Dia datang ke apartemen Pram dan memintanya untuk menyuruh anak buahnya membelikan cilok. Pram hanya terkekeh melihat Ardhan yang menjadi konyol itu hanya perkara cilok.“Perjalanan ke Bandung sekitar 2-3 jam. Pulang pergi bisa menghabiskan 5 jam-an lebih. Jadi harus memperkirakan itu agar istrimu percaya kau benar-benar pergi ke Bandung hanya untuk membeli cilok.” Pram melempar rokok untuk Ardhan.Ardhan tidak banyak bicara dan menghisap rokok itu. Dia kemudian menanyakan perkembangan pekerjaan Pram.“Aku baru dapat info menarik tentang pria itu. Beberapa bulan yang lalu ada seorang pria yang mencarinya untuk memintai pertanggungjawaban karena keponakannya hamil.”Ardhan tercengang. Dia melihat Devano pemuda yang jauh dari hal seperti itu. Di samping usianya masih muda, Devano hanya terobsesi pada istrinya. Bagaimana ada informasi seperti itu?“Aku menemukan pria yang mencoba meminta pertanggungjawaban itu. Dia pengelola salah satu bar di kota ini. Katanya Devano datang dan mabuk ber
Pintu diketuk beberapa kali tapi tetap tidak ada reaksi dari orang yang di dalam sana untuk membuka. Beberapa pria itu hendak memutuskan untuk mendobrak pintu tapi segera dihentikan karena kedatangan seseorang.“Tuan!” semuanya tertunduk memberi hormat pada pria yang datang.“Sudah berapa lama dia seperti itu?” tanya pria itu yang tidak lain adalah Reynal Nugros.“Sejak kemarin, Tuan! Tuan Devan tidak pernah mengunci pintu. Karenanya kami merasa cemas,” ujar salah seorang dari mereka.Reynal tampak berpikir apa yang sudah membuat adiknya itu sampai seperti ini. Sejak kecil dia anak yang manis dan tidak pernah mengeluhkan apapun. Orang tua mereka sudah 5 tahun ini memilih tinggal di Hongkok dan mengurus bisnis mereka di sana. Jadi Devano hanya tinggal bersama para pembantunya sejak SMA. Reynal yang sibuk pun hanya sesekali datang mengunjungi adiknya itu. Dalam kurun 5 tahun terakhir keluarga mereka berkumpul hanya beberapa kali saja.“Beritahu aku apa yang terjadi?” Reynal duduk di
Dering ponsel Alea terdengar dan si empunya yang sedang sibuk membuat sesuatu di dapur keluar menghampiri nakas di dekat layar televisi yang besar itu. Alea tidak tahu nomor siapa itu. Tapi dia mengangkatnya juga.Betapa senangnya dia saat mendengar suara Arya, adiknya yang lucu. Dia heran Arya menelpon menggunakan ponsel siapa?“Ini nomor siapa?” tanya Alea setelah berbasa-basi.“Ini nomor bu guru, Kak. Aku dan teman-teman dari Dufan, sekarang ada di toko roti!” ujar Arya tampak bahagia.“Enak banget rekreasi terus sekolahnya?”“Iya, Kak. Habis ini kita akan belajar membuat kue. Sepertinya ini tidak jauh dari rumah Kakak!” Arya kembali menyampaikna kegiatannya.“Woah, mau buat kue? Di mana itu?” Alea penasaran. Kalau tidak jauh dari rumah Alea akan menemui adiknya itu.“Di Mama Rita Bakery and Cake”Alea tentu tahu toko itu. Mama Rita temannya saat di cooking class musim sebelumnya.“Oh, Kakak tahu tempat itu. Itu toko kue milik teman Kakak. Kau mau Kakak datang menemuimu?”“Iya, Ka
Ardhan mempercepat urusannya agar bisa pulang dan menemani istrinya di rumah. Setelah memarkir mobilnya di halaman rumah, dia baru membuka ponselnya. Barangkali saja ada pesan masuk yang belum dia baca karena harus fokus menyetir.Ada beberapa panggilan dari Alea. Mungkin karena panggilannya tidak terjawab, Alea kemudian mengirim pesan dan menyampaikan bahwa dia keluar untuk menemui Arya yang sedang belajar bersama teman-temannya membuat kue di Mama Rita cake and bakery.“Baru setengah jam yang lalu kok, Pak!” jelas Sika menjawab pertanyaan sang tuan tentang istrinya.Kalau yang dituju adalah Toko roti milik temannya itu, Alea pasti sudah sampai di sana. Dia mencoba menghubungi ponsel Alea. Herannya, ponsel diluar jangkauan. Ardhan mengernyitkan keningnya. Tidak mau banyak berpikir. Dia langsung kembali ke mobil untuk pergi ke tempat Alea pergi.“Pak Ardhan di sini?” tegur Toni yang sedang ngopi di depan toko langsung berdiri
CRAAANG! PYARRRR!Bunyi kaca pecah saat Ardhan dengan penuh kemarahan melempar seorang pengawal hingga mengenai meja kaca. Satu pengawal menarik pelatuk pistol namun Ardhan dengan gesit menghindar hingga tembakan itu mengenai tempat lainnya. Ardhan dengan sigap menodong Reynal dengan pistolnya.“Katakan dimana pria keparat itu?!” teriak Ardhan pada Reynal.“Moli… Jack…” Reynal yang merasa terancam mencoba memanggil beberapa keamanannya. Namun mereka sudah ditangani anak buah Pram.“Untuk urusan istriku, aku bisa saja membunuh orang! Jadi jangan bermain-main denganku!” Ardhan tidak bercanda. Sebagai seorang suami tentu tidak akan membiarkan ada pria lain yang melarikan istrinya. Apalagi dia sedang hamil. Harga dirinya sungguh dipertaruhkan.“Tidak, kau tidak bisa melakukan hal ini di negara hukum!” Reynal sebenarnya takut dengan todongan pis
“Devan, kau menyakitiku!” ujar Alea meringis merasakan tulang jemarinya hampir patah karena genggaman Devano.“Aku hanya ingin menghilang dari orang-orang yangg memuakan. Kalau kau ingin membantuku, Pergilah bersamaku. Kita pergi ke suatu tempat di mana tidak ada yang menggenali kita. Lalu kita bisa memulai hidup baru, sebagi orang baru, dengan kehidupan baru. Kau, aku, dan anak di perutmu ini!” tukas Devano mengguncang tangan Alea.Alea menggeleng dan dengan tegas tidak bisa menerima keinginan Devano. Dia memiliki keluarga yang menyayanginya. Suami yang juga mencintainya walau keributan selalu hadir dalam rumah tangganya. Devano tidak bisa memaksanya mengikuti keinginanya. Bukankah Alea sudah bilang bahwa dia tidak mencintainya?“Itu tidak mungkin, Dev! Aku punya suami.” Alea masih mengingatkan Devan.Devan melepaskan genggaman tangannya dan terlihat sangat marah. Lagi-lagi Alea terus mengingatkannya tentang suaminya itu. Devan sangat tidak menyukai Ardhan. Ditendangnya meja di depa
Alea tidak punya kata bahkan sekedar bertanya apakah yang diucapkan Devano itu benar adanya? Tinggal di panti asuhan dan diadopsi? Sungguh kehidupan sahabatnya ini benar-benar selalu membuat terkejut. “Usiaku baru 7 tahun saat mamaku meninggal. Sedangkan Papa pergi setahun kemudian karena menjadi korban salah bacok oleh oknum preman jalanan. Aku melihat sendiri Papaku meregang nyawa di jalanan tanpa ada orang yang berani keluar!” Devan mengusap airmatanya masih mengingat dinginnya udara malam waktu itu yang menusuk kulitnya, semetara tidak ada orang yang mendengar raungannya di samping tubuh sang Papa yang terkapar bersimbah darah. “Oh!” Alea yang berhati lembut itu tentu merasa begitu tersayat mendengar cerita Devano kecil yang mengalami nasib yang sangat buruk. Sekecil itu Devan sudah melihat kejadian yang mengerikan, sungguh nalurinya pasti terluka dan trauma sangat dalam. Air mata Alea sudah berhambur membasahi pipinya mendengar cerita Devano. “Polisi kemudian menyerahkanku ke
“Alea, menyingkir dari pintu. Biar aku dobrak pintunya!” Pram berteriak dari luar agar Alea mengindahkan ucapannya. Alea bergegas menjauh agar Pram bisa membuka pintu itu.BRAKKK!Ketika pintu terdobrak, Alea bergegas keluar dan melihat Devano bersimbuh darah tergeletak tidak bergerak di lantai. Dia berlari memeriksa Devano dan mengguncang-guncang bahunya.“Dev! Kau tidak apa-apa?” Alea menangis. Sahabatnya yang malang itu terkapar tidak berdaya.“Paman menembaknya?” tanya Alea pada Pram yang berdiri keheranan itu. Dia heran bagaimana Alea sangat peduli pada pria yang sudah menculiknya itu.“Dia hanya pingsan!”Suara yang sangat dikenalnya itu terdengar di balik punggungnya. Alea seketika menoleh dan mendapati Ardhan terduduk di sana memegangi bagian tubuhnya yang penuh darah.“Oh, Kak Ardhan!” Alea baru terperanjat dan menjadi canggung karena sudah dengan tidak sengaja lebih mencemaskan Devano dari suaminya. Alea tidak berpikir Ardhan ikut turun menyelamatkannya. Dia juga tidak mel
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b