Alea menutup ponselnya dan melatakkannya dengan sembarang. Tiba-tiba dia jadi galau sendiri. Membiarkan sejenak dirinya berpikir, Alea kemudian mengalihkan pikirannya dengan mengelus perutnya. Dia tidak suka berpikir yang buruk lagi tentang suaminya. Bukankah mereka sudah berjanji akan saling percaya?
“Hallo baby, sedang apa kau di dalam sana?” Alea menghibur dirinya dengan mengelus perutnya. “Kangen sama Papa ya? Sabar ya Nak, Papa lagi kerja”
Saat mengelus itu Alea dibuat terkejut karena perutnya berkedut lagi. Dia menjadi begitu senang dan tampak berlebihan. “Astaga, apa kau bisa mendengar Mama, sayang?”
Kemudian dia jadi mengingat-ingat kapan jadwal periksa lagi. Segera Alea menarik laci dan menemukan buku periksa kehamilannya. Menurut catatan dia harus periksa lagi besok.
“Ya Allah, untung aku ingat untuk lihat buku periksa jadi tahu kalau besok jadwal periksa.” Alea mengembalikan buku itu ke laci dan m
Mendengar Alea mulai menyinggung lagi tentang hal yang selalu menjadi pemicu pertengkaran mereka, Ardhan tidak jadi masuk kamar mandi. Dia melompat ke tempat tidur membuat Alea yang sedang beres-beres jadi terganggu.“Kakak kok malah tidur lagi?!” Alea menepuk punggung Ardhan karena menindih selimut yang akan dirapikannya.“Kamunya ngambek gitu aku ke kantor, ya udah tidur lagi saja!” Ardhan menarik lengan Alea agar ikut tidur lagi bersamanya.“Bukannya ngambek, Kakak memintaku periksa besok saja tapi malah mau ke kantor. Sebal kan!” Alea menolak tangan Ardhan. Dia sebal karena Ardhan lebih memikirkan kantor daripada buah hati mereka.“Ini sudah jam 10, kalau kamu ambil antrian sekarang bisa sampai nanti sore nunggunya. Mending reservasi untuk besok pagi. Aku antar kok. Karena itu pagi ini izinkan aku ke kantor sebentar biar besok free hanya untukmu!”Ardhan mengganti posisi tidurnya mengh
Alea mengulurkan tangannya meminta salim pada Ardhan karena sudah tak betah ingin keluar dari hadapan suaminya itu yang terus membuat perasaannya jatuh bangun.“Sarapan dulu, biar aku yang antar ke rumah Valen.” Ardhan masih membujuknya.“Enggak usah, Kak. Aku perginya sama Toni saja.”Melihat gelagat istrinya yang sedikit menghentak saat menutup pintu itu, Ardhan tahu Alea sedang marah. Nantilah dia akan jemput Alea dengan cepat setelah menyelesaikan sisa pekerjaannya di kantor. Besok dia akan memanjakan sang istri habis-habisan seharian. Alea memang mudah ngambek, tapi mudah juga melupakan dan kembali seperti biasa.Di kantor Ardhan langsung menuju ruang kerja Leon dan menutup pintu. Diletakkannya beberapa dokumen yang barusan ditanda tanganinya di meja Leon. Lalu berseloroh, “Lain kali jangan minta Naysila datang ke rumah, Bro!”Leon mendongak dan menyahut, “Aku tidak suruh, pekerjaan itu memang Na
Alea duduk di bangku tunggu depan poliklinik kandungan yang mulai terlihat sepi itu. Tadi saat bersama Valen dia menyampaikan bahwa seharusnya hari ini jadwalnya periksa kehamilan, karena kesiangan Ardhan menyarankan untuk periksa besok pagi saja.Ternyata rencana periksa yang seharusnya besok berubah karena Valen mengatakan bahwa sepupunya kerja di rumah sakit bagian administrasi pelayanan. Darinya dia tahu bahwa pasien hari ini tidak sebanyak biasanya. Jika Alea masih mau periksa, sepupu Valen akan membantu mencetakan nomor antriannya di klinik kandungan.Bunyi panggilan antrian terdengar. Sudah nomor 43. Nomor antrian Alea 47. Itu sudah lebih dekat mengingat dia baru datang dan duduk mengantri. Di sampingnya Alea masih melihat beberapa ibu hamil yang yang masih menunggu giliran periksa. Mereka didampingi suami. Hatinya jadi sedih karena seharusnya dia juga didampingi sang suami.“Tidak apa ya, Nak. Kita berdua saja, Papamu sedang kerja.” Alea berujar sendiri untuk menyemangati dir
“Ardhan?” sapa Lidia senang melihat Ardhan ada di hadapannya.“Oh, Tante Lidia,” jawab ArdhanAlea memperhatikan mereka yang terlihat begitu akrab dan hatinya menjadi mencelos teringat kedatangan Naysila pagi tadi di rumahnya. Padahal Alea sudah coba mengenyahkan semua hal negatif di pikirannya hanya agar dia tidak sedih dan stress. Dia tidak mau membuat kehamilannya bermasalah karena hal itu.“Kau di sini, siapa yang sakit?” tanya Lidia masih pada Ardhan seolah tidak ada orang lain lagi di sana.“Ini istriku, Tante. Dia sedang hamil!”Ardhan merangkul Alea dan mengenalkannya pada Lidia. Namun wanita itu hanya melirik Alea sekilas bahkan tidak berbasa-basi sekedar menyapanya atau memberinya ucapan selamat atas kehamilannya.“Terima kasih Ardhan. Semalam kau sudah mengantar Naysila. Kamu tahu sendiri kan tengah malam itu banyak sekali kejahatan atau begal. Tante senang kau masih mau mengantarnya,” ucap Lidia lebih suka membelokan percakapan daripada menyapa Alea meski hanya berbasa-bas
Alea melirik susu dan salad di nakas lalu dia meraihnya. Seharian ini dia belum makan yang segar-segar, jadi ingin segera menikmati salad yang dia pesan pada Sika kemarin untuk membuatnya. Sebenarnya dia tidak suka makan di tempat tidur. Tapi karena tubuhnya lelah dan butuh rebahan, jadinya dia minta Sika mengantarnya ke kamar.Alea tahu, tadi yang membawakan Salad dan susu itu adalah Ardhan. Sepertinya pria itu hanya ingin mencari perhatian karena sepanjang jalan tadi Alea mendiamkannya.Kenapa juga sok peduli dirinya marah atau tidak?Mengetahui Alea berusaha menggapai salad di nakas, Ardhan berniat membantunya. Namun tangan Alea lebih dulu meraih salad itu.“Tidak usah berlebihan, Kak. Aku bisa ambil sendiri,” ujar Alea menolak bantuan Ardhan.Terus terang Alea masih jengkel sekali bila mengingat pria ini sudah curhat pada mantan kekasihnya itu bahwa dirinya sangat menyebalkan. Alea sungguh tidak terima hal itu. Terlebih meliha
Suara perutnya menandakan sedang lapar. Alea bangkit dan mengambil susu di nakas untuk meminumnya. Namun tidak jadi karena susu itu sudah sejak sore tadi. Dia pernah baca susu tidak boleh terlalu lama dibiarkan karena perkembangan bakteri dalam susu sangat cepat. Karenanya Alea urung meminumnya. Begitu juga salad di wadahnya, sudah tidak dingin. Jadi tidak enak kalau dimakan.Alea membawa nampan itu ke luar kamar. Memasukan lagi salad buahnya ke kulkas dan membuang susu yang bahkan belum diminumnya itu. Awalnya dia ingin membuat pudding untuk mengisi perutnya. Tapi tidak jadi juga Karena malas. Dia hanya duduk di meja bar dapur lalu berpikir untuk memesan makanan saja di luar.[Aku dan Valen sedang makan di restoran padang, kau mau tidak?] pesan Devano terbaca sat Alea tak sengaja mengusap layar ponselnya.Melihat foto makanan padang yang dikirim Devano, air liurnya jadi terbit. Kalau dia minta pada Ardhan saat ini, apa pria itu mau membelikannya?Mereka
Bangun pagi itu Alea masih merasa lemas dan sedikit mual. Padahal ini sudah masuk trimester ke dua kehamilannya. Dokter kandungan yang memeriksanya bilang, morning sickness dan gejala kehamilan yang menyiksa biasanya akan perlahan hilang setelah trimester ke dua.“Tidak selalu begitu, Bu. Adik saya saat trimester pertama biasa saja, tapi malah trimester ke dua dan ke tiga kena asam lambung dia. Sampai keluar masuk rumah sakit untuk rawat inap!” ujar Sika saat Alea sedikit curhat padanya mengenai gejala hamilnya.“Oh, jadi gejala ibu hamil itu beda-beda ya, Mbak?” tukas Alea yang jadi serius mendengarkan Sika.“Iya, Bu. Saya saja hamil dari anak pertama sampai anak ke tiga, gejalanya beda-beda. Enggak tahu juga ya bu penyebabnya apa, mungkin bawaan oroknya.” Sika menyuguhkan susu ibu hamil di depan Alea.“Terima kasih, Mbak Sika,” ucap Alea lalu meneguk susunya. Sisa separuh dia balik bertanya pada Sika karen
Alea memeluk Ardhan dan menempelkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar jantungnya berdetak mulai cepat setelah dirinya memeluk, bisa jadi Ardhan tegang karena menduga Alea akan memulai pertengkaran sekali lagi tentang Naysila.“Kenapa jantung kakak berdetak kencang?” tanya Alea lirih mengelus dada Ardhan.“Haha, aku jadi tegang dipeluk cewek cantik sepertimu” Ardhan bercanda.“Kakak takut ya kalau aku menyebalkan lagi bahas-bahas tentang Naysila?” Alea bangkit dari pelukan Ardhan dan membuat jarak di antara mereka. Keduanya saling menatap.“Kalau jujur, aku lebih baik kau suruh naik kuda seperti mama dulu pada papa, daripada membuatmu terus bersedih dan berpikir buruk seperti ini, Sayang,” ujar Ardhan membelai kepala Alea.Senyum terukir di wajah Alea saat Ardhan mengingatkannya tentang ngidamnya Hera ketika sedang mengandung ayah dari anaknya itu. Membuat Ardhan ikut tersenyum dan membelai bibir