Ardhan menggapai sling armnya dan menggenakannya agar bisa lebih mengkondisikan gerakan tanpa harus membuat tangan yang cidera bermasalah. Ardhan tahu seharusnya dia tidak melakukan hal ini dulu saat tangannya masih belum seutuhnya membaik, namun rongrongan hasyrat sebagai seorang laki-laki tak dapat ditahannya. Apalagi sudah sejak lama Alea terus membuatnya menginginkannya. “Kita pacaran saja ya, Kak. Alea takut tangan Kakak…” Alea masih mencoba mengingatkan Ardhan di tengah kegiatan yang bertambah panas itu, namun Ardhan mengabaikannya. “Enghhh….” Alea merasa ada yang mendesak memasukinya. Perlahan namun pasti. Matanya terpejam rapat seolah merasa kesakitan namun tidak berusaha protes. “Sakit Al?” tanya Ardhan mencoba mempertimbangkan apakah dia akan menyakiti Alea jika diteruskan. “Ehmm... “ Alea mencoba beradaptasi dengan benda yang terjejal sesak di dalam kewanitaannya itu. sambil mengatur nafasnya dia melihat Ardhan cemas lalu berujar,”Lanjutin, Kak!” “Sebelum lebih jauh,
Ardhan membaca kabar berita dari ponselnya dan sedikit terganggu melihat Alea yang berjalan dengan langkah berbeda. Keningnya berkerut mencemaskannya.“Kenapa begitu jalannya?” tanyanya.“Ugh, gimana dong?” Alea malah bertanya balik dengan sebal meski sedikit terlihat malu karena kegiatan mereka yang membara semalam.Ardhan baru sadar bahwa Alea seperti itu karena kelakuannya semalam. Dia pun bangkit dan mendudukan Alea.“Mau apa, Kak?” Alea heran.“Yang mana yang sakit? Aku periksa ya?” Ardhan terlihat serius dan membuka kedua paha Alea.“Jangan ah, Kak!” Alea menolak dan merapatkan kembali kedua kakinya.“Jangan begitu, kalau memang sakit kita periksa saja ke dokter”Alea tentu tidak ingin pergi ke dokter karena hal ini. Mau di taruh mana mukanya kalau harus diperiksa di bagian sana. Apalagi itu karena kelakuan suaminya sendiri. Tadi dia sudah tanya-tanya di web tanyadokter online, dan jawabanya itu normal. Akan membaik dengan sendirinya. Hanya perlu pelemasan otot-otot saja.“Yakin
Riak terbentuk ketika Devan mendayung sampan di sungai yang tidak terlalu dalam itu. Valen duduk menatap bunga-bunga yang mulai bermekaran di tepinya. Di ujung sana sepasang kekasih duduk di kursi dan saling mengobrol dengan menatap romantis. Anak-anak berlarian mengejar kupu-kupu. Suasana yang damai sekali.Kenapa baru sekarang dia menemukan tempat ini untuk sekedar bersantai.“Woy, enak banget dirimu!” Devan mencipratkan air pada Valen yang tampak santai menikmati suasana sementara dirinya mendayung sampan.“Astaga, gak ikhlas banget kalau kamu lihat aku santai”“Pegal ini tangan!” Devan menyodorkan dayung pada Valen. “Lagian, ngapain juga ngajak ke tempat ini. Minta naik perahu lagi, sok keromantisan jadi orang!”“Ya udah, biar aku yang dayung. Dasar malas! Udah diboncengin sekarang giliran dayung sebentar saja, ngeluh!” Valen merebut dayung itu dari Devan sambil menggerutu.Tida
Baju Alea sudah terlepas dan dia baru menyadari bahwa tidak ada sehelai benangpun yang tertanggal di kulitnya sementara baju Ardhan masih sangat rapi. Sedikit tidak terima Alea pun melepas kancing kemeja Ardhan. Dia juga ingin melihat dan menyentuh tubuh suaminya yang terpahat indah. Setiap pagi Alea sering melihatnya berolahraga dan menampakan tubuh atletisnya. Dada bidang dan otot perut yang seperti roti sobek. Siapa sangka, sekarang Alea bisa menyentuh dan membelainya.Mengetahui Alea melepas kemejanya, Ardhan menjadi lebih bersemangat. Dia membantu melepas celananya lalu menarik tangan Alea untuk menelusupkan di dalam sana. Ada benda yang sungguh ingin dibelai dan di elus-elus oleh tangan lembut itu.“Geli, ah, Kak!” Alea menarik tangannya dari dalam sana, namun Ardhan tidak mengijinkannya. Dibenamkan kembali tangan itu di sana kembali. Melihat tatapan Ardhan yang sayu dan seperti hendak menelannya bulat-bulat, Alea jadi takut. Kalau sudah begini, tatap
Hera tertawa terpingkal-pingkal kala Kamila menceritakan apa yang dilihat Laila saat berkunjung ke rumah Ardhan waktu itu.Tadinya dia kasihan pada Alea yang nampak setengah mati menahan malu, karnanya Kamila tidak ingin menceritakannya. Namun, ketika ada kesempatan mengunjungi Hera, Kamila keceplosan juga menceritakannya.“Sudah lama itu?” Hera masih menahan tawanya. Dia justru terlihat sangat bahagia mendengarnya.“Sebulanan lah”“Alhamdulillah, Kamila. Akhirnya…” Hera merasa bersyukur akhirnya putra semata wayangnya itu bisa juga menerima dan memperlakukan Alea selayaknya seorang istri. Dia jadi penasaran apakah Ardhan sudah memutuskan kekasihnya itu?Hera memang sering menelpon Alea sekedar menanyakan apa semua baik-baik saja. Dan Alea tentu menjawab, semuanya baik. Hera sebenarnya kurang yakin atas jawaban menantunya itu mengingat karakternya yang penurut. Jangan-jangan Ardhan mengancamnya untuk selal
Naysila ada janji ketemuan dengan seseorang di tempat yang sama. Dia ingin membicarakan tentang lamaran pekerjaan mengingat dia di-skorsing oleh pihak universitas terkait tersebarnya video asusilanya yang menjadikan masalah internal rektorat. Tidak dinyana bertemu dengan Ardhan bersama seorang wanita.Naysila tahu, mereka sudah berpisah dan Ardhan punya hak untuk bersama wanita lain. Tapi rasa penasaran Naysila terbit, tentang siapa yang begitu cepat menggantikan posisinya. Jadilah dia dengan cuek menghampiri mereka. Sekedar ingin tahu, apakah wanita yang bersama Ardhan lebih baik darinya?Namun setelah melihat wanita yang bersama Ardhan adalah wanita yang sama dengan yang ditemuinya di rumah Ardhan waktu itu, Naysila terkejut. Bukankah wanita itu pembantu Ardhan?Memang dia terlihat anggun saat ini, namun kesan pertama saat Naysila melihatnya waktu itu membuatnya jadi tidak bisa menghapusnya bahwa wanita itu hanyalah seorang pembantu. Timbullah keinginan Naysil
Devano juga ada janji di tempat yang sama. Melihat Ardhan keluar bersama Alea tadi, sebenarnya niatnya menghindar. Devano masih belum bisa menguasai dirinya jika harus bertemu dengan Ardhan. Rasa kesalnya masih ketara terlebih teringat perkelahian waktu itu.Ketika Ardhan meninggalkan Alea untuk balik lagi, Devano melihat gadis yang dicintainya itu berdiri seorang diri. Dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk meminta maaf.“Kau hanya sendiri?” tanya Devano, sekedar basa-basi.“Oh, tidak. Kak Ardhan barusan balik untuk ambil ponselnya,” tukas Alea.Keduanya terdiam sesaat lalu Devano mengutarakan maksudnya.“Maaf, Al. Aku bersikap buruk padamu akhir-akhir ini.”Alea menatap Devano. Pria ini teman baiknya. Selalu ada untuk menolongnya. Tentu saja dia akan memaafkannya. Alea tahu, Devano juga merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.“Aku tidak masalah, kok. Aku hanya sedih jika kita malah diem-
Naysila tampak gelisah karena seseorang yang ditunggunya tidak muncul juga. Dia bahkan sudah menghabiskan milk shake yang sudah dipesannya. Dia sangat tidak sabaran, terlihat begitu marah karena janjiannya molor.Nampak seorang wanita sedikit tergesa tidak sengaja menyenggolnya. Sontak membuat Naysila marah-marah pada wanita itu.“Apa kau buta?” teriaknya bangkit melotot pada wanita itu. Tangannya berkacak pinggang terlihat menantang wanita yang sudah menyenggolnya tadi.“Oh, maaf. Tadi aku sedikit ceroboh sampai menyenggolmu,” ucap wanita itu meminta maaf.“Kau pikir semua orang bisa memaklumi kecerobohanmu? Bagaimana kalau aku tidak terima!”Naysila yang dilanda bad mood karena bertemu Ardhan yang sudah menggandeng wanita lain, diperparah dengan janjiannya yang molor, sekarang nampak tidak terima hanya karena ada seorang ibu-ibu menyenggol dirinya.“Sudah, Mbak. Kasihan ibunya tidak sengaja!”
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b