"Terima kasih banyak untuk tumpangannya, Paman."
Feli yang duduk di kursi samping kemudi dari mobil yang Nathen kendarai, ingin langsung melengos pergi, begitu sang suami menepikan mobil yang mereka tumpangi tersebut di depan gerbang kampusnya.Mengalihkan atensi dari Nathen sambil tersenyum dan memutar tubuh, Feli mencoba membuka pintu mobil untuk ke luar, tetapi agaknya Nathen sengaja menguncinya, membuat Feli membuang napas kasar, lalu menoleh lagi ke arahnya. "Buka.""Kau mau pergi begitu saja? Tidak mau memberi ongkos terlebih dahulu padaku?"Feli mengernyitkan kening, sedang matanya menatap Nathen, heran. "Ongkos?"Nathen mengangguk. "Iya. Aku sudah cukup berbaik hati, menjemputmu dari rumah nenekmu, lalu mengantarmu sampai sini. Lantas kau mau pergi begitu saja?""Aku tidak meminta Paman menjemptku.""Tapi aku melakukannya, kan?""Paman datang ke rumah nenek juga ikut sarapan bersama di sana. Bukan untukBukan hanya sekadar mengungkapkan, Nathen tanpa ancang-ancang kembali melabuhkan ciuman, meski hanya singkat, tak mengimbuhkan sesapan juga lumatan, lebih seperti sebuah kecupan manis berdurasi beberapa detik.Feli kaget. Manik matanya membola, diiringi pelupuk berbulu lentiknya yang mengerjap dalam tempo cukup cepat secara berulang, beberapa saat.Nathen tersenyum senang, membiarkan manik mata jelaga indahnya setia menatap raut kaget Feli yang memerah. Menarik diri untuk kembali duduk dalam posisi normal dan tidak lagi condong ke arah Feli, ia membuat jarak terbentang guna memberi cukup banyak ruang bagi sang istri untuk bergerak.Tak lupa, Nathen menyempatkan diri melabuhkan usapan lembut penuh kasih di puncak kepala wanita yang duduk mematung di hadapannya itu."Kau menggemaskan sekali. Rasanya aku ingin mengurungmu saja, agar aku bisa terus bersamamu setiap saat," racau Nathen.Membuang napas dengan satu kali hentakan kasar melalui ce
"Paman!" Felicia menyeru dengan intonasi suara yang meninggi beberapa oktaf, terdengar begitu lantang dan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang kerja milik Nathen.Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, wanita cantik itu sekonyong-konyongnya menerobos masuk begitu saja, bahkan sampai membuat kebisingan terdengar tatkala permukaan daun pintu dari ruang kerja sang suami yang didatanginya tersebut, berbenturan dengan permukaan dinding.Berjalan lurus, tanpa memperdulikan keadaan sekitar, tujuan Felicia hanya satu, yaitu langsung menghadap Nathen yang kebetulan sedang berdiri di dekat meja kerjanya."Paman, aku ingin bicara!"Nathen yang saat itu sebenarnya baru beranjak dari kursi kerjanya sampai stagnan, seketika menghentikan segala pergerakan, memokuskan seluruh atensi yang dimiliki ke arah Feli, melongo menatap istri cantiknya itu, kaget. Berdiri dengan jarak hanya sekitar satu meter saja jauhnya dari satu sama lain, Feli menatap Nat
Malu sekali rasanya, sampai Feli ingin menggali lubang sedalam mungkin, lalu mengubur dirinya sendiri agar bisa menghilang dari hadapan Nathen, terutama Hayden dan Bastian.Tadi Feli terlalu fokus pada keinginannya untuk mengocehkan segala keluh kesah yang ia miliki terhadap Nathen, sampai-sampai keberadaan Hayden dan Bastian di ruang kerja milik sang suami saja ... tidak bisa ia sadari.Kini, dengan rasa malu juga gugup yang dalam satu waktu begitu mengungkung dalam relung, Feli duduk di salah satu sofa panjang yang ada di ruangan kerja milik Nathen, berdampingan dengan suami tampannya itu.Sengaja sekali mencoba menyembunyikan diri, Feli duduk berdempetan dengan Nathen, menghalangi wajahnya menggunakan lengan sang suami.Takut-takut, sesekali Feli memberanikan diri untuk mengintip, mencuri-curi pandang ke arah Bastian yang duduk di sofa tunggal, juga ke arah Hayden yang duduk di sofa panjang lainnya.Atensi Hayden dan Bastian tertuju ke
Beringsut membangkitkan diri dari duduknya, Feli mengedarkan pandangan sambil tersenyum, tapi saat lagi-lagi manik matanya tidak sengaja bersitatap dengan mata Bastian, senyum itu dengan instan langsung memudar.Bastian memutar bola matanya malas, sengaja sekali menunjukan gelagat ketus terhadap Feli yang tak gagal membuat adik cantiknya itu mencebikan bibir karena sedih."Aku tidak langsung pulang selepas pertemuan tadi, karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, Nathen" Bastian bertutur sambil memokuskan seluruh atensi yang dimiliki ke arah Nathen.Nathen menatap nanar kakak iparnya itu, lalu menoleh ke arah Feli. Meraih pergelangan tangan sang istri, digenggamnya pelan sebelum kemudian ditariknya dengan lembut.Pribadi tampan itu membuat Feli kembali mendudukan diri di sampingnya. Tanpa melepaskan genggaman dari pergelangan tangan sang istri, ia menoleh ke arah Bastian lagi."Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Hal selanjutnya yang Feli tahu, permukaan bibir lembut Nathen yang sedikit basah juga bersuhu lebih dingin mendarat dengan sempurna di permukaan bibirnya yang tipis berwarna merah jambu.Menyesap permukaan bibir ranum sang istri dengan pergerakan lembut, manik mata jelaga indah Nathen bersitatap dengan mata Feli yang seketika membola, sedang pelupuknya mengerjap dengan pergerakan cepat untuk beberapa saat, sebelum kemudian berhenti bekerja.Ada kepuasan juga kesenangan tersendiri yang seketika menyeruak dalam relung Nathen, mendapati efeksi dari segala tindakan yang dilakukannya terhadap Feli, memang seberpengaruh itu, sampai mampu membuat otak Feli nge-blank.Tersenyum seringai di sela pagutan bibir yang diawali, Nathen lantas memejam sembari mulai memberi permukaan bibir Feli lumatan lembut, tapi sedikit menuntut.Bibir Nathen bergerak begitu apik, memastikan, tidak meninggalkan barang seinci pun dari bibir Feli, tidak terjamah oleh bibirnya.
"Paman mau apa?!"Feli panik sendiri saat ia mendapati Nathen beringsut bangkit dari duduknya, lantas mengambil langkah besar untuk mendekat padanya, mengikis segala jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauhnya."Paman, ih!"Sekonyong-konyongnya Nathen meraih pergelangan tangan sebelah kiri Feli, dicengkramnya cukup erat, kemudian ditariknya.Pribadi tampan itu menyeret Feli untuk berjalan bersamanya menuju pintu yang menjadi akses utama ke luar masuk dari ruangannya tersebut."Paman! Paman mau membawaku ke mana?" Feli bertanya sembari menggeliatkan tangan, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nathen."Mau membawamu ke suatu tempat.""Ke mana? Mau apa? Paman jangan aneh-aneh, ya?""Tidak aneh. Hanya ingin melanjutkan apa yang tadi sedang kita lakukan."Feli sebenarnya berusaha untuk menekan kedua tungkainya, agar tidak bisa diseret begitu saja oleh Nathen untuk berjalan.Akan tetapi, sudah
"Mau nambah lagi tidak makannya?" Nathen bertanya dengan nada suara lembutnya sembari menatap hangat ke arah Feli yang duduk di kursi yang letaknya saling bersebrangan dengan kursi miliknya.Nathen dan Feli kini tengah berada di sebuah restauran yang ada di pusat kota, yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dari gedung di mana kantor Nathen berada.Feli baru selesai melahap suapan terakhir dari makanan yang dipesannya dan langsung diberi pertanyaan tersebut oleh Nathen.Tentu kepala Feli spontan menggeleng. "Tidak, Paman. Aku sudah kenyang."Meletakan peralatan makan yang kala itu masih ia genggam, Feli lantas mengulurkan tangan untuk mengambil segelas air mineral yang ada di hadapan."Kalau Paman mau pesan lagi, boleh saja. Toh, Paman ini kan yang akan membayar bill'nya," tutur Feli sebelum menenggak segelas air yang diraihnya tadi tanpa mengalihkan pandangan, membiarkan manik mata bak mata rusanya menatap Nathen dengan tatapan lugu.
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis milik Anna yang sedikit berjarak begitu wanita cantik itu menjatuhkan diri ke permukaan sofa panjang yang ada di ruang keluarga di kediamannya.Membiarkan tengkuknya bersandar di sandaran sofa, kepala dan pandangan Anna menengadah. Manik matanya yang gemetar, ia biarkan menatap lekat permukaan langit-langit dari ruangan yang menaunginya tersebut.Sejatinya, saat ini Anna tidak hanya sedang didera rasa lelah secara fisik, tapi juga secara mental, sebab ada cukup banyak sekelumit pemikiran yang tengah berkecamuk dengan begitu hebatnya dalam benak.Entah itu berbentuk sebuah kehawatiran, atau gambaran dari terkaan-terkaan atas segala jenis kemungkinan yang ia pikir mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.Terutama tentang bagaimana kecewanya Bastian, maupun Nathen nanti, jika kedua pria itu mengetahui, ada sebuah fakta pahit yang sampai saat ini belum mereka ketahui terkait kepasrah