Alea mengulurkan tangannya meminta salim pada Ardhan karena sudah tak betah ingin keluar dari hadapan suaminya itu yang terus membuat perasaannya jatuh bangun.
“Sarapan dulu, biar aku yang antar ke rumah Valen.” Ardhan masih membujuknya.
“Enggak usah, Kak. Aku perginya sama Toni saja.”
Melihat gelagat istrinya yang sedikit menghentak saat menutup pintu itu, Ardhan tahu Alea sedang marah. Nantilah dia akan jemput Alea dengan cepat setelah menyelesaikan sisa pekerjaannya di kantor. Besok dia akan memanjakan sang istri habis-habisan seharian. Alea memang mudah ngambek, tapi mudah juga melupakan dan kembali seperti biasa.
Di kantor Ardhan langsung menuju ruang kerja Leon dan menutup pintu. Diletakkannya beberapa dokumen yang barusan ditanda tanganinya di meja Leon. Lalu berseloroh, “Lain kali jangan minta Naysila datang ke rumah, Bro!”
Leon mendongak dan menyahut, “Aku tidak suruh, pekerjaan itu memang Na
Alea duduk di bangku tunggu depan poliklinik kandungan yang mulai terlihat sepi itu. Tadi saat bersama Valen dia menyampaikan bahwa seharusnya hari ini jadwalnya periksa kehamilan, karena kesiangan Ardhan menyarankan untuk periksa besok pagi saja.Ternyata rencana periksa yang seharusnya besok berubah karena Valen mengatakan bahwa sepupunya kerja di rumah sakit bagian administrasi pelayanan. Darinya dia tahu bahwa pasien hari ini tidak sebanyak biasanya. Jika Alea masih mau periksa, sepupu Valen akan membantu mencetakan nomor antriannya di klinik kandungan.Bunyi panggilan antrian terdengar. Sudah nomor 43. Nomor antrian Alea 47. Itu sudah lebih dekat mengingat dia baru datang dan duduk mengantri. Di sampingnya Alea masih melihat beberapa ibu hamil yang yang masih menunggu giliran periksa. Mereka didampingi suami. Hatinya jadi sedih karena seharusnya dia juga didampingi sang suami.“Tidak apa ya, Nak. Kita berdua saja, Papamu sedang kerja.” Alea berujar sendiri untuk menyemangati dir
“Ardhan?” sapa Lidia senang melihat Ardhan ada di hadapannya.“Oh, Tante Lidia,” jawab ArdhanAlea memperhatikan mereka yang terlihat begitu akrab dan hatinya menjadi mencelos teringat kedatangan Naysila pagi tadi di rumahnya. Padahal Alea sudah coba mengenyahkan semua hal negatif di pikirannya hanya agar dia tidak sedih dan stress. Dia tidak mau membuat kehamilannya bermasalah karena hal itu.“Kau di sini, siapa yang sakit?” tanya Lidia masih pada Ardhan seolah tidak ada orang lain lagi di sana.“Ini istriku, Tante. Dia sedang hamil!”Ardhan merangkul Alea dan mengenalkannya pada Lidia. Namun wanita itu hanya melirik Alea sekilas bahkan tidak berbasa-basi sekedar menyapanya atau memberinya ucapan selamat atas kehamilannya.“Terima kasih Ardhan. Semalam kau sudah mengantar Naysila. Kamu tahu sendiri kan tengah malam itu banyak sekali kejahatan atau begal. Tante senang kau masih mau mengantarnya,” ucap Lidia lebih suka membelokan percakapan daripada menyapa Alea meski hanya berbasa-bas
Alea melirik susu dan salad di nakas lalu dia meraihnya. Seharian ini dia belum makan yang segar-segar, jadi ingin segera menikmati salad yang dia pesan pada Sika kemarin untuk membuatnya. Sebenarnya dia tidak suka makan di tempat tidur. Tapi karena tubuhnya lelah dan butuh rebahan, jadinya dia minta Sika mengantarnya ke kamar.Alea tahu, tadi yang membawakan Salad dan susu itu adalah Ardhan. Sepertinya pria itu hanya ingin mencari perhatian karena sepanjang jalan tadi Alea mendiamkannya.Kenapa juga sok peduli dirinya marah atau tidak?Mengetahui Alea berusaha menggapai salad di nakas, Ardhan berniat membantunya. Namun tangan Alea lebih dulu meraih salad itu.“Tidak usah berlebihan, Kak. Aku bisa ambil sendiri,” ujar Alea menolak bantuan Ardhan.Terus terang Alea masih jengkel sekali bila mengingat pria ini sudah curhat pada mantan kekasihnya itu bahwa dirinya sangat menyebalkan. Alea sungguh tidak terima hal itu. Terlebih meliha
Suara perutnya menandakan sedang lapar. Alea bangkit dan mengambil susu di nakas untuk meminumnya. Namun tidak jadi karena susu itu sudah sejak sore tadi. Dia pernah baca susu tidak boleh terlalu lama dibiarkan karena perkembangan bakteri dalam susu sangat cepat. Karenanya Alea urung meminumnya. Begitu juga salad di wadahnya, sudah tidak dingin. Jadi tidak enak kalau dimakan.Alea membawa nampan itu ke luar kamar. Memasukan lagi salad buahnya ke kulkas dan membuang susu yang bahkan belum diminumnya itu. Awalnya dia ingin membuat pudding untuk mengisi perutnya. Tapi tidak jadi juga Karena malas. Dia hanya duduk di meja bar dapur lalu berpikir untuk memesan makanan saja di luar.[Aku dan Valen sedang makan di restoran padang, kau mau tidak?] pesan Devano terbaca sat Alea tak sengaja mengusap layar ponselnya.Melihat foto makanan padang yang dikirim Devano, air liurnya jadi terbit. Kalau dia minta pada Ardhan saat ini, apa pria itu mau membelikannya?Mereka
Bangun pagi itu Alea masih merasa lemas dan sedikit mual. Padahal ini sudah masuk trimester ke dua kehamilannya. Dokter kandungan yang memeriksanya bilang, morning sickness dan gejala kehamilan yang menyiksa biasanya akan perlahan hilang setelah trimester ke dua.“Tidak selalu begitu, Bu. Adik saya saat trimester pertama biasa saja, tapi malah trimester ke dua dan ke tiga kena asam lambung dia. Sampai keluar masuk rumah sakit untuk rawat inap!” ujar Sika saat Alea sedikit curhat padanya mengenai gejala hamilnya.“Oh, jadi gejala ibu hamil itu beda-beda ya, Mbak?” tukas Alea yang jadi serius mendengarkan Sika.“Iya, Bu. Saya saja hamil dari anak pertama sampai anak ke tiga, gejalanya beda-beda. Enggak tahu juga ya bu penyebabnya apa, mungkin bawaan oroknya.” Sika menyuguhkan susu ibu hamil di depan Alea.“Terima kasih, Mbak Sika,” ucap Alea lalu meneguk susunya. Sisa separuh dia balik bertanya pada Sika karen
Alea memeluk Ardhan dan menempelkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar jantungnya berdetak mulai cepat setelah dirinya memeluk, bisa jadi Ardhan tegang karena menduga Alea akan memulai pertengkaran sekali lagi tentang Naysila.“Kenapa jantung kakak berdetak kencang?” tanya Alea lirih mengelus dada Ardhan.“Haha, aku jadi tegang dipeluk cewek cantik sepertimu” Ardhan bercanda.“Kakak takut ya kalau aku menyebalkan lagi bahas-bahas tentang Naysila?” Alea bangkit dari pelukan Ardhan dan membuat jarak di antara mereka. Keduanya saling menatap.“Kalau jujur, aku lebih baik kau suruh naik kuda seperti mama dulu pada papa, daripada membuatmu terus bersedih dan berpikir buruk seperti ini, Sayang,” ujar Ardhan membelai kepala Alea.Senyum terukir di wajah Alea saat Ardhan mengingatkannya tentang ngidamnya Hera ketika sedang mengandung ayah dari anaknya itu. Membuat Ardhan ikut tersenyum dan membelai bibir
Sambil membantu sang suami menyiapkan baju dan jas yang akan dipakainya, Alea memikirkan bagaimana dia bisa ikut ke kantor karena hari ini ada pembukaan kelas masak Chef Nugros. Devano sudah memberitahunya kemarin sekaligus mengundangnya. Alea jadi begitu ingin datang dan bertemu beberapa teman angkatan kelas baking yang kebetulan ikut program musim ini.“Hari ini mau ke mana?” tanya Ardhan melihat istrinya yang seolah ingin mengatakan sesuatu tapi masih segan.“Jangan tanya, Kakak pasti gak ngebolehin!” ujar Alea terlihat sedih. Ardhan selalu tidak suka kalau itu menyangkut Devano.“Jam berapa pembukaan kelas masaknya?” tanya Ardhan yang tiba-tiba membuat manik mata Alea membulat.“Kakak tahu kalau hari ini ada pembukaan kelas masak?!”Alea berpikir dari mana Ardhan tahu hal itu? Ah, Nugros Cooking Class kan ada di gedung yang sama dengan kantornya, pasti tidak sulit mengetahui hal itu.
Devano marah pada pegawai yang mengurusi pendaftaran kelas masaknya saat mengetahui bahwa Ardhan mendaftarkan Alea dan membayar biaya pendaftaran beserta akomodasi selama kelas berlangsung. Inginnya, Devano yang membiayai pendaftaran kelas masak Alea bukan pria itu.“Sudah ada nama Alea di sini, kenapa kau masih menerima pendafataran atas nama Alea lagi?!” tukas Devano memarahi pegawainya.“Maaf, Pak Devan. Saya pikir beda orang. Kebetulan ada peserta yang daftar online dan sampai tenggang waktu yang ditentukan belum mengunggah bukti transfer pembayaran. Tidak ada laporan dana masuk juga atas nama peserta tersebut. Tiba-tiba ada pria mendaftarkan atas nama Alea Ikrima secara langsung dan melengkapi semua yang dibutuhkan. Dari itu kami langsung tindak lanjuti,” ujar pegawai dengan name tag Riko itu.“Aku gak mau tahu, ya. Balikin uang itu!” tukas Devano kesal.“Te-tapi…?”“Tapi apa lagi?&r
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b