Bab 3"Sayang, jelaskan pada ibu kalau semua ini salah paham.""Ibu tidak menungguku selesai bicara malah berteriak memanggil Mas Fadil," ucapku."Bilang saja kamu ngeles 'kan?" tuding ibu mertua.Aku tertawa. "Bu, mereka itu salah alamat. Untung saja semua barang-barang tidak sampai mereka bawa.""Mana mungkin salah rumah," sangkal ibu mertua."Mungkin saja, buktinya tadi." sahutku."Sudah, Bu. Semua itu salah paham, Aya tidak akan mungkin pinjam uang pada rentenir, kami punya tabungan, Bu." Mas Fadil membela, ia tahu istrinya ini tidak akan mungkin meminjam uang apalagi pada lintah darat."Kamu malah belain dia. Jadi suami itu jangan takut istri, kamu sengaja mau tutupi semuanya dari ibu?"Mas Fadil terlihat menghela nafas panjang. "Bu, Aya tadi 'kan sudah jelaskan kalau memang ini salah paham. Kalaupun iya Aya pinjam uang ke rentenir, untuk apa?"Ibu mertua mengedikkan bahunya. "Mana ibu tahu. Mungkin dia iri mau beli barang bagus seperti Elena."Sekuat tenaga aku menahan tawa. Ibu
Bab 4Benda itu sudah berada di tanganku."Ini mainan milik Vano, kemarin saat kalian pergi ke acara hajatan Mbak di rumah bersama Mas Fadil dan juga Vano. Vano dititpkan karena Mbak Tyas ada urusan," jelasku.Rika mengangguk-anggukan kepalanya."Biar nanti Mbak kembalikan," lanjutku.Gadis itu kembali berjongkok dan mengambil dus sneakers yang kusimpan di sana. Tidak bisa membayangkan jika ia mengotak-atik dan menarik pelatuknya. Membayangkannya saja aku tidak mampu.Sudahlah …. Sekarang yang penting Rika tidak curiga.“Mbak, ini tidak apa-apa aku pinjam? Rasanya sayang kalau dipakai, ini bagus sekali. Aku saja tidak pernah melihat sepatu seperti ini dipakai orang selain di tv.”"Kalau suka ambil saja.""Tidak, ini milik Mbak Aya. Ini pasti mahal.""Itu kw," dustaku.Jelas saja itu bukan barang tiruan, aku membawanya dari rumah waktu itu. Jika Rika tahu harga asli sepatu itu yang sama dengan dua buah motor, sudah pasti ia tidak akan percaya. Tentu saja karena Mas Fadil dan keluargan
Bab 5“Sebentar, Ma.”Suara kusenyapkan sebelum membuka pintu agar Mama tidak mendengar pembicaraan kami nanti, headset masih menyumpal telinga dan ponsel masih dalam genggaman.“Ada apa?” tanyaku pada Elena.Pandangan Elena langsung mengarah ke ponselku.“Dari mana Mbak punya ponsel mahal seperti itu?” Nada suaranya begitu merendahkan, ingin rasanya kutonjok mulut lancangnya itu.Sabar, Zendaya!Aku menghela nafas panjang. “Ini kw, kenapa? Mau belikan yang asli?”Elena mencibir. “Kalau tidak mampu jangan membeli barang tiruan, beli saja ponsel biasa. Pengen terlihat kaya tapi menipu.”“Cepat katakan, apa maumu? Aku sibuk.”“Kenapa Mbak tidak mencuci bajuku?”Tawaku langsung pecah. “Mencuci bajumu? Kau pikir kau siapa? Kenapa aku harus mencucikan bajumu. Dengar ya, aku mencucikan baju ibu karena itu tanda baktiku pada ibu dari suamiku. Bukan berarti kau bisa seenaknya menyuruhku. Kau 'kan anak orang kaya, sewa pembantu atau bawa semua bajumu itu ke laundry. Rika saja mencuci bajunya s
Bab 6Tok! Tok! Tok!Terdengar ketukan pintu dibarengi suara salam dari luar, dari suaranya bisa kutebak kalau itu Bu Ajeng.Dengan cepat ibu mertua melangkan membukakan pintu, tinggal aku dan Elena yang dari tadi melayangkan tatapan tajam. Apa ia pikir aku takut? Bersikap seolah aku anak kecil yang takut jika ditatap seperti itu.“Hati-hati, matamu loncat keluar nanti!” tegurku.“Dasar menyebalkan! Tunggu saja ibu kembali,” sungutnya.Aku tertawa. “Kenapa harus menunggu ibu? Tidak berani melawanku sendiri? Cih! Dasar anak manja.”Belum sempat Elena kembali bicara, ibu mertua datang.“Aya, siapkan makanan. Arisan akan diadakan di sini, tidak jadi di rumah Bu Ajeng karena suaminya sedang sakit. Kamu cepat bikin makanan ya, jangan cuman kue-kue tapi makanan berat juga.”"Makanan berat? Batu?" sahutku.“Aya! Ibu serius!” tegurnya dengan galak.“Iya, Bu. Terus uangnya mana?” Aku mengulurkan tangan terbuka meminta uang untuk konsumsi.“Pakai dulu uangmu, nanti ibu ganti. Sekarang ibu mau si
Bab 7“Aya sayang, tolong bantuin ibu, Nak.”Suara ibu mertua yang begitu lembut memanggilku. Mentang-mentang banyak orang, kalau tidak ada sudah pasti akan dimarahi karena pesanan makanan tadi.Aku sudah siap untuk dimarahi dan sudah biasa, terkadang kasihan pada ibu mertua karena setiap hari marah-marah padaku.Apa tekanan darahnya tidak baik marah-marah terus?“Iya, Bu. Sebentar.”Sebagai menantu yang baik jangan sampai mempermalukan mertua di depan banyak orang. Ibu mertua meminta untuk menyiapkan semua makanan yang tadi baru saja datang.“Wah, Jeng Diah royal juga ya. Makanannya dari restoran mahal,” celetuk Bu Hesti, tetanggaku satu ini memang paling banyak ngomong.“Iya dong, Jeng. Masa menyambut kalian dengan nasi kotak,” sahut ibu mertua terdengar jumawa.“Pasti ini dari menantu baru Jeng Diah ya?” timpal Bu Nia.“Iya. Sebagai menantu dia jelas baik sekali, tidak pernah membiarkan ibu mertuanya ini kesusahan.” Ibu mertua bicara sambil melirik padaku. Seolah menyindir.“Menant
ISTRI DEKIL YANG SELALU DIHINA TERNYATA ANAK SEORANG MAFIABab 8“Jaga mulutmu itu! Sembarangan menuduhku maling!”“Kalau bukan maling lalu apa? Tadi terlihat kaget saat kupanggil, Mbak juga mau apa masuk ke ruangan orang diam-diam seperti itu?”Kuhela nafas panjang. “Bukan urusanmu! Mau aku mencuri kek mau apa, terserahku.”“Aku akan melaporkan pada ibu.”Tawaku lepas. “Dimana-mana orang mencuri itu dilaporkan ke polisi bukan pada ibu, sepertinya kau demam.”Seorang wanita datang mendekat. “Len, bukankah ini Mbak Aya. Kakak ipar suamimu?”“Iya. Dia mengendap-endap akan masuk ruangan itu,” ujar Elena.Kulihat Chintya berjalan mendekat sambil membawa nampan berisi air minum. Memberikan isyarat padanya agar tidak bicara apapun.“Mbak, silahkan tunggu di dalam,” ucap Chintya.Pintar!Menjulurkan lidah pada Elena sebelum masuk ke dalam ruangan. Sudah pasti ia akan menceritakan ini pada ibu mertua.Ia cerita pun ibu mertua tidak akan percaya.“Maafkan aku Chintya tapi aku tidak membawa uan
ISTRI DEKIL YANG SELALU DIHINA TERNYATA ANAK MAFIABab 9Setelah kejadian cincin imitasi itu, ibu mertua benar-benar marah. Berkali-kali meminta maaf tapi seolah tidak dipedulikan. Jadi merasa bersalah, takut jika apa yang kulakukan ini terlalu berlebihan.Apa harus kuberikan yang asli?Entahlah. Nanti juga ibu bersikap biasa lagi, marahnya ibu mertua tidak akan lama.“Mbak, ibu mana?” tanya Rika yang baru keluar dari kamarnya.“Tidak tahu, tadi pergi keluar bersama Elena,” jawabku.Rika terlihat menghela nafas panjang.“Kenapa?”Rika menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kalau ibu pulang tolong katakan aku main ke rumah Echa ya, Mbak.”Aku mengangguk. Rasanya tidak ada semangat hidup, apalagi Mas Fadil mengatakan ia tidak akan pulang. Hanya ia yang membuatku bertahan dan betah di rumah ini, malas jika harus menunggu sampai minggu depan lagi.Tidak enak sekali hubungan jarak jauh seperti ini tapi sekalinya bertemu, rasanya sangat membahagiakan.Sepertinya aku harus benar-benar bekerja, bos
ISTRI DEKIL YANG SELALU DIHINA TERNYATA ANAK MAFIABab 10Kusuguhkan kopi dan juga cemilan.“Dit, kopimu masih dibuatkan oleh Elena,” ucapku pada adik iparku itu.“Iya, Mbak,” jawabnya.“Mas, aku tidur duluan boleh?”Mas Fadil tersenyum menatapku, mengelus lenganku dengan lembut. “Iya, sayang. Sebentar lagi Mas menyusul.”Aku mengangguk lalu kembali masuk ke dalam, berhenti saat ada di kerumunan tiga wanita itu.“Elena, Radit minta dibuatkan kopi.”“Mbak saja yang buatkan, aku sibuk," sahutnya masih dengan fokus menatap layar ponsel.“Aku juga sibuk.”“Biar aku saja yang buatkan.” Mitha langsung berdiri.Mau cari muka ternyata.“Baik sekali kamu, Nak. Terima kasih ya.” Ibu mertua seperti sengaja memuji Mitha di depanku, seharusnya yang tersindir itu Elena dan seharusnya juga ibu menatap menantu kesayangannya bukan memicing ke arahku.Tidak peduli dengan mereka, lebih baik mengarungi dunia mimpi.Rasanya nikmat sekali saat punggung menempel pada kasur yang empuk. Mataku sudah berat, se