Aku pikir menikah untuk membayar hutang orang tua hanya terjadi di dalam novel. Tapi ternyata, kisah seperti itu memang ada di dunia nyata dan aku sendiri mengalaminya.
Hari ini aku menikah dengan seorang pria tampan kaya raya yang sebelumnya tidak aku kenal. Dia adalah David Mario Kalingga, putra sulung keluarga Kalingga yang terkenal dengan bisnis real estatenya yang tersebar di seluruh indonesia dan beberapa negara di Asia.Dulu, bertahun-tahun silam sebelum aku lahir, Ayah dan Ibuku memiliki hutang pada keluarga Kalingga, entah jumlahnya berapa mereka tidak pernah memberitahukannya padaku. Mereka hanya bilang, tidak sanggup membayar hutang dan keluarga Kalingga memberi penawaran sebagai keringanan, yaitu aku harus menikah dan melahirkan keturunan untuk keluarga mereka.Tentu saja aku menolak, karena aku ingin fokus kuliah dan berkarir. Aku pikir untuk sekelas keluarga Kalingga, mereka akan memilih wanita dari keluarga kaya yang sepadan dengan status sosial mereka, bukan aku yang hanya anak seorang penjual roti.Arinda Kalingga, yaitu Ibu mertuaku, menjelaskan kalau mereka menginginkan menantu yang mau mengabdikan dirinya pada keluarga serta bersedia mengurus anak. Kebanyakan wanita modern zaman sekarang, menunda-nunda memiliki anak atau bahkan tidak menginginkanya, mereka juga lebih suka memakai jasa baby sitter daripada harus mengasuh anaknya sendiri.Namun, orang tuaku memperjelas bahwa keluarga Kalingga memiliki trauma pada menantu pertama mereka, David pernah menikah sebelumnya dan hanya bertahan selama tiga tahun. Aku pernah mendengar desas-desus kalau David sulit memiliki keturunan atu mungkin tidak bisa, tapi ada juga rumor yang mengatakan kalau mantan istri David menolak memiliki keturunan dan selingkuh dengan pria dari negara asing."Kamu masih melamun? Seharusnya kamu membersihkan diri dan bersiap menyambutku!" Tiba-tiba David datang, dia masih memakai pakaian formal dengan raut wajah yang sama, masam dan menyeramkan."Dengar ya, kamu menikah denganku hanya modal tampang dan selangkangan. Beruntung keluargaku memilih kamu, jadi kamu harus lebih tahu diri dan jalankan peranmu sebagai istri dengan baik!"Aku hanya menghela napas dan mendengarkannya, tidak berani menjawab apalagi menentang. Sungguh, kaki dan pinggulku pegal-pegal karena berjam-jam berdiri menyambut para tamu, tapi pria arogan itu tampaknya tak mau mengerti keadaanku, dia inginnya aku sudah memakai lingerie sexy begitu dia sampai di kamar. Menyebalkan!.Sesaat kemudian dia berjalan ke arahku dan mengangkat daguku dengan sebelah tangannya. "Aku bicara padamu Bella, apa kamu tuli? Bisu? Kenapa kamu hanya diam saja?" Tanyanya pria itu diiringi geraman yang membuatku merinding.Dengan lembut aku menepis cengkeraman jemari David dari daguku.Aku berusaha tenang, tidak mau terpancing emosi, aku bukan gadis penakut yang tidak berani membalasnya hanya saja aku tahu posisiku saat ini, aku menatapnya lalu berkata, "Aku tidak tuli, aku bisa mendengar suaramu dengan sangat jelas jadi tolong pelankan suaramu. Aku bisa bicara tapi aku sedang lelah, aku hanya ingin istirahat sebentar badanku pegal-pegal, tolong mengerti!"David menyeringai, "Istirahat? Kamu menikah denganku untuk membayar hutang, bukan untuk istirahat dan bersikap seperti seorang ratu. Ketahui posisimu! Cepat bangun, mandi, dan siap-siap melayaniku!"Mau tidak mau aku harus bangun, aku tidak tahan mendengar bentakkannya."Wah, kamu sudah sangat tidak tahan ya? Sudah berapa lama menduda? Sampai-sampai tidak sabar ingin segera bermalam pertama dengan wanita yang kamu sebut tepos ini?" Ujarku sedikit menyindirnya.Sebelum menikah, di hari pertama kami bertemu untuk makan malam berdua, David mentertawakan aku. Dia bilang, wajahku cantik tapi kampungan, gaya berpakaianku tidak modis dan terlihat membosankan, tubuhku 'tepos' tidak ada yang menonjol.Dia bilang, menikah denganku adalah mimpi terburuknya. Sebaliknya aku juga menganggap seperti itu, menikah dengan pria angkuh yang suka merendahkan orang adalah mimpi buruk yang tidak pernah aku inginkan."Jangan mengajakku berdebat!" Ucap pia itu sambil memalingkan wajah, kemudian dia berjalan menuju lemari di sisi kiri kamar, mungkin dia malu menginginkan sentuhan dari wanita yang tubuhnya sudah dia hina.Dia melepas jas, memperlihatkan tubuh kekarnya yang seolah sesak dalam balutan kemeja putih. Pundaknya lebar dan terlihat kokoh, punggungnya menyempit ke bagian pinggang disusul kaki panjang yang terlihat kuat.Jujur, secara fisik pria yang kini menjadi suamiku itu tidak ada celanya, wajahnya tampan karena memiliki darah Pakistan dari Ayahnya.Alisnya terukir indah, tegas, tidak terlalu tebal, keningnya mulus seperti ditaburi serbuk berlian, hidungnya mancung, bibirnya menggoda dan berwarna kemerahan, rahangnya tegas dihiasi cambang tipis.Tubuhnya tinggi, tegap, berisi, ototnya pas tidak terlalu besar, aku jamin wanita manapun akan menjerit dalam hati jika melihatnya.Kalau saja kelakuannya tidak seperti kutu kupret, sudah pasti aku jatuh cinta sejak kami bertemu untuk pertama kalinya.Aku masih berdiri menatapnya, berharap dia segera membuka kemeja dan memperlihatkan punggungnya yang menawan, tapi dia malah sibuk melepas jam tangannya."Kenapa masih berdiri di situ? Kalau ingin melihat tubuhku tidak sekarang, mandi dan bersiaplah!""Ya... Ya, baiklah."Huh, gagal. Ternyata pria itu tahu aku menunggunya menanggalkan pakaian, karena tubuhku sudah lengket aku segera mengambil handuk kemudian melesat ke kamar mandi.Setelah mengunci diri di dalam kamar mandi, aku menarik napas dalam-dalam, melepaskan rasa tegang yang sedari tadi aku tahan.Dia mau bermalam pertama denganku? Serius? Astaga, aku tidak tahu harus bagaimana, aku belum siap, aku takut. Bagaimana aku bisa mengimbangi dirinya yang sudah lihai bercinta? Ciuman saja aku tidak bisa, aku harap dia setuju untuk menundanya, agar aku bisa menonton drama korea dan mengasah kemampuan berciumanku dulu, karena jika aku salah atau tidak bisa, dia pasti akan marah dan meledekku.Aku tidak mau melakukan hubungan suami istri dengannya, tapi aku harus bersedia karena melahirkan keturunan untuk keluarga Kalingga adalah tugas utamaku. Ini sangat rumit, padahal beberapa hari yang lalu aku merasa lega saat dia bilang aku tidak menarik, aku pikir dia tidak akan berselera padaku."Ah sial! Sial! Sial!"Aku segera menyalakan shower dan membasahi seluruh tubuhku yang sudah polos, berusaha mendinginkan pikiran yang mulai kalut.Sebenarnya aku penasaran rasanya seperti apa, tapi aku tidak yakin akan memberikan kehormatanku pada David, meski dia suamiku dan satu-satunya yang berhak menyentuhku. Aku takut, mungkin saja setelah dia bosan dan aku sudah berhasil memberinya keturunan, dia akan membuangku begitu saja dengan hutang orang tuaku yang dianggap lunas."Pernikahan bukan main-main, aku ingin sekali seumur hidup, tapi apa aku akan bertahan? Aku rasa dia tidak mencintaiku atau bahkan tidak akan pernah, jangankan cinta, sekadar tertarik saja tidak. Semua ini hanya formalitas." Bibirku tidak hentinya menggerutu.Sambil bergelut dengan pemikiranku sendiri, tanganku sibuk membersihkan seluruh tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki, khususnya yang akan aku suguhkan pada pria angkuh yang tengah menungguku seperti hidangan makan malam."Apa kamu tidur di dalam sana? Bella!" Suara bariton itu terdengar lagi, sepertinya dia ada di depan pintu kamar mandi."Kamu sudah setengah jam di kamar mandi, mau berapa lama lagi? Jangan sampai kamu demam atau flu, karena seminggu ke depan akan ada banyak kerabat yang datang untuk bertemu denganmu!" Peringatnya, aku segera mematikan shower dan mencari handuk. Sial, handuknya aku taruh di dekat wastafel.Ketika berjalan menuju wastafel dengan tubuh polos yang basah, aku tidak mendengar suara David lagi, mungkin dia sudah pergi, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega."Aku hitung satu sampai lima, jika tidak keluar juga aku akan mendobrak pintunya!" Ancam David, aku salah ternyata dia masih ada di luar, aku gelagapan mengambil handuk dan memakainya dengan cepat."Satu ..." "Dua!" "Tiga!" David terus menghitung aku masih sibuk memeras rambutku yang basah, langsung kukibaskan rambutku ke belakang, masa bodo jika acak-acakkan aku akan mengeringkan dan menatanya nanti. "Empat!" Sebelum hitungngan kelima aku sudah membuka pintu kamar mandi, tapi ternyata David tidak ada, aku pikir dia berdiri di depan pintu. Jadi, apakah dia hanya menggertakku?. Aku keluar dari kamar mandi dengan jantung yang berdetak kencang tak karuan, aliran darahku menderas membuat bulu kudukku merinding, padahal ini di dalam kamar pengantin yang romantis bukan di tengah-tengah kuburan. Suasana semakin horor, saat David berdiri dan menyandarkan punggung pada lemari, tubuh atasnya polos, sehingga aku leluasa menatap dada bidang dan perut six packnya, di tangannya ada segelas minuman, entahlah aku tidak tahu, mungkin alkohol. Sumpah, ini gila. Dia sangat sexy, aku sampai menggigit bibir bawah menahan agar tidak menjerit di tempat. "Ini, pakailah!" David melempar kain be
Dering ponsel membuyarkan lamunanku, benda persegi panjang yang tergeletak di bawah sofa berbunyi dan menampilkan panggilan dari Nyonya Arinda, Ibu mertuaku. "Astaga, bagaimana ponselku bisa ada di sini?" Aku berjongkok dan mengambil benda itu, tidak sengaja aku melihat sebuah kertas. Ya, hanya sebuah kertas tapi entah kenapa aku sangat tertarik mengambilnya. Tapi, karena ponselku terus berdering aku memilih menerima panggilan telepon dari Nyonya Arinda terlebih dahulu. "Halo, Ma?" Sapaku. "Halo, sayang. Kamu sudah bangun? Mama kira masih tidur, maaf ganggu, ya?" Nada bicaranya yang sangat ramah membuat suasana hatiku menjadi lebih baik. "Eh tidak apa-apa, Ma. Tidak ganggu sama sekali." "Bagaimana semalam? Lancar? Kamu sama David ... Bikin cucu buat Mama, kan?" Mataku melotot, pertanyaan Nyonya Arinda sukses membuatku tersipu, padahal jarak kami jauh. Aku tertawa cengengesan pelan, malu jika harus menjawab pertanyaan itu."Bella?" Tegur Nyonya Arinda karena aku diam sesaat."I-i
"Bella, turun kamu! Kita harus bicara!"Astaga, kenapa dia harus melalukan ini? Jantungku berdebar, aku tidak siap jika harus berhadapan dengannya apalagi bicara berdua, aku menggelengkan kepala menandakan jika aku menolak untuk bicara dengannya."Kita harus bicara Bella, kamu tidak bisa seperti ini!" Dia terlihat semakin kesal."Mang, tutup jendelanya, lanjut jalan!" Titahku pada Mang Ujo dengan tergesa-gesa."Kenapa Nya? Memangnya dia siapa?" Mang Ujo menoleh ke arahku dan menatap penuh tanya."Sudah Mang, cepat tutup dan jalan!" "Bella, kalau kamu tidak mau bicara berdua denganku, aku akan mengatakan semuanya pada suami kamu!" Pria itu mengancam, dia adalah James kekasihku. Ralat, sekarang sudah mantan karena aku telah menikah dengan David. Sebelum aku menikah, hubungan kami sedang tidak baik-baik saja, pria blasteran Italia-Jawa yang telah menjalin hubungan denganku sejak kami masih di bangku SMA itu ketahuan memiliki hubungan dengan sahabatku sendiri. Tentu saja aku sakit hati
Setelah mendapat panggilan mendadak dari David yang memaksaku untuk datang ke kantornya, aku tidak punya pilihan lain, selain mengikuti kemauan pria itu. Aku menghampiri Nyonya Arinda dan mengatakan David menyuruhku ke kantornya karena ada urusan penting, aku meminta izin padanya untuk pergi meski seharusnya aku masih di sini sampai acara benar-benar selesai. "Ma, boleh ya? David sudah menungguku." Pintaku saat dia seolah keberatan aku akan pergi. "Lagi pula David ada-ada saja, baru menikah kemarin hari ini sudah bekerja, padahal pagawainya banyak, tinggal suruh saja mereka menyelesaikan semua urusan kantor. Huh, ya sudah kamu boleh pergi, hati-hati ya, sayang!" Akhirnya Nyonya Arinda mengizinkan meski sempat menggerutu. Aku mengamit tangannya dan menciumnya, lalu berbalik hendak pergi namun dia menghentikanku, "Sebentar, Bella!" "Ya, Ma?" Aku kembali menghadapnya. "Mungkin David mau memperkenalkan kamu kepada para petinggi perusahaan, sebaiknya kamu pulang dan ganti pakaian dulu
A man tugged at the tie that was draped around his neck, a few seconds later he plopped down on the bed, the stench of alcohol stinging from his mouth and women's perfume wafting on every side of his body. The corners of his lips were bruised and still bleeding freshly, he groaned feeling dizzy and his head was getting more and more inflamed."Daniel!" Call him softly.The owner of the name that was called didn't take long to come, he was surprised to see Gerald's condition, not without reason outside there Mr. Franklin was waiting for his son, and Daniel couldn't let the man see Gerald's condition now."What happened, sir?" Daniel approached him and took off the shoes that were still attached to Gerald's feet."Hm..." Gerald cleared his throat then laughed to himself while babbling incoherently.He was drunk and rambling, Daniel really couldn't believe his master would do something like this, even though he had just recently received a severe punishment from his father."I'm just