Lee baru saja keluar dari ruang kerjanya di penthouse. Pria itu bergegas naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar Charlene untuk mengingatkan gadis itu agar segera memindahkan pakaiannya ke kamar Lee. Ia menekan bel pintu kamar Charlene selama beberapa kali, tetapi pintu tetap tidak dibuka. "Ke mana dia?" Lee lantas merogoh ponsel dari saku celananya untuk menelepon gadis itu. Samar-samar Lee mendengar nada dering telepon. Ia menajamkan indra pendengarannya. Lee kemudian berjalan menuju ke arah ruang santai. Suara itu terasa semakin dekat hingga akhirnya Lee menemukan telepon genggam Charlene—yang sedang berdering itu—tergeletak di salah satu sudut sofa yang menghadap ke pemandangan perkotaan itu. Lee menjauhkan ponsel miliknya dari telinga tanpa mengakhiri panggilan, lalu memungut ponsel yang berada di atas sofa tersebut. Jelas itu merupakan ponsel Charlene. Telepon genggam tersebut tetap melantunkan nada deringnya dan berada dalam keadaan menyala. Lee melihat nama yang tert
"Iya. Kau saja yang melakukannya," ulang Lee.Charlene sontak menyuguhkan tawanya karena ia mengira Lee sedang bergurau. "Anda pasti bercanda." Ia memang tidak menganggap serius ucapan Lee. "Sudahlah, sini, kembalikan ponselku. Aku membutuhkannya." Charlene menadahkan tangannya ke hadapan Lee. Ia memang sangat membutuhkan benda tersebut, sebelum ia lupa berbicara pada Christine. Lee menurunkan pandangan ke arah tangan Charlene, lalu mengangkatnya kembali ke wajah gadis itu. "Untuk apa?" tanya Lee. Sama halnya seperti Charlene, terkadang ia juga dibayangi oleh rasa penasaran. "Astaga, Bosku!" Charlene merasa sangat gemas pada sikap bosnya yang membuat pertanyaan mubazir. "Jelas saja untuk menelepon atau mengirim pesan." "Menelepon dan mengirim pesan pada siapa?" buru Lee. Charlene menyipitkan pandangannya. Ia merasa pertanyaan Lee itu terlalu posesif. Namun, rasanya tidak masuk akal jika sikap posesif itu ditujukan untuknya. "Aku rasa itu adalah urusan pribadiku, Tuan Montana.
Pintu lift terbuka dan Charlene menemukan sosok yang telah ia tunggu sejak tadi. Tampak sosok itu tersenyum ke arahnya dan Charlene pun melempar kembali senyuman itu ke arah tamunya. "Tempat ini luar biasa sekali," ujar Christine seraya melangkah menuju ke arah Charlene yang sedang menunggunya di ruangan lift. Christine mengedarkan pandangan ke ruangan tersebut. Meski hanya berisi sedikit perabotan dan pernak pernik seperti tanaman dan patung, tetapi ruangan itu menunjukkan atmosfer kemewahan. "Ayo, kita masuk," ajak Charlene. Christine mengangguk dan sepanjang perjalanan menuju ke ruang tamu, tidak henti-hentinya ia terpukau melihat penthouse Lee. "Silakan duduk. Akan kuambilkan minuman dan kudapan dulu," ucap Charlene. Christine sempat mengangguk sebelum Charlene meninggalkannya sendirian di sana. Ia lantas menyibukkan diri dengan menyapu seisi ruangan tersebut, sembari menunggu Charlene. Tidak berapa lama kemudian Charlene muncul kembali dengan mendorong troli berisi min
Ada sebuah mitos yang dipercaya oleh masyarakat di Middle of Nowhere. Konon katanya, jika seseorang mengucapkan sebuah permohonan dan setelah itu terdengar suara petir, maka permohonan tersebut akan terwujud. *Flashback on* Charlene melangkah dengan tergesa-gesa sembari mengeratkan mantel yang ia kenakan. Jika saja ia tidak sedang menggunakan masker wajah karena sedang terserang flu, maka bisa dipastikan kalau udara yang meluncur keluar dari bibirnya akan terlihat seperti asap yang mengepul. Cuaca hari itu memang jauh lebih dingin dari sebelumnya, bahkan salju mulai memenuhi jalanan. Seharusnya tadi ia tidak menolak tawaran Christine yang ingin menjemputnya menuju ke Black Horse Hotel, tempat di mana mereka akan mengikuti seminar kepenulisan hari ini. Namun, Charlene berpikir jika Christine menjemputnya, temannya itu akan menempuh perjalanan yang berlawanan arah. Maka Charlene pun memutuskan untuk ke sana dengan menaiki bus. Resikonya adalah dia harus berjalan di tengah cuaca deng
"Siapa?" tanya Christine dengan nada yang direndahkan. "Bosku," balas Charlene dengan suara yang terdengar mirip berbisik. "What?!" Christine tidak mengeluarkan suara, tetapi gerakan bibirnya terbaca oleh Charlene. "Dari mana kau bisa tahu kalau itu adalah bosmu?" "Dari kancing." "Kancing?" Charlene mengangguk dengan tegas. "Saat dia menabrakku, aku tidak sengaja menarik mantelnya, sehingga kancingnya terlepas. Aku baru melihat mantel tersebut lagi kemarin, setelah yakin kalau memang kancingnya sama dengan kancing yang ada di tempatku." "Kancing yang ada di tempatmu? Maksudmu, kau masih menyimpan kancing itu? Charlene menyengir sembari menggaruk kepalanya yang—seperti biasa—tidak terasa gatal. "Iya," jawabnya. "Untuk apa kau menyimpan kancing itu?" Christine tidak mengerti kenapa Charlene menyimpan barang seperti itu. Kalau dia, pasti sudah akan dibuangnya. "Well, kebetulan ada salah satu mantelku yang kehilangan kancing dan ukurannya sama. Jadi, aku jahit saja kancing itu ke
"Kenalkan, aku adalah Brie Montana, adik kesayangan Lee." Brie menjulurkan tangannya, yang kemudian disambut oleh Charlene."Charlene Flynn."Ini adalah pertemuan pertama mereka dan jujur saja, Charlene belum bisa menilai apakah dirinya akan cocok dengan Brie atau tidak. Namun, Brie terlihat sangat ramah, seperti kedua orang tuanya. Hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan sifat Lee yang dingin dan lebih banyak diam."Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," puji Brie. "Well, aku tidak menyangka jika ada wanita yang berhasil menaklukkan makhluk sekaku Lee."Ucapan Brie berhasil menerbitkan senyum di wajah Charlene. Ia lantas menoleh ke arah Lee yang berdiri di sampingnya dan menemukan wajah pria itu terlihat datar. Sepertinya Lee sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Brie."Menantu ... ku-." Panggilan dari Hana yang baru muncul dari arah dapur, sempat terputus ketika melihat Brie. "Oh, kau sudah datang rupanya. Kebetulan sekali, ayo bantu Ibu menyiapkan makan malam," tit
"Eh? Tidak. Mana boleh begitu. Ada keluargamu di sini. Sangat tidak sopan jika kita tidak menemani mereka." Charlene menyengir kaku. Ia sendiri tidak sadar dengan apa yang ia katakan. "Jadi, maksudmu kalau keluargaku sudah pergi, kita akan bercinta?" "Hah?! Tidak! Tidak." Charlene melambaikan tangannya dengan cepat di udara. "Aku tidak bilang demikian. Aku hanya mengatakan kalau tidak pantas kita bercumbu di saat sedang ada tamu." "Berarti pantas-pantas saja jika keluargaku sudah pergi, bukan?" desak Lee lagi. Ingin rasanya Charlene menangis karena salah bicara. "Tidak!" tegas Charlene sembari menyilangkan pergelangan tangannya. "Aku kembali ke kamar dulu. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan." Charlene bergegas menaiki tangga dengan setengah berlari. Ia tidak mengetahui jika Lee tersenyum setelah melirik ke arahnya yang lari terbirit-birit demi menghindari godaan pria itu. "Masih jual mahal," gumam Lee. Pria itu lantas menarik langkah ke arah dapur. Ia menemukan Hana d
"Sekali lagi, selamat atas pernikahan kalian."Itu adalah tamu terakhir mereka. Seperti yang Hana kehendaki, Lee dan Charlene akhirnya mengadakan pesta. Bukan pesta yang besar, tetapi sangat mewah dan private yang digelar di sebuah resort di tepi pantai.Mereka mengundang beberapa kolega penting, para kerabat, dan teman dekat. Charlene sendiri hanya mengundang Christine dan Lucy, sebab ia memang hanya mereka teman terdekatnya."Terima kasih," balas Charlene dan Lee secara bersamaan.Charlene menghela napas dan langsung mencari kursi terdekat untuk menaruh bokongnya."Lelah sekali." Ia memukul-mukul kedua kakinya yang terasa pegal karena telah berdiri selama berjam-jam.Para pelayan tampak sibuk mondar-mandir membereskan meja-meja dan berbagai peralatan serta perlengkapan. Malam sudah larut dan udara dingin dari pantai berembus menyentuh bahu Charlene yang terbuka. Saat itu ia mengenakan dress putih polos dengan panjang mencapai betis, yang terbuat dari satin dan bertali spaghetti.Lee