“Biarin aja, Sa. Dia sudah berlaku kurang baik sebagai tenaga medis!” ucap Shiena tajam melihat Hannah memohon di kaki Karissa.Sejujurnya Shiena juga kaget bukan main melihat berita yang beredar sejak tengah malam. Dia sampai coba menghubungi Karissa tapi tidak aktif nomor sahabatnya itu.Kini, bukan hanya Hannah. Sophie dan Anna juga melakukan hal yang sama. Mereka memohon supaya Karissa memaafkannya.“A-Aku tidak tau sama sekali. Damian tidak mengatakan apa-apa padaku.” Karissa mundur dua langkah supaya Hanna melepas pelukan di kakinya.Shiena mendekat, melipat kedua tangan di depan dadanya sambil memperhatikan wajah-wajah pembuat onar itu. “Saat kalian melakukan kejahatan dengan fitnah-fitnah jahat kalian, apa tidak berpikir kalau kejadian ini akan kalian alami, hm? Sekalipun Karissa bukan istri pemilik rumah sakit ini, karma itu tidak akan salah orang!”Wajah Hannah sudah basah. Dia abaikan ucapan Shiena lalu fokus pada Karissa. “Karissa, kita rekan sesama tenaga medis. Kamu tahu
“Damian, jawab jujur. Luciano itu siapa?”Satu pertanyaan langsung Luciano terima ketika dia baru saja masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Karissa mengangkat sebuah berkas, menunjukkan lembar tanda tangan ke arahnya.Mata tajam pria itu menatap sesaat, lalu beralih pada wajah serius Karissa. Dia belum menjawab, dan justru berjalan santai sambil melepas satu kancing jas hitamnya.“Ini logo kepala serigala, sama seperti tato di perutmu.” Kini dia sedikit kasar meletakkan berkas di meja.Luciano mengambil berkas, lalu melihat apa yang ada di sana. Ini adalah berkas laporan Klan Blackwood. Siapa sangka Karissa datang dan melihatnya.“Apa yang kamu pikirkan.” Damian menutup lembaran tanda tangan kemudian maju menarik tangan Karissa untuk berdiri di depannya.“Kamu anak buah Luciano?” tebak Karissa siap-siap kecewa kalau memang benar suaminya ikut jadi bawahan si mafia itu.“Anak buah Luciano?” Pria itu tersenyum samar. “Wajah sepertiku apakah pantas menjadi anak buah orang lain?”Karissa me
“Sayang ... please, stop!”Permintaan Karissa tidak Luciano penuhi. Pria itu justru tersenyum puas melihat istrinya yang kelelahan sampai tubuh mereka penuh dengan keringat.Hingga langit sudah menggelap, kegiatan tak terduga itu akhirnya selesai.“Mau makan di rumah atau di resto?” tanya Luciano setelah dia berhasil memakaikan Karissa baju dan beralih mengancing kemeja putihnya sendiri.“Menurutmu, dengan penampilanku yang seperti ini masih ada nafsu bertemu dengan orang lain?” jawab Karissa masih tegeletak lesu di sandaran sofa.Pria itu terkekeh ringan lalu membungkuk untuk mengecup perut buncit istrinya. “Jelas sekali dia anakku. Sangat kuat dan bisa diajak bekerjasama.”Karissa berdecih lalu memejamkan matanya yang mengantuk dan lelah. Jadi dia pasrah saja ketika Luciano menyelimutinya dengan jas lalu mengangkat tubuhnya untuk digendong.Kantor sudah sepi. Hanya ada security yang berjaga. Ketika keduanya sampai di lantai dasar, seorang penjaga datang mendekat dan membungkuk sopan
“Damian, kamu benar-benar akan menikah dengan wanita itu?”Sudah lebih dari tiga tahun, tapi Damian ingat sekali tangisan Emma ketika mendengar kabar pernikahan tunangannya bersama wanita lain.“Kau janji akan berjuang, Damian. Kau janji akan menikahiku setelah hukuman pengasinganmu berakhir. Tapi kenapa kamu justru jatuh cinta pada gadis di sana?!”Damian menarik Emma ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu menangis. Dua tahun Damian dihukum oleh Hector. Dia diasingkan ke sebuah pedesaan di negara Inggris. Emma sebagai tunangannya tentu tetap setia menunggu Damian untuk kembali ke Italia.Meski tanpa restu karena Emma hanyalah anak dari pengawal keluarga Wilbert, tapi Damian terus berjanji akan memperjuangkan hubungan mereka nanti. Siapa sangka, kabar rencana pernikahan yang Emma dengar dari orang lain membuatnya hancur.“Maaf,” lirih Damian sambil terus mengusap punggung Emma yang masih bergetar.“Lalu bagaimana dengan anak di perutku ini?”Damian terkesiap mendengar pengakuan Em
“Damian, aku dengar ponselku berbunyi.”Suara Karissa terdengar di punggung Luciano, membuat pria berkemeja hitam itu melirik tipis.“Aku sedang menunggu chat dari Shiena, katanya – akh!”Belum sampai dia menyentuh benda pipih yang tergeletak di meja, Karissa memekik karena Luciano tiba-tiba menembak ponselnya.“Damian, apa yang kamu lakukan?!” teriaknya sedikit syok.“Aku lihat ada lalat hijau di sana,” jawab Luciano santai meletakkan pistol di box khusus.Karissa masih tak percaya. Alat komunikasi yang sudah lama menemani hari-harinya itu bisa-bisanya dimusnahkan karena lalat. “Lalat? Mana ada lalat! Kalau iya, tidak seharusnya –““Kita pergi membeli ponsel terbaru yang kamu inginkan.”Karissa menatap punggung Luciano yang menjauh dengan tajam juga dada naik turun karena emosi.“Kau tidak tau, aku sedang menunggu kabar dari Shiena! Aku juga harus menghubungi Daddy! Damiaaaan! Kenapa kamu masih suka bertindak seenaknya sendiriiii!” teriak Karissa sampai menghentakkan kakinya berulang
[Klan Blackwood masih menerimamu. Jadi, berhenti berkhianat pada keluarga sendiri!] Damian menatap pesan masuk dari Luciano. Dia hanya tersenyum samar melihat kembarannya akhirnya menyimpan nomor telefon dirinya. Saat ini pria dengan topeng hitam yang menutupi setengah wajahnya sedang berada di Kasino Luther. Di tempat umum, Damian tentu tidak akan menunjukkan wajahnya jadi dia menutup sebagian. “Tuan Damian, Tuan Jacob datang,” lapor salah satu pengawal padanya. Di luar, Jacob Luther melangkah santai melewati lantai kasino. Dentingan koin dan suara kartu yang dikocok menjadi ciri khas alunan indah di tempat semacam ini. Matanya menjelajahi ruangan dengan penuh ketertarikan. Ia tak bisa menyangkal, bisnis yang dulu nyaris bangkrut kini berkembang pesat. Semua ini terjadi sejak Damian mengambil alih. "Lihat siapa yang akhirnya sudi menginjakkan kaki di sini," ucap Damian menyindir. Pasalnya di awal Jacob meremehkan Damian untuk dipercaya mengelola kasino. Jacob menyeringai, lal
“Hector Morgan,” jawab Karissa dengan kening berkerut bingung.Hening sejenak. Membuat wanita itu makin tidak mengerti dengan kepanikan yang ayahnya tunjukkan. “Daddy?” panggilnya.“Besok Daddy ke mansionmu,” ucap Vincent.Meski masih dengan rasa penasaran terhadap reaksi Vincent terhadap kalung yang dia pakai, Karissa tetap tidak bisa menyembunyikan binar di matanya. Selama dia menikah, Vincent tidak pernah mau di ajak ke kota. Alasannya karena tidak menyukai kehidupan di kota.Jadi, saat mendengar sang ayah akan berkunjung ke mansion, Karissa sangat bahagia.“Perlu aku jemput, Dad?” tanyanya semangat.“Tidak. Daddy bisa menggunakan kendaraan umum. Kamu bisa berikan saja alamat lengkapnya.”“Aku jemput di halte. Rute dari jalan besar ke area mansion cukup jauh. Tidak sembarang mobil juga bisa masuk ke area sini. Daddy katakan saja besok jam berapa berangkat dari sana.”“Baiklah, besok daddy kabari.”Karissa menarik napas bahagianya lalu mengangguk meski tidak bisa dilihat oleh Vincen
“Simbol serigala hitam memiliki aura misterius. Itu cukup mencerminkan bagaimana Klan Blackwood beroperasi di bawah radar, menjalankan bisnis mereka secara diam-diam tetapi tetap memiliki pengaruh yang luas.”“Begitupun dalam mengatur siasat. Pimpinan mereka pandai melumpuhkan lawan tanpa ada riak yang terlihat. Kelompok ini sangat tidak bisa diremehkan. Bagi mereka, kesalahan musuh tidak bisa ditoleransi apalagi sampai melukai keluarga Wilbert.“Vincent, aku harap kamu bisa mengendalikan emosi putraku. Jangan karena kalah di acara lelang untuk memperebutkan kalung heart of eternity, dia jadi buta arah dan nekat menyerang Tuan Wilbert.”“Kalau sampai itu terjadi, dipastikan mereka akan melumpuhkan Luther sampai tujuh turunan!”Seolah kalimat demi kalimat itu kembali di dengar oleh Vincent, menarik dia ke memori puluhan tahun yang lalu. Namun, lamunannya tidak bisa bertahan lama. Vincent disadarkan oleh Darla yang memanggil bahkan sampai menggerakkan lengannya.“Kak, kamu melamun apa?”
“Biasanya setelah dibiarkan di ikat begitu, kalian apakan ayahku?” tanya Karissa dengan kondisi tenggorokan yang masih pahit dan tak enak.“Tuan Vincent langsung dimasukkan lagi ke dalam kamar, Nyonya.”“Kamar sebelah?” Sebelumnya memang kamar Vincent ada di deretan kamar utama ini.Pelayan menggeleng. “Tuan ada di lantai satu. Kamar tamu yang ada di dekat ruang keluarga.”Karissa mengangguk tipis. Baiklah, dia sudah paham ke mana tujuan pertama kalau berhasil keluar dari kamar ini.Dia memikirkan step kedua. Karissa menuangkan air putih ke gelas lalu meminum sambil melirik ke arah pelayan itu.“Nyonya, saya akan bereskan ini lebih dulu.” Pelayan mendekat, membungkuk supaya bisa memindahkan piring kosong ke food cart.“Hkkkk!” Karissa tiba-tiba menutup mulut hingga hidungnya dengan telapak tangan. Wajahnya pucat, matanya berair.“Nyonya –“Karissa menahan supaya pelayan tidak makin mendekat. Dia mengambil tisu lalu mengisap mulutnya. Bahkan sampai menjauhkan tubuhnya ke belakang.“Ek
“Aku pergi sekarang,” ucap Luciano berjalan tanpa memutus panggilan telefonnya pada Sergio.“Saya akan memastikan kalau di sana Nyonya aman. Saya yakin kalau Tuan Hector tidak mungkin melukai calon penerus. Apalagi bayi di kandungan Nyonya Karissa adalah bayi kembar.” Sergio berupaya supaya Luciano bisa fokus bertugas supaya pikirannya tidak terbelah.“Hm, kalau sampai dia kenapa-kenapa maka –““Anda akan memotong leher saya.”Sergio di sana terkekeh sendiri begitu Luciano memutus panggilan usai dia meneruskan ancaman itu.“Mafia kejamku benar-benar jatuh cinta. Sangat menggemaskan.”Bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Wilbert, dia yang biasa melihat Luciano begitu dingin pada wanita. Kali ini dia bisa menyaksikan sisi lain Luciano King Wilbert yang khawatir dan posesif pada perempuan.Ini sesuatu yang sangat langka!“Baiklah. Aku harus memastikan Nyonya Karissa aman di sana.” Sergio yang baru saja beberapa menit di kantor pun memilih beranjak pergi demi tugas negara dari si maha ra
“Akh!”Karissa memekik menutup mulut dengan telapak tangan. Tubuhnya berdiri kaku dengan tangan lainnya menggenggam erat tralis balkon.Tatapannya bergetar, melihat bagaimana Hector begitu mudah memecahkan kepala seseorang di sana dengan satu tembakan. Padahal pagi ini dia ingin mencoba menghirup udara segar setelah semalaman terkurung di kamarnya sendiri. Namun, yang dia lihat justru adegan mengerikan di sana.“Ampun, Tuan! Ampun! Saya akan mengabdi pada Anda. Saya mengaku salah. Ampuni saya, Tuan!”Suara teriakan minta ampun itu terdengar samar di telinga Karissa yang berdiri di balkon lantai tiga. Padahal tubuh pria itu sudah penuh darah karena cambukan tanpa ampun. Rupanya permintaan ampun tidak digubris.DOR!Satu peluru kembali dikeluarkan untuk pria lain yang sejak tadi berdiri ketakutan.Seolah ini adalah tontonan yang sengaja Hector perlihatkan pada Karissa, pria tua itu mendongak ke balkon sembari menyerahkan pistol itu ke samping.Jantung Karissa berdetak tidak semestinya.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh keluar.”Karissa terhenti di depan lift karena dua pengawal menghalangi jalannya. Lalu apa tadi? Tidak boleh keluar? Dia bahkan sudah memakai baju kerja yang rapi. Sebuah tas dokter dan jas putih juga menggantung di tangannya."Sejak kapan aku butuh izin untuk keluar rumah sendiri?" Bukan bersikap sombong, tapi dia heran pada atmosfer yang berbeda sore ini.“Tuan Damian melarang Anda keluar dari area ini, Nyonya.”Ah, Damian. Itu juga ingin Karissa tanyakan. Setelah sarapan sampai sore begini dia belum melihat suaminya. Lelaki itu tidak pamit sama sekali. Mengirim pesan pun tidak.“Jangan bercanda. Aku ada jadwal praktek sore ini.” Karissa tetap maju, berniat menerobos.Segera dua pengawal merapatkan badan, tidak memberi celah. Bahkan salah satu dari mereka berani mendorong ringan lengan majikannya.“Nyonya, jangan paksa kami bersikap kasar,” ucapnya sedikit lebih tajam dari sebelumnya.Dengan dahi berkerut tajam, manik mata wanita hamil itu bergerak men
“Cucuku dan anakku belum tau kalau ada musuh di sangkar mereka.”Hector berucap ketika Vincent masuk ke ruangan beraroma tembakau. Tadi, setelah sarapan dengan atmosfer menegangkan di setiap suapan makanan. Kini Vincent diminta datang ke salah satu ruangan tertutup di mansion itu.Pria paruh baya yang berdirinya sudah tidak setegak dulu, juga tubuhnya tidak seatletis dulu, kini dia tengan berdiri di ruangan. Mata Vincent waspada menatap Hector yang duduk di kursi besar dengan sikap santai. Senyum pria tua itu ramah, tapi tidak dengan matanya yang penuh manipulasi dan intimidasi."Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu, Vincent."Vincent mengepalkan tangannya di samping tubuh. Dia tak berdaya, tapi juga tak mau terlihat lemah."Dan saya berharap kita tidak akan pernah perlu bertemu lagi."Hector tertawa kecil, seakan menganggap ucapan Vincent sebagai lelucon."Kau masih setia pada keluarga Luther, rupanya. Sampai-sampai rela memperrtaruhkan nyawa untuk melindungi keturunann
“Damian tidak ke ruang kerja? Dia ke mana?” bisik Karissa setelah pengawal di lantai dua mengatakan tidak melihat tuannya keluar dari lift.Karena penasaran dengan kegiatan Luciano di tengah malam begini, dia pun masuk lagi ke dalam lift lalu pergi ke lantai lainnya. Di sana sepi, padahal biasanya di setiap lantai ada pengawal.Karissa melangkah kakinya lalu berhenti di tengah ruangan terbuka sambil melihat ke kanan dan kiri. Hingga dia melihat ada bayangan bergerak di lorong sebelah kanan.“Damian? Dia sedang apa?”Kaki dengan sandal rumah berbulu tanpa suara itu mulai melangkah melewati lorong dengan penerangan yang minim. Jujur, tiga tahun tinggal di mansion sebesar ini memang tidak semua Karissa tau ada ruang apa saja.Contohnya lorong ini, Karissa tidak tau jalan ini akan membawanya ke mana.“Damian?” panggil Karissa dengan suaranya yang menggema.Tidak ada jawaban.Dia mulai melangkah waspada juga merinding. Sampai-sampai wanita itu memeluk diri sendiri dan mengusap lengannya ya
“Tolong jangan lakukan apapun. Jangan ceritakan ini pada suamimu. Aku takut dia mengatakan pada Luciano dan berakhir nyawaku yang melayang.”Karissa sangat ingat tangan Shiena yang gemetaran ketika mengatakan semua.Karissa membuka matanya saat mendengar napas suaminya yang tenang di sampingnya.“Dia sudah tidur, kan?” tanyanya dalam hati.Karissa menoleh perlahan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi wajah lelaki itu. Luciano yang damai dalam tidur, namun tetap menyiratkan kegelapan yang tak pernah benar-benar hilang.Pelan, Karissa menyingkirkan tangan besar yang melingkar di perutnya.“Emh...” Luciano hanya merubah posissinya sedikit dan kembali terlelap.Karissa mulai bangkit, menahan napas agar tidak membangunkan pria itu. Tangannya terulur ke laci di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh benda lalu mengeluarkan.Kalung hitam yang diberikan oleh Ben dengan liontin berbentuk kepala serigala dan logo "W" terukir di dalamnya.Hatinya berdebar saat menatap benda itu di tel
Langkah Karissa terhenti ketika mendengar nama Luciano disebut. “Siapa yang berani menyebut nama itu di sini?” gumamnya.Saat ini, dia hendak mengambil jalan pintas menuju ke paviliun barat melewati taman yang sepi karena dekat dengan kamar jenazah. Dia penasaran dengan obrolan yang samar terdengar, Karissa pun mendekat.Orang yang pertama lihat adalah suaminya tengah meniupkan asapnya perlahan, lalu menyeringai sinis ke arah lawan bicaranya. "Damian, kamu di sini?" tanya Karissa memecah memecah keheningan. Keterkejutannya rupanya belum usai. Matanya membesar, napasnya tersengal melihat dua wajah identik yang terpampang di hadapannya."D-Damian? K-Kenapa kalian ada dua?!" Damian hanya menyeringai lebih lebar. Mata birunya bersinar seperti menikmati keterkejutan yang tercetak jelas di wajah Karissa. "Permainan ini akan segera usai," bisik Damian rendah, terdengar berbahaya. Sebelum Karissa bisa bereaksi lebih jauh, sebuah bayangan bergerak cepat dari belakang. Sergio menghantam te
“Apa? Dokter Shiena diserang?”“Iya, Dok. Dia mengalami luka tusuk di perutnya. Wajahnya juga banyak memar karena dipukuli.”Pagi itu Karissa baru saja berangkat praktek. Siapa sangka pasien pertama yang menjadi tanggungjawabnya pagi ini adalah Shiena. Buru-buru dia memakai jas putih, diambilnya berkas yang diberikan oleh perawat untuk dia baca sebentar.“Tidak sampai operasi?” tanya Karissa membaca hasil tindakan kemarin.“Iya, Dok. Luka tidak sampai mengenai organ vital. Pendarahan juga bisa dihentikan. Jadi pasien cukup dijahit setelah pembersihan,” jawab perawat.Karissa mengangguk lalu bergegas pergi ke kamar rawat inap Shiena. Kedatangannya tentu membuat atensi Shiena dan Ben tertuju ke arah pintu.“Shiena ....” Karissa mempercepat langkahnya dan Ben reflek memundurkan kursi rodanya, memberi ruang untuk wanita itu mendekat.Di atas ranjang putih itu, Shiena terbaring dengan memar yang sangat kontras dengan kulit pucatnya. Selain memar, bibirnya sedikit sobek di sudut, dan ada pe