Dita--sekretaris Ardhan melirik gadis yang bersama bosnya itu dan masih penasaran sebenarnya apa status gadis itu?
Beberapa kali dia bertemu Alea di kantor tapi belum tahu siapa sebenarnya dia. Sebagai sekretaris yang baru beberapa bulan bekerja tentu Dita belum mengenal banyak orang.
Tentu gadis itu Bukanlah kekasih Ardhan. Karena Leon pernah menyampaikan bahwa wanita yang sedang menunggunya di luar sekaranglah kekasih Ardhan. Dan bisa jadi mereka ada masalah hingga Ardhan menolak untuk menemuinya.
“Kau bisa pergi Dita, jangan lupa tutup pintunya.” Ardhan mengingatkan pada sekretarisnya itu yang masih berdiri terpaku.
“Aku akan menunggunya!” ucap Naysila pada sekretaris yang baru keluar dari ruang kerja Ardhan dan mengatakan sang bos tidak bisa diganggu karena ada repot.
“Silahkan menunggu di lobby saja, saya juga sedang repot,” ucap Dita pada Naysila. Meski tahu bahwa wanita ini adalah kekasih sang bos, beberap
“Pelayan, berikan billnya!” tukas Naysila sumpek mengingat Ardhan benar-benar tidak mau menemuinya.Naysila semalam sudah memikirkan banyak alasan pada pria itu agar dia mau menerimanya kembali. Ardhan harus tahu bahwa dia melakukan semua ini karena tekanan dari keluarganya. Ardhan pria yang tidak tegaan, mendengar dirinya terdesak pasti dia akan kasihan.“Maaf Nona, kartu kredit anda sudah diblokir!” tukas pelayan itu menhampiri Naysila dan mengembalikan kartu kreditnya.“Apa?!” Naysila melenguh, dia lupa kalau itu adalah kartu kredit yang diberikan Ardhan. Ternyata pria itu beneran memutuskan semuanya. Bahkan kartu kreditnya pun di blokir. Yang benar saja, jika Naysila masih berharap dapat memakai uang pria itu setelah hubungan mereka berakhir.“Ya sudah, pakai kartu yang ini saja.” Naysila menyodorkan kartunya yang lain. Dia masih punya tabungan di sana, masih bisa lah untuk membayar sekedar minuman di re
Leon memperhatikan Naysila saat wanita itu menangsi-nangis padanya. Dulu dialah yang pertama menyukainya. Mengenalkan pada Ardhan dan sering mengajaknya ke kantor yang baru dibangunnya bersama Ardhan. lambat laun dia baru menyadari, ternyata Naysila lebih memilih mendekati Ardhan. Bisa jadi karena alasannya Ardhan lebih kaya darinya. Leon tahu seperti apa keluarga Naysila.“Aku, benar-benar terpaksa melakukannya. Papaku berhutang banyak karena berjudi, sementara Mamaku selalu meminta ini dan itu.” Naysila tersedu.“Lantas, kau mau Ardhan menerima dirimu dengan kenyataan ini?”Leon tentu tidak menyalahkan Ardhan jika dia membuat keputusan mengakhiri hubungan mereka, bagaimanapun dia juga seorang pria. Tidak mungkin bisa menerima penghianatan kekasihnya dengan alasan itu. Ardhan bukanlah orang yang tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Dia bahkan memberikan Naysila kartu kreditnya. Tentu alasan terdesak dari Naysila tidak bisa diterima.
“KAU!”Ardhan terkejut merasakan pipinya yang panas karena ditampar Alea.“Diam, Kak. Ada lagi!” Alea bangkit dan hendak menamparnya lagi, namun Ardhan menghalau tangannya.“Kau ini kenapa sih!” Ardhan kesal pada tingkah anak nakal ini.“Ada nyamuk…!”“Astaga, gak perlu sampai pukul begitu. Niat ya pengen mukul wajahku?” Ardhan merasa Alea mencari alasan untuk bisa menonjok mukanya. Bisa jadi untuk membalas dendam atas sikapnya selama ini.“Enggak kok, itu nyamuk Anopheles lho, Kak. Bisa bikin malaria. Makanya aku langsung pukul nyamuknya biar mati! Harusnya kakak berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkan kakak dari penyakit malaria!” ujar Alea bangga merasa apa yang dilakukannya benar.“Terima kasih jidatmu, lihat pipiku sampai gosong begini! Keras amat mukulnya!” gerutu Ardhan yang sebal karena suasana yang syahdu barusan harus menghil
Alea sebenarnya merasa kurang nyaman dengan sikap Ardhan hingga ingin buru-buru menjauh dan menghindarinya. Meski ada yang ingin dikerjakannya, Alea hanya menjadikan hal itu alasan saja. Sebenarnya dia bisa saja menunda kegiatannya itu. Beberapa saat yang lalu dia berharap Ardhan bisa berubah dan memperlakukannya dengan baik. Harapan terbesarnya adalah mereka bersama-sama membina rumah tangga dengan baik karena status mereka memang suami istri. Sekarang Ardhan terlihat berubah dan mulai menyadari kesalahannya. Tapi mengapa justru dia yang jadi bingung dan tidak suka? “Alea?” panggil Ardhan menyentak Alea yang terbengong. “Hah!?” Alea seperti biasa terkejut dengan kedatangan Ardhan yang suka tiba-tiba itu. “Kamu kenapa sih? Begitu saja terkejut?” “Kak Ardhan yang suka kagetin orang mlulu!” Ardhan merasa ada yang aneh dari Alea. Dia jadi terlihat menghindarinya sejak tadi. Apa dia kurang nyaman karena sore tadi Ardhan menciumnya? Atau ada yang dipikirkannya? Biasanya Alea suka cep
Langkah kaki Ardhan terdengar menuruni tangga. Rumah masih sepi. Sejenak dia melihat kamar Alea yang masih tertutup. Tidak biasanya dia masih anteng di kamarnya. Namun perkiraan Ardhan salah, Alea keluar dari bilik samping dan sudah terlihat rapi. “Mau kemana sepagi ini?” Alea tidak menjawab dan langsung ngeloyor ke dapur. Terlihat lagi sambil membawa beberapa makanan yang disuguhkannya di meja. “Aku mau pergi ke rumah Valen, Kak!” tukas Alea pada Ardhan yang masih bengong menatapnya itu. “Tidak ada kelas masak, kamu?” “Tidak, Kak.” “Kenapa sepagi ini, sarapan dulu, kamu sudah capek-capek masak tapi tidak dimakan.” Ardhan berjalan menghampiri meja makan dan melihat menu sederhana yang dimasak Alea. “Tidak usah, Kak. Aku sudah ditunggu Devano di luar.” Alea menghampiri Ardhan dan menyodorkan tangannya untuk minta salim sebelum pergi. Namun Ardhan justru menatapnya tidak suka karena sepagi ini pria itu sudah menjemputnya. Tidak punya pekerjaankah dia? Pagi-pagi sudah jemput istr
Alea menenteng tasnya dan hendak berlalu namun tangan Devano menariknya lagi. Mereka sedikit bersih tegang karena sikap Devano sudah terlalu ke dalam. Alea tahu maksud Devano baik, tapi dia tidak membutuhkan sampai temannya itu ingin melakukan banyak cara demi melihatnya terlepas dari kungkungan pernikahan yang tidak membuatnya bahagia ini. “Oke, aku minta maaf, Al. Aku hanya terlalu … “ Devano sungguh tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya. Dia harus bergerak cepat agar pria brengsek itu tidak mengambil kesempatan dari Alea. “Aku… mencintaimu, Al?” ucapannya bergetar karena melalui relung hatinya yang terdalam. Sejak dulu dia sudah menaruh sayang dan cinta pada Alea. Jika tuhan mempertemukannya saat ini, Devano yakin bahwa itu karena Alea adalah takdirnya. Alea sudah tahu Devano mencintainya. Tapi rasanya tetap beda jika kata itu terucap langsung dari mulut Devano. Dia sedih, karena bahkan saat ini pun dia membayangkan kata-kata itu keluar dari mulut suaminya. Padaha
“Ehmmm, Kak?” Desah Alea saat terlepas dari ciuman Ardhan. Napasnya naik turun dan bibirnya basah.Ardhan menatap Alea dan mencoba menciumnya lagi. Namun Alea menahannya.“Jangan begini, Kak. Alea tidak mau” ujar Alea berkaca-kaca. Air matanya hampir jatuh teringat pria ini suka seenaknya pada dirinya. Terlepas bahwa dia adalah istrinya yang bisa diperlakuan seperti ini.“Kau tidak suka aku menciummu?” tanya Ardhan sedikit cemas kalau-kalau Alea memang tidak menyukai dia menciumnya.“’Kakak kan punya Naysila?” Alea mengingatkan. Dia lelah Ardhan selalu beralasan wanita itu untuk sering menyudutkannya.“Tidak, aku sudah memutuskan hubungan kami.” Ardhan menjelaskan. Agar Alea tahu bahwa dia dan Naysila sudah tidak ada hubungan. Agar Alea juga tahu bahwa di antara mereka sudah tidak ada lagi orang ke tiga. Masalah Devano, akan segera di urusnya selepas ini.Alea tentu terkejut dan terperangah mendengarnya. Apa karena itu Ardhan tidak mau menemuinya saat Naysila ke kantor saat itu? Tapi
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawarkan menu. Alea yang sedikit banyak sudah tahu makanan kesukaan Hamid segera memilih beberapa menu. Dia juga memilihkan ayahnya makanan kesukaannya. Tidak ketinggalan untuk Ardhan dan dirinya.“Menantu idaman sekali, dia bahkan hapal makanan kesukaan kita semua.” Hamid terkekeh saat Alea menyebutkan makanan yang dipesan pada pelayan.“Papa berlebihan sekali, itu hanya makanan. Saya tahu karena beberapa kali makan bersama semuanya,” ucap Alea malu.Hamid dan Nadhim hanya tersenyum.“Saya ke toilet sebentar.”Alea memohon diri karena merasa ingin memperbaiki penampilannya. Dia merasa sedikit berantakan karena habis bersih-bersih tadi. tidak enak saja kalau harus tampil buruk ketika ada mertua dan ayahnya. Takut kalau Hamid mengadu pada Hera bahwa penampilannya acak-acak.Di toilet dia melihat pantulan wajahnya yang terlihat baik-baik saja. Masih terlihat cantik walau sedikit mengkilat karena tadi berkeringat. Tapi justru membuat aura waj
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b