"Bagaimana Ibra, Apa sudah dipastikan tidak ada yang merekam atau mengambil gambarku di acara tadi?" Boy Azka bertanya pada salah satu orang suruhannya yang berada di dalam mobil. "Sudah, Pak. Kami juga sudah meminta bagian dokumentasi menghapus video rekaman saat akad nikah. Kami juga berkeliling melarang beberapa tamu yang hendak mengambil gambar Bapak," jawab Ibra, pria berpakaian safari yang duduk di sebelah supir. "Bagus! Segera bagikan lagi postingan video keberadaanku di luar negeri. Aku tidak mau sampai ada berita yang merusak citraku!" Pria bersuara berat itu berbicara tegas. "Pak, ada pesan dari Ibu, Bapak kapan nyusul ke Paris?" tanya Ibra setelah membuka ponselnya. "Tidak. Aku tidak akan menyusulnya. Biar saja semua orang tau Aku sedang tidak di Indonesia. Dalam dua minggu ini ada hal yang sedang Aku rencanakan," jawab Boy dengan sebuah senyuman menatap jalan melalui jendela mobil. ia seakan sedang membayangkan seseorang. "Pak, siang ini ada resepsi pernikahan Syafa d
"Hadiah mobil? Hadiah dari siapa, Pak?" tanya Paul sambil memandang mobil mewah itu dengan mengerutkan dahi. Ia tau harga mobil itu hampir mencapai dua milyar. "Maaf, Saya tidak tau dari siapa. Saya hanya bertugas mengantar saja. Ini tanda terimanya silakan ditandatangani!" Pria pengantar mobil itu memberikan selembar kertas pada Paul. "Tidak, Kak. Jangan ditandatangani!" sanggah Syafa sambil meraih tangan Paul. Lagi-lagi para tamu yang penasaran memandang heran pada Syafa. Sebuah hadiah berupa mobil mewah seharga milyaran itu ditolak oleh Syafa. "Huh, udah miskin, sombong! Mobil segitu mewahnya ditolak! Dasar kampungan!" Terdengar umpatan Aina yang ternyata berada diantara tamu-tamu yang berada di luar. Paul mendengar apa yang dikatakan Aina. Namun ia mencoba meredam emosinya. Ia menyesal telah mengundang wanita itu ke acaranya. Sejak tadi datang, Aina terus memandang tidak suka. pada Syafa. "Maaf, Pak. Istri Saya tidak mau menerima. Sebaiknya dikembalikan saja pada pemiliknya
" Para tamu sudah pulang, ayo kita kembali ke.hotel!"ajak Paul pada semua keluarganya. "Pak Akbar dan Bu Rita, sekalian aja nginap di hote malam ini. Kebetulan nanti malam Saya akan mengadakan makan malam bersama khusus keluarga, di restoran hotel. Mau, ya!" Semua mata menatap tak percaya saat Laura mengajak Akbar dan Rita ke hotel dengan semangat. Sepasang suami istri itu saling pandang, mereka bingung hendak menjawab apa. "Sudaah, harus mau pokoknya. Maira, pesankan satu kamar lagi untuk Pak Akbar dan Bu Rita!" "Oke, Ma!"Maira tersenyum senang. Satu jam yang lalu Laura baru saja meminta Maira memesan kamar untuk Paul dan Syafa. Laura meminta pihak hotel untuk merias kamar itu layaknya kamar pengantin. Kini ia kembali memesan kamar untuk Akbar dan Rita. Maira senang, akhirnya Laura bisa menerima Syafa dan keluarganya. Rein pun tersenyum bahagia. Ia sangat berterimakasih pada istrinya yang sejak awal tak pernah menyerah untuk membujuk mamanya. Perubahan sikap Laura tak luput da
"Kamu cantik sekali, Syaa. Jujur, sepertinya Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali memandangmu di rumah sakit itu. Aku terpana oleh wajah polosmu yang saat itu justru nampak pucat." Syafa tersenyum mendengar pujian dari suaminya. Pria yang juga pertama kali ia rasakan getaran yang berbeda setelah beberapa saat membuka matanya di rumah sakit , untuk pertama kalinya. Saat itu ia merasakan sangat nyaman berada di dekatnya. Ia pun merasa sangat beruntung dipersunting oleh pria tampan dan mapan seperti Paul. Paul kembali mengecup pipi, mata hidung serta bibir Syafa, dan berlama-lama di sana. Ia mulai merasakan candu akan bibir berwarna merah dadu yang menggemaskan itu.. Syafa mulai menikmati ciuman Paul hingga tanpa ia sadari sebuah desahan terdengar dari mulutnya. Hal itu membuat Paul semakin bergairah dan berani. Tangannya mulai menjelajahi setiap inci tubuh Syafa. Gadis itu mengejang saat Paul mulaii menyentuh sisi tubuhnya yang sensitif.Selama ini Paul tidak pernah lebih dari me
"Kamu cantik, Syaa!" Tak henti-hentinya Paul memuji kecantikan istrinya. Apalagi ia sudah melihat secara keseluruhan dari wajah hingga tubuh Syafa tanpa terlewat sedikitpun. Menyirami, manyabuni, hingga memakaikan gaun malam yang sudah tersedia di lemari. Semua yang Paul lakukan membuatnya merasakan satu kepuasan tersendiri. Syafa sedang menyisir rambutnya yang masih basah. Paul menemukan pengering rambut di meja rias. Ia membukanya lalu membantu mengeringkan rambut panjang dan hitam milik istrinya. "Harusnya Aku yang mengurus Kak Paul. Ini Aku malah merepotkan Kakak terus," sesal Syafa dengan wajah merasa bersalah. Paul memandang wajah cantik Syafa dari cermin meja rias. Sesaat alat pengering rambut itu ia matikan. Lalu ia mengecup lembut kening istrinya. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku melakukan ini karena Aku sayang dan sangat mencintaimu. Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu. Janji?" Syafa mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum. Ada rasa haru melihat ketulus
"Ma ..., Aku mohon tolong maafin Ayah!" Maira langsung menghampiri Laura yang lengannya sudah terlepas dari Pratama. "Ayah, nanti aku minta penjelasan dari Ayah untuk masalah ini!" tegas Maira namun ia masih menahan intonasi bicaranya agar tidak terlalu mencolok. "Kamu nggak usah ikut campur. Ini urusan pribadi Ayah!" Pratama tampak tak suka dengan ucapan Maira.. "Sudahlah Maira, sebaiknya kita segera kembali ke meja makan. Mama nggak mau nanti ada salah paham dengan Bu Nuri Ayo, Sayang!"Laura meraih tangan menantunya hendak kembali ke restorant. Namun mereka terkejut saat melihat Nuri sudah berdiri di depan toilet dengan posisi membelakangi mereka. Pintu menuju taman memang tidak jauh dari toilet. Hingga mereka bisa melihat dengan jelas Nuri sedang berdiri hendak melangkah masuk ke dalam toilet. "Maira, Apa Nuri tadi melihatnya juga?" bisik Laura cemas. Maira yang juga terkejut hanya bisa menggeleng lemah. "Aku nggak tau, Ma," lirihnya. "Ya sudah, Ayo kita masuk!" Mereka m
"Apa maksud pertanyaanmu,Nuri?" Pratama bangkit dari kursinya lalu melangkah menghampiri istrinya. "Sudahlan Tama, Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Kamu tidak bisa membohongiku!" Nuri tersenyum getir dan membuang pandangan dari suaminya. Pratama merengkuh bahu Nuri hendak membawanya duduk di sofa ruang kerjanya. Namun Nuri menolak dan menjauh. "Jawab dulu pertanyaanku tadi, Tama!" Sorot mata Nuri semakin tajam. Hatinya sudah dikuasai oleh emosi. Pratama sontak menggeleng. "Pertanyaan macam apa itu? Laura itu besan kita. Mana mungkin aku mencintai dia." Kini suara Pratama yang semakin meninggi. "Lalu untuk apa kalian saling berkirim pesan di belakangku?" Lagi-lagi pertanyaan Nuri hampir membuat pria gagah paruh baya itu terlonjak. "A-aku tidak--" Pratama sontak menjadi gugup dan gelagapan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya dari mana Nuri mengetahuinya. "Ya memang aku sempat berkiirm pesan dengannya. Tapi sebatas mantan rekan kerja saja." Nuri terdiam, ia memang tidak tau is
Mobil Indra baru saja memasuki area parkir wilayah perkantoran di tengah ibukota kawasan segitiga emas. Salah satu gedung yang berada di wilayah perkantoran itu adalah perusahaan miliknya. Dengan bangga Indra keluar dari mobil dan memandang gedung megah yang berada di hadapannya. Pria paruh baya itu baru beberapa kali datang ke kantor itu. Terakhir kali saat ia menambahkan modal untuk perusahaan. Indra menjual semua aset miliknya yang ia dapat dari orang tuanya dulu, untuk mengembangkan perusahaan. Dan benar saja, perusahaan itu kini berkembang pesat di tangan Anita.. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa Saya bantu?" Seorang resepsionis bertanya pada Indra saat pria itu baru saja memasuki lobby.. "Saya mau ketemu Anita," sahut Indra yang masih terus melangkah menuju lift direksi. "Pak, Pak! Apa.Bapak sudah ada janji? Bu Anita sedang tidak bisa diganggu!" Wanita muda resepsionis itu langsung mengikuti Indra dengan panik. Karena Anita berpesan tidak menerima tamu hingga satu jam kedepan
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b