Lee jelas tidak puas mendengar jawaban Charlene, padahal ia sudah melibatkan Winter untuk membantunya. Charlene memang memiliki alasan kenapa dirinya menjawab 'mungkin saja'. Namun, ia tidak akan mengatakan apa alasannya pada Lee.Setidaknya untuk saat ini. Tidak mungkin ia menanyakan pada bosnya itu mengenai malam di mana pertama kali Lee berkencan dengan Winter dan pulang dengan noda lipstik yang menempel pada kemeja pria itu, serta beberapa tanda merah di leher. Lee pasti akan menggodanya jika Charlene sampai menanyakan hal tersebut.Well, Charlene memang sangat penasaran. Semakin ia berusaha untuk mengabaikan hal itu, semakin besar pula rasa penasarannya. Winter memang sudah menyarankan padanya agar menanyakan hal itu secara langsung pada Lee."Bisa saja kau menyuruh Nona Frost untuk mengarang cerita," tuding Charlene."Memangnya keuntungan apa yang aku dapatkan dengan menyuruh Winter berbohong?""Agar aku bersedia menikah dengan Anda, sehingga Anda bisa menyelesaikan utang budi k
Lee baru saja keluar dari ruang kerjanya di penthouse. Pria itu bergegas naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar Charlene untuk mengingatkan gadis itu agar segera memindahkan pakaiannya ke kamar Lee. Ia menekan bel pintu kamar Charlene selama beberapa kali, tetapi pintu tetap tidak dibuka. "Ke mana dia?" Lee lantas merogoh ponsel dari saku celananya untuk menelepon gadis itu. Samar-samar Lee mendengar nada dering telepon. Ia menajamkan indra pendengarannya. Lee kemudian berjalan menuju ke arah ruang santai. Suara itu terasa semakin dekat hingga akhirnya Lee menemukan telepon genggam Charlene—yang sedang berdering itu—tergeletak di salah satu sudut sofa yang menghadap ke pemandangan perkotaan itu. Lee menjauhkan ponsel miliknya dari telinga tanpa mengakhiri panggilan, lalu memungut ponsel yang berada di atas sofa tersebut. Jelas itu merupakan ponsel Charlene. Telepon genggam tersebut tetap melantunkan nada deringnya dan berada dalam keadaan menyala. Lee melihat nama yang tert
"Iya. Kau saja yang melakukannya," ulang Lee.Charlene sontak menyuguhkan tawanya karena ia mengira Lee sedang bergurau. "Anda pasti bercanda." Ia memang tidak menganggap serius ucapan Lee. "Sudahlah, sini, kembalikan ponselku. Aku membutuhkannya." Charlene menadahkan tangannya ke hadapan Lee. Ia memang sangat membutuhkan benda tersebut, sebelum ia lupa berbicara pada Christine. Lee menurunkan pandangan ke arah tangan Charlene, lalu mengangkatnya kembali ke wajah gadis itu. "Untuk apa?" tanya Lee. Sama halnya seperti Charlene, terkadang ia juga dibayangi oleh rasa penasaran. "Astaga, Bosku!" Charlene merasa sangat gemas pada sikap bosnya yang membuat pertanyaan mubazir. "Jelas saja untuk menelepon atau mengirim pesan." "Menelepon dan mengirim pesan pada siapa?" buru Lee. Charlene menyipitkan pandangannya. Ia merasa pertanyaan Lee itu terlalu posesif. Namun, rasanya tidak masuk akal jika sikap posesif itu ditujukan untuknya. "Aku rasa itu adalah urusan pribadiku, Tuan Montana.
Pintu lift terbuka dan Charlene menemukan sosok yang telah ia tunggu sejak tadi. Tampak sosok itu tersenyum ke arahnya dan Charlene pun melempar kembali senyuman itu ke arah tamunya. "Tempat ini luar biasa sekali," ujar Christine seraya melangkah menuju ke arah Charlene yang sedang menunggunya di ruangan lift. Christine mengedarkan pandangan ke ruangan tersebut. Meski hanya berisi sedikit perabotan dan pernak pernik seperti tanaman dan patung, tetapi ruangan itu menunjukkan atmosfer kemewahan. "Ayo, kita masuk," ajak Charlene. Christine mengangguk dan sepanjang perjalanan menuju ke ruang tamu, tidak henti-hentinya ia terpukau melihat penthouse Lee. "Silakan duduk. Akan kuambilkan minuman dan kudapan dulu," ucap Charlene. Christine sempat mengangguk sebelum Charlene meninggalkannya sendirian di sana. Ia lantas menyibukkan diri dengan menyapu seisi ruangan tersebut, sembari menunggu Charlene. Tidak berapa lama kemudian Charlene muncul kembali dengan mendorong troli berisi min
Ada sebuah mitos yang dipercaya oleh masyarakat di Middle of Nowhere. Konon katanya, jika seseorang mengucapkan sebuah permohonan dan setelah itu terdengar suara petir, maka permohonan tersebut akan terwujud. *Flashback on* Charlene melangkah dengan tergesa-gesa sembari mengeratkan mantel yang ia kenakan. Jika saja ia tidak sedang menggunakan masker wajah karena sedang terserang flu, maka bisa dipastikan kalau udara yang meluncur keluar dari bibirnya akan terlihat seperti asap yang mengepul. Cuaca hari itu memang jauh lebih dingin dari sebelumnya, bahkan salju mulai memenuhi jalanan. Seharusnya tadi ia tidak menolak tawaran Christine yang ingin menjemputnya menuju ke Black Horse Hotel, tempat di mana mereka akan mengikuti seminar kepenulisan hari ini. Namun, Charlene berpikir jika Christine menjemputnya, temannya itu akan menempuh perjalanan yang berlawanan arah. Maka Charlene pun memutuskan untuk ke sana dengan menaiki bus. Resikonya adalah dia harus berjalan di tengah cuaca deng
"Siapa?" tanya Christine dengan nada yang direndahkan. "Bosku," balas Charlene dengan suara yang terdengar mirip berbisik. "What?!" Christine tidak mengeluarkan suara, tetapi gerakan bibirnya terbaca oleh Charlene. "Dari mana kau bisa tahu kalau itu adalah bosmu?" "Dari kancing." "Kancing?" Charlene mengangguk dengan tegas. "Saat dia menabrakku, aku tidak sengaja menarik mantelnya, sehingga kancingnya terlepas. Aku baru melihat mantel tersebut lagi kemarin, setelah yakin kalau memang kancingnya sama dengan kancing yang ada di tempatku." "Kancing yang ada di tempatmu? Maksudmu, kau masih menyimpan kancing itu? Charlene menyengir sembari menggaruk kepalanya yang—seperti biasa—tidak terasa gatal. "Iya," jawabnya. "Untuk apa kau menyimpan kancing itu?" Christine tidak mengerti kenapa Charlene menyimpan barang seperti itu. Kalau dia, pasti sudah akan dibuangnya. "Well, kebetulan ada salah satu mantelku yang kehilangan kancing dan ukurannya sama. Jadi, aku jahit saja kancing itu ke
"Kenalkan, aku adalah Brie Montana, adik kesayangan Lee." Brie menjulurkan tangannya, yang kemudian disambut oleh Charlene."Charlene Flynn."Ini adalah pertemuan pertama mereka dan jujur saja, Charlene belum bisa menilai apakah dirinya akan cocok dengan Brie atau tidak. Namun, Brie terlihat sangat ramah, seperti kedua orang tuanya. Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan sifat Lee yang dingin dan lebih banyak diam."Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," puji Brie. "Well, aku tidak menyangka jika ada wanita yang berhasil menaklukkan makhluk sekaku Lee."Ucapan Brie berhasil menerbitkan senyum di wajah Charlene. Ia lantas menoleh ke arah Lee yang berdiri di sampingnya dan menemukan wajah pria itu terlihat datar. Sepertinya Lee sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Brie."Menantu ... ku-." Panggilan dari Hana yang baru muncul dari arah dapur, sempat terputus ketika melihat Brie. "Oh, kau sudah datang rupanya. Kebetulan sekali, ayo bantu Ibu menyiapkan makan malam," tit
"Eh? Tidak. Mana boleh begitu. Ada keluargamu di sini. Sangat tidak sopan jika kita tidak menemani mereka." Charlene menyengir kaku. Ia sendiri tidak sadar dengan apa yang ia katakan. "Jadi, maksudmu kalau keluargaku sudah pergi, kita akan bercinta?" "Hah?! Tidak! Tidak." Charlene melambaikan tangannya dengan cepat di udara. "Aku tidak bilang demikian. Aku hanya mengatakan kalau tidak pantas kita bercumbu di saat sedang ada tamu." "Berarti pantas-pantas saja jika keluargaku sudah pergi, bukan?" desak Lee lagi. Ingin rasanya Charlene menangis karena salah bicara. "Tidak!" tegas Charlene sembari menyilangkan pergelangan tangannya. "Aku kembali ke kamar dulu. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan." Charlene bergegas menaiki tangga dengan setengah berlari. Ia tidak mengetahui jika Lee tersenyum setelah melirik ke arahnya yang lari terbirit-birit demi menghindari godaan pria itu. "Masih jual mahal," gumam Lee. Pria itu lantas menarik langkah ke arah dapur. Ia menemukan Hana d
Lee membuka pintu kamarnya dan menemukan Charlene berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang memeluk laptop dan memegang ponselnya. "Ada apa?" tanya Lee. "Nggg ... tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menanyakan apakah kau butuh sesuatu," kilah Charlene. Sejujurnya, bukan itu tujuannya menghampiri kamar Lee. Setelah pembicaraan mereka tadi pagi, malam ini ia berpikir untuk tetap tidur di kamar Lee—sesuai permintaan pria itu. Namun, begitu Lee telah berdiri di hadapannya saat ini, ia justru tidak sanggup mengatakan bahwa ia menerima tawaran pria itu dan mulai malam ini ia akan tidur seranjang dengan Lee."Tidak, aku tidak membutuhkan apa-apa," balas Lee.Charlene mengangguk. "Baiklah, kalau begitu, selamat malam." Charlene memutar tubuhnya 90 derajat, berniat kembali ke kamarnya.Namun, tangan Lee bergerak dengan cepat meraih lengan atas gadis itu. Langkah Charlene pun terhenti."Ada apa? Kau teringat jika membutuhkan sesuatu?" Giliran Charlene yang bertanya."Iya.""Kau lapar? in
"A-aku ...." Charlene tidak tahu harus menjawab apa. Ini sangat aneh untuknya.Lee terkadang sangat berbeda. Tidak, bukan berbeda. Sikap pria itu memang agak berubah dan Charlene tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi seperti saat ini. "Kenapa kau ingin aku tidur di sini? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta padaku." Antara ingin mencari penjelasan sekaligus mencairkan situasi yang terasa begitu canggung baginya saat ini.Mengenai Lee yang jatuh cinta padanya, jelas tidak mungkin. Charlene tidak memiliki jawabannya. Hanya saja memang mustahil jika Lee jatuh cinta padanya. "Apakah berdosa jika aku jatuh cinta padamu?"Deg!Seketika, keyakinannya tadi goyah setelah mendengar apa yang Lee katakan selanjutnya. Tidak! Tidak!Lee mungkin hanya mengerjainya saja. Pria itu pasti sedang bercanda. Setelah itu, seperti biasanya, Lee pasti akan mengeluarkan kata-kata yang mencemooh atau apa pun itu."Tidak. Kau berdosa jika hanya berniat mengejekku," ucap Charlene."Siapa bilang aku se
Charlene ingin menarik dirinya mundur. Namun, Lee mencegahnya dengan mempererat pelukannya. Ya! Posisi mereka saat ini sedang berbaring sambil berpelukan. "Lepas, Lee." Charlene mendorong dada pria itu. "Tidak, sampai kau tenang dulu." Lee tetap menahannya. Charlene masih terus menggeliat. Tidak mengacuhkan apa yang Lee katakan. "Teruslah melawan, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak ingin melukaimu." Ucapan Lee seketika itu sukses menghentikan serangan yang Charlene lakukan. Gadis itu berusaha mengumpulkan udara setelah tadi mengeluarkan cukup banyak tenaga agar bisa terlepas dari belenggu Lee. Charlene harus mendongak untuk bisa menatap netra pria itu. "Kau janji akan melepaskanku, bukan? Kenapa belum dilepaskan juga?" tuntut Charlene. "Akan kulepaskan asalkan kau tidak menyerangku lagi," tawar Lee. Charlene memejamkan matanya untuk mengatur emosinya. Ia lantas kembali membuka matanya untuk menatap mata Lee. "Aku janji tidak akan menyerangmu. Jadi tolong lepaskan ak
"Aturannya masih tetap sama. Jangan melewati batas yang telah aku buat," ujar Charlene. Ia lantas mengempaskan bokongnya ke atas tempat tidur Lee disusul dengan menghela napas. "Aku merasa belakangan ini ibumu terlalu sering menginap di sini." "Kenapa? Kau keberatan?" lontar Lee yang tengah bersandar pada kepala tempat tidur dengan tablet di tangan. Ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak Charlene ketahui. Namun, kini ia tengah mengalihkan tatapan dari tabletnya ke arah Charlene. "Tidak. Kenapa harus keberatan?" Charlene balik bertanya. "Ini rumahmu. Wajar jika ibumu datang dan menginap.""Kalau tidak keberatan, kenapa mengeluh?" tuding Lee."Aku tidak mengeluh," bantah Charlene.Ia bukan memang bukan mengeluh, tetapi hanya merasa ada sesuatu yang janggal dengan apa yang Hana lakukan."Apa yang kau pikirkan?" selidik Lee kala mendapati Charlene seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada." "Jangan berbohong. Kalau aku memaksamu untuk berkata jujur, nanti kau akan
Charlene menggeleng. "Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama." Lee menawarkan tangannya. Charlene hampir tidak berani bergerak, tetapi ia mengerling ke arah rekan kerjanya. Tidak perlu waktu yang lama baginya untuk memutuskan menyambut tangan Lee. Lebih cepat, lebih baik sebelum teman-temannya itu terkena masalah.Sebab, Charlene merasa Lee sedang marah. Hal itu membuatnya yakin jika Lee cukup banyak mendengar pembicaraan mereka. Lee pun menariknya pergi setelah tangan Charlene berada di dalam genggamannya.Charlene sempat menoleh ke arah rekan-rekan kerjanya hanya untuk melempar senyuman sembari memberi isyarat 'oke' dengan jari-jarinya, agar mereka tidak cemas. Lee lantas membawa Charlene menuju ke depan gedung kantor. Di sana sudah ada Marvin yang tampak stand by di samping mobil Lee. Mereka masuk ke dalam mobil dan Marvin pun melajukan mobilnya di tengah kepadatan lalu lintas di siang hari. Setelah beberapa saat berlalu, Charlene diam-diam melirik ke arah Lee yang duduk di
"Kenapa dia terlihat lesu?" tanya Charlene kala bergabung dengan rekan sekantornya di salah satu kafe kantor."Dia sedang patah hati karena akhirnya kau menikah dengan bos," terang Beatrice."Padahal dari awal aku sudah katakan padanya kalau dia bukanlah saingan bos," timpal Victor.Wajah Charlene menunjukkan tanda tidak nyaman dan serba salah."Kalian ini, jangan sembarangan bicara. Ronald hanya mengganggapku sebagai teman."Sementara itu, Ronald yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, sama sekali tidak memberikan komentar. Charlene pun menarik kursi yang ada di hadapan pria itu. "Kau tahu, kami cukup kesal karena kau tidak berkata jujur pada kami saat pertama kali bekerja di sini," tukas Rebecca yang duduk di sebelah Ronald. "Kenapa kau tidak terus terang mengatakan bahwa kau memang punya hubungan dengan bos?"Charlene menjadi semakin tidak enak. Teman-temannya menjadi salah paham dan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa dirinya memang tida
Charlene menatap Lee dengan mata menipis. Ia memang telah dibohongi Lee. Ugh! Harus terlihat romantis di depan Hana? Justru mertuanya itu jadi merasa mengganggu mereka. Charlene lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke Hana. Ekspresinya yang gusar kini telah berganti dengan senyuman. "Tidak, sama sekali tidak mengganggu." Hana tersenyum balik. "Apa kau sudah selesai mengupas kentangnya? Aku sudah menyajikan steak-nya ke atas meja makan," jelas Hana. Senyum Charlene mendadak lenyap. Ia melirik tajam ke arah Lee yang berdiri di belakangnya. Lee menatap balik ke arahnya tanpa rasa bersalah. Satu lagi kebohongan pria itu. Well, dia akan membuat perhitungan dengan suaminya nanti. "Belum. Sebentar lagi. Aku akan meminta Lee untuk membantuku," ujar Charlene. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Pieter dulu." Hana kemudian meninggalkan Charlene dan Lee di dapur. "Kau menipuku." Itu bukan pertanyaan dan Charlene bahkan belum menoleh ke arah Lee karena tatapannya masih tertuju ke amb
Charlene sedang menyiapkan makan malam di dapur bersama dengan Hana. Baru dua hari lalu, Charlene menikah dengan Lee, tetapi Hana sudah datanf untuk menginap. Bukannya Charlene merasa tidak nyaman dengan kehadiran Hana ataupun merasa keberatan. Ia justru sangat senang karena bisa mengobrol banyak hal dengan wanita paruh baya itu. Hanya saja, Charlene merasa sedikit aneh. Apakah Hana memang sengaja menginap di sana untuk memata-matai Charlene dan Lee? "Makan apa kita malam ini?" tanya Lee. Kemunculan Lee yang mendadak, sebenarnya tidak akan membuat Charlene terkejut seandainya pria itu tidak tiba-tiba memeluk tubuh Charlene dari belakang dan kemudian mengecup pelipis Charlene. Sontak saja sekujur tubuh Charlene terasa meremang. Ia melirik Lee dengan keberadaan wajah pria itu yang begitu dekat dengan wajahnya. Lee tersenyum menggoda. Menilai dari ekspresi pria itu, sepertinya Lee memang sengaja mengambil kesempatan itu agar dapat memeluk dan mencium Charlene. Charlene ingin marah, t
Charlene tidak tahu sejak kapan Lee menanggalkan penutup dada yang ia kenakan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain tadi. Namun, setelah menyadari apa yang tengah Lee lakukan padanya saat ini, membuat darah Charlene seakan bergejolak di dalam sana. Tubuhnya terasa panas dan tanpa ia inginkan, bagian bawah tubuhnya terasa sangat hangat.Lee mengisap bongkahan kenyal itu sambil memainkan puncak berwarna pink merona yang berada di dalam mulutnya, dengan menggunakan lingualnya. Sesekali Lee mengisapnya dengan sangat kuat, membuat tubuh Charlene menegang karena rasa nikmat. Kali lainnya, pria itu memindahkan bibirnya pada bagian bongkahan hanya untuk meninggalkan tanda kepemilikan di sana.Satu tangan Lee memilin puncak yang lainnya, mempermainkannya. Charlene merasa sangat basah. Hanya desahan dan lenguhan yang keluar dari bibirnya tanpa adanya penolakan."Lee ...," lirih Charlene. Tidak ada pria mana pun yang pernah menyentuhnya seintim ini, termasuk Axel. Namun, bukan berarti ia pol