"Kamu cantik, Syaa!" Tak henti-hentinya Paul memuji kecantikan istrinya. Apalagi ia sudah melihat secara keseluruhan dari wajah hingga tubuh Syafa tanpa terlewat sedikitpun. Menyirami, manyabuni, hingga memakaikan gaun malam yang sudah tersedia di lemari. Semua yang Paul lakukan membuatnya merasakan satu kepuasan tersendiri. Syafa sedang menyisir rambutnya yang masih basah. Paul menemukan pengering rambut di meja rias. Ia membukanya lalu membantu mengeringkan rambut panjang dan hitam milik istrinya. "Harusnya Aku yang mengurus Kak Paul. Ini Aku malah merepotkan Kakak terus," sesal Syafa dengan wajah merasa bersalah. Paul memandang wajah cantik Syafa dari cermin meja rias. Sesaat alat pengering rambut itu ia matikan. Lalu ia mengecup lembut kening istrinya. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku melakukan ini karena Aku sayang dan sangat mencintaimu. Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu. Janji?" Syafa mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum. Ada rasa haru melihat ketulus
"Ma ..., Aku mohon tolong maafin Ayah!" Maira langsung menghampiri Laura yang lengannya sudah terlepas dari Pratama. "Ayah, nanti aku minta penjelasan dari Ayah untuk masalah ini!" tegas Maira namun ia masih menahan intonasi bicaranya agar tidak terlalu mencolok. "Kamu nggak usah ikut campur. Ini urusan pribadi Ayah!" Pratama tampak tak suka dengan ucapan Maira.. "Sudahlah Maira, sebaiknya kita segera kembali ke meja makan. Mama nggak mau nanti ada salah paham dengan Bu Nuri Ayo, Sayang!"Laura meraih tangan menantunya hendak kembali ke restorant. Namun mereka terkejut saat melihat Nuri sudah berdiri di depan toilet dengan posisi membelakangi mereka. Pintu menuju taman memang tidak jauh dari toilet. Hingga mereka bisa melihat dengan jelas Nuri sedang berdiri hendak melangkah masuk ke dalam toilet. "Maira, Apa Nuri tadi melihatnya juga?" bisik Laura cemas. Maira yang juga terkejut hanya bisa menggeleng lemah. "Aku nggak tau, Ma," lirihnya. "Ya sudah, Ayo kita masuk!" Mereka m
"Apa maksud pertanyaanmu,Nuri?" Pratama bangkit dari kursinya lalu melangkah menghampiri istrinya. "Sudahlan Tama, Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Kamu tidak bisa membohongiku!" Nuri tersenyum getir dan membuang pandangan dari suaminya. Pratama merengkuh bahu Nuri hendak membawanya duduk di sofa ruang kerjanya. Namun Nuri menolak dan menjauh. "Jawab dulu pertanyaanku tadi, Tama!" Sorot mata Nuri semakin tajam. Hatinya sudah dikuasai oleh emosi. Pratama sontak menggeleng. "Pertanyaan macam apa itu? Laura itu besan kita. Mana mungkin aku mencintai dia." Kini suara Pratama yang semakin meninggi. "Lalu untuk apa kalian saling berkirim pesan di belakangku?" Lagi-lagi pertanyaan Nuri hampir membuat pria gagah paruh baya itu terlonjak. "A-aku tidak--" Pratama sontak menjadi gugup dan gelagapan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya dari mana Nuri mengetahuinya. "Ya memang aku sempat berkiirm pesan dengannya. Tapi sebatas mantan rekan kerja saja." Nuri terdiam, ia memang tidak tau is
Mobil Indra baru saja memasuki area parkir wilayah perkantoran di tengah ibukota kawasan segitiga emas. Salah satu gedung yang berada di wilayah perkantoran itu adalah perusahaan miliknya. Dengan bangga Indra keluar dari mobil dan memandang gedung megah yang berada di hadapannya. Pria paruh baya itu baru beberapa kali datang ke kantor itu. Terakhir kali saat ia menambahkan modal untuk perusahaan. Indra menjual semua aset miliknya yang ia dapat dari orang tuanya dulu, untuk mengembangkan perusahaan. Dan benar saja, perusahaan itu kini berkembang pesat di tangan Anita.. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa Saya bantu?" Seorang resepsionis bertanya pada Indra saat pria itu baru saja memasuki lobby.. "Saya mau ketemu Anita," sahut Indra yang masih terus melangkah menuju lift direksi. "Pak, Pak! Apa.Bapak sudah ada janji? Bu Anita sedang tidak bisa diganggu!" Wanita muda resepsionis itu langsung mengikuti Indra dengan panik. Karena Anita berpesan tidak menerima tamu hingga satu jam kedepan
"Mas Indra, Kamu mau ke mana, Mas?" Anita yang baru saja terjaga berlari kecil mengejar suaminya yang sudah rapi dan hendak pergi lagi. Setelah bercinta, Anita tertidur sesaat di dalam pelukan Indra. Namun saat dia terjaga, ia melihat suaminya itu sudah mandi dan berpakaian, lalu melangkah keluar kamar. Melihat hal itu, Anita buru-buru bangkit dan mengenakan pakaiannya secara asal. Kemudian berlari mengejar suaminya. "Mas Indra, tunggu! Kamu mau ke mana lagi?" Indra tak menghiraukan istrinya, ia terus melangkah menghampiri mobilnya. Namun Anita tak menyerah, wanita itu mengetuk kaca mobil saat Indra baru saja masuk ke dalamnya. "Mas, buka! Buka sebenrar, Mas!" Perlahan Indra membuka kaca mobilnya. "Ada apa?" tanya pria itu dingin. "Mas Indra mau ke mana lagi?" Indra mendengkus kesal. "Memangnya Aku pernah bertanya padamu setiap kamu akan pergi dan entah kapan pulangnya?" Anita tersentak mendengar suara Indra yang meninggi. "Dengar Anita, Aku sudah muak dengan pernikahan i
"Om serius barusan melamar Aku? Aina terpekik karena tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan "Iy-iyaa, Sayang. Maafin Aku kalau aku terlalu cepat. Namun rasanya Aku hampir gila jika tak memilikimu." Indra membelai jemari Aina yang berada di meja makan.. "Bagaimana? Apakah kamu mau jadi istriku, Aina?" "Bagaimana dengan tante Anita, Om?" tanya Aina sambil menggenggam jemari Indra. Jemari keduanya kini saling mengenggam erat di atas meja. Ada kehangatan yang dirasakan oleh mereka. Debaran-debaran cinta yang menggelitik mulai hadir dan tumbuh. di hati masing-masing. "Pernikahanku dengan Anita sejak lama sudah terasa hambar. Sudah tidak ada lagi cinta di antara Kami," jawab Indra dengan tatapan kosong. "Jadi kamu mau kan, jadi istriku?" ulang Indra untuk yang ketiga kalinya. Aina terdiam.sejenak. Apakah Om indra memang jodohnya? Cinta Indra terlihat tulus. Indra memperlakukannya bagaikan seorang ratu.Aina pun mulai merasa nyaman dengan pria yang usianya terpaut jauh denganny
"Ada Apa, Sayang? Kenapa diam saja? Apa ada masalah dengan kedua orang tuamu?" Indra mengangkat kepalanya hendak melihat wajah Aina. "Aku nggak tau dimana Papiku sekarang, Om. Setelah perusahaan kami bangkrut, Papi memilih meninggalkan Aku dan Mami, lalu pergi bersama wanita pengusaha yang usianya lebih muda dari Mami." Aina memutuskan menceritakan semuanya pada Indra. Saat ini ia sudah merasa nyaman mencurahkan isi hatinya serta masalahnya dengan pria paruh baya itu. Indra merasa iba pada Aina. Ia memeluk Aina semakin erat dan menciumi puncak kepala wanita itu. "Baiklah. Kita akan cari Papimu. Aku sudah tak sabar ingin menjadikan kamu sebagai istriku." "A-apaa? Cari papi?" Aina tersentak. Ia tak mungkin mengatakan bahwa papinya sebenarnya adalah kekasih Anita. Indra mengangguk. "Kalau Mami kamu di mana?" "Mami ada di luar kota. Terpaksa numpang sama saudara, Om. Karena di sini kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Perusahaan bangkrut, Rumah disita, mobil disita." Wajah Aina san
"Mana laporan keuangan yang aku minta?" Anita dan teguh tersentak dan langsung menoleh ke pintu saat tiba-tiba mendengar suara pintu dibuka dan ada suara Indra di sana. Untung saja mereka hanya sedang berdiskusi, namun posisi mereka begitu dekat. Indra sama sekali tidak merasa cemburu. Justru ia sedang mencari alasan agar bisa menceraikan Anita. Namun menurutnya kini belum saatnya. Ia masih mencari bukti yang akurat. "Segera letakkan laporan itu di mejaku!" Indra memutar tubuhnya kemudian melangkah ke ruangannya.. "Sialan! Selama ini mereka telah menipuku! Menurut Rein, perusahaan ini mendapatkan keuntungan ratusan juta hingga milyaran setiap bulannya. Namun mereka menyembunyikan semua itu dariku." Indra menggerutu dalam hati. Sampai diruangannnya, Indra berpikir bagaimana agar Teguh mau menikahkannya? Apa sebaiknya ia pura-pura tidak tau saja sebelum berhasil menikahi Aina? Lalu bagaimana dengan Anita? Kepala Indra seakan ingin pecah. Ia akan membicarakan hal ini dengan Aina nan