Mobil sedan mewah milik Hendro Satrio Haryo Sasongko meluncur memasuki halaman luas di rumah mewahnya. Wajah pria tampan itu terus menyunggingkan senyuman, karena sore ini ada yang tidak biasa.
Ya, sore ini Satrio mengajak Sherly pulang. Dia sengaja melakukan hal ini untuk membalas semua rasa kesal pada Lilian semalam.
Istri gendutnya itu semakin tidak tahu diri. Selain meminta kompensasi yang besar, Lilian bahkan tanpa sungkan menyindirnya melakukan selingkuh. Tentu saja Satrio tidak terima.
Selama ini dia setia dengan Sherly. Bahkan bisa dibilang, Sherly adalah satu-satunya wanita yang dicintainya.
Adapun jika Satrio sampai menikah dengan Lilian, itu adalah sebuah musibah yang sama sekali tak diinginkannya.
"Masuk, Dek Sherly! Anggap aja rumah sendiri," ajak Satrio pada seorang gadis cantik berpakaian seksi yang diajaknya pulang sore ini.
Keduanya melangkah memasuki rumah sambil bergenggaman tangan, mesra. Satrio tidak melepaskan pandangan pada wajah cantik Sherly sedikit pun. Memandang wajah Sherly seakan sudah menjadi candu yang sulit untuk ditinggalkan.
"Rumah kamu bagus banget, Mas," puji Sherly.
"Rumah ini akan semakin indah jika kamu yang menjadi ratunya, Dek." Rayuan gombal amoh meluncur dari bibir Satrio.
"Kamu mang ahlinya, Mas. Kalau muji pasti bikin klepek-klepek." Sherly tertawa renyah.
"Mas nggak muji kamu, Dek. Aslinya memang kamu cantik, bikin hati Mas selalu berbunga-bunga tiap ada di dekat kamu," sahut Satrio.
"Gombal!" tukasnya sambil tersenyum bangga.
Siapa yang tidak bangga, Satrio ini adalah putra pertama dari pemilik Perusahaan periklanan yang ternama di negeri ini. Sebelumnya, saat mereka masih di luar negeri, perusahaan mereka dikelola oleh orang lain. Aset kekayaan keluarga Haryo Sasongko ada dimana-mana.
Bisa menjadi istri dari Satrio akan diidam-idamkan para wanita. Tak terkecuali Sherly.
Baru pertama kali ini dia masuk di rumah Satrio. Selama mereka berpacaran Satrio tidak pernah membawa Sherly ke rumah. Mereka biasa janjian di restoran atau tempat lain yang mereka inginkan.
"Kalau kita udah menikah nanti, kamu juga akan tinggal di sini, Dek." Satrio mengulas senyum tipis.
"Iya, Mas. Rumah ini akan jadi milik kita kalau kita menikah. Aku udah nggak sabar, Mas. Kapan Mas Satrio menceraikan si gendut itu?" rajuknya manja.
Saat mendengar Satrio menikahi Lilian, Sherly mengamuk sejadi-jadinya. Dia tidak terima kekasihnya menikahi wanita lain. Namun, Satrio mencoba untuk meyakinkan bahwa semua ini hanya sementara. Pemuda tampan itu membutuhkan waktu untuk menyampaikan semua ini kepada papinya.
"Segera setelah Papi setuju, Sayang. Kamu harus bantu Mas berdoa supaya Papi terbuka hatinya." Satrio berkata penuh harap.
"Gimana dong, Mas. Aku udah nggak sabar nunggu." Sekali lagi, Sherly merajuk. Mereka sudah berpacaran selama bertahun-tahun.
Dulu, Satrio butuh waktu untuk mempersiapkan diri untuk memperkenalkan Sherly kepada keluarganya. Apes, malah keduluan Haryo Sasongko memerintahkan Satrio untuk menikahi Lilian tanpa konfirmasi.
"Mas Satrio sedang berusaha untuk meyakinkan Papi, Dek. Kamu sabar dulu, ya, Dek."
"Iya, Mas. Tapi jangan lama-lama. Nanti kalau aku udah nggak sabar dan dilamar orang, Mas Satrio bakal nyesel seumur hidup!" ancam Sherly sambil manyun.
Satrio tertawa kecil mendengar ucapan Sherly yang sedang merajuk.
"Mas Satrio ambilkan minum dulu, ya, Dek!" Satrio melangkah menuju dapur akan mengambilkan minuman untuk Sherly.
Sherly mengekori langkah Satrio sembari menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruangan mewah yang dipenuhi dengan furniture serba mewah. Sherly terpukau dengan kemewahan rumah Satrio.
Tatapan takjub terlihat jelas berkilat di mata Sherly. Siapa yang tidak mau mempunyai seorang suami seperti Satrio? Sudah tampan, hidupnya mapan. Satrio sangat sempurna untuk menjadi suami.
Sherly membayangkan betapa hidupnya akan bahagia dan sejahtera jika menjadi istri Satrio. Namun, saat ini dia masih harus bersabar. Masih ada wanita yang saat ini menempati posisi yang diinginkan oleh Sherly.
"Kamu harus segera pergi dari rumah ini, wanita kampungan!" geram Sherly. Tangannya mengepal erat.
"Bagaimanapun, Kowe harus segera minggat dari rumah ini, Sebloh. Kalau aku udah nggak sabar, tak kruwes-kruwes awakmu sampai hancur lebur!" gumam Sherly. Tanduk di kepala muncul mengerikan saat mengatakan kalimat tersebut.
Semua rencana pernikahan yang dulu sempat direncanakan olehnya dengan Satrio harus kandas begitu saja. Semua itu gara-gara gadis gendut bernama Lilian Sudirgo.
"Dia dimana, Mas?" tanya Sherly penasaran.
Sejak beberapa menit lalu dia masuk rumah ini, batang hidung gadis bernama Lilian itu belum kelihatan.
"Siapa?" tanya Satrio yang sedang menuang sirup ke dalam gelas menoleh sekilas.
"Istri kamu lah, Mas. Si Sebloh itu, siapa lagi memangnya?" dengus Sherly kesal. Dia paling tidak suka menyebut nama Lilian. Panggilan yang paling disukainya untuk menyebut Lilian adalah Sebloh.
"Entah, Dek. Mas nggak peduli dia dimana juga." Satrio menjawab tak acuh.
"Kamu ini gimana to, Mas. Punya istri kok nggak dicek keberadaannya. Nanti kalau diculik orang gimana?" Sherly tertawa kecil. Dia merasa puas melihat Satrio mengacuhkan Lilian.
Menurutnya, hal itu sudah benar. Satrio tidak boleh memberikan perhatian pada Lilian sedikit pun.
"Istri bohongan doang, Dek. Kalau bukan karena Papi, aku nggak akan pernah mau menerima pernikahan ini," sembur Satrio.
Setiap kali membahas Lilian, hanya akan membawa pengaruh buruk bagi pikirannya. Satrio jadi semakin emosional.
"Aku doakan supaya kalian cepat cerai, ya, Mas," sahut Sherly antusias.
"Aamiin. Makasih, Dek."
Satrio melangkah menuju lemari es yang ada di sana. Dia bermaksud mengambil kotak red velvet yang dibelinya kemarin malam. Satrio sudah kecanduan dengan kue red velvet. Jadi, tidak akan pernah ada hari tanpa mengonsumsi kue tersebut.
Sudah barang tentu, di kulkas selalu ada stok untuk hari berikutnya. Semalam dia sengaja beli untuk dimakan hari ini.
Wajah pemuda tampan itu mengernyit saat mengangkat kotak kue kesukaannya itu terasa ringan.
"Jangan bilang kalau semalam kamu makan kue punya aku lagi, Bloh!" tuduhnya curiga.
Benar saja, ketika dia membuka kotak itu, ternyata isinya tersisa tiga potong seperti biasanya.
Satrio mendengus kesal. Kali ini dia tidak bisa memberi toleransi. Hari-harinya selalu diprank oleh Lilian.
"Seblooohhh...." Teriakan nyaring bergema di seluruh penjuru rumah.
Lilian yang mendengarnya hanya mengintip dari ambang pintu kamarnya di lantai atas. Gadis gemoy itu melihat Satrio dan seorang gadis cantik sedang berada di bagian dapur. Sepertinya Satrio benar-benar telah memulai perang dingin dengannya.
"Apa itu yang namanya Sherly?" gumamnya pelan sambil mengamati kecantikan wanita yang dicintai oleh suaminya tersebut dari sana.
"Aah, cantik banget kayak bintang film. Layak Mas Satrio tergila-gila sama dia," dengusnya.
Jika Lilian disuruh berdiri berdampingan dengan Sherly. Sudah barang tentu mereka tidak satu level. Keduanya seakan berasal dari kasta fisik yang jauh berbeda.
Hati Lilian sudah terbakar penuh cemburu. Bagaimana pun, Lilian adalah istri sah Satrio. Dia tentu saja merasa tidak dihargai dengan kelakuan Satrio hari ini.
"Baiklah, Mas. Kamu sudah berani bawa pelakor itu pulang ke rumah kita," runtuk Lilian kesal.
Seharusnya Satrio tidak melakukan hal itu. Meskipun Satrio tidak mencintai dirinya. Minimal dia harus menghargai Lilian sebagai Ratu di rumah ini.
Lilian terlihat berpikir beberapa saat. Sepertinya dia sedang mempertimbangkan sikap apa yang harus diambilnya untuk memberi pelajaran kepada mereka berdua.
Lilian menjentikkan jari, ada lampu yang menyala di kepalanya. Dia telah menemukan ide untuk mengerjai Sherly dan Satrio hari ini.
Lilian bergegas meraih ponselnya yang tergeletak di nakas kecil samping ranjang. Dia menekan nomor ponsel yang dia simpan dengan nama 'Mamih Mertua'.
Tak berapa lama kemudian, panggilan tersebut sudah tersambung.
"Assalamualaikum, Lili." Suara ibu mertuanya terdengar begitu panggilan tersambung.
"Waalaikumsalam, Mamih. Apa sekarang Mamih longgar?" tanya Lilian to the point.
"Ada apa, Sayang?" tanya Fatimah terdengar penasaran.
"Lili butuh bantuan Mamih. Di dapur ada tikus, Mih. Lili takut banget! Hiks...." Lilian menangis pelan, pura-pura.
"Satrio tidak mau bantu ngusir tikusnya, Li?" tanya Fatimah lagi.
"Mas Satrio mana bisa ngusir, Mih," jawabnya pelan.
"Ya Allah, kasihan kamu, Sayang. Mami dan Papi akan segera datang. Tunggu dulu, ya." Fatimah tidak bisa membiarkan menantu gemoy kesayangannya itu terganggu oleh apapun, apalagi oleh tikus kurang ajar.
"Makasih, Mih. Lili pobia tikus, Mi." Lilian berkata kembali untuk semakin menguatkan situasinya yang menyedihkan.
"Okay, okay, Mamih paham, Sayang. Wait!"
Selepas itu, telepon sudah ditutup. Di seberang sana, Fatimah bergegas berangkat menuju rumah Satrio bersama Haryo untuk membantu menantunya itu mengusir tikus yang mengganggu dapurnya.
Lilian tersenyum puas. Dia tidak akan membiarkan dua orang itu hidup tenang. Bisa-bisanya Satrio mengajak pelakor secara terang-terangan ke rumahnya.
"Rasain Lo! Pelakor. Kita lihat gimana ekspresi kamu di depan Mamih dan Papih." Lilian mengepalkan tangannya erat.
Dia benci pada orang yang tidak tahu diri. Jelas-jelas dia adalah istri sah Satrio. Eh, bukannya Sherly mundur teratur, ini malah dia kepedean meminta Satrio untuk segera menceraikan Lilian. Dasar wanita tidak ada akhlak!
"Kalau Lilian masih ada di rumah ini, jangan harap kalian bisa berbuat seenaknya sendiri."
Lilian menyeringai. Tidak peduli dari lantai bawah, Satrio masih memanggil dirinya dengan begitu geram.
"Sebloh! Turun kamu!" pekik Satrio dari bawah.
Tampaknya, pemuda tampan itu sudah tidak tahan dengan kelakuan Lilian yang selalu saja mencuri red velvet miliknya. Pokoknya, sekarang dia harus membuat perhitungan dengan Lilian.
Bersambung
Suara Satrio yang menggelagar kembali memecah keheningan. Dari nada suaranya yang terdengar penuh kebencian, Lilian sudah bisa membayangkan wajah Satrio yang sombong itu semakin terlihat menyeramkan. "Kok kayak rahwana ae to, Mas. Suaranya serem." Lilian mendengus mendengar suara suaminya. Padahal dia bicara dengan pelakor dengan suara yang begitu lembut. Giliran bicara dengan istrinya kasar.Lilian bersiap untuk keluar kamar. Sembari menunggu mertuanya datang, dia harus menghadapi mereka sendiri terlebih dahulu. Selebihnya, biar mertuanya yang menyelesaikan."Untuk menjadi istrimu memang harus bermental baja, Mas. Harusnya kemarin aku minta bayaran lima puluh juta sebulan, biar setimpal," sesal Lilian. Apa boleh buat, surat kontrak sudah ditandatangani dengan nominal tiga puluh juta. "Ya, udah lah. Aku cukup bakoh kalau hanya untuk menghadapi kamu dan pelakor tidak ada akhlak itu, Mas." Lilian mengepalkan tangannya, menyemangati dirinya sendiri.Akan berhadapan dengan sosok pelak
"Cari terus sampai dapat, Mbak! Kasihan menantu saya ini phobia dengan tikus." Haryo Sasongko terus memberi instruksi. "Baik, Pak." Terlanjur basah, pilihan terbaik bagi Sherly adalah sekalian masuk ke dalam air biar basah kuyup. Dia tidak punya pilihan untuk berbalik arah. Di depannya, sang Papi dari kekasihnya menganggapnya sebagai jasa pengusir tikus. Apa boleh buat, Sherly harus terima. Terlalu beresiko jika hari ini dia mendapat penilaian buruk dari calon mertuanya itu, maka di masa depan dia tidak diterima sebagai menantu. Mengingat hal tersebut, Sherly harus menelan bulat-bulat rasa kesal di hatinya. Dalam hati, dia hanya berharap dua orang tua Satrio itu segera pergi dari rumah ini. Namun, ternyata setelah satu setengah jam berlalu. Papi dan Mami masih duduk dengan begitu santai di ruang makan. Dari sana, mereka berbincang dengan begitu hangat. Sesekali, menoleh ke arah Sherly dan memberi instruksi. "Belum ketemu tikusnya, Mbak? Katanya profesional, tapi kok kayak ngga
"Maaf, Pak. Saya tidak menemukan tikus satu pun di sini," lapor Sherly sambil terengah-engah. Dia sudah tidak tahan lagi dengan situasi menyedihkan yang sedang dialaminya.Haryo menoleh. Wajah pria tua itu terlihat tidak suka ketika menatap Sherly. Dia tidak suka mendengar laporan Sherly yang tidak berhasil menemukan tikus satu pun. Jelas-jelas, menantunya ketakutan gara-gara tikus. Masak tenaga ahli pengusir tikus tidak berhasil mengusirnya.Sungguh keterlaluan."Anda sama sekali tidak profesional, Mbak. Kenapa agensi bisa kirimkan orang nggak punya pengalaman seperti Anda, Mbak." Haryo mendegus.Jujur, dia tidak suka mendapatkan pekerja profesional tapi tidak berpengalaman seperti gadis yang datang ke rumah mereka saat ini.Tak urung, Haryo mengomelinya habis-habisan dan menyalahkan dirinya atas ketidakprofesionalan Sherly. Sebagai tenaga ahli pemburu tikus ternyata tidak memberi hasil yang diinginkan."Nama kamu siapa, Mbak?" tanya Haryo mencecar dengan pertanyaan."Sherly, Pak."
Begitu Haryo dan Fatimah pulang, Satrio sudah tidak bisa menahan diri. Dia menarik tangan Lilian kasar setelah mengunci pintu.Sepasang netra elang Satrio menatap Lilian penuh permusuhan. Dia tidak terima melihat kekasihnya yang sangat dicintainya terlihat menyedihkan di depan orang tuanya."Hati kamu benar-benar busuk, Bloh!" raungnya tak terkendali."Apa maksud kamu, Mas?" Lilian bertanya acuh tak acuh, seakan tidak merasa tindakannya tadi adalah sebuah kesalahan fatal di mata Satrio."Kamu sengaja mempermalukan Sherly, hah?" semburnya. Kali ini dia tidak bisa menolerir apa yang dilakukan Lilian.Dia menatap Lilian dengan tatapan membunuh. Andai saja dia bisa membunuh hanya dengan pandangan matanya itu, mungkin Lilian sudah mati berkali-kali. Satrio sudah sejak tadi sore menahan kemarahan. Kali ini dia pasti akan melampiaskan kemarahan itu tanpa menahannya sedikit pun."Aku nggak paham dengan maksud kamu, Mas?" Lilian masih sok polos.Dia mengibaskan tangannya yang dicengkeram erat
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk
Fatimah masih penasaran karena Bintang dan Lilian bisa pulang bersama. Ketika keduanya turun dari mobil, Fatimah sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Lilian dan Bintang."Kalian kok bisa barengan?" Fatimah mengulang pertanyaan."Ndak sengaja ketemu di jalan tadi, Mih. Ban mobil Lilian bocor, Dek Bintang yang bantu ganti ban." "Tadinya aku nggak tahu kalau dia ini istrinya Mas Satrio, Mi."Sosok Bintang yang tinggi dengan bentuk tubuh proporsional beranjak mendekati Fatimah dengan senyuman semringah. "Makanya kok nggak sampai-sampai, ternyata kebanan to, Nduk?" Fatimah menatap simpati."Nggeh, Mi. Pas lagi buru-buru malah ban bocor. Coba tadi Dek Bintang nggak bantu ganti ban," sahutnya."Alhamdulillah, kamu ini memang wong bejo, Nduk. Dimana-mana banyak orang yang welas, karena kamu orang baik." Bintang melirik kakak iparnya yang hanya bisa tersenyum canggung mendengar pujian demi pujian dari mertuanya. "Yowes ayo kita masuk. Papi udah nunggu kita di dalam." Bintan
Satrio masih sibuk di depan laptop saat ponselnya yang tergeletak di meja kerja bergetar. Meski kesal karena merasa terganggu dengan dering ponsel, Satrio tetap meliriknya. Sebuah nama yang cukup akrab menyembul di layar ponsel yang menyala."Bintang? Tumben nelpon? Katanya nggak jadi pulang?" Dahinya mengernyit heran. Rasa kesal yang tadi hadir, seketika menghilang.Gegas, Satrio menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Dek. Gimana?" sapanya."Mas, hari ini aku jadi pulang, ya." Suara di seberang segera terdengar beberapa detik kemudian."Loh, loh. Katanya masih sibuk, nggak jadi pulang. Kok tiba-tiba berubah?" Dahi Satrio mengernyit dalam."Kebetulan agak luang hari ini dan besok, jadi aku pulang, Mas." Bintang yang berprofesi sebagai pilot dengan penerbangan internasional, beberapa bulan ini tidak bisa pulang ke Solo. Alih-alih pulang ke Solo, jadwalnya sangat padat."Cuma dua hari emang kamu nggak pilih rehat di hotel saja? Kalau maksa pulang capek di jalan, Dek?"
"Bu Lilian, sampeyan dari kemarin kenapa terlihat tak bersemangat?" tegur Erni saat melihat Lilian berwajah kuyu tak seperti biasanya.Lilian yang menyandarkan kepalanya di meja, seketika menegakkan tubuh mendengar sapaan temannya. "Aah, endak, Bu. Cuma lagi pusing saja saya, Bu." Sejak kemarin, ada hal berat yang menjadi pemikirannya. Masalah rumah tangganya dengan Satrio membuatnya tertekan. Salah satu alasan kenapa Satrio tidak bisa menerima keberadaan Lilian sebagai istri sahnya adalah karena penampilan Lilian yang tidak menarik. Bagaimanapun, fisik juga merupakan salah satu poin penting. Satrio adalah pimpinan perusahaan, selain itu dia mempunyai fisik yang sempurna. Sementara Lilian, berpenampilan seperti karung beras seperti ini, Satrio pasti sangat malu kalau mengakui Lilian sebagai istrinya.Wanita gendut itu ingin merubah penampilan supaya terlihat lebih menarik. Paling utama, Lilian merasa sangat tidak nyaman dengan berat badannya yang melebihi ambang batas ini. Sebelu
"Nduk, bukain gerbangnya!" Terdengar suara Haryo ketika Lilian sedang menyapu halaman pagi ini.Sontak, Lilian menoleh. Di luar sana, sepasang pria dan wanita paruh baya yang mengenakan pakaian olah raga tampak letih. Mereka adalah Fatimah dan Haryo."Loh, Mih, Pih. Tumben pagi-pagi udah nyampai sini," seru Lilian sambil berjalan menuju pintu gerbang dan gudang membukanya."Namanya juga jogging ya pagi-pagi, Li. Masak iya kita jogging siang-siang," sahut Fatimah.“Iya, juga, ya. Kalau siang-siang bukan jogging, ya, Mih,” celetuk Lilian."Emang kalau siang apaan, Li?" tanya Haryo iseng."Kalau siang lari-lari, mungkin dia lagi lari dari kenyataan. Hehe...." "Hehe, kamu ini ada-ada saja, Li." Haryo tertawa kecil mendengar ucapan menantu kesayangannya itu. Fatimah yang ada di samping Haryo juga ikut tertawa. “Alhamdulillah, sudah sampai sini,” ujar Haryo menghela napas lega.Keduanya duduk di kursi teras untuk melepas lelah. Bisa dibilang, jarak antara rumah mertuanya menuju tempat ini
Lilian sedang menyiapkan makan malam di meja ketika Satrio datang. Hari sudah beranjak malam, Satrio baru pulang. Tanpa harus memberi penjelasan Lilian sudah bisa menebak apa yang terjadi.Pemandangan tadi siang saat di restoran kembali berputar. Dia melihat Satrio begitu lembut memperlakukan Sherly. Sedalam apa hubungan keduanya dia juga sudah bisa melihat. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Jika dalam sebuah novel, mungkin saja dia hanyalah menjadi tokoh antagonis yang menjadi pihak ketiga yang menguji ketulusan cinta Satrio dan Sherly. Lilian benci saat memikirkan hal tersebut."Makan malam, Mas," sapanya begitu melihat Satrio melangkah acuh tak acuh menuju kamarnya."Aku sudah makan di apartemen Sherly." Satrio menjawab dingin. Bahkan dia tidak perlu repot-repot untuk menoleh ke arah Lilian. Lilian sama sekali bukan fokus Satrio. Sekedar basa-basi pun Lilian tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkannya."Makan dikit aja, Mas. Aku udah terlanjur masak untuk kita berdua,
Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t