Lila berada di dalam kamarnya.
Cara satu-satunya untuk mempertahankan bayi di dalam perutnya adalah dengan cara kabur dari rumah ini. Lila telah mengumpulkan banyak uang dari paman. Ia akan menggunakan uang itu untuk kabur. Kenapa Lila bersikeras mempertahankan bayi di dalam perutnya? Padahal tidak tahu siapa ayah dari janin itu. Karena Lila tidak ingin anaknya merasakan apa yang dirasakannya. Disingkirkan padahal tidak tahu apapun. Tidak dianggap padahal ada, dan bukan salahnya sama sekali. Lila merogoh lemarinya. Ada sebuah tas yang ia gunakan untuk menyimpan uangnya. Tas itu berada di paling bawah. Sedangkan uang yang sering dicuri oleh adik tirinya berada di atas lemari. Ia memang sengaja menaruhnya di sana agar adik tirinya itu tidak merogoh tasnya yang lain. Tapi—ketika ia mengambil tasnya—terasa sangat ringan. Ketika ia membukanya—meraba isi dalam tas itu… Ia tidak menemukan apapun. Padahal uangnya itu memenuhi seluruh tasnya. Deg! “Siapa yang mencuri uangku?” Lila menunduk—meringkuk memeluk kakinya. Kreeet! Pintu terbuka. “Bibi!” panggil Lila. “Maid yang menemanimu pergi. Dia pulang kampung karena anaknya sakit,” balas adik tiri Lila. Lila bangkit dari duduknya—meraba lemari sebagai sandaran. “Kau mengambil uangku?” “Dari dulu aku mengambil uangmu. Tapi kau yang bodoh!” umpat adik tiri Lila. Adik tiri Lila mendekat. kemudian melihat lemari kakak tirinya itu yang acak-acakan. “Kau benar-benar tidak berguna ya?” tanya adik tiri Lila. “Kalau kau tidak bisa bersih-bersih setidaknya jangan mengotori tempat. Barang-barangmu berantakan!” “Pembantumu sedang pergi jangan membuat keributan!” Lila mengenryit. Itu artinya bukan adik tirinya yang mengambil uang. Tapi maid yang bersamanya. Maid itu juga sudah mengambil uangnya. Lila mengepalkan kedua tangannya. “Dengarkan aku!” adik tiri Lila mendorongn pelan bahu Lila. “Malam ini kita akan pergi ke ulang tahun perusahaan calon suamimu. Berpakaianlah yang bagus jangan mempermalukan keluarga kita!” Menyentuh pipi Lila. “Untungnya lebam di pipimu memudar….” Menepuk keras pipi Lila. “Kau mendengarku?!” Lila terdiam. “Tidak ada gunanya berbicara denganmu!” wanita itu pergi meninggalkan Lila. Lila menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Semuanya berantakan… Hancur… Tidak tersisa… Uang yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun telah diambil maid itu… Seharusnya jika uang itu masih ada, ia bisa melarikan diri jauh dan bisa memulai hidup baru. Lila memeluk lututnya sendiri. ~~ Lebih baik memang menyingkir… Daripada hanya mendengarkan semua orang yang membicarakan betapa baiknya calon suaminya yang menerimanya sebagai istri. Pria tampan dan baik mau menikahi wanita buta sepertinya. Tentu saja yang menjadi sorotan utama adalah calon suaminya. Lila berjalan tanpa arah hingga sampai ruangan terbuka. Lila berjalan pelan sampai memegang pembatas. Udara yang bertiup sama persis dengan udara yang ia hirup di jendela kamarnya. Ia yakin balkon ini cukup tinggi. mungkin kalau ia jatuh—ia bisa langsung mati dan menyusul ibunya. Lila mengusap perutnya pelan… [Meski hadir karena ketidaksengajaan. Mom akan berusaha agar kamu tetap hidup. Mom akan cari cara supaya kamu bisa terus hidup di perut Mom.] Lila menunduk—mengusap air matanya yang lagi-lagi berjatuhan. Angin yang berhembus membuat rambutnya yang berwarna kuning keemasan itu bergerak… “Putri keluarga Bennedict? Mau bunuh diri?” suara seseorang. Lila mengangka kepalanya. Suara pria ini tidak asing… Ia menghirup aroma sekitarnya. Apa pria ini adalah pria yang…. “Mau aku beritahu tempat yang lebih baik untuk bunuh diri?” tanya pria lagi menyentak kesadaran Lila.Kalimat pertama yang terlintas di otak Lila adalah… “Nikahi aku!” ucap Lila dengan lantang. Pria berumur 34 tahun itu mengernyit. Wajah tampannya menatap seorang perempuan buta itu dengan senyum miring. Meskipun buta, ternyata perempuan itu memiliki bola mata yang begitu indah. Bola mata yang berwarna biru terang. Seperti laut cerah..Rambut kuning keemasan yang tergerai… Juga kulit tubuhnya yang seputih susu dan pasti sehalus sutra…“Apa kau bilang?” tanya Lucas begitu dingin. Langkahnya membawa tubuhnya kian dekat dengan perempuan itu. Ada yang bilang, putri keluarga Bennedict sangat cantik namun cacat. Baru kali ini ia melihatnya secara langsung. Benar, memang cantik. Namun cacat. Pria itu melambaikan tangannya di depan Lila. Lila sama sekali tidak berkedip. Artinya, wanita itu memang buta. Lucas memandang Lila… Bagaimana bisa bola mata yang begitu cantik itu—tidak bisa melihat apapun.“Menikahlah denganku. Maka aku akan memberikanmu keberuntungan,” ucap Lila lagi. Ia y
Di sebuah gereja yang indah…Pemandangan yang langsung mengarah pada sebuah pegunungan. Seluruh ruangan yang dihias dengan bunga berwarna putih. Namun sayang, yang hadir dalam pernikahan ini hanya beberapa orang saja. Meskipun seperti itu… Sang pengatin wanita dirias begitu cantik. Menggunakan gaun panjang berwarna putih yang sangat pas ditubuhnya. Lila berjalan pelan menuju altar. Dengan pandangan lurus ke depan… Membawa bunga yang berada di tangannya. sampai Lila berhenti dengan ragu. Sampai ada tangan yang menarik tangannya pelan. membawanya berjalan sedikit lagi dan berhenti. Sehingga janji pernikahanpun dimulai. “Sekarang kalian resmi menjadi suami istri.” Suara pendeta. Lila terkesiap ketika pinggangnya ditarik. Kemudian ia merasakan deru nafas Lucas yang mengenai wajahnya. “Tutup matamu,” lirih Lucas. “Tidak ada bedanya jika aku menutup mataku.” Lucas tersenyum miring. Jemarinya mengusap pipi Lila. “Kita harus mengambil foto yang bagus..” Jemarinya menelusuri l
Berada di dalam mobil dan menuju rumah orang tua Lila. Tadi… Lila tidak sempat menyentuh bibir pria itu. Ia mengalihkan tangannya—hingga menyentuh rahang Lucas. Lila hanya memuji kecil Lucas dengan berkata. “Rahangmu bagus.” Tapi sepertinya Lucas sangat senang. Mestinya, kepercayaan diri pria itu semakin tinggi. Lila duduk seperti patung berada di samping Lucas. Tidak ada pembicaraan lain di antara mereka.Tidak menunggu waktu yang lama. Mereka sampai. Lucas turun lebih dahulu. Mengamati sebuah rumah tinggi nan luas bergaya eropa. Semuanya serba putih. Lila masih menggunakan pakaian pernikahannya. Sama seperti Lucas yang masih menggunakan setelan jas dan kemeja rapi. Lucas memeluk pinggang Lila dari samping tanpa aba-aba. “Bukankah kau terlalu kaku untuk sekelas istriku?” tanya Lucas. Lila berdehem pelan. “Aku akan berusaha.” Duduk berhadapan dengan dua orang yang menatapnya tajam. Tentu saja Lucas tidak akan takut. Ia malah tersenyum… Semakin mesra memeluk pinggang Lil
“Kau tadi memberi mereka uang?” tanya Lila. Lucas mengangguk. mengamati Lila dari samping. “Hm.” “Berapa banyak?” “Tidak banyak.” “Berapa?” tanya Lila mendesak. “Yang pastinya cukup untuk digunakan biaya kampanye.” Mobil berhenti di sebuah rumah. Rumah modern yang bertingkat dengan taman depan. Lila menyentuh lengan Lucas. Menghentikan pergerakan pria itu yang akan keluar. “Aku akan menggantinya.” Lucas terdiam—mengamati tangan mungil Lila yang masih memegang jasnya. Anehnya, ia tidak keberatan. Padahal ia tidak suka disentuh oleh sembarang orang. Tapi ia membiarkan wanita ini begitu saja. “Dengan apa kau menggantinya?” tanya Lucas. Lila tersadar dan melepaskan tangannya. “Aku akan membuat usahamu semakin maju.” Lucas memandang Lila. Sebenarnya, mengenai keberuntungan yang dimaksud Lila. Lucas tidak terlalu percaya. Maksudnya, sulit mempercayai hal seperti itu. Tapi Lila tidak terlihat sedang berbohong. Apalagi wanita itu mengatakannya dengan sangat percaya diri.“Bag
Door!Door!Lucas yang sedang fokus menembak sebuah apel yang berada di atas kepala anak buahnya. Door! Sebuah pelurunya tidak ada yang melesat. Lucas menurunkan pistolnya. Semuanya anak buahnya yang bertugas membawa apel di kepala itu bernafas dengan lega. Mereka terduduk lemas dengan dengkul yang bergetar. “Jangan melakukan kesahalan lagi!” teriak Lucas. “Kalia ini aku mengampuni kalian!” Anak buahnya berdiri itu melakukan kesalahan pada pekerjaan mereka. Hingga, Lucas sedikit menghukum mereka dengan pukulan dan adrenalin. Lucas melepaskan kacamata hitamnya. “Sudah?” tanya wanita yang menggunakan dress seksi itu memeluk Lucas dari belakang. Lucas mengusap pelan tangan lentik yang memeluk perutnya. “Sudah.” Kemudian memutar tubuhnya menatap wanita yang mempunyai tinggi sebatas lehernya. “Apa yang kau lakukan akhir-akhir ini?” tanya Lucas. Isabel tersenyum. Wanita cantik dengan tubuh semampai. Menggunakan dress seksi berwarna hitam. Rambutnya bergelombang dengan make up d
Lila tidak pernah merasa sebebas ini sebelumnya. Semuanya terasa nyata. Udara di sekitarnya terasa lebih segar. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian tangannya mengusap perutnya perlahan. “Mom akan menjaga kamu dengan baik. Mom akan memberitahu ayah kamu jika waktunya tepat.” Lila mengusap perutnya yang terasa membesar. Tok tok “Nona, ini susunya.” Mendekat—kemudian menaruh susu itu di atas meja. Lila tidak bergerak dari posisinya. Rasanya sangat sulit mempercayai orang lain. Ia sudah percaya dengan maid di rumahnya. Maid itu sudah bekerja dengannya hampir lima tahun. Ia pikir, ia bisa percaya. Tapi tidak. Kepercayaannya hancur begitu saja. uangnya diambil. Kehamilannya pun dibocorkan pada ibu tirinya. “Nona,” panggil maid itu. “Nona sedari tadi hanya diam.” Lila menarik tangannya yang disentuh oleh maid itu. “Bibi tidak masalah kalau nona tidak ingin bicara dengan bibi. Tapi nona kalau memerlukan apa-apa bilang saja ya.” Maid itu memandang Lila yang masih di
[Nona Lila sudah melahirkan, Sir. Kata dokter bayinya sehat dalam keadaan normal.]Lucas membaca pesan itu pagi-pagi setelah dirinya terbangun. Jadi, tadi malam wanita itu melahirkan. Kenapa tidak memanggilnya? Lucas menggeleng. Untuk apa juga memanggilnya. Tadi malam ia tidak bisa tidur juga karena perutnya sakit. Entah kenapa.. Terasa tidak enak saja. tapi tidak bisa mendiaknosis kenapa..Dini hari Lucas baru bisa memejamkan mata saat perlahan perutnya perlahan membaik. “Aku akan memberinya waktu pemulihan dulu.” lucas bangkit—pergi ke kamar mandi. Kemudian mengguyur tubuhnya dengan shower. Jika melihat tubuh Lucas tanpa apapun, pasti akan bergidik ngeri. Bagian atas tubuhnya di penuhi dengan bekas luka senjata. Entah goresan pisau atau bekas jahitan luka. Lucas mematikan showernya dan menyugar pelan rambutnya. “Haruskah aku menjenguknya?” tanya Lucas pada dirinya sendiri. Ia menatap dirinya di depan cermin. Tangannya terangkat menyentuh dadanya yang tiba-tiba terasa a
Lucas memandang Lila yang tengah berdiri menunggunya. Rambut pirang nan panjang wanita itu masih sama. Tidak mengalami banyak perubahan. Tubuh wanita itu lebih berisi dari pertemuan pertama mereka. Lila menggunakan dress panjang putih bercorak bunga. Sangat pas di tubuh wanita itu. Lucas sempat termenung beberapa detik sebelum wanita itu memanggilnya.“Lucas,” panggil Lila. Lucas tersenyum miring mendengar panggilan Lila. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Kemudian mendekati Lila. Menunduk dan mengamati wanita itu lebih dekat. “Hanya orang-orang tertentu yang bisa memanggilku seperti itu.” Lila mengerjap pelan. mengambil langkah mundur—namun tangan Lucas lebih cepat menarik pinggangnya. Hingga jarak mereka tanpa halangan apapun. “Haruskah aku memanggilmu ‘tuan’?” tanya Lila. “Seharusnya seperti itu.” Lucas mengangguk. “Tapi—setelah kau mengucapkannya, entah kenapa aku merasa sangat tua.” Lila tersenyum. Lucas sempat terdiam melihat senyum Lila. Pertama kalinya wa
Pertama kalinya dalam seumur hidupnya Ruby menampar kakaknya. Tangannya sedikit bergetar setelah melayangkan tamparan di pipi kakaknya itu. “Kau berani—” Michael mendekat. Namun ibu buru-buru menghadangnya. “Berhentilah, Michael.” Ruby mengepalkan tangannya—ia bebalik dan berjalan pergi. “Kau mau ke mana?” teriak Michael. “Berhenti, Michael!” teriak ibu. “Berhenti mengganggu hidup adikmu!” “Mulai sekarang urus saja urusanmu sendiri dan jangan ganggu hidup kita!” ucapan ibu pada akhirnya. Kesabarannya sudah habis. Ia tidak bisa lagi menghadapi anak laki-lakinya ini yang selalu membawa masalah untuk keluarga. “BU!” Michael melebarkan mata. “Ibu membela Ruby daripada aku?” “Iya, memang kenapa?” tanya Ibu. “Ibu sudah menahannya selama ini. ibu dan Ruby banting tulang untuk membantu melunasi hutang-hutang kamu!” “Kita didatangi rentenir! Ibu dan Ruby diteror rentenir. Apa kamu pernah memikirkan ibu?” tanya ibu pada Michael. “Tidak kan?” tanya Ibu lagi. “Kamu selalu sibuk judi,
“Ibu hanya ingin kamu tidak bertingkah lagi. Leonard sudah banyak melakukan hal untuk kita…” lirih ibu yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya sungguh lelah karena selalu bekerja di toko. “Berhentilah berinvestasi atau apalah itu.”“Aku hanya ingin membuat kita banyak uang. Kalau aku banyak uang, kita tidak perlu tinggal di rumah yang jelek ini.” menunjuk dinding. “Ibu juga tidak perlu bekerja di toko lagi jika aku punya banyak uang!” Ibu Ruby bangkit. mendekati anaknya—mengambil tangan anaknya itu. “Ibu mohon berhentilah, Michael. Kamu membuat kita menderita. perbuatan kamu membuat adik kamu mengalami banyak penderitaan!” “Adik ipar kamu sampai dirawat di rumah sakit karena menyelamatkan kamu.” Michael menghempaskan tangan ibunya begitu kasar. “Kenapa ibu menyalahkanku?” suara Michael. “Jangan membuat ulah lagi dan membahayakan adik iparmu!” “Kenapa? Setidaknya supaya dia menebus dosanya dulu. Jika dia tidak menabrak ayah, ayah masih bersama kita. Anggap saja Leonard sedan
“Kita berada di dalam satu kamar,” ucap Ruby ragu. Mereka baru saja sampai di rumah setelah Leonard diperbolehkan pulang. “Kalau kamu canggung, aku bisa menggunakan kamar tamu. Kita bisa memulainya dengan perlahan.” Ruby menatap Leonard. berusaha menyakinkan pria itu. “Jangan memaksa diri untuk mengingatnya. Kita lakukan pelan-pelan saja.” Leonard menggeleng. “Tidak. kau harus tetap berada di kamar denganku.” Ruby mengerjap. “Apa kamu yakin?” Leonard mengangguk. “Kau istriku. Sudah seharusnya kita satu kamar kan?” tanya Leonard kembali. Ia menatap Ruby yang nampaknya sangat kaget. Lucu. Ia tersenyum tipis. senyum yang tidak akan terlihat. Leonard menatap rumahnya. Tidak banyak yang berubah. Lalu… Kenapa tidak ada foto pernikahan mereka yang dipajang. Leonard menghela napas. Bagaimana hubungannya dengan Ruby bisa terjalin? Bagaimana mereka pada akhirnya bisa saling mencintai. Leonard sungguh penasaran. “Ayo ke kamar.” Ajak Ruby. Leonard menoleh dengan ajak
Berada di dalam kamar sendirian. Ruby menatap kosong ke depan. Ia melihat samping—jam dinding itu menunjukkan pukul 8 malam. Ruby melihat tangannya yang diinfus. Tubuhnya terasa begitu lemah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Apakah hidupnya hancur—apakah hidupnya akan berlanjut dengan Leonard yang tidak mengingatnya sama sekali. Ceklek. Seorang pria yang berada di atas kursi roda. Membawa infus—datang ke arahnya. Satu tetes air mata Ruby akhirnya jatuh lagi. Ia segera menoleh dan mengusap air matanya. “Ruby…” panggil Leonard. Memang selembut dulu. Tapi panggilan itu mendadak sangat asing di telinganya. Ruby menoleh. “kenapa ke sini?” Leonard menatap Ruby. Jika dilihat semakin dalam. Wajah Ruby memang tidak asing. ia yakin ia memang mengenal wanita itu. Namun, untuk urusan cinta. Apakah ia benar-benar mencintai wanita yang katanya berstatus sebagai istrinya ini? Ia tidak mengingat apapun dan memorinya berhenti saat lima tahun yang lal
Ruby merasa ada yang menyentuh tangannya. Ruby mengerjap pelan sebelum membuka mata—ia masih berada di dalam raungan Leonard mendapatkan perawatan. Ia menatap Jemari mereka yang saling menggenggam. Namun… Jemari Leonard bergerak di atas punggung tangannya.“Leonard…” panggil Ruby. Ruby berdiri. “Leonard…” panggilnya lagi. Tak lama… Kelopak mata itu terbuka. “Leonard,” panggilnya. “Leonard kamu bangun…” Ruby menepuk pipinya sebentar. ia hanya ingin memastikan jika ini bukan mimpi. Lalu setelah itu ia langsung berlari memanggil dokter. Ruby menunggu dengan cemas. Tak lama orang tua Leonard datang. “Bagaimana keadaan Leonard?” tanya ibu mertuanya. “Tadi Leonard sempat bangun. Sekarang masih ditangani oleh dokter.” Tak lama dokter keluar. “Bagaimana keadaan suami saya dok?” tanya Ruby. “Mr. Leonard telah pulih. Tapi, Mr. Leonard masih tetap mendapatkan perawatan.” Dokter itu tersenyum. Leonard akhirnya dipindahkan di ruangan umum. Di sanalah Leonard sedang terbaring deng
Ruby berlari sekuat tenaga. Setelah sampai di ruangan Leonard—pintu tertutup. Dari jendela ia bisa melihat para dokter dan perawat sibuk untuk melakukan perawatan. Ruby memegang jendela. “Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku, Leonard…” Ruby menggeleng pelan. “Bertahanlah….” Tubuhnya lemas. Ia terduduk lemah. Sembari terus berharap bahwa Leonard tidak akan pergi meninggalkannya. Sampai akhirnya dokter keluar.“Keadaan Mr. Leonard semakin memburuk. Kita meningkatkan perawatannya. Kita juga akan memindahkannya ke ruang intensif.” “Tapi Leonard bisa sembuh kan dok?” tanya Ruby. “Leonard bisa bangun kan?” Dokter itu nampak gelisah. Ia ragu memberitahukan sesuatu pada Ruby. Namun… “Tidak ada yang tidak mungkin. Keputusan ada di Mr. Leonard sendiri.” Dokter itu tersenyum. “Anda harus terus menemaninya.” Ruby menghapus air matanya—ia melihat Leonard yang sudah di dorong oleh perawat. “Terima kasih, dokter.” Ruby mengikuti ke mana Leonard akan di pindahkan. Garry dan Dan
Ruby menoleh ketika mendengar suara itu. “Suamimu sedang sakit kau malah bercanda dengan pria lain di sini.” Michael memasukkan tangannya ke dalam saku. “Tutup mulutmu.” Ruby berdiri. Ia malu jika teman-teman Leonard tahu kakaknya seperti ini. Michael mendekati Ruby. “Sadarlah, kau keterlaluan.” “kau yang keterlaluan.” Ruby mencekal tangan Michael. Hendak menarik pria itu pergi. Tapi, Michael menghempaskan tangannya begitu saja. “Jangan membuat keributan di sini,” Ruby menekankan itu. Michael tertawa pelan. “keributan? Aku memperingatimu agar kau tidak berselingkuh di belakang suamimu.” Daniel menatap Michael tidak suka. “Kita ini teman-teman Leonard. Kami hanya mengobrol dengan Ruby.” “Aku tahu pemikiran pria.” Michael tertawa. “Kalian akan mencuri kesempatan jika ada.” “Apa maksudmu?” tanya Garry yang tersulut emosi. Ruby menarik Michael. “Pergi dari sini!” “Tidak usah kembali ke sini. tidak usah menjenguk Leonard.” Ruby menatap tajam kakaknya itu. “Kalau p
1 bulan lamanya… Leonard tidak kunjung bangun. Ruby setia menemani suaminya. Setiap hari datang ke rumah sakit untuk menemani Leonard. Ruby duduk di samping Leonard. mengusap pelan punggung tangan suaminya. “Apa kamu tidak rindu denganku?” tanya Ruby. “Kamu sudah tidur dua minggu dan tidak melihatku.” Ruby mengecup punggung tangan Leonard. “Tangan kamu semakin dingin. Aku takut, Leonard.” “Jangan pergi ya. Tetap di sampingku.” Ruby menunduk—menangis. Lagi-lagi menangis. Selama dua minggu ini pula ia tidak bisa makan dan tidur dengan benar. “Aku mencintaimu.” Ruby mengecup dahi Leonard. Ruby mengganti bunga yang sudah layu itu dengan bunga baru yang baru ia beli. Tok tok! Ruby menoleh. Itu Garry, Daniel dan Riku. Mereka memang sering datang berkunjung. Akhirnya Ruby meninggalkan mereka bertiga agar bisa menjenguk Leonard dengan leluasa. Setelah itu—mereka bertiga duduk bersama di sebuah bangku kantin. Meski canggung, tapi semua teman-teman Leonard memang b
“Aku tidak menyangka akan bekerja sama dengan musuh bebuyutanku.” Thomas menatap Lucas yang berada di hadapannya. Di dalam kantor polisi. Dengan santai duduk di hadapan polisi yang dulu selalu mengejarnya. “Bukankah kau sudah terlalu tua menjadi polisi?” tanya Lucas. Thomas tertawa pelan. “Sebentar lagi aku pensiun. Kau puas?” “Aku tidak akan basa-basi.” Lucas menatap Thomas. “Selesaikan kasus Leonard dengan benar. hukum orang-orang itu dengan benar.” Thomas tersenyum pelan. “Tentu saja aku akan menyelesaikan kasus dengan benar. Julukanku adalah si paling suci Thomas. Untuk itu kau ke sini bukan? Karena hanya polisi jujur sepertiku yang bisa menangani kasus putramu.” Lucas mengangguk. Benar, ia memang ingin Thomas yang memegang kasus ini karena polisi itu terkenal jujur dan menghukum orang-orang bersalah dengan benar. “Jika kau menghukum mereka dengan tuntas, aku akan memberi sebanyak apapun yang kau mau.” Thomas tersenyum pelan. “Aku tidak membutuhkannya.” Lucas