Sasha turun dari motornya, tangannya bergerak untuk melepaskan pengait helm. Ia menghela nafas sejenak seraya berjalan mendekati rumahnya yang tertutup.
Wajahnya nampak gusar akibat pertemuan yang tak bagus oleh sang dosen. Langit sudah berubah menjadi berwarna jingga dan sebentar lagi, adzan magrib pun tiba. Sasha berjalan memasuki rumahnya. Ketika di depan pintu, Sasha meraih gagang pintu yang tergantung disana. Ia membukanya secara perlahan. “Assalamualaikum,” sapa Sasha ketika langkah kakinya memasuki rumah. “Waalaikumsalam,” sahut Ibu yang tengah terduduk di sofa panjang sembari menonton acara televisi kesayangannya. Sasha berjalan, menghampiri sang Ibu yang terduduk dengan santai. Diraihnya tangan sang ibu seraya menyalaminya dengan wajah tertekuk. “Kenapa wajah mu ditekuk seperti itu? Sudah kayak orang kehabisan diskon saja,” celetuk ibu yang menyadari sikap anaknya. Sasha diam. Ia duduk di sebelah sang ibu dengan kepala yang disenderkan ke arahnya. Disana Sasha bisa merasakan kenyamanan yang sebenarnya. “Aku itu kesal banget, Bu! Tadi pagi kan aku terlambat karena macet dan habis berdebat dengan ayah. Terus, setelahnya aku dihukum sama dosen yang menyebalkan itu! Gak sampai disitu, aku diberikan tugas untuk buat artikel dan yang paling menjengkelkannya, besok pagi, jam 7 tugasku harus sudah ada di mejanya!” gerutu Sasha. Wajahnya seketika memerah ketika membayangkan wajah Prof. Aditya yang begitu menjengkelkan. Namun, ketika mengingat bahwa dirinya sudah membalas dendam. Ekspresinya berubah menjadi senyuman yang merekah. Saat ini Sasha membayangkan wajah Prof. Aditya yang kesal karena mobilnya telah kotor oleh perbuatannya. Membayangkannya saja sudah membuat Sasha senang apalagi jika dirinya melihat secara langsung. Bisa-bisa Sasha sudah tertawa puas. “Pantesan, itu mah salah kamu. Harusnya jangan sampai telat lah! Sudah tahu dosennya galak tapi, masih saja telat!” cibir Ibu. Sasha seketika merenggut kesal. Padahalkan jika dipikir-pikir semua itu ulah ayahnya yang mengajak berdebat tadi pagi karena pembahasan perjodohan yang tak jelas itu. “Apasih ibu! Itukan karena Ayah ngajak berdebat tadi pagi, kok malah marahin aku sih? Bukannya belain atau apa gitu?!” sentak Sasha seraya memutar bola matanya malas. “Alah kamu mah banyak alasan,” sahut seorang pria yang baru saja keluar dari area dapur. Seketika Sasha langsung menegok, menatap pemili suara itu dengan tatapan sinis. Dia adalah Ariz Wibawa, kakak kandung Sasha. Ariz kini berprofesi menjadi CEO di salah satu perusahaan ayahnya. Meskipun seorang CEO, Ariz belum mempunyai pasangan. Padahal pria itu terlihat tampan dengan rambut ala opa-opa Korea, matanya yang berwarna hijau muda, dan kulitnya pun terlihat putih nampak seperti orang Korea asli. Akan tetapi, Ariz tak mempunyai pasangan karena katanya terlalu ribet. “Dih! Nyambung aja kayak kabel!” Sasha berdiri, mendekat ke arahnya. “Ngapain abang pulang? Tumben banget,” cibir Sasha. “Ayah minta abang pulang buat liat calon jodoh kamu!” ujar Ariz sambil menatap Sasha penuh keseriusan. “Idih! Apansih, aku kan udah bilang gak mau dijodohin ... Abang pasti bohong nih, malas lah aku!” sentak Sasha. Gadis itu berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Meskipun rumahnya ini terlihat sederhana dari luar namun, jika dimasuki nampak seperti elegan dan sangat cantik ditambah dekorasi rumahnya tak kaleng-kaleng. Satu kakinya menginjak anak tangga pertama. Namun, suara decitan pintu membuat Sasha melirik ke arah luar. Ia mengeritkan dahinya kebingungan. “Assalamualaikum,” sapa Ayah dengan dua orang pria dan satu wanita yang berumur hampir sama dengan ibu. Sontak ibu segera bangun dan menyambut hangat mereka. Akan tetapi, mata Sasha langsung tertuju pada pria yang terlihat sangat mirip dengan dosennya. “Ayo silahkan masuk,” ujar ibu mempersilahkam mereka masuk. “Terimakasih banyak. Bagaimana kabarmu, Lusi?” tanya salah satu wanita itu kepada ibu. “Alhamdulillah saya baik, Ris. Kalian kok sudah sampai saja? Kenapa gak kabarin saya dahulu? Saya kan bisa mempersiapkan makanan untuk kalian.” Ibu melirik ke arah ayahnya yang hanya cengegesan saja. “Ayah juga, kenapa gak w******p ibu sih?!” Mereka yang berada disana hanya tertawa kecil. Kemudian segera melangkah kakinya menuju sofa yang berada di ruang tamu. Hal itu tak luput dari pandangan Sasha yang malah terdiam di tempat dengan mata yang terus tertuju pada seorang pria yang diyakini olehnya adalah Prof. Aditya. Ariz yang melihat Sasha hanya diam segera mendekatinya. Derap langkah kaki Ariz tak menyadarkan Sasha dari kebingungannya dan membuat Ariz menatapnya lekat. Seketika Ariz tertawa melihat tingkahnya. Dengan satu tangan yang terangkat, Ariz malah mendorong Sasha pelan. “Hayoloh! Kamu pasti salah fokus dengan kegantengannya kan?!” goda Ariz. Sasha tersadar. Bibirnya langsung mengerecut sebal. “Apasih! Asal aja, aku itu bingung. Kok pria yang disebelah ayah mirip banget sama dosenku yang ngeselinnya naudzubillah itu sih!” ungkapnya sambil mendelikkan mata sebal. “Alah! Kamu pasti berbohong! Bilang aja kamu terkesima dengan ketampannya!” ejek Ariz. Detik berikutnya, Ariz malah memperhatikan pria tersebut dengan mata yang terlihat sinis. Ia melipatkan tangannya. “Tapi ya, kalau dilihat-lihat gantengan abang gak sih? Dia mah gak ada apa-apanya!” Sasha segera meliriknya dengan tatapan horor. Namun, disisi lain Sasha juga terlihat menahan tawanya. “Kok pede banget sih, bang? Gantengan juga mas-mas komplek sebelah!” cerocos Sasha. “Sasha … Ariz … Kalian ngapain disitu? Mari sini bergabung, biar sekalian ayah perkenalkan dengan calon suami mu, Sa,” panggil ayah. Sasha dan Ariz seketika saling melemparkan tatapan. Nampak dari wajah Sasha ia terlihat kecewa namun, Ariz malah menarik lengan Sasha agar bergabung dengan mereka. Sasha hanya pasrah saja, mengikuti langkah kaki Ariz. Sesampainya di dekat mereka, Sasha dengan Ariz menyalami tangan kedua orang yang terlihat asing itu. Kemudian, Sasha disuruh duduk dekat dengan wanita asing tersebut. Sasha menghela nafas kuat-kuat namun, lagi-lagi Sasha hanya menurutinya saja. “Muka mu jangan di tekuk seperti itu,” bisik ibu yang kebetulan berada di sebelahnya. Sasha dihempit oleh ibunya dengan wanita asing itu. Didepannya nampak pria yang terlihat mirip Prof. Aditya, disisi kirinya adalah pria asing yang mungkin saja itu ayahnya dan disisi kanannya ada Ayah dengan Ariz yang duduk berdekatan. Pria itu nampak menatap Sasha dengan tatapan datar, benar-benar sangat persis dengan Prof. Aditya. “Nah, karena sudah berkumpul. Ayah akan memperkenalkan kamu dengan calon suami mu dan teman masa SMA Ayah, Sa, Riz,” ujar ayah. Sasha hanya menganggukkan kepalanya tak minat. Malas untuk menanggapi perkataan ayahnya, kalau bukan karena Ariz yang menariknya mungkin Sasha sudah kabur menuju kamarnya. “Dia adalah Sasha,” ujar Ayah sambil menunjuk ke arahnya, Sasha hanya tersenyum saja. Kemudian, ayah menujuk ke arah Ariz yang duduk di sebelahnya. “Dan dia adalah Ariz, anak pertama ku,” imbuh ayah yang langsung diangguki oleh Ariz. “Wah, ganteng dan cantik ya anakmu,” puji pria paruh baya tersebut. “Oh iya, perkenalkan saya Bowo teman SMA ayahmu. Dan disebelah Sasha adalah Tya, istri saya.” Sasha dan Ariz mengangguk-anggukkan kepalanya saja. “Dan calon suami Sasha ini namanya adalah Aditya, dia dosen di kampus mu tahu. Gak cuman itu saja, Aditya juga punya bisnis Cafe di kota. Lalu, Aditya mengurus perusahaan ayahnya,” ujar Bowo penuh dengan antusias sambil memegang pundak Aditya.“Hah? Prof. Aditya?” pekik Sasha.Ayah dan yang lainnya malah tersenyum, seolah-olah telah diberikan sein hijau untuk perjodohan ini. Sasha segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dirinya butuh air untuk meremdamkan rasa terkejutannya ini.Beruntung, Bi Inah datang dan menyajikan minuman dengan cemilan yang terlihat sangat nikmat. Segera Sasha mengambilnya dari nampan Bi Inah. Sasha meminumnya dengan tandas.“Masyaallah nikmatnya,” celetuk Sasha ketika segelas minuman tersebut habis, tak ada sisa. Mungkin jika kalau gelas tersebut bukan terbuat dari kaca, Sasha akan segera menghabiskannya juga. “Kalian sudah saling kenal, ya?” tanya Tya sambil mengelus pundak Sasha dengan lembut. Ia juga tersenyum bahagia melihatnya. Sasha hanya diam, bingung beraksi seperti apa. Kemudian, Sasha langsung memberikan senyuman saja menampilkan deretan giginya yang putih. “Baguslah kalau sudah dekat. Kita bisa cepat mempersatukan mereka,” celetuk Bowo yang disebelahnya. Uhuk!!Sasha langsung terseda
“Bagaimana?” tanya Aditya dengan penuh ketegasan. Sasha seketika diam membisu, dirinya benar-benar tak bisa menjawab pertanyaan itu. Mata cantik itu melirik ke arah Aditya dengan tatapan sendu. Aditya seketika terkesima melihatnya. Ia tak sadar, bahwa mata Sasha ternyata sangat cantik.Segera Aditya membuang wajahnya sembarang, tak ingin menatapnya. Hatinya terasa melonjak begitu, detak jantung menjadi bersahutan mengiringi hatinya. Entah mengapa, perutnya kini bertaburan kupu-kupu yang berterbangan disana. “Prof gak mau memberikan pilihan lain?” tanya Sasha sambil menghela nafas panjang. Tangannya terulur, membenarkan anak-anak rambutnya yang tergerai dan menusuk ke matanya. “Tidak ada!” balas Aditya dengan tegas meskipun ia tak menatap lawan bicaranya. Sasha menarik nafas panjang. Pusing telah menghampirinya, bagaimana bisa Prof memberikan pertanyaan yang sulit untuk dijawab olehnya. Ingin sekali, Sasha memakai pemuda dihadapannya ini.“Oke, saya tahu. Kamu pasti tak akan mau ka
“Karena Sasha sudah menerima perjodohannya ini dengan lapang dada, begitupula dengan Aditya. Bagaimana kalau kalian langsung menikah, dua minggu yang akan datang?” usul Bowo dengan senyuman manis yang khas. “Apa?!” Sasha langsung syok mendengarnya, tak menyangka dengan apa yang telah dikatakan oleh Bowo. Seketika Bowo dan yang lainnya melirik ke arah Sasha dengan tatapan bingung yang melanda, membuat suasana sekitar menjadi hening menyelimuti ruangan ini. “Om, yang benar saja? Dua minggu yang akan datang? Kenapa gak satu bulan atau dua bulan lagi aja, kita harus mengenal satu sama lain dahulu,” ungkap Sasha dengan mimik wajah yang kentara lucu nan membingungkan. “Untuk apa? Bukankah, kalian sudah mengenal di kampus. Jadi, buat apa menunggu lebih lama lagi?” celetuk Papa Wijaya dengan alis yang berkerut kebingungan. Sasha seketika memerah, ada kepanikan di dalam dirinya. Ia sangat ketakutan sekarang, melirik ke arah sang Abang yang sedari tadi diam saja dengan raut wajah lugu. Ane
Sontak Sasha membulatkan mata. Pagi-pagi seperti ini harusnya ia mendengarkan kabar baik namun, sepertinya dunia sedang tak berpihak pada Sasha sehingga menyebabkan keterkejutan yang mendalam. “Apa-apaan, Prof?! Kan Prof sendiri yang mengatakan bahwa, 'tugas yang saya berikan tidak usah kamu kerjakan jika menerima perjodohan ini'. Prof, gak pikun kan?,” sentak Sasha dengan wajah yang memerah.“Saya gak pikun tetapi, karena kamu sudah meminta pernikahannya di undur menjadi dua minggu yang akan datang, membuat saya berubah pikiran.” Wajah tampan dengan hidung mancung layaknya perosotan anak TK itu, kini menatap ke arah Sasha tajam. “Mana sini?” pintanya. Sasha langsung mendesah pelan. Bisa gila dia menghadapi Prof. Aditya dengan segala tingkahnya yang kurang ajar. Lantas Sasha tersenyum pasrah. “Wahai, Prof. Aditya yang tampan dan juga angkuh. Dengarkan saya, karena Prof sudah mengatakan bahwa tugas yang engkau berikan tidak usah dikerjakan. Jadi, saya menurut dan tidak mengerjakanny
“Anjani, turunkan tangan kamu, jangan sesekali memukulnya.”Suara itu langsung berdegung di telinga Sasha. Perlahan matanya terbuka dan menyaksikan tangan dosen tersebut yang bernama Anjani, lengannya tengah ditahan oleh Prof. Aditya. Wajah tampan dan menjengkelkan itu, berhasil membuat detak jantung Sasha melonjak keluar. Sasha mengerjap-erjapkan matanya, dia melongo, rencananya kali ini gagal lagi. “Pak Adit, kok anda berada disini?” ucap Anjani dengan suara yang mendayu dan melemah, seolah-olah menunjukkan sisinya yang lembut dan ramah. “Itu urusan saya! Mau saya berada disini, disana atau dimana pun, itu urusan saya, Anjani” tekan Prof. Aditya dengan raut wajah yang begitu datar. “Ngapain kamu mau memukul Sasha?” lanjutnya. “Tidak, Pak. Kamu salah paham, saya hanya ingin mengelus rambut Sasha dan mengajaknya masuk,” ungkap Anjani dengan senyuman yang khas. Sasha langsung menatap matanya, bola matanya langsung mendelik sebal. Rasa kesal memenuhi hatinya, terlebih Anjani malah
Tanpa sadar, bibirnya Sasha langsung menyungging. Mengikuti senyuman pria tersebut. Aura pria itu begitu kuat hingga membuat Sasha mengikuti senyumannya. “Salam kenal juga. Aku Sasha,” ucap Sasha dengan ramah dan lembut. Mata gadis itu berbinar cantik membuat Raffi menjadi terkesima. “Saya tahu nama kamu. Sasha Wijaya, bukankah seperti itu namamu?” kata Raffi diikuti senyuman kecil yang begitu sempurna. Sasha segera mengangguk kepalanya. “Namamu sangat cantik, seperti wajahmu,” lanjut Raffi memberi pujian. Sontak Sasha tertawa pelan. Gombalan yang terlontarkan oleh Raffi membuat tubuh meremang, bulu kuduknya berdiri merasa ngeri dengan ucapan yang dikatakan olehnya. “Aku baru melihatmu. Apakah pertemuan kemarin dengan dosen kemarin, kamu tidak datang?” tanya Sasha kebingungan. Meskipun Sasha baru pertama kali memasuki kelas dan ini adalah yang kedua kalinya, Sasha langsung familiar dengan wajah temen sekelasnya. Bahkan beberapa nama temannya, Sasha mengetahuinya. Raffi te
Mulut Prof. Aditya memang harus dikunci rapat-rapat menggunakan solatip hitam. Pria itu secara gamblangnya mengungkapkan semua yang terjadi pada malam hari membuat Sasha merasa kesal. “Apasih?! Prof halu nih,” cetus Sasha seraya meraih kedua tangan Raffi dan Alya bersamaan. Ia tak mau membuat kedua temannya mendengar ucapan dari Prof. Aditya lagi dan membuat gosip terbaru di kalangan kampus hingga membuat namanya langsung terkenal dimana-mana. Kakinya melangkah sambil menarik-narik Raffi dan Alya secara bersamaan menuju kantin yang berada di ujung kampus. Ia tak mau mendengar kalimat apapun lagi dari mulut Prof. Aditya dan malah membuatnya kesal setengah mati. Di area kampus begitu banyak sekali orang di setiap penjuru. Tatapan demi tatapan dilayangkan oleh orang-orang berada di sekitar mereka dengan tatapan aneh namun, ketiganya tetap berjalan dan mengabaikan semuanya. Mereka beranggapan bahwa orang-orang itu hanyalah seorang makhluk halus yang datang dan memperhatikannya.Sampai
Sasha terkejut mendengar kalimat yang telah dilontarkan oleh sang Ayah. Ia bahkan mematung di tempatnya dengan ponsel yang sengaja ia jauhkan dari telinganya. Prof. Aditya seperti mempermainkannya bahkan hingga membuat keputusan sendiri yang membuatnya merasa kesal. Tanpa mengatakan apapun pada sang Ayah, Sasha langsung mematikan ponsel sepihak. Rasa kesal menghingapinya membuat Sasha bangkit dari tempat duduknya. Ia segera pergi dari kantin yang semakin sepi, meninggalkan Raffi dan juga Alya. Sasha benar-benar tak berpamitan sepatah-katapun yang dipikirannya kini hanya ingin menemui Prof. Aditya. "Woi?!" Alya berteriak ketika kakinya menginjak di tempat mereka duduk semula. Namun, Sasha malah pergi layaknya seorang jailangkung. "Makanan kamu gimana, ini? Kok ditinggal?!" teriak Alya cukup kencang. Sasha memilih untuk tak mendengarkannya. Dia tak mendengarkan apapun dan memilih untuk tetap pergi dengan raut wajah memerah. Langkah kakinya terus menelusuri tiap-tiap sudut ruangan ka
Sesaat, Sasha langsung tertegun dengan ucapannya. Pria yang berada di hadapannya seakan menyimpan luka yang membuatnya kebingungan. Apa maksudnya dari perkataannya? Sasha yakin, Aditya mengatakan itu untuk seseorang yang mungkin pernah singgah di kehidupannya. "Tolong, peluk aku," gumamnya dengan mata yang masih terpejam. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Padahal suhu udara sudah masuk ke maksimal. Sehingga membuat Sasha bergerak namun, Aditya langsung menghentikan pergerakanya dan berakhir mengunci Sasha untuk tidak pergi. "Nih, Om-om, kenapa sih?" gerutu Sasha secara gamblangnya. Sontak Sasha mengganti posisi menjadi tertidur agar lebih nyaman. Mata yang masih belum mengantuk, menatap tiap inci wajah Aditya yang terlihat ketakutan di dalam mimpinya. Tanpa sadar, tangan Sasha beranjak, membelai rambut Aditya agar lebih tenang. Dan dalam sekejap—seperti sihir yang berada di tangannya, Aditya perlahan mulai tenang. Keringat yang membanjiri sudah mereda dan digantikan oleh suara
"Eh! Maaf, Sa, Prof. Aku gak sengaja." Alya tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar Sasha tanpa sengaja. Gadis itu begitu lupa dengan temannya yang sudah menikah pada hari ini. Ia meruntuki sikapnya yang cerobos dan menganggu kenyamanan kedua pasutri yang ingin melakukan malam pertama, mungkin. "Aku akan pergi! Kalian lanjutkan aja," ucap Alya terburu-buru, ia langsung mundur ke belakang dan berniat menutup pintu. "Tunggu dulu," celetuk Aditya seraya bangkit dari tempatnya. Pria itu mendekati Alya yang berhenti di tempatnya, nampak gadis itu tengah bergeming di tempat dengan kepala yang tertunduk menahan rasa malu yang menyergap hatinya. "Kalian kalau mau mengobrol silakan saja, saya akan pergi keluar sebentar," lanjut Aditya seraya melangkahkan kakinya menuju luar kamar. "Eh! Nggak perlu, Prof! Saya cuman mau ngasih tahu Sasha, kalau saya mau pulang. Nah, karena saya sudah ngasih tahu, kalian lanjutin aja," ucap Alya seraya memundurkan langkahnya dan langsung menutup pintu ken
Hal yang begitu menakutkan untuk Sasha akhirnya tiba. Dengan nafas yang begitu tercekat, Sasha meraih ganggang pintu yang nampak tertutup di sana. Jantungnya berdebar kencang untuk menemui Aditya yang telah berada di dalam sana. Sasha bahkan cukup ketakutan untuk membukanya. Takut hal aneh akan terjadi pada malam ini, ingin sekali Sasha merengek pada sang ibu yang telah menaruh Aditya di kamarnya. "Nak ...!" Sasha langsung terkejut dengan suara yang tiba-tiba saja datang. Detak jantungnya langsung berhenti berdetak, dan melirik ke arah ibu mertuanya. Sasha langsung tersenyum kecil. "Eh, Tante. Lagi apa disini, Tan?" tanya Sasha basa-basi . "Panggil mama sekarang, Sa. Sekarang 'kan kamu sudah menjadi mantu ku, masa masih panggil tante," jawabnya dengan helaan nafas yang begitu panjang. Sasha tertawa, tangannya terangkat, menggaruk tengkuknya yang tak merasa gatal. Begitu canggung dirinya untuk mengatakan hal tersebut pada ibu mertuanya. "Saya coba, Tan— eh, maksudnya,
Tiga hari kemudian .... Tak pernah terbayangkan dalam hidup Sasha untuk menikah muda dengan sosok pria yang menjadi dosennya di kampus. Sasha tak pernah tahu tentang takdir Tuhan yang direncanakan untuknya tetapi, rasanya begitu pusing untuk menghadapi semuanya. Padahal jarak mereka cukup jauh, Sasha hanyalah gadis yang baru beranjak usia 19 tahun. Sedangkan, Aditya berumur 27 tahun, mungkin bisa jadi lebih. Lantas Sasha harus bagaimana dengan pernikahan ini nantinya? "Sasha ...!" teriak Alya yang baru masuk ke dalam kamar rias pengantin. Sontak Sasha sedikit terkejut, ia melirik ke arah Alya yang tengah berdiri dengan pakaian berwarna merah maroon, itu adalah kain yang Sahsa berikan untuk dikenakan oleh Alya dan menjadikan sebagai briedesmaid. "Jangan berisik, nanti MUA yang meriah wajahku terperanjat dan malah mencoret wajah cantik ku ini!" desis Sasha. "Maaf, maaf, habisnya aku terlalu excited. Kok, kamu sudah menikah saja sedangkan kamu gak pernah bilang kalau kamu
Sasha terkejut mendengar kalimat yang telah dilontarkan oleh sang Ayah. Ia bahkan mematung di tempatnya dengan ponsel yang sengaja ia jauhkan dari telinganya. Prof. Aditya seperti mempermainkannya bahkan hingga membuat keputusan sendiri yang membuatnya merasa kesal. Tanpa mengatakan apapun pada sang Ayah, Sasha langsung mematikan ponsel sepihak. Rasa kesal menghingapinya membuat Sasha bangkit dari tempat duduknya. Ia segera pergi dari kantin yang semakin sepi, meninggalkan Raffi dan juga Alya. Sasha benar-benar tak berpamitan sepatah-katapun yang dipikirannya kini hanya ingin menemui Prof. Aditya. "Woi?!" Alya berteriak ketika kakinya menginjak di tempat mereka duduk semula. Namun, Sasha malah pergi layaknya seorang jailangkung. "Makanan kamu gimana, ini? Kok ditinggal?!" teriak Alya cukup kencang. Sasha memilih untuk tak mendengarkannya. Dia tak mendengarkan apapun dan memilih untuk tetap pergi dengan raut wajah memerah. Langkah kakinya terus menelusuri tiap-tiap sudut ruangan ka
Mulut Prof. Aditya memang harus dikunci rapat-rapat menggunakan solatip hitam. Pria itu secara gamblangnya mengungkapkan semua yang terjadi pada malam hari membuat Sasha merasa kesal. “Apasih?! Prof halu nih,” cetus Sasha seraya meraih kedua tangan Raffi dan Alya bersamaan. Ia tak mau membuat kedua temannya mendengar ucapan dari Prof. Aditya lagi dan membuat gosip terbaru di kalangan kampus hingga membuat namanya langsung terkenal dimana-mana. Kakinya melangkah sambil menarik-narik Raffi dan Alya secara bersamaan menuju kantin yang berada di ujung kampus. Ia tak mau mendengar kalimat apapun lagi dari mulut Prof. Aditya dan malah membuatnya kesal setengah mati. Di area kampus begitu banyak sekali orang di setiap penjuru. Tatapan demi tatapan dilayangkan oleh orang-orang berada di sekitar mereka dengan tatapan aneh namun, ketiganya tetap berjalan dan mengabaikan semuanya. Mereka beranggapan bahwa orang-orang itu hanyalah seorang makhluk halus yang datang dan memperhatikannya.Sampai
Tanpa sadar, bibirnya Sasha langsung menyungging. Mengikuti senyuman pria tersebut. Aura pria itu begitu kuat hingga membuat Sasha mengikuti senyumannya. “Salam kenal juga. Aku Sasha,” ucap Sasha dengan ramah dan lembut. Mata gadis itu berbinar cantik membuat Raffi menjadi terkesima. “Saya tahu nama kamu. Sasha Wijaya, bukankah seperti itu namamu?” kata Raffi diikuti senyuman kecil yang begitu sempurna. Sasha segera mengangguk kepalanya. “Namamu sangat cantik, seperti wajahmu,” lanjut Raffi memberi pujian. Sontak Sasha tertawa pelan. Gombalan yang terlontarkan oleh Raffi membuat tubuh meremang, bulu kuduknya berdiri merasa ngeri dengan ucapan yang dikatakan olehnya. “Aku baru melihatmu. Apakah pertemuan kemarin dengan dosen kemarin, kamu tidak datang?” tanya Sasha kebingungan. Meskipun Sasha baru pertama kali memasuki kelas dan ini adalah yang kedua kalinya, Sasha langsung familiar dengan wajah temen sekelasnya. Bahkan beberapa nama temannya, Sasha mengetahuinya. Raffi te
“Anjani, turunkan tangan kamu, jangan sesekali memukulnya.”Suara itu langsung berdegung di telinga Sasha. Perlahan matanya terbuka dan menyaksikan tangan dosen tersebut yang bernama Anjani, lengannya tengah ditahan oleh Prof. Aditya. Wajah tampan dan menjengkelkan itu, berhasil membuat detak jantung Sasha melonjak keluar. Sasha mengerjap-erjapkan matanya, dia melongo, rencananya kali ini gagal lagi. “Pak Adit, kok anda berada disini?” ucap Anjani dengan suara yang mendayu dan melemah, seolah-olah menunjukkan sisinya yang lembut dan ramah. “Itu urusan saya! Mau saya berada disini, disana atau dimana pun, itu urusan saya, Anjani” tekan Prof. Aditya dengan raut wajah yang begitu datar. “Ngapain kamu mau memukul Sasha?” lanjutnya. “Tidak, Pak. Kamu salah paham, saya hanya ingin mengelus rambut Sasha dan mengajaknya masuk,” ungkap Anjani dengan senyuman yang khas. Sasha langsung menatap matanya, bola matanya langsung mendelik sebal. Rasa kesal memenuhi hatinya, terlebih Anjani malah
Sontak Sasha membulatkan mata. Pagi-pagi seperti ini harusnya ia mendengarkan kabar baik namun, sepertinya dunia sedang tak berpihak pada Sasha sehingga menyebabkan keterkejutan yang mendalam. “Apa-apaan, Prof?! Kan Prof sendiri yang mengatakan bahwa, 'tugas yang saya berikan tidak usah kamu kerjakan jika menerima perjodohan ini'. Prof, gak pikun kan?,” sentak Sasha dengan wajah yang memerah.“Saya gak pikun tetapi, karena kamu sudah meminta pernikahannya di undur menjadi dua minggu yang akan datang, membuat saya berubah pikiran.” Wajah tampan dengan hidung mancung layaknya perosotan anak TK itu, kini menatap ke arah Sasha tajam. “Mana sini?” pintanya. Sasha langsung mendesah pelan. Bisa gila dia menghadapi Prof. Aditya dengan segala tingkahnya yang kurang ajar. Lantas Sasha tersenyum pasrah. “Wahai, Prof. Aditya yang tampan dan juga angkuh. Dengarkan saya, karena Prof sudah mengatakan bahwa tugas yang engkau berikan tidak usah dikerjakan. Jadi, saya menurut dan tidak mengerjakanny