Seorang gadis dengan postur tubuh 155cm dan berat badan delapan puluh kilo menuruni tangga. Kali ini ada yang berbeda dengan penampakan Lilian. Satu stel seragam pencak silat warna hitam dengan ukuran triple XL membalut tubuhnya yang gemoy.
Ikat kepala warna putih melingkar di kepalanya yang terbalut kerudung senada dengan sabuk putih yang melingkar pinggangnya yang sama sekali tidak langsing.
Langkahnya terhenti di ruang tengah. Di sana, sosok Satrio sedang duduk bersandar di sofa dengan malas sembari menonton salah satu channel televisi.
Malam ini pria sombong itu tidak keluar. Setelah seharian penuh bercengkrama dengan mami dan papinya juga istrinya yang super super gemoy itu, Satrio tidak ingin pergi kemanapun.
"Mas!" panggilnya lantang.
Satrio melirik dengan ekor mata penampakan yang ada di hadapannya itu. Bibirnya menganga demi melihat sosok pendekar gemoy tersebut.
"Jadi ndak? Aku udah siap, Mas!" ucapnya.
Lilian bersedekap di depan suaminya dengan memasang wajah dingin dan datar.
"B-buuahahaha...." Suara tawa meledak tanpa bisa ditoleransi.
Melihat Lilian mengenakan seragam pencak silat, Satrio tidak tahan untuk tertawa. Apalagi ditambah dengan ekspresi sok dingin dan datar itu, membuat Lilian sama sekali tidak terlihat sangar, tapi justru sebaliknya.
"Haish, aku ini lagi serius loh, Mas!" Lilian menggerutu.
"Serius apa? Serius ngelawak? Hah?" Satrio masih tertawa geli.
Padahal Lilian sudah berusaha sekuat tenaga supaya terlihat sangar. Ternyata gagal total.
"Tadi siapa yang bilang mau ngajak WAR? Aku sudah siap, Mas!" Lilian memasang kuda-kuda.
"Jiiaahahaha...." Sekali lagi, gemuruh tawa tidak lagi bisa dibendung. Ledakan yang lebih besar dan lebih riuh dari sebelumnya. Ditambah lagi dengan sedikit bumbu mengejek dan mengolok-olok.
"Stop, Mas! Jangan tertawa!" Lilian merasa kesal.
"Memangnya aku ini badut? Kenapa diketawain!" semburnya galak dengan bibir manyun beberapa senti.
Satrio yang tadi duduk bersandar dengan malas kini harus terbungkuk-bungkuk karena tertawa sambil memegangi perutnya.
"Hedeh.... Ha-ha-ha...."
Lilian mendengus kesal.
Akhirnya dia menghempaskan bokongnya di salah satu sofa di ruang tengah. Padahal dia sudah siap untuk WAR. Eh, Satrio malah meremehkan dirinya.
"Tertawa aja sepuas kamu, Mas."
Serta merta, dia meraih remote televisi dan memindahkan channel televisi favoritnya. Acara dangdut campur sari di salah satu stasiun favoritnya sudah dimulai.
"Nah, berhubung acara ini sudah dimulai. WAR kita tunda dulu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, Mas." Raut wajah kesal sudah memudar berganti dengan senyum lebar sambil bergoyang ketika irama musik campur sari di televisi.
Satrio memutar bola mata malas.
"Haish, lama-lama rumah ini jadi nggak waras, karena ikut goyang koplo!" dengus Satrio kesal.
Tanpa sadar, Lilian telah membawa trend baru di rumah ini. Biasanya, Satrio memutar musik klasik kesukaannya. Sekarang telinganya harus ternoda dengan dangdut koplo. Huh, benar-benar meresahkan.
Satrio bergegas bangkit. Kupingnya sudah tidak bisa lagi memberi toleransi musik koplo yang terus melesak ke dalam gendang telinga.
Sebelum dia ikut bergoyang koplo, lebih baik dia masuk kamar dan menguncinya baik-baik. Kenapa rumah ini menjadi berubah meresahkan sejak kehadiran Lilian?
Seharusnya dia yang harus membuat Lilian tidak nyaman di rumah ini, kenapa jadi kebalik begini?
Satrio lagi-lagi hanya bisa mendengus kesal. Lain kali dia akan mengajak Sherly ke rumah ini untuk membalas Lilian. Gadis gendut itu harus diberi pelajaran sekali-kali.
"Mau kemana, Mas?" tanya Lilian heran.
"Pergi lah! Lama-lama aku bisa kecanduan musik koplo," sahutnya kesal.
"Bagus kan, Mas? Daripada kecanduan selingkuh dengan pelakor!" sindir Lilian.
"Siapa yang selingkuh!" Satrio merasa kesal dengan sindiran Lilian.
"Ya, kamu lah, masak aku!" Tanpa sengaja Lilian melihat foto seorang gadis cantik yang dijadikan wallpaper di laptop Satrio. Lilian yakin seratus persen gadis itu pastilah yang disebut oleh Satrio sebagai kekasih beberapa hari yang lalu.
"Aku nggak pernah selingkuh, Bloh! Dia itu dari dulu memang kekasihku! Jauh sebelum aku kenal kamu! Jadi, kamu nggak berhak ngatur-ngatur hidupku, meskipun statusmu itu adalah istriku, itu hanya status! Ingat itu, Sebloh!"
Pada akhirnya, WAR antara Satrio dan Lilian tidak jadi ditunda.
Kali ini Satrio benar-benar marah. Dia merasa tersinggung disebut selingkuh oleh Lilian. Sejak dulu dia setia dengan Sherly. Seharusnya dia marah pada Lilian, orang yang telah merusak kesetiaan Satrio yang tadinya full untuk Sherly, sekarang harus dibagi dengan Lilian.
Apalagi, tadi Lilian menyebut Sherly sebagai pelakor. Satrio jelas tidak terima.
"Harusnya yang marah bukan kamu, Li! Harusnya Sherly yang marah. Kamu udah membuat jadwalku hari ini kacau." Satrio tidak bisa menahan diri jika Sherly dihina. Dia adalah satu-satunya wanita yang dicintai Satrio dalam hidupnya.
"Satu lagi, jangan pernah sebut Sherly sebagai pelakor! The real pelakor itu adalah kamu, Li! Cam kan itu!" Selepas berkata demikian, Satrio beranjak pergi tanpa menoleh.
Dia tidak bisa membiarkan siapapun menghina kekasihnya. Sherly kekasih yang telah berhasil membuat hati Satrio terpikat sampai sedalam itu.
Hari ini Sherly terpaksa bersabar karena rencana mereka harus gagal total.
"Halo, Dek," sapa Satrio selepas menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Mas Satrio, malam ini nggak datang?" Suara dari seberang yang terdengar lembut segera menyapa gendang telinga Satrio.
Aah, betapa dia merindukan suara dan wajah Sherly hari ini.
"Besok pagi saja, ya. Sebelum ke kantor, Mas mampir ke apartemen kamu. Hari ini Mas capek banget, Dek," jawab Satrio meminta pengertian Sherly.
"Mas Satrio nggak macem-macem sama dia kan? Sherly nggak suka kalau Mas Satrio deket-deket dia, Mas," rajuknya.
"Ya, enggak mungkin macem-macem lah, Dek. Baru lihat bentukan body-nya saja Mas Satrio udah eneg nggak nafsu, Dek." Satrio mencoba meyakinkan.
"Bener, ya. Sherly sedih loh, Mas. Pokoknya, jika sudah memungkinkan, Mas Satrio harus segera menceraikan gadis gendut itu. Sherly udah nggak sabar menunggu hari pernikahan kita, Mas." Wajah gadis cantik yang ada di layar ponsel Satrio itu mengerucutkan bibirnya.
"Iya, Sayang. Mas juga udah nggak sabar. Eum, tapi kan kamu tahu sendiri, papi aku kek gimana, kan?" ucap Satrio lembut.
"Kenapa bukan Bintang saja yang menikahi Lilian? Dia kan masih jomlo! Kenapa harus Mas Satrio?"
Sampai hari ini, Sherly masih terus mempertanyakan pernikahannya dengan Lilian. Dia merasa semua ini tidak adil untuknya.
Mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun, tiba-tiba harus kandas begitu saja hanya karena sebuah janji dari Haryo Sasongko. Itu sangat tidak adil untuk Sherly.
"Sabar, Dek. Pelan-pelan aku akan bicara dengan papi. Kamu yang sabar, ya." Satrio masih berusaha meyakinkan Sherly bahwa semua ini akan segera berakhir.
Saat dirinya berhasil menjelaskan pada papinya tentang cintanya pada Sherly.
"Bener, ya, Mas. Jangan sia-siakan pengorbanan yang udah aku lakukan untuk kamu, Mas," rajuknya.
"Iya, Dek. Apa kamu nggak percaya kalau aku itu cinta banget sama kamu, Dek. Pokoknya, Mas Satrio akan memperjuangkan cinta kita, Dek."
Sherly tersenyum puas setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Satrio. Dia sangat yakin bahwa Lilian hanyalah ujian untuk cinta mereka. Gadis gendut itu akan segera menghilang cepat atau lambat.
"Okay, Mas. Aku percaya kamu."
"Jangan matiin telponnya, Dek. Aku pengen tidur sambil denger suara kamu, Dek," pintanya.
Tak peduli suara dangdut koplo yang riuh terdengar dari televisi yang ada di ruang tengah. Satrio sama sekali tidak peduli.
Baginya, saat sudah mendengar suara Sherly yang manja dan lembut itu, sudah berhasil menjadi pengobat rasa kesal pada kejadian sebelumnya.
Lilian dengan segala tingkah konyolnya hari ini sudah menguap begitu saja. Satrio masih terus meyakinkan dirinya bahwa gadis itu hanya tamu yang mampir sebentar di rumahnya. Dia akan segera mengusirnya dari rumah ini setelah berhasil meyakinkan sang Papi tentang cintanya pada Sherly.
Sementara di ruang tengah. Lilian masih mengerucutkan bibirnya kesal.
"Kamu itu kok aneh to, Mas. Jelas-jelas wanita itu yang pelakor. Bisa-bisanya malah aku yang kamu sebut pelakor," omelnya.
"Serba kewolak-walik. Aku yang istri sah malah disebut pelakor. Beuh, dunia terbalik!" lanjutnya.
Gadis gendut itu bangkit dari duduknya masih dengan muka bersungut-sungut. Dia melangkah menuju kulkas. Barangkali suaminya itu sudah beli kue lagi. Dia harus makan untuk mengganti rasa kesal yang dirasakan saat ini.
Benar, begitu dia membuka kulkas. Ada kotak kue red velvet baru. Kue yang tadi pagi hanya tersisa tiga potong sudah dihabiskan oleh Satrio.
"Aah, malam ini dengan berat hati aku memaafkan kamu, Mas. Sebagai kompensasi, aku akan makan kue milik kamu lagi. Lagian salah sendiri, ngapain coba bikin aku kesel." Lilian memakan satu demi satu kue red velvet itu tanpa dosa.
Bahkan dia menganggapnya sebagai pengganti energi yang telah dikeluarkan untuk memikirkan hal yang tidak penting yang membuat hatinya stres.
"Kalau mau marah, marah aja sekalian, Mas. Terserah kamu! Aku ndak peduli lagi!" keluhnya kesal.
Meskipun belum ada rasa cinta yang ada di dalam hati Lilian untuk Satrio. Namun dia juga kesal karena merasa tidak dihargai. Hanya demi seorang gadis yang bernama Sherly itu, Satrio sampai harus menyebutnya dengan kata pelakor. Lilian jelas tidak terima.
"Kalau besok pagi masih mau melanjutkan WAR lagi, silakan. Aku bakal ladenin kamu, Mas," omelnya.
Seperti biasanya, Lilian hanya menyisakan tiga potong di kotak kue itu.
"Baiklah, aku tunggu double kill dari kamu, Mas. Aku udah ndak peduli kamu mau ceraikan aku sekarang apa besok. Terserah!" geramnya.
Nasibnya lebih mengenaskan dari diputuskan sepihak. Dia saat ini digantung seperti jemuran belum kering.
Menyebalkan!
Bersambung
Mobil sedan mewah milik Hendro Satrio Haryo Sasongko meluncur memasuki halaman luas di rumah mewahnya. Wajah pria tampan itu terus menyunggingkan senyuman, karena sore ini ada yang tidak biasa.Ya, sore ini Satrio mengajak Sherly pulang. Dia sengaja melakukan hal ini untuk membalas semua rasa kesal pada Lilian semalam.Istri gendutnya itu semakin tidak tahu diri. Selain meminta kompensasi yang besar, Lilian bahkan tanpa sungkan menyindirnya melakukan selingkuh. Tentu saja Satrio tidak terima.Selama ini dia setia dengan Sherly. Bahkan bisa dibilang, Sherly adalah satu-satunya wanita yang dicintainya. Adapun jika Satrio sampai menikah dengan Lilian, itu adalah sebuah musibah yang sama sekali tak diinginkannya."Masuk, Dek Sherly! Anggap aja rumah sendiri," ajak Satrio pada seorang gadis cantik berpakaian seksi yang diajaknya pulang sore ini.Keduanya melangkah memasuki rumah sambil bergenggaman tangan, mesra. Satrio tidak melepaskan pandangan pada wajah cantik Sherly sedikit pun. Mema
Suara Satrio yang menggelagar kembali memecah keheningan. Dari nada suaranya yang terdengar penuh kebencian, Lilian sudah bisa membayangkan wajah Satrio yang sombong itu semakin terlihat menyeramkan. "Kok kayak rahwana ae to, Mas. Suaranya serem." Lilian mendengus mendengar suara suaminya. Padahal dia bicara dengan pelakor dengan suara yang begitu lembut. Giliran bicara dengan istrinya kasar.Lilian bersiap untuk keluar kamar. Sembari menunggu mertuanya datang, dia harus menghadapi mereka sendiri terlebih dahulu. Selebihnya, biar mertuanya yang menyelesaikan."Untuk menjadi istrimu memang harus bermental baja, Mas. Harusnya kemarin aku minta bayaran lima puluh juta sebulan, biar setimpal," sesal Lilian. Apa boleh buat, surat kontrak sudah ditandatangani dengan nominal tiga puluh juta. "Ya, udah lah. Aku cukup bakoh kalau hanya untuk menghadapi kamu dan pelakor tidak ada akhlak itu, Mas." Lilian mengepalkan tangannya, menyemangati dirinya sendiri.Akan berhadapan dengan sosok pelak
"Cari terus sampai dapat, Mbak! Kasihan menantu saya ini phobia dengan tikus." Haryo Sasongko terus memberi instruksi. "Baik, Pak." Terlanjur basah, pilihan terbaik bagi Sherly adalah sekalian masuk ke dalam air biar basah kuyup. Dia tidak punya pilihan untuk berbalik arah. Di depannya, sang Papi dari kekasihnya menganggapnya sebagai jasa pengusir tikus. Apa boleh buat, Sherly harus terima. Terlalu beresiko jika hari ini dia mendapat penilaian buruk dari calon mertuanya itu, maka di masa depan dia tidak diterima sebagai menantu. Mengingat hal tersebut, Sherly harus menelan bulat-bulat rasa kesal di hatinya. Dalam hati, dia hanya berharap dua orang tua Satrio itu segera pergi dari rumah ini. Namun, ternyata setelah satu setengah jam berlalu. Papi dan Mami masih duduk dengan begitu santai di ruang makan. Dari sana, mereka berbincang dengan begitu hangat. Sesekali, menoleh ke arah Sherly dan memberi instruksi. "Belum ketemu tikusnya, Mbak? Katanya profesional, tapi kok kayak ngga
"Maaf, Pak. Saya tidak menemukan tikus satu pun di sini," lapor Sherly sambil terengah-engah. Dia sudah tidak tahan lagi dengan situasi menyedihkan yang sedang dialaminya.Haryo menoleh. Wajah pria tua itu terlihat tidak suka ketika menatap Sherly. Dia tidak suka mendengar laporan Sherly yang tidak berhasil menemukan tikus satu pun. Jelas-jelas, menantunya ketakutan gara-gara tikus. Masak tenaga ahli pengusir tikus tidak berhasil mengusirnya.Sungguh keterlaluan."Anda sama sekali tidak profesional, Mbak. Kenapa agensi bisa kirimkan orang nggak punya pengalaman seperti Anda, Mbak." Haryo mendegus.Jujur, dia tidak suka mendapatkan pekerja profesional tapi tidak berpengalaman seperti gadis yang datang ke rumah mereka saat ini.Tak urung, Haryo mengomelinya habis-habisan dan menyalahkan dirinya atas ketidakprofesionalan Sherly. Sebagai tenaga ahli pemburu tikus ternyata tidak memberi hasil yang diinginkan."Nama kamu siapa, Mbak?" tanya Haryo mencecar dengan pertanyaan."Sherly, Pak."
Begitu Haryo dan Fatimah pulang, Satrio sudah tidak bisa menahan diri. Dia menarik tangan Lilian kasar setelah mengunci pintu.Sepasang netra elang Satrio menatap Lilian penuh permusuhan. Dia tidak terima melihat kekasihnya yang sangat dicintainya terlihat menyedihkan di depan orang tuanya."Hati kamu benar-benar busuk, Bloh!" raungnya tak terkendali."Apa maksud kamu, Mas?" Lilian bertanya acuh tak acuh, seakan tidak merasa tindakannya tadi adalah sebuah kesalahan fatal di mata Satrio."Kamu sengaja mempermalukan Sherly, hah?" semburnya. Kali ini dia tidak bisa menolerir apa yang dilakukan Lilian.Dia menatap Lilian dengan tatapan membunuh. Andai saja dia bisa membunuh hanya dengan pandangan matanya itu, mungkin Lilian sudah mati berkali-kali. Satrio sudah sejak tadi sore menahan kemarahan. Kali ini dia pasti akan melampiaskan kemarahan itu tanpa menahannya sedikit pun."Aku nggak paham dengan maksud kamu, Mas?" Lilian masih sok polos.Dia mengibaskan tangannya yang dicengkeram erat
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Fatimah masih penasaran karena Bintang dan Lilian bisa pulang bersama. Ketika keduanya turun dari mobil, Fatimah sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Lilian dan Bintang."Kalian kok bisa barengan?" Fatimah mengulang pertanyaan."Ndak sengaja ketemu di jalan tadi, Mih. Ban mobil Lilian bocor, Dek Bintang yang bantu ganti ban." "Tadinya aku nggak tahu kalau dia ini istrinya Mas Satrio, Mi."Sosok Bintang yang tinggi dengan bentuk tubuh proporsional beranjak mendekati Fatimah dengan senyuman semringah. "Makanya kok nggak sampai-sampai, ternyata kebanan to, Nduk?" Fatimah menatap simpati."Nggeh, Mi. Pas lagi buru-buru malah ban bocor. Coba tadi Dek Bintang nggak bantu ganti ban," sahutnya."Alhamdulillah, kamu ini memang wong bejo, Nduk. Dimana-mana banyak orang yang welas, karena kamu orang baik." Bintang melirik kakak iparnya yang hanya bisa tersenyum canggung mendengar pujian demi pujian dari mertuanya. "Yowes ayo kita masuk. Papi udah nunggu kita di dalam." Bintan
Satrio masih sibuk di depan laptop saat ponselnya yang tergeletak di meja kerja bergetar. Meski kesal karena merasa terganggu dengan dering ponsel, Satrio tetap meliriknya. Sebuah nama yang cukup akrab menyembul di layar ponsel yang menyala."Bintang? Tumben nelpon? Katanya nggak jadi pulang?" Dahinya mengernyit heran. Rasa kesal yang tadi hadir, seketika menghilang.Gegas, Satrio menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Dek. Gimana?" sapanya."Mas, hari ini aku jadi pulang, ya." Suara di seberang segera terdengar beberapa detik kemudian."Loh, loh. Katanya masih sibuk, nggak jadi pulang. Kok tiba-tiba berubah?" Dahi Satrio mengernyit dalam."Kebetulan agak luang hari ini dan besok, jadi aku pulang, Mas." Bintang yang berprofesi sebagai pilot dengan penerbangan internasional, beberapa bulan ini tidak bisa pulang ke Solo. Alih-alih pulang ke Solo, jadwalnya sangat padat."Cuma dua hari emang kamu nggak pilih rehat di hotel saja? Kalau maksa pulang capek di jalan, Dek?"
"Bu Lilian, sampeyan dari kemarin kenapa terlihat tak bersemangat?" tegur Erni saat melihat Lilian berwajah kuyu tak seperti biasanya.Lilian yang menyandarkan kepalanya di meja, seketika menegakkan tubuh mendengar sapaan temannya. "Aah, endak, Bu. Cuma lagi pusing saja saya, Bu." Sejak kemarin, ada hal berat yang menjadi pemikirannya. Masalah rumah tangganya dengan Satrio membuatnya tertekan. Salah satu alasan kenapa Satrio tidak bisa menerima keberadaan Lilian sebagai istri sahnya adalah karena penampilan Lilian yang tidak menarik. Bagaimanapun, fisik juga merupakan salah satu poin penting. Satrio adalah pimpinan perusahaan, selain itu dia mempunyai fisik yang sempurna. Sementara Lilian, berpenampilan seperti karung beras seperti ini, Satrio pasti sangat malu kalau mengakui Lilian sebagai istrinya.Wanita gendut itu ingin merubah penampilan supaya terlihat lebih menarik. Paling utama, Lilian merasa sangat tidak nyaman dengan berat badannya yang melebihi ambang batas ini. Sebelu
"Nduk, bukain gerbangnya!" Terdengar suara Haryo ketika Lilian sedang menyapu halaman pagi ini.Sontak, Lilian menoleh. Di luar sana, sepasang pria dan wanita paruh baya yang mengenakan pakaian olah raga tampak letih. Mereka adalah Fatimah dan Haryo."Loh, Mih, Pih. Tumben pagi-pagi udah nyampai sini," seru Lilian sambil berjalan menuju pintu gerbang dan gudang membukanya."Namanya juga jogging ya pagi-pagi, Li. Masak iya kita jogging siang-siang," sahut Fatimah.“Iya, juga, ya. Kalau siang-siang bukan jogging, ya, Mih,” celetuk Lilian."Emang kalau siang apaan, Li?" tanya Haryo iseng."Kalau siang lari-lari, mungkin dia lagi lari dari kenyataan. Hehe...." "Hehe, kamu ini ada-ada saja, Li." Haryo tertawa kecil mendengar ucapan menantu kesayangannya itu. Fatimah yang ada di samping Haryo juga ikut tertawa. “Alhamdulillah, sudah sampai sini,” ujar Haryo menghela napas lega.Keduanya duduk di kursi teras untuk melepas lelah. Bisa dibilang, jarak antara rumah mertuanya menuju tempat ini
Lilian sedang menyiapkan makan malam di meja ketika Satrio datang. Hari sudah beranjak malam, Satrio baru pulang. Tanpa harus memberi penjelasan Lilian sudah bisa menebak apa yang terjadi.Pemandangan tadi siang saat di restoran kembali berputar. Dia melihat Satrio begitu lembut memperlakukan Sherly. Sedalam apa hubungan keduanya dia juga sudah bisa melihat. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Jika dalam sebuah novel, mungkin saja dia hanyalah menjadi tokoh antagonis yang menjadi pihak ketiga yang menguji ketulusan cinta Satrio dan Sherly. Lilian benci saat memikirkan hal tersebut."Makan malam, Mas," sapanya begitu melihat Satrio melangkah acuh tak acuh menuju kamarnya."Aku sudah makan di apartemen Sherly." Satrio menjawab dingin. Bahkan dia tidak perlu repot-repot untuk menoleh ke arah Lilian. Lilian sama sekali bukan fokus Satrio. Sekedar basa-basi pun Lilian tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkannya."Makan dikit aja, Mas. Aku udah terlanjur masak untuk kita berdua,
Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t