Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawarkan menu. Alea yang sedikit banyak sudah tahu makanan kesukaan Hamid segera memilih beberapa menu. Dia juga memilihkan ayahnya makanan kesukaannya. Tidak ketinggalan untuk Ardhan dan dirinya.“Menantu idaman sekali, dia bahkan hapal makanan kesukaan kita semua.” Hamid terkekeh saat Alea menyebutkan makanan yang dipesan pada pelayan.“Papa berlebihan sekali, itu hanya makanan. Saya tahu karena beberapa kali makan bersama semuanya,” ucap Alea malu.Hamid dan Nadhim hanya tersenyum.“Saya ke toilet sebentar.”Alea memohon diri karena merasa ingin memperbaiki penampilannya. Dia merasa sedikit berantakan karena habis bersih-bersih tadi. tidak enak saja kalau harus tampil buruk ketika ada mertua dan ayahnya. Takut kalau Hamid mengadu pada Hera bahwa penampilannya acak-acak.Di toilet dia melihat pantulan wajahnya yang terlihat baik-baik saja. Masih terlihat cantik walau sedikit mengkilat karena tadi berkeringat. Tapi justru membuat aura waj
Ardhan tersenyum senang karena Alea belum tidur. Dia jadi pengen ngobrol lebih banyak dengan Alea. Berharap bisa menjadi lebih dekat jika sering mengajaknya mengobrol. “Kakak kan sudah minta maaf, kok kamu masih munggungin Kakak?” tukasnya mengelus bahu Alea. “Emang mau apa?” Alea masih menyahut walau suaranya sudah agak serak karena mengantuk. “Sini, aku peluk ya?” Ardhan menarik lengan Alea, membuat tubuh gadis itu berbalik menghadap Ardhan. “Ada apa sih, Al? Sepertinya ada yang kamu pikirkan?” tanya Ardhan samar-samar menatap wajah Alea karena hanya lampu tidur yang menyala. Alea terdiam sesaat. Setelah menghela napas panjang dia tidak tahan mengatakan apa yang membuat dadanya sumpek. “Tadi, aku bertemu Naysila dan Maminya di restoran?” ucap Alea yang sukses mengundang keterkejutan Ardhan. Dia sampai menyalakan lampu dengan remot. “Mereka tidak menyakitimu, kan?” Ardhan memperhatikan Alea dan berharap dua wanita itu tidak menyakitinya. “Tidak, mereka tidak mengenalku,” jawab
Ardhan merengkuh tubuh Alea ke dalam pelukannya dan merasakan sesuatu yang lembut di dadanya. Membuat dirinya sudah ingin saja mendapatkan pahala sebesar pahala memerangi orang kafir. Tapi ini gadis malah seperti mengulur-ulur saja. Tangannya mulai merayap melorotkan bra Alea yang sudah dilepasnya tadi. “Kak, kenapa dilepas?” Tangan Alea berusaha menahan tangan Ardhan namun tidak berhasil. Ardhan sudah melorotkan gaunnya. “Hanya ingin buktiin sekali lagi padamu kalau aku mencintaimu!” Berkata begitu Ardhan sudah mencium leher Alea dan menarik lepas gaun tidur Alea. Dia sudah berapa kali membayangkan meniduri gadis dengan tubuh yang molek ini. Sering tanpa sadar bermimpi berhubungan dengannya, dan membuatnya uring-uringan karena tidak berdaya pada keadaan, bahwa masih ada hati wanita yang harus dia jaga. Rasa sesalnya lebih karena dia terlalu bodoh mempercayai Naysila dan mengabaikan gadis yang baik ini. “Errggghhh…” Alea mengeliat saat Ardhan bermain di bagian membusung itu.
“Mau apa kamu?!” Devano mendorong tubuh Ardhan yang mencengkeram kerah lehernya hingga terlepas. “Anak ingusan sepertimu jangan coba-coba masuk urusan pribadiku!” Ardhan menatap Devano tajam dan penuh ancaman. “Hahaha, kau takut Alea akan lebih memilihku?” Devano sekali lagi tertawa penuh ledekan, membangkitkan rasa emosi Ardhan. Jika saja ini bukan di tempat yang masih ada orang bersliwar-sliwer, Ardhan sudah mengajaknya berkelahi saja. Dia hanya malu kalau saja ada pegawainya yang melihatnya sampai berantem dengan Devano. “Aku tahu dari mana kau punya kepercayaan diri yang tinggi, anak muda. Kau pikir hanya karena kau adalah Devano Nugros, lalu merasa sudah hebat dan bisa merebut istri orang?” Ardhan tersenyum miring dan lanjut berujar, “Kalau aku memintanya menjauhimu, sudah aku pastikan dia akan menjauhimu. Bahkan jika aku memintanya berhenti dari kelas masak agar tidak lagi bertemu denganmu, kau hanya akan bisa merindukannya dengan nelangsa.” Devano membesarkan netranya saat
Alea dengan sedikit panik segera meletakan kotak kue itu dan mengambil tissue untuk mengusap wajah Ardhan. Namun tangan Ardhan menghalau tangan Alea yang mau mengusap wajahnya.“Mau apa?” tanya Ardhan yang sudah membuka matanya. Membiarkan gula merah lumer itu masih ada di wajahnya.“Mau ngusap wajah Kak Ardhan lah” jawab Alea. Dia jadi sedikit takut kalau-kalau Ardhan marah.“Kau memang harus membersihkannya, tapi tidak pakai tisu.”“Hah? Pakai apa dong?” Tangan Alea masih tertahan karena dipegang Ardhan.“Jilatin!” tukas Ardhan jahil.Ish, dasar pria jorok. Suruh menjilat mukanya? Yang benar saja!“Gak mau, ah!” Alea menolak. Pria ini mesum sekali.“Kalau begitu biar aku yang muncratin ke kamu biar adil.” Lagi ucap Ardhan sambil menatap Alea penuh intrik. “Muncratin apa?”Alea menyesali pertanyaannya. Kenapa dia harus bertanya hal itu, jatuhnya pria ini bisa memplesetkan ke hal yang mesum. Harusnya tadi bilang saja muncratin gula kleponnya.“Menurutmu apa yang bisa aku muncratin ke
Alea sungguh masih shock karena kejadian itu. Dia gelisah dan merasa teramat malu kalau si kecil Laila akan bercerita ke yang lainnya. Mau ditaruh mana mukanya. Pria ini harus tanggung jawab atas apa yang terjadi. Alea gemas sekali padanya yang sampai bisa sembrono itu. Bagaimana bisa pintu depan masih di buka saat mereka begituan.“Ya biasanya juga gak ada yang datang. Orang kita jarang bertetangga,” gumam Ardhan karena Alea sejak tadi komat-kamit sebal.“Malu, Kak!” rengek Alea menutup wajahnya. Apa dia bisa menghadapi Kamila dan yang lain setelah ini?“Kenapa sesedih itu? Taruhan deh, mereka pasti sangat bahagia kalau mendengar kita begituan. Kalau sampai Laila cerita sama Mama, aku yakin Mama akan bikin syukuran besar-besaran.” Ardhan mencoba membuat Alea tidak secemas itu.“Bohong ah, ngapain juga bikin syukuran besar-besaran karena itu? Malah jadi malu lha kita!”“Masih untung
Setelah menyelesaikan meeting pentingya di sebuah Hotel, Ardhan kembali ke kantornya karena masih ada hal yang harus dia kerjakan. Bertemu Leon dia jadi teringat bahwa dia memintanya membantu mengambilkan motornya di rumah keluarga. “Tante nanya buat apa motormu?” ujar Leon menyerahkan kunci motor itu pada Ardhan. “Kau jawab apa?” “Buat balapan liar ngrebutin cewek cantik!” Leon becanda yang segera ditimpuk pensil Ardhan. “Astaga, aku cuma becanda. Ya mana mungkin aku bilang demikian. Tahu sendiri kan nyokapmu itu kalau mengintrogasi sampai kakek-nenek yang sudah meninggal puluhan tahun lalu kesangkut juga.” “Lebay Lu!” gumam Ardhan menatap kunci motornya. “Serius pakai motor lamamu?” Leon bertanya lagi, motor Ardhan jarang kepakai, bisa jadi ada onderdil yang mulai bandel. “Hmm!” hanya itu jawaban Ardhan, dia kembali memikirkan banyak kemungkinan di kepalanya. Leon bisa melihat temannya itu tampak risau lalu mencoba berbicara baik-baik. Apapun alasannya, mempertaruhkan seorang
Alea berusaha menghubungi ponsel Ardhan sejak tadi tapi tidak juga tersambung. Apa dia masih sibuk di kantornya? Ini sudah jam 20.00. Bilangnya tadi kalau sudah selesai urusannya dia akan segera pulang. Tapi sampai malam begini tidak juga datang.Ah, biasanya Ardhan juga pulang lebih larut dari jam sekarang. Mana bisa sih Ardhan berubah secepat itu? Sudah benar dugaannya kemarin-kemarin, kalau Ardhan melakukan semua ini karena dia merasa butuh pelampiasan dari patah hatinya. Batin Alea kembali sebal.Mungkin sebentar lagi datang. Ujarnya lagi dalam hati sambil mondar-mandir di dekat jendela. Kemarin saat Ardhan masih jutek padanya, mau dia pulang kemalaman atau bahkan tidak pulang sekalian Alea tidak pernah memikirkannya sedalam ini. Sekarang dia malah tidak bisa tidur.Pikiran buruknya mulai mendera. Apakah Ardhan bersama wanita itu lagi? Bisa jadi mereka bertemu di suatu tempat kemuaain saling berbicara dan menyesali apa yang terjadi. Bukankah hubungan mereka sudah lama terjalin. Ru
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b