dia mempersilahkan Sergio bicara.“Tuan Damian meminta saya menemani Anda pergi ke butik dan mem
“Aaakh!”Karissa nyaris melempar botol vitamin ibu hamil di tangan, karena terkejut pada sosok tinggi besar yang tiba-tiba berdiri tepat di saat dia berbalik. Rasanya melihat hantu saja karena memang Karissa buru-buru pulang sebab ingin kabur dari Sergio.“Tuan Damian!”“Damian!”Shiena dan Karissa memanggil bersamaan. Hanya saja penyebutan dan nadanya berbeda. Satu bernada kesal satunya bernada hormat. Hingga keduanya pun saling melirik.“T-Tuan Damian.” Karissa pun segera meralat panggilannya sambil membungkuk samar sebagai tanda hormat.Hening beberapa detik, lelaki di sana mengamati Karissa yang sedang menunduk. Dan Shiena pun memahami sesuatu.“Kau pulang dengannya?” tanya Luciano datar.Karissa mengangguk cepat. “Iya, saya –““Tidak!” Lagi-lagi jawaban Shiena berbeda. Dia meringis lebar. “Tidak, Tuan Damian. Dia bohong. Jika ada urusan, bawa saja teman saya ini. Bawa.” Gadis itu sambil mendorong ringan punggun Karisssa supaya mendekati lelaki gagah itu.Karissa menoleh sambil me
“D-Damian ....” Tangan Karissa berpegangan pada kaca di ruang ganti, sedangkan tatapan sayunya melihat apa yang sedang suaminya lakukan padanya.“Kau lupa? Aturan mainnya, jangan sebut nama itu saat kita sedang bercinta.”“My hot husband ....”Luciano menyeringai senang. Terserah memanggil apapun, asal jangan sebut Damian di saat mereka sedang menikmati penyatuan.Sejak saudara kembarnya mengibarkan bendera perang, Luciano bertekad. Di mana pun dan kapanpun, pria itu akan memperbanyak memori panas di ingatan Karissa.“Aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa melupakanku, Karissa ....”Semua yang telah berada di genggaman seorang Luciano King Wilbert, kepemilikannya adalah mutlak! Kecuali memang dia sendiri yang membuang.***Suara risleting terdengar pelan di telinga Karissa ketika Luciano membantunya memakai salah satu gaun yang dipilih.“Aku mau yang ini,” ucap pria itu seraya mengecup bahu terbuka Karissa.“Kamu gila!” gerutu Karissa teringat bagaimana Luciano benar-benar memakanny
"Aubrie memang paling cocok untuk Tuan Damian,” bisikan pertama sudah langsung di dengar oleh wanita bergaun merah marun.Aubrie berjalan di samping ayahnya memasuki area pesta. Tubuh seksinya diperlihatkan dengan pakaian ketat nan seksi. Rambut panjangnya tergerai indah dan senyumnya memesona setiap orang yang menatapnya.Ruang VVIP sebuah restoran bintang lima itu nampak itu berkilauan, dihiasi lampu kristal yang memantulkan cahaya emas di langit-langit. Lantunan musik klasik mengalun lembut, berpadu dengan suara gelas beradu dengan tawa para tamu.Seperti biasa. Pesta para kalangan atas seperti ini bukan sekadar pertemuan bisnis, tetapi juga ajang unjuk gengsi. Sebagian besar dari mereka sengaja membawa putra atau putrinya supaya bisa saling mengenal, saling memamerkan keturunan. Atau mungkin, bisa menjalin hubungan dengan orang yang memiliki status sosial yang setara.Termasuk seorang pebisnis di dunia entertainment yang membawa putrinya hadir di sana. Aubrie, wajah cantik dan tub
Langkah sepatu kulit yang berat menggema di lantai marmer, memecah kesunyian. Luciano berjalan memasuki kerumunan dengan aura gelap yang begitu kuat.Begitu sampai, mata tajamnya langsung tertuju pada Karissa.Wanita yang dia minta menunggu sebentar di pintu karena dia menerima telefon penting, kini justru sudah mendapat perlakuan tak baik. Dia berdiri dengan gaun berantakan.“Damian, kita pulang,” lirih Karissa enggan ada keributan apapun. Energinya mudah terkuras dengan kejadian singkat yang baru dia dapati.Alih-alih menurut, rahang Luciano justru makin mengeras melihat tangan Karissa nampak sedikit bergetar karena luka dari pecahan kaca. Dia alihkan pandangan ke Aubrie dan sekitar.“Ada yang bisa menjelaskan?” suaranya datar, tetapi justru karena itu suasana menjadi semakin mengerikan.Sejenak mereka terdiam sampai ada yang memiliki ide supaya selamat dari kejadian ini.“Tuan, kami hanya membantu Anda mengurus wanita pengganggu ini,” ucap salah satu wanita berharap dia mendapat ni
“Kenapa bongkar identitas hubungan kita?”Itu adalah pertanyaan pertama setelah Luciano menurunkan Karissa di samping mobil. Tak ada jawaban, yang ada justru netra tajam Luciano memberi gerakan mata ke pintu mobil yang sudah dibukakan oleh supir.Baiklah, ibu hamil dengan gaun yang sudah kotor itu masuk ke dalam. Lagi pula dia sudah tidak nyaman berada di sini.Begitu Luciano sudah masuk dan duduk di sampingnya, Karissa langsung bertanya lagi. “Apa yang kamu rencanakan?”Dia benar-benar penasaran kenapa suaminya sekarang nampak berubah. Bukankah ini baik? Ya, hanya Karissa merasa sikap pria ini terlalu cepat perubahannya. Meski tetap dingin dan kaku.“Setidaknya kamu tau, baru sehari saja kamu dikenal sebagai wanita yang dekat denganku. Mereka mulai menyerang.”“Kau mengkhawatirkanku selama ini?” Pertanyaan polos Karissa membuat Luciano menoleh.Dia diam sejenak, barulah menjawab dengan datar. “Jangan tinggi hati. Aku tidak mau rutinitasku terganggu oleh perlakuan mereka terhadapmu.”
Satu tangan Luciano tiba-tiba menelusup ke bawah lehernya, supaya bisa dijadikan bantalan. Kemudian satu tangan lainnya menarik pinggangnya sampai menempel ke dada pria itu.“Hanya malam ini,” ucap Luciano.Lagi-lagi pria itu berhasil membuatnya tersenyum. Karissa tak menjawab. Dia bergerak sedikit untuk membetulkan posisinya, lalu menempatkan telapak tangan Luciano di perut buncitnya.Refleks telapak itu mengusap pelan beberapa kali.“Besok akhir minggu, aku ajarkan kamu menembak. Coba konsultasikan dengan dokter kandungan,” kata pria yang mulai memejamkan matanya.“Untuk apa?”Tak ada jawaban.Sampai detik berikutnya Karissa bisa mendengar suara napas teratur di atas kepalanya. Elusan di perut juga berhenti. Pertanda Luciano akhirnya terlelap.Ketika Karissa juga makin mengantuk, ponsel yang sejak siang dia abaikan nampak bergetar di nakas samping ranjang. Karena posisinya dekat, wanita itu sedikit memajukan tubuhnya untuk mengambil benda pipih itu.Ada satu pesan dari Shiena. Sebua
"Apa maksud kalian terlambat?!"Suara bentakan itu bergema keras.Seorang wanita paruh baya berdiri di tengah ruangan, gaun hitam panjang membalut tubuhnya yang masih proporsional meski sudah memasuki usia 50-an.Carmela, ibu kandung Jacob nampak emosi dengan laporan yang baru saja anak buahnya berikan. Salah satu tokoh yang disegani di dalam lingkaran Klan Luther. Meski lebih sering Jacob yang muncul di depan, tapi peran Carmela juga penting di sini.Beberapa pria berseragam gelap berdiri menunduk di hadapannya, wajah mereka tegang.Tak berani menatap langsung ke mata wanita itu."Maafkan kami, Nyonya," katanya terbata. "Begitu mendapat informasi tentang keturunan Luther, kami segera bergerak. Tapi saat kami tiba di rumah sakit, wanita itu dan anak-anaknya sudah tidak ada di sana."Carmela menghela napas berat. Dia lalu melirik ke kursi roda di samping meja utama. Di mana Jacob hanya duduk kaku. Wajah kerasnya yang biasa nampak arogan itu, kini lusuh, pucat dan kosong.Hanya gerakan
Suara peluru membuat seorang pria di sana mendesis sakit.“Cepat, jalan!”Ya, Luciano baru akan menembakkan peluru ke roda mobil supaya tidak bisa melaju. Namun ada peluru dari arah lain yang lebih dulu menembak pistolnya. Hingga tangannya terluka.“Shit!” umpatnya ketika melihat mobil ambulance dan dua mobil tebal pergi dari sana.Tidak! Luciano tidak akan melepas. Dia berlari sekencang mungkin melewati gerbang. Menghentikan sebuah mobil sedan kecil yang baru akan kelur dari gerbang rumah sakit.“Keluar!” ancamnya menembak pintu dengan pistol lain yang dia bawa. Dia membuka pintu kasar-kasaran, menarik keluar sopir yang ketakutan.Mobil berhasil dia kuasai.Kejar-kejaran gila pun terjadi. Dia sudah seperti serigala yang berlari mengejar mangsa tanpa peduli rintangan di sekitar.Luciano membuka kaca mobil. Dikeluarkan satu pistol dari balik jasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap mengendalikan stir. Di rasa posisi sudah pas, setengah tubuh bagian kirinya keluar jendela
"Hitung waktu kalian," ucap Vincent di jalan darurat menuju ICU. "Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Kita tak memiliki banyak waktu."Orang-orang berseragam rumah sakit, yang sudah dibayar oleh pasukan elite Luther mulai bergerak cepat. Jika Hector sudah mengamankan rumah sakit, pasukan lama Luther juga tak kalah berpengalamannya.Empat pria menyamar jadi petugas medis. Sebagian mengurus Karissa memberikan suntukan obat khusus, sebagian lagi melumpuhkan penjaga.“Bawa mereka keluar. Kita hanya perlu membawa Nyonya selamat. Bukan membunuh orang lain,” ujar salah satu dari mereka.Karissa masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang penuh kabel medis segera dipindahkan ke atas brankar darurat. Hati-hati, tapi tepat dan cepat. Karena mereka sudah berpengalaman."Segera!" lapor salah satunya setelah memastikan Karissa aman di atas brankar.Seolah berpacu dengan waktu, mereka mendorong brankar keluar pintu darurat. Yang bertugas di ruang panel listrik pun mulai sabotase kabel-kabel, sampai me
Sudah tiga hari Luciano memilih tetap di rumah sakit. Meski Hector terus saja mendesak dan menunjukkan kalau orang-orang yang setia pada Luther terus memunculkan diri dan mengancam posisi.Luciano melangkah pelan, mendekati satu ranjang yang dikelilingi alat bantu hidup. Di sana, Karissa terbaring dengan tubuh lemah, selang infus dan kabel-kabel tipis menempel di kulit pucatnya.“Aku pikir sebelum ini kamu sudah lama berbaring. Kenapa sekarang masih juga di sini, hm? Tidakkah kamu bosan, Karissa?"Luciano menarik kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tangan besarnya terulur, menggenggam jemari Karissa yang terasa dingin.“Aku belum akan pergi sebelum kamu mengakui, apa kamu sudah tau tentang identitasmu atau belum. Apapun jawabannya, akan aku terima.”Tak ada jawaban, tentu saja. Hanya suara detak mesin pemantau yang berdetak stabil. Luciano tersenyum miris. Dielusnya punggung tangan istrinya perlahan.“Lalu maumu bagaimana? Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?”Sempat Luciano membenci
“Apa yang terjadi dengan cucu-cucuku?”Hector yang lebih dulu mendekat saat dokter membuka pintu ruang operasi. Tak langsung menjawab, pria yang masih memakai seragam operasi itu menggeser pandangan pada Luciano.“Bagaimana kondisi istriku?” tanya Luciano.Terdengar tenang, tapi tidak dengan sorotnya yang penuh rasa khawatir.“Nyonya Karissa sempat henti jantung dan pendarahan. Sampai sekarang pasien masih dalam masa kritis. Berdoa saja semoga dia bisa kuat sampai membuka mata untuk melihat serta menggendong anak-anaknya.” Dokter itu kini beralih pada Hector.“Bayi kembar telah lahir. Hanya saja kondisi prematur dan terpapar racun membuat mereka harus mendapat perawatan intensif. Tunggu dokter spesialis anak sedang mengurus semuanya.”***Luciano berdiri membeku di depan dinding kaca transparan. Di dalam ruangan, dua inkubator kecil ditempatkan berdekatan. Sepasang bayi kembar lelaki dan perempuan.Hati Luciano yang biasa keras tak bisa disentuh, kini rasanya hancur dan rapuh melihat
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol denga
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer