"Paman mau apa?!"
Feli panik sendiri saat ia mendapati Nathen beringsut bangkit dari duduknya, lantas mengambil langkah besar untuk mendekat padanya, mengikis segala jarak yang sebenarnya tidak seberapa jauhnya."Paman, ih!"Sekonyong-konyongnya Nathen meraih pergelangan tangan sebelah kiri Feli, dicengkramnya cukup erat, kemudian ditariknya.Pribadi tampan itu menyeret Feli untuk berjalan bersamanya menuju pintu yang menjadi akses utama ke luar masuk dari ruangannya tersebut."Paman! Paman mau membawaku ke mana?" Feli bertanya sembari menggeliatkan tangan, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nathen."Mau membawamu ke suatu tempat.""Ke mana? Mau apa? Paman jangan aneh-aneh, ya?""Tidak aneh. Hanya ingin melanjutkan apa yang tadi sedang kita lakukan."Feli sebenarnya berusaha untuk menekan kedua tungkainya, agar tidak bisa diseret begitu saja oleh Nathen untuk berjalan.Akan tetapi, sudah"Mau nambah lagi tidak makannya?" Nathen bertanya dengan nada suara lembutnya sembari menatap hangat ke arah Feli yang duduk di kursi yang letaknya saling bersebrangan dengan kursi miliknya.Nathen dan Feli kini tengah berada di sebuah restauran yang ada di pusat kota, yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dari gedung di mana kantor Nathen berada.Feli baru selesai melahap suapan terakhir dari makanan yang dipesannya dan langsung diberi pertanyaan tersebut oleh Nathen.Tentu kepala Feli spontan menggeleng. "Tidak, Paman. Aku sudah kenyang."Meletakan peralatan makan yang kala itu masih ia genggam, Feli lantas mengulurkan tangan untuk mengambil segelas air mineral yang ada di hadapan."Kalau Paman mau pesan lagi, boleh saja. Toh, Paman ini kan yang akan membayar bill'nya," tutur Feli sebelum menenggak segelas air yang diraihnya tadi tanpa mengalihkan pandangan, membiarkan manik mata bak mata rusanya menatap Nathen dengan tatapan lugu.
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis milik Anna yang sedikit berjarak begitu wanita cantik itu menjatuhkan diri ke permukaan sofa panjang yang ada di ruang keluarga di kediamannya.Membiarkan tengkuknya bersandar di sandaran sofa, kepala dan pandangan Anna menengadah. Manik matanya yang gemetar, ia biarkan menatap lekat permukaan langit-langit dari ruangan yang menaunginya tersebut.Sejatinya, saat ini Anna tidak hanya sedang didera rasa lelah secara fisik, tapi juga secara mental, sebab ada cukup banyak sekelumit pemikiran yang tengah berkecamuk dengan begitu hebatnya dalam benak.Entah itu berbentuk sebuah kehawatiran, atau gambaran dari terkaan-terkaan atas segala jenis kemungkinan yang ia pikir mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.Terutama tentang bagaimana kecewanya Bastian, maupun Nathen nanti, jika kedua pria itu mengetahui, ada sebuah fakta pahit yang sampai saat ini belum mereka ketahui terkait kepasrah
Suara ketukan pelan yang berasal dari beradunya bantalan jemari Nathen yang menari dengan permukaan meja, menjadi satu-satunya suara yang berhasil memecah keheningan di ruang kerja milik pribadi tampan berusia seperempat abad itu.Pandangan Nathen tertuju lurus ke depan, menatap malas tumpukan berkas yang menjadi alasannya tertahan di sana, padahal keinginan untuk beranjak, sudah begitu berkecamuk dengan begitu hebatnya.Membuang napas kasar, Nathen melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lantas meraih ponsel yang ia simpan di dekat monitor.Sejenak mengalihkan atensi dan titik fokus dari pekerjaan yang masih menumpuk, Nathen berselancar di menu kontak yang ada di ponselnya, untuk mencari kontak milik Feli, sebelum akhirnya ia hubungi melalui sambungan panggilan video.Menunggu dengan sedikit was-was, Nathen sedikit menjauhkan benda pipih yang digenggamnya itu dari wajah sembari agak merapikan penampilannya.Berdehem pelan
"Suasana hatimu sepertinya sedang cukup baik sekarang," terka Andrea sembari menatap penuh selidik pada tekstur wajah cantik Feli yang memetakan keceriaan.Andrea dan Feli saat ini tengah duduk saling berdampingan di sofa berukuran sedang yang tertata mengitari meja persegi dalam sebuah kafe yang berada di pusat kota.Selagi menunggu datangnya Liam dan Nick, Andrea dan Feli yang ternyata tiba lebih awal dari waktu yang telah mereka sepakati bersama, memilih untuk pelan-pelan mengerjakan tugas yang mereka miliki.Mengetik segala materi di laptop yang diletakan di meja di hadapan, sesekali bingkai birai Feli tampak merenggang, memetakan senyum senang yang tak gagal membuat Andrea keheranan.Sempat ikut tersenyum juga, Andrea yang diam-diam menilik segala tingkah yang Feli tunjukan, akhirnya memberanikan diri untuk angkat suara, memaparkan terkaan yang saat itu seketika muncul di kepala.Feli terkekeh sambil memberi Andrea lirikan. "Ya, kira
Sebuah kekehan renyah menguar dari mulut Hayden saat ia membiarkan manik mata jelaganya menatap gemas permukaan layar ponsel yang menyala dalam genggaman.Duduk di kursi menumpang dalam perjalanan pulang dari kantor, Hayden sempat dikagetkan oleh notifikasi pesan yang ia terima dari Feli."Anak ini memang luar biasa sekali," gumam Hayden sembari memadamkan permukaan layar ponsel, lalu menolehkan kepala, membiarkan manik matanya menatap pemandangan dari sibuknya jalanan perkotaan yang dilalui mobilnya.Terkekeh kecil, Hayden menggelengkan kepala saat benaknya saat itu berhasil memberi sebuah gambaran kelewat jelas, betapa dongkol dan gusarnya wajah Nathen, jika sahabatnya itu membayangkan bahwa istrinya melakukan apa yang Hayden minta saat mereka bertemu di kantornya tadi. "Dia pasti tidak akan memberiku ampun."***Embusan napas kasar yang berasal dari rasa gusar berhasil mencelos melalui celah antara bingkai birai Nathen yang sedikit ber
"Kak, sepertinya aku tidak bisa datang lebih awal ke rumahmu seperti apa yang sudah kita rencanakan sebelumnya." Feli bertutur pada Anna yang kala itu tengah ia hubungi melalui sambungan panggilan suara sembari memasuki unit apartemen milik sang suami."Kenapa seperti itu?"Mendengar di sebrang sambungan sana Anna bertanya dengan nada setengah cemas, Feli tersenyum simpul. "Aku terlibat sedikit masalah di sini, dengan paman Nathen.""Kok bisa? Masalah apa?"Membuang napas kasar, Feli menjatuhkan tubuhnya ke permukaan sofa panjang yang tertata di ruang utama sambil memejamkan pelupuk mata dan menyandarkan tengkuknya di lengan sofa.Bingkai birai wanita cantik itu perlahan merenggang, memetakan senyum manis. "Bukan masalah besar. Lebih tepatnya, kesalah pahaman yang sengaja kuciptakan sendiri.""Kesalah pahaman? Kau dan suamimu bertengkar?"Feli terkekeh kecil sambil membuka pelupuk mata, membiarkan manik matanya menatap s
"Kau pikir, ini lucu?" Nathen bertanya dengan nada suara yang terkesan sarkastik juga dongkol begitu ia menengadah dan menoleh ke arah Feli, memberi istri cantiknya itu tatapan tajam.Kini, Feli dan Nathen tengah duduk saling berdampingan di sofa panjang yang ada di ruang utama.Sebelum bertanya pada Feli, Nathen sempat memokuskan atensi pada permukaan layar ponsel milik sang istri yang sampai saat ini bahkan masih ia cengkram dalam genggaman.Feli habis mengajak Nathen mengecek pesan berisi foto yang telah ia kirimkan pada Hayden. Dan ternyata, foto tersebut memang bukanlah foto dirinya yang sedang mengenakan lingerie, melainkan foto seekor kucing cantik dengan bulu berwarna putih bersih mengenakan lingerie dengan warna serupa, dengan lingerie yang diberikan Hayden.Menilik reaksi Nathen yang agaknya belum meluruhkan rasa marah, Feli mengangguk cepat sambil menatap suami tampannya itu dengan tatapan lugu tanpa dosanya. "Hemmm. Bagiku ini sangat l
Nathen mendorong daun pintu yang hendak Feli tutup itu dengan sekuat tenaga dan pergerakan cepat, membuatnya kembali terbuka seutuhnya, memberikan akses bagi dirinya sendiri untuk kembali memasuki kamar yang sudah jadi hak milik Feli tersebut.Tubuh Feli bahkan sampai sedikit terhuyung mundur, mengiringi genggaman tangannya yang terlepas begitu saja pada knob.Menatap lamat Feli yang balas menatapnya dengan tatapan panik, Nathen tersenyum manis kemudian menendang pelan daun pintu kamar di belakangnya dengan punggung kaki, hingga suara benturan yang berasal dari beradunya daun pintu dan bingkai, mengudara, menggema ke setiap sudut ruang.Pintu kamar itu kini sudah tertutup dengan begitu sempurna, rapat, tidak menunjukan sedikitpun celah, bahkan bagi cahaya saja, untuk lewat."Paman mau apa, sih?" Feli bertanya dengan suaranya yang gemetar, masih setia menunjukan keengganan untuk mengalihkan tatapan dari Nathen, menatap suami tampannya yang tengah m