"Hadiah mobil? Hadiah dari siapa, Pak?" tanya Paul sambil memandang mobil mewah itu dengan mengerutkan dahi. Ia tau harga mobil itu hampir mencapai dua milyar. "Maaf, Saya tidak tau dari siapa. Saya hanya bertugas mengantar saja. Ini tanda terimanya silakan ditandatangani!" Pria pengantar mobil itu memberikan selembar kertas pada Paul. "Tidak, Kak. Jangan ditandatangani!" sanggah Syafa sambil meraih tangan Paul. Lagi-lagi para tamu yang penasaran memandang heran pada Syafa. Sebuah hadiah berupa mobil mewah seharga milyaran itu ditolak oleh Syafa. "Huh, udah miskin, sombong! Mobil segitu mewahnya ditolak! Dasar kampungan!" Terdengar umpatan Aina yang ternyata berada diantara tamu-tamu yang berada di luar. Paul mendengar apa yang dikatakan Aina. Namun ia mencoba meredam emosinya. Ia menyesal telah mengundang wanita itu ke acaranya. Sejak tadi datang, Aina terus memandang tidak suka. pada Syafa. "Maaf, Pak. Istri Saya tidak mau menerima. Sebaiknya dikembalikan saja pada pemiliknya
" Para tamu sudah pulang, ayo kita kembali ke.hotel!"ajak Paul pada semua keluarganya. "Pak Akbar dan Bu Rita, sekalian aja nginap di hote malam ini. Kebetulan nanti malam Saya akan mengadakan makan malam bersama khusus keluarga, di restoran hotel. Mau, ya!" Semua mata menatap tak percaya saat Laura mengajak Akbar dan Rita ke hotel dengan semangat. Sepasang suami istri itu saling pandang, mereka bingung hendak menjawab apa. "Sudaah, harus mau pokoknya. Maira, pesankan satu kamar lagi untuk Pak Akbar dan Bu Rita!" "Oke, Ma!"Maira tersenyum senang. Satu jam yang lalu Laura baru saja meminta Maira memesan kamar untuk Paul dan Syafa. Laura meminta pihak hotel untuk merias kamar itu layaknya kamar pengantin. Kini ia kembali memesan kamar untuk Akbar dan Rita. Maira senang, akhirnya Laura bisa menerima Syafa dan keluarganya. Rein pun tersenyum bahagia. Ia sangat berterimakasih pada istrinya yang sejak awal tak pernah menyerah untuk membujuk mamanya. Perubahan sikap Laura tak luput da
"Kamu cantik sekali, Syaa. Jujur, sepertinya Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali memandangmu di rumah sakit itu. Aku terpana oleh wajah polosmu yang saat itu justru nampak pucat." Syafa tersenyum mendengar pujian dari suaminya. Pria yang juga pertama kali ia rasakan getaran yang berbeda setelah beberapa saat membuka matanya di rumah sakit , untuk pertama kalinya. Saat itu ia merasakan sangat nyaman berada di dekatnya. Ia pun merasa sangat beruntung dipersunting oleh pria tampan dan mapan seperti Paul. Paul kembali mengecup pipi, mata hidung serta bibir Syafa, dan berlama-lama di sana. Ia mulai merasakan candu akan bibir berwarna merah dadu yang menggemaskan itu.. Syafa mulai menikmati ciuman Paul hingga tanpa ia sadari sebuah desahan terdengar dari mulutnya. Hal itu membuat Paul semakin bergairah dan berani. Tangannya mulai menjelajahi setiap inci tubuh Syafa. Gadis itu mengejang saat Paul mulaii menyentuh sisi tubuhnya yang sensitif.Selama ini Paul tidak pernah lebih dari me
"Kamu cantik, Syaa!" Tak henti-hentinya Paul memuji kecantikan istrinya. Apalagi ia sudah melihat secara keseluruhan dari wajah hingga tubuh Syafa tanpa terlewat sedikitpun. Menyirami, manyabuni, hingga memakaikan gaun malam yang sudah tersedia di lemari. Semua yang Paul lakukan membuatnya merasakan satu kepuasan tersendiri. Syafa sedang menyisir rambutnya yang masih basah. Paul menemukan pengering rambut di meja rias. Ia membukanya lalu membantu mengeringkan rambut panjang dan hitam milik istrinya. "Harusnya Aku yang mengurus Kak Paul. Ini Aku malah merepotkan Kakak terus," sesal Syafa dengan wajah merasa bersalah. Paul memandang wajah cantik Syafa dari cermin meja rias. Sesaat alat pengering rambut itu ia matikan. Lalu ia mengecup lembut kening istrinya. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku melakukan ini karena Aku sayang dan sangat mencintaimu. Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu. Janji?" Syafa mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum. Ada rasa haru melihat ketulus
"Ma ..., Aku mohon tolong maafin Ayah!" Maira langsung menghampiri Laura yang lengannya sudah terlepas dari Pratama. "Ayah, nanti aku minta penjelasan dari Ayah untuk masalah ini!" tegas Maira namun ia masih menahan intonasi bicaranya agar tidak terlalu mencolok. "Kamu nggak usah ikut campur. Ini urusan pribadi Ayah!" Pratama tampak tak suka dengan ucapan Maira.. "Sudahlah Maira, sebaiknya kita segera kembali ke meja makan. Mama nggak mau nanti ada salah paham dengan Bu Nuri Ayo, Sayang!"Laura meraih tangan menantunya hendak kembali ke restorant. Namun mereka terkejut saat melihat Nuri sudah berdiri di depan toilet dengan posisi membelakangi mereka. Pintu menuju taman memang tidak jauh dari toilet. Hingga mereka bisa melihat dengan jelas Nuri sedang berdiri hendak melangkah masuk ke dalam toilet. "Maira, Apa Nuri tadi melihatnya juga?" bisik Laura cemas. Maira yang juga terkejut hanya bisa menggeleng lemah. "Aku nggak tau, Ma," lirihnya. "Ya sudah, Ayo kita masuk!" Mereka m
"Apa maksud pertanyaanmu,Nuri?" Pratama bangkit dari kursinya lalu melangkah menghampiri istrinya. "Sudahlan Tama, Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Kamu tidak bisa membohongiku!" Nuri tersenyum getir dan membuang pandangan dari suaminya. Pratama merengkuh bahu Nuri hendak membawanya duduk di sofa ruang kerjanya. Namun Nuri menolak dan menjauh. "Jawab dulu pertanyaanku tadi, Tama!" Sorot mata Nuri semakin tajam. Hatinya sudah dikuasai oleh emosi. Pratama sontak menggeleng. "Pertanyaan macam apa itu? Laura itu besan kita. Mana mungkin aku mencintai dia." Kini suara Pratama yang semakin meninggi. "Lalu untuk apa kalian saling berkirim pesan di belakangku?" Lagi-lagi pertanyaan Nuri hampir membuat pria gagah paruh baya itu terlonjak. "A-aku tidak--" Pratama sontak menjadi gugup dan gelagapan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya dari mana Nuri mengetahuinya. "Ya memang aku sempat berkiirm pesan dengannya. Tapi sebatas mantan rekan kerja saja." Nuri terdiam, ia memang tidak tau is
Mobil Indra baru saja memasuki area parkir wilayah perkantoran di tengah ibukota kawasan segitiga emas. Salah satu gedung yang berada di wilayah perkantoran itu adalah perusahaan miliknya. Dengan bangga Indra keluar dari mobil dan memandang gedung megah yang berada di hadapannya. Pria paruh baya itu baru beberapa kali datang ke kantor itu. Terakhir kali saat ia menambahkan modal untuk perusahaan. Indra menjual semua aset miliknya yang ia dapat dari orang tuanya dulu, untuk mengembangkan perusahaan. Dan benar saja, perusahaan itu kini berkembang pesat di tangan Anita.. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa Saya bantu?" Seorang resepsionis bertanya pada Indra saat pria itu baru saja memasuki lobby.. "Saya mau ketemu Anita," sahut Indra yang masih terus melangkah menuju lift direksi. "Pak, Pak! Apa.Bapak sudah ada janji? Bu Anita sedang tidak bisa diganggu!" Wanita muda resepsionis itu langsung mengikuti Indra dengan panik. Karena Anita berpesan tidak menerima tamu hingga satu jam kedepan
"Mas Indra, Kamu mau ke mana, Mas?" Anita yang baru saja terjaga berlari kecil mengejar suaminya yang sudah rapi dan hendak pergi lagi. Setelah bercinta, Anita tertidur sesaat di dalam pelukan Indra. Namun saat dia terjaga, ia melihat suaminya itu sudah mandi dan berpakaian, lalu melangkah keluar kamar. Melihat hal itu, Anita buru-buru bangkit dan mengenakan pakaiannya secara asal. Kemudian berlari mengejar suaminya. "Mas Indra, tunggu! Kamu mau ke mana lagi?" Indra tak menghiraukan istrinya, ia terus melangkah menghampiri mobilnya. Namun Anita tak menyerah, wanita itu mengetuk kaca mobil saat Indra baru saja masuk ke dalamnya. "Mas, buka! Buka sebenrar, Mas!" Perlahan Indra membuka kaca mobilnya. "Ada apa?" tanya pria itu dingin. "Mas Indra mau ke mana lagi?" Indra mendengkus kesal. "Memangnya Aku pernah bertanya padamu setiap kamu akan pergi dan entah kapan pulangnya?" Anita tersentak mendengar suara Indra yang meninggi. "Dengar Anita, Aku sudah muak dengan pernikahan i