Terima kasih sudah mampir baca, Happy Reading!
Langkah kaki Ardhan terdengar menuruni tangga. Rumah masih sepi. Sejenak dia melihat kamar Alea yang masih tertutup. Tidak biasanya dia masih anteng di kamarnya. Namun perkiraan Ardhan salah, Alea keluar dari bilik samping dan sudah terlihat rapi. “Mau kemana sepagi ini?” Alea tidak menjawab dan langsung ngeloyor ke dapur. Terlihat lagi sambil membawa beberapa makanan yang disuguhkannya di meja. “Aku mau pergi ke rumah Valen, Kak!” tukas Alea pada Ardhan yang masih bengong menatapnya itu. “Tidak ada kelas masak, kamu?” “Tidak, Kak.” “Kenapa sepagi ini, sarapan dulu, kamu sudah capek-capek masak tapi tidak dimakan.” Ardhan berjalan menghampiri meja makan dan melihat menu sederhana yang dimasak Alea. “Tidak usah, Kak. Aku sudah ditunggu Devano di luar.” Alea menghampiri Ardhan dan menyodorkan tangannya untuk minta salim sebelum pergi. Namun Ardhan justru menatapnya tidak suka karena sepagi ini pria itu sudah menjemputnya. Tidak punya pekerjaankah dia? Pagi-pagi sudah jemput istr
Alea menenteng tasnya dan hendak berlalu namun tangan Devano menariknya lagi. Mereka sedikit bersih tegang karena sikap Devano sudah terlalu ke dalam. Alea tahu maksud Devano baik, tapi dia tidak membutuhkan sampai temannya itu ingin melakukan banyak cara demi melihatnya terlepas dari kungkungan pernikahan yang tidak membuatnya bahagia ini. “Oke, aku minta maaf, Al. Aku hanya terlalu … “ Devano sungguh tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya. Dia harus bergerak cepat agar pria brengsek itu tidak mengambil kesempatan dari Alea. “Aku… mencintaimu, Al?” ucapannya bergetar karena melalui relung hatinya yang terdalam. Sejak dulu dia sudah menaruh sayang dan cinta pada Alea. Jika tuhan mempertemukannya saat ini, Devano yakin bahwa itu karena Alea adalah takdirnya. Alea sudah tahu Devano mencintainya. Tapi rasanya tetap beda jika kata itu terucap langsung dari mulut Devano. Dia sedih, karena bahkan saat ini pun dia membayangkan kata-kata itu keluar dari mulut suaminya. Padaha
“Ehmmm, Kak?” Desah Alea saat terlepas dari ciuman Ardhan. Napasnya naik turun dan bibirnya basah.Ardhan menatap Alea dan mencoba menciumnya lagi. Namun Alea menahannya.“Jangan begini, Kak. Alea tidak mau” ujar Alea berkaca-kaca. Air matanya hampir jatuh teringat pria ini suka seenaknya pada dirinya. Terlepas bahwa dia adalah istrinya yang bisa diperlakuan seperti ini.“Kau tidak suka aku menciummu?” tanya Ardhan sedikit cemas kalau-kalau Alea memang tidak menyukai dia menciumnya.“’Kakak kan punya Naysila?” Alea mengingatkan. Dia lelah Ardhan selalu beralasan wanita itu untuk sering menyudutkannya.“Tidak, aku sudah memutuskan hubungan kami.” Ardhan menjelaskan. Agar Alea tahu bahwa dia dan Naysila sudah tidak ada hubungan. Agar Alea juga tahu bahwa di antara mereka sudah tidak ada lagi orang ke tiga. Masalah Devano, akan segera di urusnya selepas ini.Alea tentu terkejut dan terperangah mendengarnya. Apa karena itu Ardhan tidak mau menemuinya saat Naysila ke kantor saat itu? Tapi
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawarkan menu. Alea yang sedikit banyak sudah tahu makanan kesukaan Hamid segera memilih beberapa menu. Dia juga memilihkan ayahnya makanan kesukaannya. Tidak ketinggalan untuk Ardhan dan dirinya.“Menantu idaman sekali, dia bahkan hapal makanan kesukaan kita semua.” Hamid terkekeh saat Alea menyebutkan makanan yang dipesan pada pelayan.“Papa berlebihan sekali, itu hanya makanan. Saya tahu karena beberapa kali makan bersama semuanya,” ucap Alea malu.Hamid dan Nadhim hanya tersenyum.“Saya ke toilet sebentar.”Alea memohon diri karena merasa ingin memperbaiki penampilannya. Dia merasa sedikit berantakan karena habis bersih-bersih tadi. tidak enak saja kalau harus tampil buruk ketika ada mertua dan ayahnya. Takut kalau Hamid mengadu pada Hera bahwa penampilannya acak-acak.Di toilet dia melihat pantulan wajahnya yang terlihat baik-baik saja. Masih terlihat cantik walau sedikit mengkilat karena tadi berkeringat. Tapi justru membuat aura waj
Ardhan tersenyum senang karena Alea belum tidur. Dia jadi pengen ngobrol lebih banyak dengan Alea. Berharap bisa menjadi lebih dekat jika sering mengajaknya mengobrol. “Kakak kan sudah minta maaf, kok kamu masih munggungin Kakak?” tukasnya mengelus bahu Alea. “Emang mau apa?” Alea masih menyahut walau suaranya sudah agak serak karena mengantuk. “Sini, aku peluk ya?” Ardhan menarik lengan Alea, membuat tubuh gadis itu berbalik menghadap Ardhan. “Ada apa sih, Al? Sepertinya ada yang kamu pikirkan?” tanya Ardhan samar-samar menatap wajah Alea karena hanya lampu tidur yang menyala. Alea terdiam sesaat. Setelah menghela napas panjang dia tidak tahan mengatakan apa yang membuat dadanya sumpek. “Tadi, aku bertemu Naysila dan Maminya di restoran?” ucap Alea yang sukses mengundang keterkejutan Ardhan. Dia sampai menyalakan lampu dengan remot. “Mereka tidak menyakitimu, kan?” Ardhan memperhatikan Alea dan berharap dua wanita itu tidak menyakitinya. “Tidak, mereka tidak mengenalku,” jawab
Ardhan merengkuh tubuh Alea ke dalam pelukannya dan merasakan sesuatu yang lembut di dadanya. Membuat dirinya sudah ingin saja mendapatkan pahala sebesar pahala memerangi orang kafir. Tapi ini gadis malah seperti mengulur-ulur saja. Tangannya mulai merayap melorotkan bra Alea yang sudah dilepasnya tadi. “Kak, kenapa dilepas?” Tangan Alea berusaha menahan tangan Ardhan namun tidak berhasil. Ardhan sudah melorotkan gaunnya. “Hanya ingin buktiin sekali lagi padamu kalau aku mencintaimu!” Berkata begitu Ardhan sudah mencium leher Alea dan menarik lepas gaun tidur Alea. Dia sudah berapa kali membayangkan meniduri gadis dengan tubuh yang molek ini. Sering tanpa sadar bermimpi berhubungan dengannya, dan membuatnya uring-uringan karena tidak berdaya pada keadaan, bahwa masih ada hati wanita yang harus dia jaga. Rasa sesalnya lebih karena dia terlalu bodoh mempercayai Naysila dan mengabaikan gadis yang baik ini. “Errggghhh…” Alea mengeliat saat Ardhan bermain di bagian membusung itu.
“Mau apa kamu?!” Devano mendorong tubuh Ardhan yang mencengkeram kerah lehernya hingga terlepas. “Anak ingusan sepertimu jangan coba-coba masuk urusan pribadiku!” Ardhan menatap Devano tajam dan penuh ancaman. “Hahaha, kau takut Alea akan lebih memilihku?” Devano sekali lagi tertawa penuh ledekan, membangkitkan rasa emosi Ardhan. Jika saja ini bukan di tempat yang masih ada orang bersliwar-sliwer, Ardhan sudah mengajaknya berkelahi saja. Dia hanya malu kalau saja ada pegawainya yang melihatnya sampai berantem dengan Devano. “Aku tahu dari mana kau punya kepercayaan diri yang tinggi, anak muda. Kau pikir hanya karena kau adalah Devano Nugros, lalu merasa sudah hebat dan bisa merebut istri orang?” Ardhan tersenyum miring dan lanjut berujar, “Kalau aku memintanya menjauhimu, sudah aku pastikan dia akan menjauhimu. Bahkan jika aku memintanya berhenti dari kelas masak agar tidak lagi bertemu denganmu, kau hanya akan bisa merindukannya dengan nelangsa.” Devano membesarkan netranya saat
Alea dengan sedikit panik segera meletakan kotak kue itu dan mengambil tissue untuk mengusap wajah Ardhan. Namun tangan Ardhan menghalau tangan Alea yang mau mengusap wajahnya.“Mau apa?” tanya Ardhan yang sudah membuka matanya. Membiarkan gula merah lumer itu masih ada di wajahnya.“Mau ngusap wajah Kak Ardhan lah” jawab Alea. Dia jadi sedikit takut kalau-kalau Ardhan marah.“Kau memang harus membersihkannya, tapi tidak pakai tisu.”“Hah? Pakai apa dong?” Tangan Alea masih tertahan karena dipegang Ardhan.“Jilatin!” tukas Ardhan jahil.Ish, dasar pria jorok. Suruh menjilat mukanya? Yang benar saja!“Gak mau, ah!” Alea menolak. Pria ini mesum sekali.“Kalau begitu biar aku yang muncratin ke kamu biar adil.” Lagi ucap Ardhan sambil menatap Alea penuh intrik. “Muncratin apa?”Alea menyesali pertanyaannya. Kenapa dia harus bertanya hal itu, jatuhnya pria ini bisa memplesetkan ke hal yang mesum. Harusnya tadi bilang saja muncratin gula kleponnya.“Menurutmu apa yang bisa aku muncratin ke