“Bagaimana?” tanya Aditya dengan penuh ketegasan.
Sasha seketika diam membisu, dirinya benar-benar tak bisa menjawab pertanyaan itu. Mata cantik itu melirik ke arah Aditya dengan tatapan sendu. Aditya seketika terkesima melihatnya. Ia tak sadar, bahwa mata Sasha ternyata sangat cantik. Segera Aditya membuang wajahnya sembarang, tak ingin menatapnya. Hatinya terasa melonjak begitu, detak jantung menjadi bersahutan mengiringi hatinya. Entah mengapa, perutnya kini bertaburan kupu-kupu yang berterbangan disana. “Prof gak mau memberikan pilihan lain?” tanya Sasha sambil menghela nafas panjang. Tangannya terulur, membenarkan anak-anak rambutnya yang tergerai dan menusuk ke matanya. “Tidak ada!” balas Aditya dengan tegas meskipun ia tak menatap lawan bicaranya. Sasha menarik nafas panjang. Pusing telah menghampirinya, bagaimana bisa Prof memberikan pertanyaan yang sulit untuk dijawab olehnya. Ingin sekali, Sasha memakai pemuda dihadapannya ini. “Oke, saya tahu. Kamu pasti tak akan mau kan, aku akan memberitahukannya langsung kepada ibumu,” ungkap Prof Aditya seraya bangkit dari tempat duduknya. Sasha seketika panik dibuatnya, dengan gesit Sasha langsung memegang tangan Prof Aditya untuk menahannya tak pergi menemui kedua orang tuanya. Sasha tak mau jika menambah masalah lagi. Disisi lain, Prof Aditya tersenyum kecil. Melihat wajah Sasha yang terlihat panik membuat kebahagiaannya tersendiri. “Jangan dong, aku akan menerimanya, deh!” cetus Sasha pasrah. Aditya bahagia mendengarnya. Entah mengapa, hatinya terselip penuh kebahagian mendengar penuturan Sasha. “Tapi ada syaratnya, kalau nanti sudah nikah. Jangan beritahu anak-anak kampus,” lanjut Sasha sambil melepaskan tautan tangannya. Wajahnya nampak masam, menahan emosi yang menggelonjak dihatinya. “Oke, saya setuju!” balas Prof. Aditya dengan datar. Mereka berdua kembali menuju ruang tengah, berkumpul bersama keluarganya yang sudah menunggu. Raut wajah terlihat jelas kesal dan masam seperti orang yang kejatuhan tempo. Sementara, Aditya, pria itu hanya santai saja seolah-olah tak ada yang terjadi pada mereka. Sasha beserta Aditya berjalan beriringan menghampiri semuanya. Ketika sampai, Sasha lebih dahulu duduk di dekat ibunya. “Ah, mimpi apaan aku semalam. Bisa-bisanya dinikahin sama dosen killer di sekolah,” gerutu Sasha di dalam hatinya. “Bagaimana, apakah kalian berdua setuju dengan perjodohan ini?” tanya Ayah Wijaya dengan suara yang penuh keterburuan. “Pastinya setuju lah, Jay. Gak akan mungkin juga mereka tidak setuju,” celetuk Bowo dengan suara yang terdengar menggema di seluruh ruangan. Sasha yang mendengar sontak tersenyum tipis, bola matanya berputar malas. Andaikan saja dia bisa memilih, mungkin Sasha tak ingin pernikahan ini akan terjadi. “Tadi, saya dengan Sasha sudah membicarakannya dan kami berdua setuju dengan perjodohan ini,” ucap Prof. Aditya yang mewakilinya. Segera Sasha meliriknya sinis. “Tcih! Andaikan saja, kau gak mengancam. Sudah aku batalkan nih perjodohan!” gerutu Sasha di dalam hatinya. “Kamu seriusan, Sa? Ini gak ada paksaan, kan?” Ariz menatap Sasha tak percaya, abangnya itu tahu betul bahwa Sasha tak menginginkan pernikahan ini. Namun, mengapa Sasha tiba-tiba saja berubah pikiran? “Iyah, sesuai apa yang telah dikatakan Prof,” ucap Sasha malas tetapi sebisa mungkin ia mengatakannya dengan legowo. “Perjodohan ini kami terima,” lanjutnya. “Kamu lagi gak kesambet, kan, Sa? Kok abang jadi ngeri gini dengernya.” Ariz mengelus-elus tangannya karena bulu kuduknya seketika berdiri semua, seolah-olah ruangan ini menjadi misterius. Sasha malas sekali mendengarnya, ia langsung menatap Ariz dengan nyalang. Memperhatikannya untuk diam dan tak hanya omong, Sasha memberitahukan lewat tatapannya yang seolah-olah mereka menggunakan telepati. “Kamu ini, menggoda adikmu saja. Jangan seperti itu!” peringat Ayah Wijaya seraya menatap Ariz untuk diam. Ariz terkekeh kecil. Ia meruntuki dirinya sendiri seraya tertawa yang menampilkan deretan giginya, “Baiklah! Baiklah! Aku akan diam.” Segera, Ariz menutup mulutnya rapat-rapat, memperhatikan dengan cermat perkembangan situasi yang sedang terjadi di depannya. Ayah Wijaya dan lawan bicaranya terlihat tengah bertukar bisikan, memancing rasa kekhawatiran yang mendalam dalam diri Sasha. Hatinya berdegup kencang, dan rasa tak enak mulai menyelimuti dirinya dengan keras. Ketegangan dan kecemasan mulai merayap di dalam diri Sasha, membuatnya merasa gelisah dan tidak nyaman. Selama sekitar lima menit, keduanya terus berbincang dengan bisikan, tersenyum bahagia yang terpancar dari wajah Ayah dan Bowo. Namun, suasana yang tercipta di ruangan tersebut membuat Sasha semakin merasa tidak nyaman dan gelisah. Semua kekhawatiran dan ketidakpastian mulai menghantui pikirannya. “Karena Sasha sudah menerima perjodohannya ini dengan lapang dada, begitupula dengan Aditya. Bagaimana kalau kalian langsung menikah, dua minggu yang akan datang?” usul Bowo dengan senyuman manis yang khas.“Karena Sasha sudah menerima perjodohannya ini dengan lapang dada, begitupula dengan Aditya. Bagaimana kalau kalian langsung menikah, dua minggu yang akan datang?” usul Bowo dengan senyuman manis yang khas. “Apa?!” Sasha langsung syok mendengarnya, tak menyangka dengan apa yang telah dikatakan oleh Bowo. Seketika Bowo dan yang lainnya melirik ke arah Sasha dengan tatapan bingung yang melanda, membuat suasana sekitar menjadi hening menyelimuti ruangan ini. “Om, yang benar saja? Dua minggu yang akan datang? Kenapa gak satu bulan atau dua bulan lagi aja, kita harus mengenal satu sama lain dahulu,” ungkap Sasha dengan mimik wajah yang kentara lucu nan membingungkan. “Untuk apa? Bukankah, kalian sudah mengenal di kampus. Jadi, buat apa menunggu lebih lama lagi?” celetuk Papa Wijaya dengan alis yang berkerut kebingungan. Sasha seketika memerah, ada kepanikan di dalam dirinya. Ia sangat ketakutan sekarang, melirik ke arah sang Abang yang sedari tadi diam saja dengan raut wajah lugu. Ane
Sontak Sasha membulatkan mata. Pagi-pagi seperti ini harusnya ia mendengarkan kabar baik namun, sepertinya dunia sedang tak berpihak pada Sasha sehingga menyebabkan keterkejutan yang mendalam. “Apa-apaan, Prof?! Kan Prof sendiri yang mengatakan bahwa, 'tugas yang saya berikan tidak usah kamu kerjakan jika menerima perjodohan ini'. Prof, gak pikun kan?,” sentak Sasha dengan wajah yang memerah.“Saya gak pikun tetapi, karena kamu sudah meminta pernikahannya di undur menjadi dua minggu yang akan datang, membuat saya berubah pikiran.” Wajah tampan dengan hidung mancung layaknya perosotan anak TK itu, kini menatap ke arah Sasha tajam. “Mana sini?” pintanya. Sasha langsung mendesah pelan. Bisa gila dia menghadapi Prof. Aditya dengan segala tingkahnya yang kurang ajar. Lantas Sasha tersenyum pasrah. “Wahai, Prof. Aditya yang tampan dan juga angkuh. Dengarkan saya, karena Prof sudah mengatakan bahwa tugas yang engkau berikan tidak usah dikerjakan. Jadi, saya menurut dan tidak mengerjakanny
“Anjani, turunkan tangan kamu, jangan sesekali memukulnya.”Suara itu langsung berdegung di telinga Sasha. Perlahan matanya terbuka dan menyaksikan tangan dosen tersebut yang bernama Anjani, lengannya tengah ditahan oleh Prof. Aditya. Wajah tampan dan menjengkelkan itu, berhasil membuat detak jantung Sasha melonjak keluar. Sasha mengerjap-erjapkan matanya, dia melongo, rencananya kali ini gagal lagi. “Pak Adit, kok anda berada disini?” ucap Anjani dengan suara yang mendayu dan melemah, seolah-olah menunjukkan sisinya yang lembut dan ramah. “Itu urusan saya! Mau saya berada disini, disana atau dimana pun, itu urusan saya, Anjani” tekan Prof. Aditya dengan raut wajah yang begitu datar. “Ngapain kamu mau memukul Sasha?” lanjutnya. “Tidak, Pak. Kamu salah paham, saya hanya ingin mengelus rambut Sasha dan mengajaknya masuk,” ungkap Anjani dengan senyuman yang khas. Sasha langsung menatap matanya, bola matanya langsung mendelik sebal. Rasa kesal memenuhi hatinya, terlebih Anjani malah
Tanpa sadar, bibirnya Sasha langsung menyungging. Mengikuti senyuman pria tersebut. Aura pria itu begitu kuat hingga membuat Sasha mengikuti senyumannya. “Salam kenal juga. Aku Sasha,” ucap Sasha dengan ramah dan lembut. Mata gadis itu berbinar cantik membuat Raffi menjadi terkesima. “Saya tahu nama kamu. Sasha Wijaya, bukankah seperti itu namamu?” kata Raffi diikuti senyuman kecil yang begitu sempurna. Sasha segera mengangguk kepalanya. “Namamu sangat cantik, seperti wajahmu,” lanjut Raffi memberi pujian. Sontak Sasha tertawa pelan. Gombalan yang terlontarkan oleh Raffi membuat tubuh meremang, bulu kuduknya berdiri merasa ngeri dengan ucapan yang dikatakan olehnya. “Aku baru melihatmu. Apakah pertemuan kemarin dengan dosen kemarin, kamu tidak datang?” tanya Sasha kebingungan. Meskipun Sasha baru pertama kali memasuki kelas dan ini adalah yang kedua kalinya, Sasha langsung familiar dengan wajah temen sekelasnya. Bahkan beberapa nama temannya, Sasha mengetahuinya. Raffi te
Mulut Prof. Aditya memang harus dikunci rapat-rapat menggunakan solatip hitam. Pria itu secara gamblangnya mengungkapkan semua yang terjadi pada malam hari membuat Sasha merasa kesal. “Apasih?! Prof halu nih,” cetus Sasha seraya meraih kedua tangan Raffi dan Alya bersamaan. Ia tak mau membuat kedua temannya mendengar ucapan dari Prof. Aditya lagi dan membuat gosip terbaru di kalangan kampus hingga membuat namanya langsung terkenal dimana-mana. Kakinya melangkah sambil menarik-narik Raffi dan Alya secara bersamaan menuju kantin yang berada di ujung kampus. Ia tak mau mendengar kalimat apapun lagi dari mulut Prof. Aditya dan malah membuatnya kesal setengah mati. Di area kampus begitu banyak sekali orang di setiap penjuru. Tatapan demi tatapan dilayangkan oleh orang-orang berada di sekitar mereka dengan tatapan aneh namun, ketiganya tetap berjalan dan mengabaikan semuanya. Mereka beranggapan bahwa orang-orang itu hanyalah seorang makhluk halus yang datang dan memperhatikannya.Sampai
Sasha terkejut mendengar kalimat yang telah dilontarkan oleh sang Ayah. Ia bahkan mematung di tempatnya dengan ponsel yang sengaja ia jauhkan dari telinganya. Prof. Aditya seperti mempermainkannya bahkan hingga membuat keputusan sendiri yang membuatnya merasa kesal. Tanpa mengatakan apapun pada sang Ayah, Sasha langsung mematikan ponsel sepihak. Rasa kesal menghingapinya membuat Sasha bangkit dari tempat duduknya. Ia segera pergi dari kantin yang semakin sepi, meninggalkan Raffi dan juga Alya. Sasha benar-benar tak berpamitan sepatah-katapun yang dipikirannya kini hanya ingin menemui Prof. Aditya. "Woi?!" Alya berteriak ketika kakinya menginjak di tempat mereka duduk semula. Namun, Sasha malah pergi layaknya seorang jailangkung. "Makanan kamu gimana, ini? Kok ditinggal?!" teriak Alya cukup kencang. Sasha memilih untuk tak mendengarkannya. Dia tak mendengarkan apapun dan memilih untuk tetap pergi dengan raut wajah memerah. Langkah kakinya terus menelusuri tiap-tiap sudut ruangan ka
Tiga hari kemudian .... Tak pernah terbayangkan dalam hidup Sasha untuk menikah muda dengan sosok pria yang menjadi dosennya di kampus. Sasha tak pernah tahu tentang takdir Tuhan yang direncanakan untuknya tetapi, rasanya begitu pusing untuk menghadapi semuanya. Padahal jarak mereka cukup jauh, Sasha hanyalah gadis yang baru beranjak usia 19 tahun. Sedangkan, Aditya berumur 27 tahun, mungkin bisa jadi lebih. Lantas Sasha harus bagaimana dengan pernikahan ini nantinya? "Sasha ...!" teriak Alya yang baru masuk ke dalam kamar rias pengantin. Sontak Sasha sedikit terkejut, ia melirik ke arah Alya yang tengah berdiri dengan pakaian berwarna merah maroon, itu adalah kain yang Sahsa berikan untuk dikenakan oleh Alya dan menjadikan sebagai briedesmaid. "Jangan berisik, nanti MUA yang meriah wajahku terperanjat dan malah mencoret wajah cantik ku ini!" desis Sasha. "Maaf, maaf, habisnya aku terlalu excited. Kok, kamu sudah menikah saja sedangkan kamu gak pernah bilang kalau kamu
Hal yang begitu menakutkan untuk Sasha akhirnya tiba. Dengan nafas yang begitu tercekat, Sasha meraih ganggang pintu yang nampak tertutup di sana. Jantungnya berdebar kencang untuk menemui Aditya yang telah berada di dalam sana. Sasha bahkan cukup ketakutan untuk membukanya. Takut hal aneh akan terjadi pada malam ini, ingin sekali Sasha merengek pada sang ibu yang telah menaruh Aditya di kamarnya. "Nak ...!" Sasha langsung terkejut dengan suara yang tiba-tiba saja datang. Detak jantungnya langsung berhenti berdetak, dan melirik ke arah ibu mertuanya. Sasha langsung tersenyum kecil. "Eh, Tante. Lagi apa disini, Tan?" tanya Sasha basa-basi . "Panggil mama sekarang, Sa. Sekarang 'kan kamu sudah menjadi mantu ku, masa masih panggil tante," jawabnya dengan helaan nafas yang begitu panjang. Sasha tertawa, tangannya terangkat, menggaruk tengkuknya yang tak merasa gatal. Begitu canggung dirinya untuk mengatakan hal tersebut pada ibu mertuanya. "Saya coba, Tan— eh, maksudnya,
Sesaat, Sasha langsung tertegun dengan ucapannya. Pria yang berada di hadapannya seakan menyimpan luka yang membuatnya kebingungan. Apa maksudnya dari perkataannya? Sasha yakin, Aditya mengatakan itu untuk seseorang yang mungkin pernah singgah di kehidupannya. "Tolong, peluk aku," gumamnya dengan mata yang masih terpejam. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Padahal suhu udara sudah masuk ke maksimal. Sehingga membuat Sasha bergerak namun, Aditya langsung menghentikan pergerakanya dan berakhir mengunci Sasha untuk tidak pergi. "Nih, Om-om, kenapa sih?" gerutu Sasha secara gamblangnya. Sontak Sasha mengganti posisi menjadi tertidur agar lebih nyaman. Mata yang masih belum mengantuk, menatap tiap inci wajah Aditya yang terlihat ketakutan di dalam mimpinya. Tanpa sadar, tangan Sasha beranjak, membelai rambut Aditya agar lebih tenang. Dan dalam sekejap—seperti sihir yang berada di tangannya, Aditya perlahan mulai tenang. Keringat yang membanjiri sudah mereda dan digantikan oleh suara
"Eh! Maaf, Sa, Prof. Aku gak sengaja." Alya tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar Sasha tanpa sengaja. Gadis itu begitu lupa dengan temannya yang sudah menikah pada hari ini. Ia meruntuki sikapnya yang cerobos dan menganggu kenyamanan kedua pasutri yang ingin melakukan malam pertama, mungkin. "Aku akan pergi! Kalian lanjutkan aja," ucap Alya terburu-buru, ia langsung mundur ke belakang dan berniat menutup pintu. "Tunggu dulu," celetuk Aditya seraya bangkit dari tempatnya. Pria itu mendekati Alya yang berhenti di tempatnya, nampak gadis itu tengah bergeming di tempat dengan kepala yang tertunduk menahan rasa malu yang menyergap hatinya. "Kalian kalau mau mengobrol silakan saja, saya akan pergi keluar sebentar," lanjut Aditya seraya melangkahkan kakinya menuju luar kamar. "Eh! Nggak perlu, Prof! Saya cuman mau ngasih tahu Sasha, kalau saya mau pulang. Nah, karena saya sudah ngasih tahu, kalian lanjutin aja," ucap Alya seraya memundurkan langkahnya dan langsung menutup pintu ken
Hal yang begitu menakutkan untuk Sasha akhirnya tiba. Dengan nafas yang begitu tercekat, Sasha meraih ganggang pintu yang nampak tertutup di sana. Jantungnya berdebar kencang untuk menemui Aditya yang telah berada di dalam sana. Sasha bahkan cukup ketakutan untuk membukanya. Takut hal aneh akan terjadi pada malam ini, ingin sekali Sasha merengek pada sang ibu yang telah menaruh Aditya di kamarnya. "Nak ...!" Sasha langsung terkejut dengan suara yang tiba-tiba saja datang. Detak jantungnya langsung berhenti berdetak, dan melirik ke arah ibu mertuanya. Sasha langsung tersenyum kecil. "Eh, Tante. Lagi apa disini, Tan?" tanya Sasha basa-basi . "Panggil mama sekarang, Sa. Sekarang 'kan kamu sudah menjadi mantu ku, masa masih panggil tante," jawabnya dengan helaan nafas yang begitu panjang. Sasha tertawa, tangannya terangkat, menggaruk tengkuknya yang tak merasa gatal. Begitu canggung dirinya untuk mengatakan hal tersebut pada ibu mertuanya. "Saya coba, Tan— eh, maksudnya,
Tiga hari kemudian .... Tak pernah terbayangkan dalam hidup Sasha untuk menikah muda dengan sosok pria yang menjadi dosennya di kampus. Sasha tak pernah tahu tentang takdir Tuhan yang direncanakan untuknya tetapi, rasanya begitu pusing untuk menghadapi semuanya. Padahal jarak mereka cukup jauh, Sasha hanyalah gadis yang baru beranjak usia 19 tahun. Sedangkan, Aditya berumur 27 tahun, mungkin bisa jadi lebih. Lantas Sasha harus bagaimana dengan pernikahan ini nantinya? "Sasha ...!" teriak Alya yang baru masuk ke dalam kamar rias pengantin. Sontak Sasha sedikit terkejut, ia melirik ke arah Alya yang tengah berdiri dengan pakaian berwarna merah maroon, itu adalah kain yang Sahsa berikan untuk dikenakan oleh Alya dan menjadikan sebagai briedesmaid. "Jangan berisik, nanti MUA yang meriah wajahku terperanjat dan malah mencoret wajah cantik ku ini!" desis Sasha. "Maaf, maaf, habisnya aku terlalu excited. Kok, kamu sudah menikah saja sedangkan kamu gak pernah bilang kalau kamu
Sasha terkejut mendengar kalimat yang telah dilontarkan oleh sang Ayah. Ia bahkan mematung di tempatnya dengan ponsel yang sengaja ia jauhkan dari telinganya. Prof. Aditya seperti mempermainkannya bahkan hingga membuat keputusan sendiri yang membuatnya merasa kesal. Tanpa mengatakan apapun pada sang Ayah, Sasha langsung mematikan ponsel sepihak. Rasa kesal menghingapinya membuat Sasha bangkit dari tempat duduknya. Ia segera pergi dari kantin yang semakin sepi, meninggalkan Raffi dan juga Alya. Sasha benar-benar tak berpamitan sepatah-katapun yang dipikirannya kini hanya ingin menemui Prof. Aditya. "Woi?!" Alya berteriak ketika kakinya menginjak di tempat mereka duduk semula. Namun, Sasha malah pergi layaknya seorang jailangkung. "Makanan kamu gimana, ini? Kok ditinggal?!" teriak Alya cukup kencang. Sasha memilih untuk tak mendengarkannya. Dia tak mendengarkan apapun dan memilih untuk tetap pergi dengan raut wajah memerah. Langkah kakinya terus menelusuri tiap-tiap sudut ruangan ka
Mulut Prof. Aditya memang harus dikunci rapat-rapat menggunakan solatip hitam. Pria itu secara gamblangnya mengungkapkan semua yang terjadi pada malam hari membuat Sasha merasa kesal. “Apasih?! Prof halu nih,” cetus Sasha seraya meraih kedua tangan Raffi dan Alya bersamaan. Ia tak mau membuat kedua temannya mendengar ucapan dari Prof. Aditya lagi dan membuat gosip terbaru di kalangan kampus hingga membuat namanya langsung terkenal dimana-mana. Kakinya melangkah sambil menarik-narik Raffi dan Alya secara bersamaan menuju kantin yang berada di ujung kampus. Ia tak mau mendengar kalimat apapun lagi dari mulut Prof. Aditya dan malah membuatnya kesal setengah mati. Di area kampus begitu banyak sekali orang di setiap penjuru. Tatapan demi tatapan dilayangkan oleh orang-orang berada di sekitar mereka dengan tatapan aneh namun, ketiganya tetap berjalan dan mengabaikan semuanya. Mereka beranggapan bahwa orang-orang itu hanyalah seorang makhluk halus yang datang dan memperhatikannya.Sampai
Tanpa sadar, bibirnya Sasha langsung menyungging. Mengikuti senyuman pria tersebut. Aura pria itu begitu kuat hingga membuat Sasha mengikuti senyumannya. “Salam kenal juga. Aku Sasha,” ucap Sasha dengan ramah dan lembut. Mata gadis itu berbinar cantik membuat Raffi menjadi terkesima. “Saya tahu nama kamu. Sasha Wijaya, bukankah seperti itu namamu?” kata Raffi diikuti senyuman kecil yang begitu sempurna. Sasha segera mengangguk kepalanya. “Namamu sangat cantik, seperti wajahmu,” lanjut Raffi memberi pujian. Sontak Sasha tertawa pelan. Gombalan yang terlontarkan oleh Raffi membuat tubuh meremang, bulu kuduknya berdiri merasa ngeri dengan ucapan yang dikatakan olehnya. “Aku baru melihatmu. Apakah pertemuan kemarin dengan dosen kemarin, kamu tidak datang?” tanya Sasha kebingungan. Meskipun Sasha baru pertama kali memasuki kelas dan ini adalah yang kedua kalinya, Sasha langsung familiar dengan wajah temen sekelasnya. Bahkan beberapa nama temannya, Sasha mengetahuinya. Raffi te
“Anjani, turunkan tangan kamu, jangan sesekali memukulnya.”Suara itu langsung berdegung di telinga Sasha. Perlahan matanya terbuka dan menyaksikan tangan dosen tersebut yang bernama Anjani, lengannya tengah ditahan oleh Prof. Aditya. Wajah tampan dan menjengkelkan itu, berhasil membuat detak jantung Sasha melonjak keluar. Sasha mengerjap-erjapkan matanya, dia melongo, rencananya kali ini gagal lagi. “Pak Adit, kok anda berada disini?” ucap Anjani dengan suara yang mendayu dan melemah, seolah-olah menunjukkan sisinya yang lembut dan ramah. “Itu urusan saya! Mau saya berada disini, disana atau dimana pun, itu urusan saya, Anjani” tekan Prof. Aditya dengan raut wajah yang begitu datar. “Ngapain kamu mau memukul Sasha?” lanjutnya. “Tidak, Pak. Kamu salah paham, saya hanya ingin mengelus rambut Sasha dan mengajaknya masuk,” ungkap Anjani dengan senyuman yang khas. Sasha langsung menatap matanya, bola matanya langsung mendelik sebal. Rasa kesal memenuhi hatinya, terlebih Anjani malah
Sontak Sasha membulatkan mata. Pagi-pagi seperti ini harusnya ia mendengarkan kabar baik namun, sepertinya dunia sedang tak berpihak pada Sasha sehingga menyebabkan keterkejutan yang mendalam. “Apa-apaan, Prof?! Kan Prof sendiri yang mengatakan bahwa, 'tugas yang saya berikan tidak usah kamu kerjakan jika menerima perjodohan ini'. Prof, gak pikun kan?,” sentak Sasha dengan wajah yang memerah.“Saya gak pikun tetapi, karena kamu sudah meminta pernikahannya di undur menjadi dua minggu yang akan datang, membuat saya berubah pikiran.” Wajah tampan dengan hidung mancung layaknya perosotan anak TK itu, kini menatap ke arah Sasha tajam. “Mana sini?” pintanya. Sasha langsung mendesah pelan. Bisa gila dia menghadapi Prof. Aditya dengan segala tingkahnya yang kurang ajar. Lantas Sasha tersenyum pasrah. “Wahai, Prof. Aditya yang tampan dan juga angkuh. Dengarkan saya, karena Prof sudah mengatakan bahwa tugas yang engkau berikan tidak usah dikerjakan. Jadi, saya menurut dan tidak mengerjakanny