"Syafa ... Syafa ... tunggu! Aku mohon tunggu sebentar!" Syafa menghentikan kursi rodanya saat mendengar suara Paul yang menyusulnya. "Maafin Aku, Kak!" "Bapak Boy masih menunggu kita." Paul mencoba untuk membujuk Syafa yang kini sudah menjadi istrinya. Ia meliriik Boy Azka yang masih berdiri menatap mereka berdua. Syafa menggeleng. "Dia tidak mungkin menungguku, Kak. Aku bukan siapa-siapa. Tolong bawa Aku ke ruang rias, Kak. Aku lelah." Syafa tak mau lagi menoleh pada Boy Azka. Saat ini ia berusaha untuk melupakan kenyataan bahwa ia adalah anak kandung laki-laki itu. Entah siapa ibunya. Ia tak ingin peduli. Saat ini yang dia anggap sebagai orang tuanya hanyalah Akbar dan Rita. Tak lama kemudian terdengar suara MC mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan. Suara musik mulai terdengar mengalun. Para tamu mulai bebas sambil menunggu acara resepsi yang akan diadakan di ballroom restoran ini. "Non, Non Syafa, tunggu, Non!" Paul kembali menghentikan kursi roda Syafa saat me
"Bagaimana Ibra, Apa sudah dipastikan tidak ada yang merekam atau mengambil gambarku di acara tadi?" Boy Azka bertanya pada salah satu orang suruhannya yang berada di dalam mobil. "Sudah, Pak. Kami juga sudah meminta bagian dokumentasi menghapus video rekaman saat akad nikah. Kami juga berkeliling melarang beberapa tamu yang hendak mengambil gambar Bapak," jawab Ibra, pria berpakaian safari yang duduk di sebelah supir. "Bagus! Segera bagikan lagi postingan video keberadaanku di luar negeri. Aku tidak mau sampai ada berita yang merusak citraku!" Pria bersuara berat itu berbicara tegas. "Pak, ada pesan dari Ibu, Bapak kapan nyusul ke Paris?" tanya Ibra setelah membuka ponselnya. "Tidak. Aku tidak akan menyusulnya. Biar saja semua orang tau Aku sedang tidak di Indonesia. Dalam dua minggu ini ada hal yang sedang Aku rencanakan," jawab Boy dengan sebuah senyuman menatap jalan melalui jendela mobil. ia seakan sedang membayangkan seseorang. "Pak, siang ini ada resepsi pernikahan Syafa d
"Hadiah mobil? Hadiah dari siapa, Pak?" tanya Paul sambil memandang mobil mewah itu dengan mengerutkan dahi. Ia tau harga mobil itu hampir mencapai dua milyar. "Maaf, Saya tidak tau dari siapa. Saya hanya bertugas mengantar saja. Ini tanda terimanya silakan ditandatangani!" Pria pengantar mobil itu memberikan selembar kertas pada Paul. "Tidak, Kak. Jangan ditandatangani!" sanggah Syafa sambil meraih tangan Paul. Lagi-lagi para tamu yang penasaran memandang heran pada Syafa. Sebuah hadiah berupa mobil mewah seharga milyaran itu ditolak oleh Syafa. "Huh, udah miskin, sombong! Mobil segitu mewahnya ditolak! Dasar kampungan!" Terdengar umpatan Aina yang ternyata berada diantara tamu-tamu yang berada di luar. Paul mendengar apa yang dikatakan Aina. Namun ia mencoba meredam emosinya. Ia menyesal telah mengundang wanita itu ke acaranya. Sejak tadi datang, Aina terus memandang tidak suka. pada Syafa. "Maaf, Pak. Istri Saya tidak mau menerima. Sebaiknya dikembalikan saja pada pemiliknya
" Para tamu sudah pulang, ayo kita kembali ke.hotel!"ajak Paul pada semua keluarganya. "Pak Akbar dan Bu Rita, sekalian aja nginap di hote malam ini. Kebetulan nanti malam Saya akan mengadakan makan malam bersama khusus keluarga, di restoran hotel. Mau, ya!" Semua mata menatap tak percaya saat Laura mengajak Akbar dan Rita ke hotel dengan semangat. Sepasang suami istri itu saling pandang, mereka bingung hendak menjawab apa. "Sudaah, harus mau pokoknya. Maira, pesankan satu kamar lagi untuk Pak Akbar dan Bu Rita!" "Oke, Ma!"Maira tersenyum senang. Satu jam yang lalu Laura baru saja meminta Maira memesan kamar untuk Paul dan Syafa. Laura meminta pihak hotel untuk merias kamar itu layaknya kamar pengantin. Kini ia kembali memesan kamar untuk Akbar dan Rita. Maira senang, akhirnya Laura bisa menerima Syafa dan keluarganya. Rein pun tersenyum bahagia. Ia sangat berterimakasih pada istrinya yang sejak awal tak pernah menyerah untuk membujuk mamanya. Perubahan sikap Laura tak luput da
"Kamu cantik sekali, Syaa. Jujur, sepertinya Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali memandangmu di rumah sakit itu. Aku terpana oleh wajah polosmu yang saat itu justru nampak pucat." Syafa tersenyum mendengar pujian dari suaminya. Pria yang juga pertama kali ia rasakan getaran yang berbeda setelah beberapa saat membuka matanya di rumah sakit , untuk pertama kalinya. Saat itu ia merasakan sangat nyaman berada di dekatnya. Ia pun merasa sangat beruntung dipersunting oleh pria tampan dan mapan seperti Paul. Paul kembali mengecup pipi, mata hidung serta bibir Syafa, dan berlama-lama di sana. Ia mulai merasakan candu akan bibir berwarna merah dadu yang menggemaskan itu.. Syafa mulai menikmati ciuman Paul hingga tanpa ia sadari sebuah desahan terdengar dari mulutnya. Hal itu membuat Paul semakin bergairah dan berani. Tangannya mulai menjelajahi setiap inci tubuh Syafa. Gadis itu mengejang saat Paul mulaii menyentuh sisi tubuhnya yang sensitif.Selama ini Paul tidak pernah lebih dari me
"Kamu cantik, Syaa!" Tak henti-hentinya Paul memuji kecantikan istrinya. Apalagi ia sudah melihat secara keseluruhan dari wajah hingga tubuh Syafa tanpa terlewat sedikitpun. Menyirami, manyabuni, hingga memakaikan gaun malam yang sudah tersedia di lemari. Semua yang Paul lakukan membuatnya merasakan satu kepuasan tersendiri. Syafa sedang menyisir rambutnya yang masih basah. Paul menemukan pengering rambut di meja rias. Ia membukanya lalu membantu mengeringkan rambut panjang dan hitam milik istrinya. "Harusnya Aku yang mengurus Kak Paul. Ini Aku malah merepotkan Kakak terus," sesal Syafa dengan wajah merasa bersalah. Paul memandang wajah cantik Syafa dari cermin meja rias. Sesaat alat pengering rambut itu ia matikan. Lalu ia mengecup lembut kening istrinya. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku melakukan ini karena Aku sayang dan sangat mencintaimu. Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu. Janji?" Syafa mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum. Ada rasa haru melihat ketulus
"Ma ..., Aku mohon tolong maafin Ayah!" Maira langsung menghampiri Laura yang lengannya sudah terlepas dari Pratama. "Ayah, nanti aku minta penjelasan dari Ayah untuk masalah ini!" tegas Maira namun ia masih menahan intonasi bicaranya agar tidak terlalu mencolok. "Kamu nggak usah ikut campur. Ini urusan pribadi Ayah!" Pratama tampak tak suka dengan ucapan Maira.. "Sudahlah Maira, sebaiknya kita segera kembali ke meja makan. Mama nggak mau nanti ada salah paham dengan Bu Nuri Ayo, Sayang!"Laura meraih tangan menantunya hendak kembali ke restorant. Namun mereka terkejut saat melihat Nuri sudah berdiri di depan toilet dengan posisi membelakangi mereka. Pintu menuju taman memang tidak jauh dari toilet. Hingga mereka bisa melihat dengan jelas Nuri sedang berdiri hendak melangkah masuk ke dalam toilet. "Maira, Apa Nuri tadi melihatnya juga?" bisik Laura cemas. Maira yang juga terkejut hanya bisa menggeleng lemah. "Aku nggak tau, Ma," lirihnya. "Ya sudah, Ayo kita masuk!" Mereka m
"Apa maksud pertanyaanmu,Nuri?" Pratama bangkit dari kursinya lalu melangkah menghampiri istrinya. "Sudahlan Tama, Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Kamu tidak bisa membohongiku!" Nuri tersenyum getir dan membuang pandangan dari suaminya. Pratama merengkuh bahu Nuri hendak membawanya duduk di sofa ruang kerjanya. Namun Nuri menolak dan menjauh. "Jawab dulu pertanyaanku tadi, Tama!" Sorot mata Nuri semakin tajam. Hatinya sudah dikuasai oleh emosi. Pratama sontak menggeleng. "Pertanyaan macam apa itu? Laura itu besan kita. Mana mungkin aku mencintai dia." Kini suara Pratama yang semakin meninggi. "Lalu untuk apa kalian saling berkirim pesan di belakangku?" Lagi-lagi pertanyaan Nuri hampir membuat pria gagah paruh baya itu terlonjak. "A-aku tidak--" Pratama sontak menjadi gugup dan gelagapan. Dalam hatinya ia bertanya-tanya dari mana Nuri mengetahuinya. "Ya memang aku sempat berkiirm pesan dengannya. Tapi sebatas mantan rekan kerja saja." Nuri terdiam, ia memang tidak tau is