"Maaf, Pak. Saya tidak menemukan tikus satu pun di sini," lapor Sherly sambil terengah-engah. Dia sudah tidak tahan lagi dengan situasi menyedihkan yang sedang dialaminya.
Haryo menoleh. Wajah pria tua itu terlihat tidak suka ketika menatap Sherly. Dia tidak suka mendengar laporan Sherly yang tidak berhasil menemukan tikus satu pun.
Jelas-jelas, menantunya ketakutan gara-gara tikus. Masak tenaga ahli pengusir tikus tidak berhasil mengusirnya.
Sungguh keterlaluan.
"Anda sama sekali tidak profesional, Mbak. Kenapa agensi bisa kirimkan orang nggak punya pengalaman seperti Anda, Mbak." Haryo mendegus.
Jujur, dia tidak suka mendapatkan pekerja profesional tapi tidak berpengalaman seperti gadis yang datang ke rumah mereka saat ini.
Tak urung, Haryo mengomelinya habis-habisan dan menyalahkan dirinya atas ketidakprofesionalan Sherly. Sebagai tenaga ahli pemburu tikus ternyata tidak memberi hasil yang diinginkan.
"Nama kamu siapa, Mbak?" tanya Haryo mencecar dengan pertanyaan.
"Sherly, Pak." Sherly merasa sedikit berharap saat Haryo bertanya namanya.
"Baiklah, Mbak Sherly. Nanti saya akan komplai ke perusahaan anda. Anda sama sekali tidak profesional," ucap Satrio tak menutupi apapun. Bahkan dia membiarkan Sherly untuk over thinking.
"Jangan, Pak. Saya nanti kehilangan pekerjaan," pintanya. Padahal, Sherly sama sekali bukan bagian dari pekerja karyawan yang diminta oleh mereka. Padahal pekerjaan pengusir tikus itu hanya akting, tapi Sherly ketakutan saat mau dilaporkan. Sepertinya dia lupa kalau semua itu hanya akting.
"Nggak ada tikus sama sekali di dapur ini, Pak," bela Satrio yang kasihan melihat papinya memarahi Sherly.
"Kamu tahu apa! Yang sehari-hari ada di dapur itu Lilian, bukan kamu!" bentak Haryo menatap kesal pada putranya.
Satrio yang tadinya akan mengucapkan kalimat selanjutnya memutuskan untuk menelan kembali ucapannya.
Melihat kasih sayang orang tua Satrio untuk Lilian begitu besar. Sherly kesal, tapi juga tidak bisa berbuat apapun. Gadis itu hanya menunduk lesu mendapatkan amarah dari ayah Satrio.
"Saya sebagai pelanggan, benar-benar kecewa, Mbak! Anda sangat-sangat tidak profesional! Menantu saya jelas-jelas sangat terganggu dengan keberadaan tikus, Anda masih berani bilang tidak ada tikus!"
Haryo Sasongko masih belum puas memarahi Sherly. Jangan bertanya bagaimana penampakan Sherly saat ini, wajah cantiknya sudah merah padam tidak karuan.
"Udah, Pa. Mbaknya biar pulang!" Satrio berusaha membuat papinya berhenti mengomel.
Melihat Sherly yang menyedihkan, Satrio merasa tidak tega. Semua ini gara-gara si Sebloh kurang ajar itu.
Di saat yang sama, Lilian menyeringai sambil menikmati es sirup dari gelasnya. Hal itu tidak luput dari pandangan Satrio. Pria itu sangat geram dengan kemampuan Lilian.
Hah! Lain kali dia tidak akan membalas semua ini.
"Tunggu aja nanti, Sebloh! Kamu tak hih!" geram Satrio marah. Tanpa sepengetahuan Haryo dan Fatimah, Satrio mengacungkan kepalan tangannya pada Lilian.
Sementara Lilian yang berdiri di samping Fatimah hanya tersenyum penuh kemenangan. Hah, akhirnya dia berhasil mengusir pelakor itu dengan menyedihkan. Mertuanya sangat kooperatif membantunya.
Namun, pada dasarnya Lilian bukanlah seorang wanita kejam. Melihat penampilan Sherly saat ini, dia tidak ingin memperpanjang urusan.
"Iya, Pih. Kasihan mbaknya udah berusaha keras mengejar tikus. Jangan dimarahi lagi, ya, Pih. Lilian ndak mau Papi jadi sakit gara-gara-gara ini," bujuk Lilian pada Papi mertuanya.
"Bener kata Lilian, Pi. Ingat jantung papi!" tambah Fatimah mengingatkan.
Haryo menghela napas panjang.
"Baiklah, silakan pulang, Mbak!" Haryo mengangsurkan amplop untuk membayar jasa Sherly. Wajah pelakor itu sudah merah padam saat menerima amplop tersebut.
Sherly melangkah menuju pintu keluar dengan begitu gusar. Bagaimana mungkin Satrio hanya diam saja tidak membelanya sedikit pun di depan orang tuanya. Bahkan ketika saat mereka memarahi Sherly, Satrio hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Aku sebel kamu, Mas!" gumamnya lirih ketika melangkah keluar dari rumah Satrio.
Sementara Lilian menarik napas lega. Lain kali dia tidak akan memberi toleransi jika Satrio masih berani membawa pelakor itu pulang ke rumahnya. Dia menatap tajam ke arah Satrio. Lilian marah dengan caranya dan Satrio juga akan marah nanti setelah Papi dan Mami pulang.
"Hah, akhirnya tikusnya sudah keluar dari rumah ini!" sindir Lilian di telinga Satrio sambil menyeringai.
"Kamu benar-benar Wewe gombel, Bloh!" balas Satrio sambil berbisik.
Tidak tahan rasanya untuk memulai WAR dengan Lilian hari ini. Sialnya, papi dan mami belum berniat pulang dari rumah Satrio. Terpaksa, pemuda itu harus menahan diri.
"Tunggu nanti kalau papi dan mami pulang, Bloh! Kita akan membuat perhitungan!" geramnya.
Lilian harus membayar mahal karena telah membuat Sherly hari ini terlihat sangat menyedihkan.
"Okey, siapa takut. Aku cukup bakoh untuk berhadapan dengan kamu satu lawan satu, Mas!" balas Lilian sambil mencomot kue red velvet yang tadi hanya tersisa tiga potong.
Satrio mengepalkan tangannya penuh amarah. Sementara Lilian sibuk mengunyah kue, tak peduli dengan kemarahan Satrio.
"Satrio, Lilian! Kalian ke sini!" titah Haryo dari meja makan.
Satrio dan Lilian yang masih saling tatap penuh permusuhan. Seketika tersenyum begitu manis saat mendengar Haryo memanggil.
"Ya, Pi." Keduanya serentak menjawab.
Pasangan suami istri itu melangkah beriringan menuju meja makan. Mereka tak ingin membuat Haryo menunggu lebih lama.
Hah, akhirnya pertunjukan ini selesai juga. Di satu sisi Satrio merasa lega, karena Lilian tidak mengatakan apapun tentang perselingkuhannya dengan Sherly. Namun, di saat yang sama kemarahannya pada Lilian sudah membakar dada.
Bersambung
Begitu Haryo dan Fatimah pulang, Satrio sudah tidak bisa menahan diri. Dia menarik tangan Lilian kasar setelah mengunci pintu.Sepasang netra elang Satrio menatap Lilian penuh permusuhan. Dia tidak terima melihat kekasihnya yang sangat dicintainya terlihat menyedihkan di depan orang tuanya."Hati kamu benar-benar busuk, Bloh!" raungnya tak terkendali."Apa maksud kamu, Mas?" Lilian bertanya acuh tak acuh, seakan tidak merasa tindakannya tadi adalah sebuah kesalahan fatal di mata Satrio."Kamu sengaja mempermalukan Sherly, hah?" semburnya. Kali ini dia tidak bisa menolerir apa yang dilakukan Lilian.Dia menatap Lilian dengan tatapan membunuh. Andai saja dia bisa membunuh hanya dengan pandangan matanya itu, mungkin Lilian sudah mati berkali-kali. Satrio sudah sejak tadi sore menahan kemarahan. Kali ini dia pasti akan melampiaskan kemarahan itu tanpa menahannya sedikit pun."Aku nggak paham dengan maksud kamu, Mas?" Lilian masih sok polos.Dia mengibaskan tangannya yang dicengkeram erat
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk
Lilian sedang menyiapkan makan malam di meja ketika Satrio datang. Hari sudah beranjak malam, Satrio baru pulang. Tanpa harus memberi penjelasan Lilian sudah bisa menebak apa yang terjadi.Pemandangan tadi siang saat di restoran kembali berputar. Dia melihat Satrio begitu lembut memperlakukan Sherly. Sedalam apa hubungan keduanya dia juga sudah bisa melihat. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Jika dalam sebuah novel, mungkin saja dia hanyalah menjadi tokoh antagonis yang menjadi pihak ketiga yang menguji ketulusan cinta Satrio dan Sherly. Lilian benci saat memikirkan hal tersebut."Makan malam, Mas," sapanya begitu melihat Satrio melangkah acuh tak acuh menuju kamarnya."Aku sudah makan di apartemen Sherly." Satrio menjawab dingin. Bahkan dia tidak perlu repot-repot untuk menoleh ke arah Lilian. Lilian sama sekali bukan fokus Satrio. Sekedar basa-basi pun Lilian tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkannya."Makan dikit aja, Mas. Aku udah terlanjur masak untuk kita berdua,
"Nduk, bukain gerbangnya!" Terdengar suara Haryo ketika Lilian sedang menyapu halaman pagi ini.Sontak, Lilian menoleh. Di luar sana, sepasang pria dan wanita paruh baya yang mengenakan pakaian olah raga tampak letih. Mereka adalah Fatimah dan Haryo."Loh, Mih, Pih. Tumben pagi-pagi udah nyampai sini," seru Lilian sambil berjalan menuju pintu gerbang dan gudang membukanya."Namanya juga jogging ya pagi-pagi, Li. Masak iya kita jogging siang-siang," sahut Fatimah.“Iya, juga, ya. Kalau siang-siang bukan jogging, ya, Mih,” celetuk Lilian."Emang kalau siang apaan, Li?" tanya Haryo iseng."Kalau siang lari-lari, mungkin dia lagi lari dari kenyataan. Hehe...." "Hehe, kamu ini ada-ada saja, Li." Haryo tertawa kecil mendengar ucapan menantu kesayangannya itu. Fatimah yang ada di samping Haryo juga ikut tertawa. “Alhamdulillah, sudah sampai sini,” ujar Haryo menghela napas lega.Keduanya duduk di kursi teras untuk melepas lelah. Bisa dibilang, jarak antara rumah mertuanya menuju tempat ini
"Bu Lilian, sampeyan dari kemarin kenapa terlihat tak bersemangat?" tegur Erni saat melihat Lilian berwajah kuyu tak seperti biasanya.Lilian yang menyandarkan kepalanya di meja, seketika menegakkan tubuh mendengar sapaan temannya. "Aah, endak, Bu. Cuma lagi pusing saja saya, Bu." Sejak kemarin, ada hal berat yang menjadi pemikirannya. Masalah rumah tangganya dengan Satrio membuatnya tertekan. Salah satu alasan kenapa Satrio tidak bisa menerima keberadaan Lilian sebagai istri sahnya adalah karena penampilan Lilian yang tidak menarik. Bagaimanapun, fisik juga merupakan salah satu poin penting. Satrio adalah pimpinan perusahaan, selain itu dia mempunyai fisik yang sempurna. Sementara Lilian, berpenampilan seperti karung beras seperti ini, Satrio pasti sangat malu kalau mengakui Lilian sebagai istrinya.Wanita gendut itu ingin merubah penampilan supaya terlihat lebih menarik. Paling utama, Lilian merasa sangat tidak nyaman dengan berat badannya yang melebihi ambang batas ini. Sebelu
Fatimah masih penasaran karena Bintang dan Lilian bisa pulang bersama. Ketika keduanya turun dari mobil, Fatimah sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Lilian dan Bintang."Kalian kok bisa barengan?" Fatimah mengulang pertanyaan."Ndak sengaja ketemu di jalan tadi, Mih. Ban mobil Lilian bocor, Dek Bintang yang bantu ganti ban." "Tadinya aku nggak tahu kalau dia ini istrinya Mas Satrio, Mi."Sosok Bintang yang tinggi dengan bentuk tubuh proporsional beranjak mendekati Fatimah dengan senyuman semringah. "Makanya kok nggak sampai-sampai, ternyata kebanan to, Nduk?" Fatimah menatap simpati."Nggeh, Mi. Pas lagi buru-buru malah ban bocor. Coba tadi Dek Bintang nggak bantu ganti ban," sahutnya."Alhamdulillah, kamu ini memang wong bejo, Nduk. Dimana-mana banyak orang yang welas, karena kamu orang baik." Bintang melirik kakak iparnya yang hanya bisa tersenyum canggung mendengar pujian demi pujian dari mertuanya. "Yowes ayo kita masuk. Papi udah nunggu kita di dalam." Bintan
Satrio masih sibuk di depan laptop saat ponselnya yang tergeletak di meja kerja bergetar. Meski kesal karena merasa terganggu dengan dering ponsel, Satrio tetap meliriknya. Sebuah nama yang cukup akrab menyembul di layar ponsel yang menyala."Bintang? Tumben nelpon? Katanya nggak jadi pulang?" Dahinya mengernyit heran. Rasa kesal yang tadi hadir, seketika menghilang.Gegas, Satrio menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Dek. Gimana?" sapanya."Mas, hari ini aku jadi pulang, ya." Suara di seberang segera terdengar beberapa detik kemudian."Loh, loh. Katanya masih sibuk, nggak jadi pulang. Kok tiba-tiba berubah?" Dahi Satrio mengernyit dalam."Kebetulan agak luang hari ini dan besok, jadi aku pulang, Mas." Bintang yang berprofesi sebagai pilot dengan penerbangan internasional, beberapa bulan ini tidak bisa pulang ke Solo. Alih-alih pulang ke Solo, jadwalnya sangat padat."Cuma dua hari emang kamu nggak pilih rehat di hotel saja? Kalau maksa pulang capek di jalan, Dek?"
"Bu Lilian, sampeyan dari kemarin kenapa terlihat tak bersemangat?" tegur Erni saat melihat Lilian berwajah kuyu tak seperti biasanya.Lilian yang menyandarkan kepalanya di meja, seketika menegakkan tubuh mendengar sapaan temannya. "Aah, endak, Bu. Cuma lagi pusing saja saya, Bu." Sejak kemarin, ada hal berat yang menjadi pemikirannya. Masalah rumah tangganya dengan Satrio membuatnya tertekan. Salah satu alasan kenapa Satrio tidak bisa menerima keberadaan Lilian sebagai istri sahnya adalah karena penampilan Lilian yang tidak menarik. Bagaimanapun, fisik juga merupakan salah satu poin penting. Satrio adalah pimpinan perusahaan, selain itu dia mempunyai fisik yang sempurna. Sementara Lilian, berpenampilan seperti karung beras seperti ini, Satrio pasti sangat malu kalau mengakui Lilian sebagai istrinya.Wanita gendut itu ingin merubah penampilan supaya terlihat lebih menarik. Paling utama, Lilian merasa sangat tidak nyaman dengan berat badannya yang melebihi ambang batas ini. Sebelu
"Nduk, bukain gerbangnya!" Terdengar suara Haryo ketika Lilian sedang menyapu halaman pagi ini.Sontak, Lilian menoleh. Di luar sana, sepasang pria dan wanita paruh baya yang mengenakan pakaian olah raga tampak letih. Mereka adalah Fatimah dan Haryo."Loh, Mih, Pih. Tumben pagi-pagi udah nyampai sini," seru Lilian sambil berjalan menuju pintu gerbang dan gudang membukanya."Namanya juga jogging ya pagi-pagi, Li. Masak iya kita jogging siang-siang," sahut Fatimah.“Iya, juga, ya. Kalau siang-siang bukan jogging, ya, Mih,” celetuk Lilian."Emang kalau siang apaan, Li?" tanya Haryo iseng."Kalau siang lari-lari, mungkin dia lagi lari dari kenyataan. Hehe...." "Hehe, kamu ini ada-ada saja, Li." Haryo tertawa kecil mendengar ucapan menantu kesayangannya itu. Fatimah yang ada di samping Haryo juga ikut tertawa. “Alhamdulillah, sudah sampai sini,” ujar Haryo menghela napas lega.Keduanya duduk di kursi teras untuk melepas lelah. Bisa dibilang, jarak antara rumah mertuanya menuju tempat ini
Lilian sedang menyiapkan makan malam di meja ketika Satrio datang. Hari sudah beranjak malam, Satrio baru pulang. Tanpa harus memberi penjelasan Lilian sudah bisa menebak apa yang terjadi.Pemandangan tadi siang saat di restoran kembali berputar. Dia melihat Satrio begitu lembut memperlakukan Sherly. Sedalam apa hubungan keduanya dia juga sudah bisa melihat. Keduanya saling mencintai satu sama lain. Jika dalam sebuah novel, mungkin saja dia hanyalah menjadi tokoh antagonis yang menjadi pihak ketiga yang menguji ketulusan cinta Satrio dan Sherly. Lilian benci saat memikirkan hal tersebut."Makan malam, Mas," sapanya begitu melihat Satrio melangkah acuh tak acuh menuju kamarnya."Aku sudah makan di apartemen Sherly." Satrio menjawab dingin. Bahkan dia tidak perlu repot-repot untuk menoleh ke arah Lilian. Lilian sama sekali bukan fokus Satrio. Sekedar basa-basi pun Lilian tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkannya."Makan dikit aja, Mas. Aku udah terlanjur masak untuk kita berdua,
Dua orang wanita berpakaian seragam PDH warna khaki keluar dari ruang meeting room restoran. Mereka baru saja selesai rapat gabungan dengan perwakilan guru-guru taman kanak-kanak se-kabupaten di restoran tersebut.Keduanya adalah utusan dari sekolah mereka untuk rapat gabungan Guru TK untuk memperingati hari anak nasional minggu depan."Hanya tersisa waktu seminggu lagi, Bu Lilian. Semua sudah siap, nggeh?" tanya seorang wanita berkacamata yang melangkah beriringan dengannya menuruni tangga."Kalau menurut saya sudah siap semua, Bu Erni. Nanti kita cek lagi saja biar lebih bagus." Sambil tersenyum, Lilian menjawab dengan percaya diri."Baik. Bu Lilian selalu keren menyiapkan semuanya. Saya salut dengan jenengan, Bu," sahut Bu Erni bangga."Ah, biasa aja, Bu. Anak-anak sangat antusias, jadi mereka bisa diajak bekerja sama." Lilian sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dia pandai membuat lelucon untuk memeriahkan suasana.Mereka sibuk membicarakan rencana selanjutnya yang akan disiapk
Satrio menikmati makan siang bersama Sherly di private room restoran. Perbedaan suasana hati tampak mencolok dari wajah keduanya. Satrio berkali-kali mencoba mencairkan suasana yang kaku. Sherly hari ini masih marah karena kejadian beberapa hari yang lalu."Dek, marahnya jangan lama-lama ta!" bujuk Satrio dengan wajah memelas.Sherly hanya menoleh sekilas. Lalu, dia mendengus kasar. Jika ingat kejadian sore itu, serta merta hatinya menjadi kesal setengah mati. Sekeras apapun Sherly mencoba untuk berpikir positif, dia tidak menghilangkan penghinaan yang dilakukan Lilian. Jika bukan karena Satrio berulang kali minta maaf dan membawakan barang-barang mewah untuk membujuknya, mungkin rasa kesal yang bertumpuk di hatinya semakin besar."Nanti sore mau belanja lagi?" bujuknya sekali lagi.Sherly menggeleng. Bukan karena tidak tergoda dengan ajakan Satrio. Hanya saja, dia harus memastikan posisinya terlebih dahulu. Dia ingin menjadi istri Satrio yang sah."Tumben nggak minat belanja?" Sat
Suara ketiplak sendal terdengar menuruni tangga. Suasana sunyi mencekam membuat suara itu bergema ke seluruh penjuru ruangan. Lilian mendengus. Belum ada tanda-tanda kepulangan Satrio. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Entah terkunci atau tidak, Lilian tidak pernah mencoba untuk masuk. Bukan karena dia tidak ingin, melainkan karena Satrio tidak mengizinkannya."Aarrgghh...." Lagi-lagi dia memekik kesal. Entah yang keberapa kali dia turun dari kamarnya untuk memeriksa kepulangan Satrio malam ini. Meski dia tidak bertanya, Lilian tahu pria itu sekarang sedang bersama dengan Sherly.Sekali lagi, terdengar dengusan kesal.Dia benar-benar tidak mengerti dengan kelakuannya sendiri. Kenapa dia harus menungguinya pulang?Haish, sungguh keterlaluan!"Apa kamu bersama Sherly, Mas? Baiklah, selamat bersenang-senang!" Lilian benar-benar merasa kesal.Jelas-jelas pria itu sama sekali tidak menyukainya. Jelas-jelas Satrio tidak pernah menganggap dirinya ada. Lalu, kenapa dia harus peduli deng
Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di meja makan tanpa suara. Satrio fokus melahap nasi goreng spesial buatan Lilian. Selepas WAR semalam, keduanya saat ini sedang melakukan gencatan senjata. Perang dingin yang akan berlangsung entah berapa lama. Satrio masih sangat kesal dengan istri gendutnya itu. Sherly tidak mau memaafkan Satrio semalam. Padahal suami Lilian itu sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi Sherly masih emosional. Hidupnya akan suram jika Sherly ngambeg, makanya dia mendiamkan Lilian. Rasa kesalnya ini harus dilampiaskan, bukan?Beberapa kali, Lilian melirik Satrio yang cuek bebek menghabiskan nasi goreng. Jujur, gadis gendut itu ingin tertawa terbahak-bahak melihat betapa lahapnya Satrio menikmati sarapan pagi ini. Seakan dia lupa bahwa itu adalah nasi goreng buatan Lilian, orang yang saat ini sedang perang dingin dengannya."Nasi gorengnya enak, Mas?" tanya Lilian.Pada dasarnya, Lilian yang mempunyai karakter terbuka dan sangat humble selalu merasa tidak t