“Bukankah ini memang konsekuensi karena berani menyentuh Tuan King Wilbert?” Damian menatap mata Jacob yang tengah berapi-api dengan tenang.“Meski aku sudah melakukan perhitungan dengan matang, ini pertanda, kalau memang benteng pertahanan penjaramu yang terlalu lemah.”Jacob menyipitkan mata. Langkahnya pelan saat dia mendekat membawa tekanan yang mencekik seluruh ruangan."Perhitungan matang, katamu?"Nada suaranya meninggi sedikit. "Kekacauan ini sama sekali tidak mencerminkan perhitungan, Damian! Yang aku lihat, hanya ketidakmampuan mengendalikan situasi."“Kau –“ Jacob mencengkeram krah kemeja pria yang tingginya sejajar dengannya. “Kau telah aku percayakan menjaga markas selama aku pergi. Rupanya kamu tidak memiliki kemampuan apapun!”Tanpa melepas cengkeramannya, Jacob tersenyum miring penuh ejekan. “Pantas saja sejak dulu kamu diasingkan oleh keluargamu. Ternyata memang kembaran Luciano sebodoh ini!”Damian melepas cengkeraman Jacob tanpa terlihat kasar. Bibirnya tersenyum tip
“Wajahnya mengingatkanku pada Eleanor,” gumam Carmela ketika melihat sebuah figura kecil yang tersusun rapi di ruang tengah mansion milik keluarga Luther. Lalu dia bandingkan pada wajah perempuan yang pagi tadi bertengkar dengan Aubrie di rumah sakit.Wanita paruh baya itu adalah ibu kandung Jacob. Carmela lebih sering tinggal di luar negeri, berpindah tempat untuk bersenang-senang. Kali ini dia pulang ke Inggris untuk melakukan pemeriksaan kesehatannya secara rutin dengan dokter khusus yang biasa mengurusnya.“Ada hal penting?” Suara bariton dari pintu membuat Carmela menoleh.Wanita itu mendekat sembari merentangkan tangan pada putra tunggalnya lalu memeluk rindu. Di kecupnya pipi kanan dan kiri, tak peduli dengan ekspresi datar Jacob.“Bulu jambangmu nampak lebat. Sibuk sekali?” tanyanya peduli.Jacob melepas kedua tangan Carmela lalu dia duduk di sebuah sofa dengan ukiran kayu jati. “Katakan, aku sedang banyak kerjaan.”Carmela menghela napas panjang melihat putranya yang nampak t
“Biarin aja, Sa. Dia sudah berlaku kurang baik sebagai tenaga medis!” ucap Shiena tajam melihat Hannah memohon di kaki Karissa.Sejujurnya Shiena juga kaget bukan main melihat berita yang beredar sejak tengah malam. Dia sampai coba menghubungi Karissa tapi tidak aktif nomor sahabatnya itu.Kini, bukan hanya Hannah. Sophie dan Anna juga melakukan hal yang sama. Mereka memohon supaya Karissa memaafkannya.“A-Aku tidak tau sama sekali. Damian tidak mengatakan apa-apa padaku.” Karissa mundur dua langkah supaya Hanna melepas pelukan di kakinya.Shiena mendekat, melipat kedua tangan di depan dadanya sambil memperhatikan wajah-wajah pembuat onar itu. “Saat kalian melakukan kejahatan dengan fitnah-fitnah jahat kalian, apa tidak berpikir kalau kejadian ini akan kalian alami, hm? Sekalipun Karissa bukan istri pemilik rumah sakit ini, karma itu tidak akan salah orang!”Wajah Hannah sudah basah. Dia abaikan ucapan Shiena lalu fokus pada Karissa. “Karissa, kita rekan sesama tenaga medis. Kamu tahu
“Damian, jawab jujur. Luciano itu siapa?”Satu pertanyaan langsung Luciano terima ketika dia baru saja masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Karissa mengangkat sebuah berkas, menunjukkan lembar tanda tangan ke arahnya.Mata tajam pria itu menatap sesaat, lalu beralih pada wajah serius Karissa. Dia belum menjawab, dan justru berjalan santai sambil melepas satu kancing jas hitamnya.“Ini logo kepala serigala, sama seperti tato di perutmu.” Kini dia sedikit kasar meletakkan berkas di meja.Luciano mengambil berkas, lalu melihat apa yang ada di sana. Ini adalah berkas laporan Klan Blackwood. Siapa sangka Karissa datang dan melihatnya.“Apa yang kamu pikirkan.” Damian menutup lembaran tanda tangan kemudian maju menarik tangan Karissa untuk berdiri di depannya.“Kamu anak buah Luciano?” tebak Karissa siap-siap kecewa kalau memang benar suaminya ikut jadi bawahan si mafia itu.“Anak buah Luciano?” Pria itu tersenyum samar. “Wajah sepertiku apakah pantas menjadi anak buah orang lain?”Karissa me
“Sayang ... please, stop!”Permintaan Karissa tidak Luciano penuhi. Pria itu justru tersenyum puas melihat istrinya yang kelelahan sampai tubuh mereka penuh dengan keringat.Hingga langit sudah menggelap, kegiatan tak terduga itu akhirnya selesai.“Mau makan di rumah atau di resto?” tanya Luciano setelah dia berhasil memakaikan Karissa baju dan beralih mengancing kemeja putihnya sendiri.“Menurutmu, dengan penampilanku yang seperti ini masih ada nafsu bertemu dengan orang lain?” jawab Karissa masih tegeletak lesu di sandaran sofa.Pria itu terkekeh ringan lalu membungkuk untuk mengecup perut buncit istrinya. “Jelas sekali dia anakku. Sangat kuat dan bisa diajak bekerjasama.”Karissa berdecih lalu memejamkan matanya yang mengantuk dan lelah. Jadi dia pasrah saja ketika Luciano menyelimutinya dengan jas lalu mengangkat tubuhnya untuk digendong.Kantor sudah sepi. Hanya ada security yang berjaga. Ketika keduanya sampai di lantai dasar, seorang penjaga datang mendekat dan membungkuk sopan
“Damian, kamu benar-benar akan menikah dengan wanita itu?”Sudah lebih dari tiga tahun, tapi Damian ingat sekali tangisan Emma ketika mendengar kabar pernikahan tunangannya bersama wanita lain.“Kau janji akan berjuang, Damian. Kau janji akan menikahiku setelah hukuman pengasinganmu berakhir. Tapi kenapa kamu justru jatuh cinta pada gadis di sana?!”Damian menarik Emma ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu menangis. Dua tahun Damian dihukum oleh Hector. Dia diasingkan ke sebuah pedesaan di negara Inggris. Emma sebagai tunangannya tentu tetap setia menunggu Damian untuk kembali ke Italia.Meski tanpa restu karena Emma hanyalah anak dari pengawal keluarga Wilbert, tapi Damian terus berjanji akan memperjuangkan hubungan mereka nanti. Siapa sangka, kabar rencana pernikahan yang Emma dengar dari orang lain membuatnya hancur.“Maaf,” lirih Damian sambil terus mengusap punggung Emma yang masih bergetar.“Lalu bagaimana dengan anak di perutku ini?”Damian terkesiap mendengar pengakuan Em
“Damian, aku dengar ponselku berbunyi.”Suara Karissa terdengar di punggung Luciano, membuat pria berkemeja hitam itu melirik tipis.“Aku sedang menunggu chat dari Shiena, katanya – akh!”Belum sampai dia menyentuh benda pipih yang tergeletak di meja, Karissa memekik karena Luciano tiba-tiba menembak ponselnya.“Damian, apa yang kamu lakukan?!” teriaknya sedikit syok.“Aku lihat ada lalat hijau di sana,” jawab Luciano santai meletakkan pistol di box khusus.Karissa masih tak percaya. Alat komunikasi yang sudah lama menemani hari-harinya itu bisa-bisanya dimusnahkan karena lalat. “Lalat? Mana ada lalat! Kalau iya, tidak seharusnya –““Kita pergi membeli ponsel terbaru yang kamu inginkan.”Karissa menatap punggung Luciano yang menjauh dengan tajam juga dada naik turun karena emosi.“Kau tidak tau, aku sedang menunggu kabar dari Shiena! Aku juga harus menghubungi Daddy! Damiaaaan! Kenapa kamu masih suka bertindak seenaknya sendiriiii!” teriak Karissa sampai menghentakkan kakinya berulang
[Klan Blackwood masih menerimamu. Jadi, berhenti berkhianat pada keluarga sendiri!] Damian menatap pesan masuk dari Luciano. Dia hanya tersenyum samar melihat kembarannya akhirnya menyimpan nomor telefon dirinya. Saat ini pria dengan topeng hitam yang menutupi setengah wajahnya sedang berada di Kasino Luther. Di tempat umum, Damian tentu tidak akan menunjukkan wajahnya jadi dia menutup sebagian. “Tuan Damian, Tuan Jacob datang,” lapor salah satu pengawal padanya. Di luar, Jacob Luther melangkah santai melewati lantai kasino. Dentingan koin dan suara kartu yang dikocok menjadi ciri khas alunan indah di tempat semacam ini. Matanya menjelajahi ruangan dengan penuh ketertarikan. Ia tak bisa menyangkal, bisnis yang dulu nyaris bangkrut kini berkembang pesat. Semua ini terjadi sejak Damian mengambil alih. "Lihat siapa yang akhirnya sudi menginjakkan kaki di sini," ucap Damian menyindir. Pasalnya di awal Jacob meremehkan Damian untuk dipercaya mengelola kasino. Jacob menyeringai, lal
"Apa maksud kalian terlambat?!"Suara bentakan itu bergema keras.Seorang wanita paruh baya berdiri di tengah ruangan, gaun hitam panjang membalut tubuhnya yang masih proporsional meski sudah memasuki usia 50-an.Carmela, ibu kandung Jacob nampak emosi dengan laporan yang baru saja anak buahnya berikan. Salah satu tokoh yang disegani di dalam lingkaran Klan Luther. Meski lebih sering Jacob yang muncul di depan, tapi peran Carmela juga penting di sini.Beberapa pria berseragam gelap berdiri menunduk di hadapannya, wajah mereka tegang.Tak berani menatap langsung ke mata wanita itu."Maafkan kami, Nyonya," katanya terbata. "Begitu mendapat informasi tentang keturunan Luther, kami segera bergerak. Tapi saat kami tiba di rumah sakit, wanita itu dan anak-anaknya sudah tidak ada di sana."Carmela menghela napas berat. Dia lalu melirik ke kursi roda di samping meja utama. Di mana Jacob hanya duduk kaku. Wajah kerasnya yang biasa nampak arogan itu, kini lusuh, pucat dan kosong.Hanya gerakan
Suara peluru membuat seorang pria di sana mendesis sakit.“Cepat, jalan!”Ya, Luciano baru akan menembakkan peluru ke roda mobil supaya tidak bisa melaju. Namun ada peluru dari arah lain yang lebih dulu menembak pistolnya. Hingga tangannya terluka.“Shit!” umpatnya ketika melihat mobil ambulance dan dua mobil tebal pergi dari sana.Tidak! Luciano tidak akan melepas. Dia berlari sekencang mungkin melewati gerbang. Menghentikan sebuah mobil sedan kecil yang baru akan kelur dari gerbang rumah sakit.“Keluar!” ancamnya menembak pintu dengan pistol lain yang dia bawa. Dia membuka pintu kasar-kasaran, menarik keluar sopir yang ketakutan.Mobil berhasil dia kuasai.Kejar-kejaran gila pun terjadi. Dia sudah seperti serigala yang berlari mengejar mangsa tanpa peduli rintangan di sekitar.Luciano membuka kaca mobil. Dikeluarkan satu pistol dari balik jasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap mengendalikan stir. Di rasa posisi sudah pas, setengah tubuh bagian kirinya keluar jendela
"Hitung waktu kalian," ucap Vincent di jalan darurat menuju ICU. "Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Kita tak memiliki banyak waktu."Orang-orang berseragam rumah sakit, yang sudah dibayar oleh pasukan elite Luther mulai bergerak cepat. Jika Hector sudah mengamankan rumah sakit, pasukan lama Luther juga tak kalah berpengalamannya.Empat pria menyamar jadi petugas medis. Sebagian mengurus Karissa memberikan suntukan obat khusus, sebagian lagi melumpuhkan penjaga.“Bawa mereka keluar. Kita hanya perlu membawa Nyonya selamat. Bukan membunuh orang lain,” ujar salah satu dari mereka.Karissa masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang penuh kabel medis segera dipindahkan ke atas brankar darurat. Hati-hati, tapi tepat dan cepat. Karena mereka sudah berpengalaman."Segera!" lapor salah satunya setelah memastikan Karissa aman di atas brankar.Seolah berpacu dengan waktu, mereka mendorong brankar keluar pintu darurat. Yang bertugas di ruang panel listrik pun mulai sabotase kabel-kabel, sampai me
Sudah tiga hari Luciano memilih tetap di rumah sakit. Meski Hector terus saja mendesak dan menunjukkan kalau orang-orang yang setia pada Luther terus memunculkan diri dan mengancam posisi.Luciano melangkah pelan, mendekati satu ranjang yang dikelilingi alat bantu hidup. Di sana, Karissa terbaring dengan tubuh lemah, selang infus dan kabel-kabel tipis menempel di kulit pucatnya.“Aku pikir sebelum ini kamu sudah lama berbaring. Kenapa sekarang masih juga di sini, hm? Tidakkah kamu bosan, Karissa?"Luciano menarik kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tangan besarnya terulur, menggenggam jemari Karissa yang terasa dingin.“Aku belum akan pergi sebelum kamu mengakui, apa kamu sudah tau tentang identitasmu atau belum. Apapun jawabannya, akan aku terima.”Tak ada jawaban, tentu saja. Hanya suara detak mesin pemantau yang berdetak stabil. Luciano tersenyum miris. Dielusnya punggung tangan istrinya perlahan.“Lalu maumu bagaimana? Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?”Sempat Luciano membenci
“Apa yang terjadi dengan cucu-cucuku?”Hector yang lebih dulu mendekat saat dokter membuka pintu ruang operasi. Tak langsung menjawab, pria yang masih memakai seragam operasi itu menggeser pandangan pada Luciano.“Bagaimana kondisi istriku?” tanya Luciano.Terdengar tenang, tapi tidak dengan sorotnya yang penuh rasa khawatir.“Nyonya Karissa sempat henti jantung dan pendarahan. Sampai sekarang pasien masih dalam masa kritis. Berdoa saja semoga dia bisa kuat sampai membuka mata untuk melihat serta menggendong anak-anaknya.” Dokter itu kini beralih pada Hector.“Bayi kembar telah lahir. Hanya saja kondisi prematur dan terpapar racun membuat mereka harus mendapat perawatan intensif. Tunggu dokter spesialis anak sedang mengurus semuanya.”***Luciano berdiri membeku di depan dinding kaca transparan. Di dalam ruangan, dua inkubator kecil ditempatkan berdekatan. Sepasang bayi kembar lelaki dan perempuan.Hati Luciano yang biasa keras tak bisa disentuh, kini rasanya hancur dan rapuh melihat
“Tekanan darah pasien makin turun! Percepat anestesi. Jangan sampai dia hilang kesadaran sepenuhnya sebelum kita mulai!”“Obat masuk. Kami pakai dosis rendah untuk menjaga kesadaran terbatas. Periksa saturasi oksigen!”Karissa sudah setengah sadar. Tenaga di tubuhnya entah hilang ke mana. Meski begitu, matanya sayunya masih bisa menangkap siapa saja yang sedang ada di sana.“Luciano ....” Mulut lemah itu masih memanggil suaminya.Tangan yang lemas tak berdaya di sisi tubuhnya masih berharap ada yang datang dan menggenggam hangat.“Di mana suaminya?”Terdengar suara yang mempertanyakan keberadaan Luciano. Pertanyaan yang sama, yang ada di pikiran Karissa.Para tenaga medis terus berupaya melakukan operasi dengan waktu yang menipis. Jangan sampai mereka kehilangan waktu yang bisa membuat ibu dan anak tidak bisa diselamatkan.Perawat menyerahkan alat bedah steril. Pisau pertama menyentuh kulit Karissa, menembus jaringan demi jaringan. Darah mulai keluar, tapi tekanan tetap dikontrol denga
“Di mana Luciano? Apa dia sudah membaca hasil DNA Karissa?” tanya Hector saat tiba di depan ruang ICU.“Tuan sedang ada di ruang dewan, Tuan,” jawab Sergio yang cukup terkejut akan kedatangan pria tua itu.Mood Hector terlihat sedang tidak baik. Rahangnya nampak mengeras dan genggaman di ujung tongkat pun erat.“Anak itu. Bisa-bisanya dia asal melepas kancil dari jeruji besi,” desis Hector menahan kemarahannya.Sergio yang belum paham, dia hanya menatap Hector sambil berpikir.“Kau sudah aku beritahu siapa Karissa sebenarnya supaya kamu bisa lebih waspada. Tapi kamu justru membiarkan Luciano melepas Vincent begitu saja!”Sang asisten terkesiap lalu membungkuk penuh rasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya belum paham penuh konsekuensi kalau sampai Tuan Vincent bebas.”Hector memukul lantai dengan tongkatnya sambil berdecak. Membuat Sergio seketika terjingkat.“Informasi Karissa darah murni Luther sudah disebarluaskan oleh Vincent kepada orang-orang yang masih setia pada keluarga itu! Apa menur
“Tuan, maaf. Ini berkas Anda ditemukan di bawah bantal rawat inap. Pagi tadi petugas kebersihan menitipkannya pada saya.” Sang direktur rumah sakit menyerahkan amplop coklat yang masih tersegel kepada Luciano.Pria itu tidak langsung menerima. Dia lebih dulu menutup pintu dengan hati-hati agar Karissa tidak terganggu tidurnya. Barulah ia mengulurkan tangan menerima amplop tersebut.“Ya.”Saking merasa berkas itu tidak penting, Luciano sampai lupa telah menyimpannya secara asal di ranjang rumah sakit.“Dan—“ Direktur yang tampak memiliki tujuan tertentu, sedikit ragu untuk melanjutkan. “Kejadian di lobi tadi, saya meminta maaf. Saya akan memberikan surat peringatan dua tingkat kepada dokter residen itu.”Pria dengan perut buncit dan bulatnya lalu mundur satu langkah sambil membungkuk. “Kami memohon agar Anda berkenan datang ke ruangan dan menerima permintaan maaf langsung dari kami.”Luciano menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia tidak ingin pikirannya terbebani oleh urus
Tamparan itu membuat semua pengawal termasuk Sergio serempak menarik pistol dari pinggang mereka lalu di arahkan ke wanita di sana. Sebelum ada yang terluka, Luciano langsung mengangkat tangannya.“Biarkan!” titahnya tanpa perubahan ekspresi, hanya dingin dan datar.Sementara Shiena, keberanian itu muncul begitu saja ketika amarah atas dendam lamanya pada sosok Luciano meluap. Apalagi ternyata identitas itu dimiliki oleh orang yang selama ini sangat dia hormati dan kagumi.“Jadi kamu adalah serigala penghisap darah berkedok kelinci yang nampak lembut dan manis? Sungguh aku makin membencimu, Luciano!” teriak Shiena hendak menyerang lagi, tapi dua pengawal langsung menakan lengannya.“Shiena, hentikan?” teriak direktur rumah sakit yang baru datang karena mendengar keributan di lobi.“Sekarang aku tau, kenapa ada keanehan di rumah sakit ini. Menerima pasien dengan luka tembak tanpa ada laporan ke kepolisian. Rupanya pemiliknya adalah penjahat itu sendiri!” teriaknya tak peduli.Shiena mer