" Sebentar, bagaimana jika nanti Ayah marah lagi? Kamu nggak apa-apa?"Tiba-tiba Rein berhenti dan meraih jemari Shinta. Shinta menoleh pada Rein. Mereka berdua saling tatap dalam beberapa detik. "Aku nggak apa-apa. Bukankah kamu bilang kita harus berjuang sama-sama?" Shinta berbicara pelan. Genggaman tangan Rein begitu erat. Seakan ingin saling memberi kekuatan. "Terima kasih, Sayang!" Rein mengecup singkat jemari Shinta. Hingga ada rona kemerahan di wajah cantik itu. "Yuk, ke dalam!" Perlahan Shinta melepaskan jemarinya dan melangkah lebih dulu menuju ruang makan. Rein tersenyum kagum pada Shinta. Walau wanita itu pernah menikah, tapi dia sangat pandai menjaga diri. Pria bule super tampan itu merasa gemas melihat Shinta kadang masih malu-malu seperti seorang remaja. Langkah mereka telah sampai di ruang makan yang cukup luas. "Ayah, Ibu, kak Hafiz dan Hikmah. Aku ngajak Rein sekalian sarapan di sini, ya!" "Ayo, Rein sini gabung!" sapa Hafiz Hangat. Hikmah ikut tersenyum pada S
"Non ... Non Shinta! Ada ribut-ribut di luar, Non!" Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri Shinta yang berada di ruang kerjanya. "Ada apa? Ribut-ribut apa?" Wanita cantik yang sudah bersiap-siap hendak berangkat ke kantor itu tiba-tiba bangkit dari kursi kebesarannya.. Shinta sedang mempersiapkan bahan untuk rapat pagi ini. Karena Rein akan ikut serta dalam rapat, pria itu berjanji akan menjemputnya pagi ini. Sejak setengah jam yang lalu Shinta memutuskan menyelesaikan pekerjaannya sambil menunggu Rein. "Non, ada beberapa preman menyerobot hendak masuk. Mereka mencari Tuan Raka." Mang Ujang berlari ketakutan menghampiri Shinta. "Ya bilang aja kalau yang namanya Raka sudah nggak tinggal di sini!" ujar Shinta sedikit panik. Mendengar kata preman, dirinya mulai bergidik."Mereka tidak percaya, Non. Mereka bilang Tuan Raka memberi alamat ini pada mereka. Seketika wajah cantik itu menggelap. Shinta tidak habis pikir dengan mantan suaminya itu. "Ya sudah. Ayo kita temui m
"Ampun, Bos. Saya Sapto. Raka menghamili anak saya-Kayla. Saya sudah pernah menemui Raka di club. Tapi waktu itu dia terburu-buru dan memberikan alamat rumah ini pada Saya." Pria yang mengaku bernama Sapto itu bercerita dengan kepala tertunduk. Rein menghempas napas kasar. Dia menoleh pada Shinta. "Tapi Raka tidak ada di sini, Rein." ujar Shinta. Ia merasa tatapan Rein sedang menanyakan hal itu padanya. Rein kembali menoleh pada pria bernama Sapto itu. "Kamu dengar, kan? Raka sudah tidak tinggal.di sini lagi," ulang Rein tegas. Sapto terlihat sedih. "Lalu ke mana lagi Saya harus mencarinya, Bos?" Pria paruh baya itu terdengar putus asa. Mereka terdiam sesaat. "Bapak bisa mencari Raka di apartemennya atau tempat biasa mereka berkencan. Putri Bapak pasti tau." Shinta berusaha bicara dengan tenang. "Kayla tidak mau bicara. Ia tertekan. Kayla menyebut nama Raka berkali-kali." Wajah Sapto sedih. "Saya ... minta tolong ...!" lanjut Sapto lagi pelan. Rein dan Shinta saling memanda
"Nuri, ayolah, jangan diamkan Aku terus seperti ini!' Pratama terus membujuk istrinya tanpa lelah. Di rumah Shinta kemarin Hafiz berhasil membujuk ibunya untuk pulang ke rumah. Walau sebenarnya Nuri ingin Pratamalah yang seharusnya membujuk. Namun pria paruh baya itu tetap bersikukuh dengan gengsinya yang sangat tinggi. Pria paruh baya itu selalu menjaga harga dirinya, terutama di depan anak dan menantunya. Kalau bukan karena Hikmah hendak melahirkan, wanita itu juga tidak mau pulang ke Bogor. Apalagi Pratama nampak sama sekali tidak ingin menyelesaikan masalah mereka. Namun keesokan harinya, disaat anak dan menantunya pulang, Pratama mulai tidak betah menghadapi Nuri yang terus saja diam. Walau wanita itu tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus pratama dengan baik, tetap saja Pratama tidak merasa nyaman jika didiamkan lebih dari satu hari. "Nuri ..." Pratama bagai anak kecil yang terus mengikuti ibunya kemana pun wanita itu melangkah. "Seharusnya Aku tidak kembali ke ru
"Selamat pagi, Bu Shinta. Tadi ada seseorang yang mencari Ibu, tapi tidak menyebutkan namanya." Shinta baru saja tiba di lobby, ketika seorang resepsionis menghampirinya. Langkah Shinta terhenti. Rein yang melangkah di belakangnya mendengar jelas apa yang dikatakan oleh resepsionis itu. Pria itu pun perlahan berhenti tepat di sebelah Shinta. "Seseorang? Laki-laki atau perempuan?" Shinta menyipitkan matanya. "Laki-laki Bu. Bule, tampan, badannya tinggi besar seperti ... ehm, Tuan Rein," ujar wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu malu-malu melirik pada Rein. Shinta mengulum senyum sambil melirik pada Rein yang pura-pura tidak mendengar. "Apa dia meninggalkan pesan?" tanya Shinta penasaran. "Tadi dia minta nomor ponsel Bu Shinta. Tapi saya tidak berani kasih." Shinta mengangguk. "Baiklah. Jika dia datang lagi, boleh beritahu saya!" ucap Shinta sambil melangkah menuju lift. "Ayo Rein. Kita langsung ke ruanganku!" Shinta bersiap melangkah hendak masuk ke dalam lift. Tiba-t
"Yuda, bisa bantu Aku? Hari ini aku akan melamar Shinta." Pagi itu, melalui ponselnya, Rein menghubungi Yudatara, sahabat terdekatnya. Ia tidak tau akan menghubungi siapa lagi. Saat ini Rein benar-benar sebatang kara. Konon, Robert diusir oleh keluarga besarnya karena sesuatu hal yang hingga kini Rein tidak pernah tau penyebabnya. Sampai saat ini Rein tidak mengenal siapa keluarga besar dari Ayah dan ibunya. "Apaa? Hari ini? Kenapa mendadak sekali?" sahutYuda dari seberang sana. "Aku ... nggak mau jika ditunda-tunda lagi,Yud. Shinta dalam bahaya. Aku ingin menjaganya dua puluh empat jam." "Baiklah, Apa yang bisa Aku bantu?" "Aku ingin Kamu dan Salma menemaniku ke rumah Pratama." "Oke baiklah, Aku dan Salma akan mempersiapkan beberapa parcel untuk hantaran ke sana." Yuda menjawab antusias. Sahabat Rein itu ikut merasa bahagia. Ia tau betul bagaimana kisah cinta Rein yang begitu rumit dan tragis. Rein terharu mendengar jawaban Yuda. Sungguh sahabatnya itu telah banyak berjasa
Mobil Rein telah memasuki komplek perumahan dimana Pratama tinggal. Mobil CRV hitam itu berhenti di depan sebuah rumah yang pernah ia singgahi bersama Shinta. Rein memarkir mobilnya di tepi jalan. Kemudian turun dan masuk ke rumah minimalis bernuansa asri itu. "Selamat siang, Bu Nuri!" sapa Rein saat melihat Bu Nuri sedang menyapu teras. Shinta pernah bercerita kalau ibu tirinya itu menolak memakai jasa asisten rumah tangga. Semua ia kerjakan sendiri. "Oalaah, Nak Rein. Parkir di dalam saja mobilnya.!" Nuri tersenyum lebar saat mengetahui kedatangan Rein. "Baik, Bu." Rein bergegas kembali keluar dan memarkir mobilnya di halaman rumah Pratama. Sementara di dalam rumah, Pratama mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangannya. Pria itu lantas keluar hendak melihat siapa yang datang. Pria itu tersentak melihat Rein sedang memarkir mobilnya di dalam halamannya. "Hmm ... berani juga anak si Robert ini datang sendiri ke sini. Ayo kita lihat. Seberapa beraninya dia." Pratama terseny
"Ayah becanda, kan? Barusan yang Ayah bilang itu bohong, kan? Ayah nggak benar-benar menerima lamaran dia, kan?" Raka mencecar Pratama dengan berbagai pertanyaan. Wajah pria berpenampilan klimis itu terlihat panik. Hatinya terasa diremas saat Pratama mengatakan bahwa dia terlambat karena Pratama telah menerima lamaran Rein. Hatinya gusar tak karuan. Harapannya yang begitu tinggi, tiba-tiba saja terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Sementara Rein masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar tadi. Bukankah tadi Pratama mengatakan agar dia jangan terlalu berharap? Atau ini hanya pura-pura saja? Rein masih menduga-duga. Walau tanpa ia sadari seulas senyum telah terbit di bibirnya yang tipis. "Ayah nggak serius, kan?" Lagi, Raka bertanya pada Pratama dengan wajah yang mulai pias.Pria klimis itu memandangi satu-satunya pria paruh baya di ruangan itu dengan tatapan intens. "Raka, Ayah minta maaf. Kamu memang sudah banyak berjasa pada Ayah. Tapi, kamu juga telah melukai putr