“Ibu hanya ingin kamu tidak bertingkah lagi. Leonard sudah banyak melakukan hal untuk kita…” lirih ibu yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya sungguh lelah karena selalu bekerja di toko. “Berhentilah berinvestasi atau apalah itu.”“Aku hanya ingin membuat kita banyak uang. Kalau aku banyak uang, kita tidak perlu tinggal di rumah yang jelek ini.” menunjuk dinding. “Ibu juga tidak perlu bekerja di toko lagi jika aku punya banyak uang!” Ibu Ruby bangkit. mendekati anaknya—mengambil tangan anaknya itu. “Ibu mohon berhentilah, Michael. Kamu membuat kita menderita. perbuatan kamu membuat adik kamu mengalami banyak penderitaan!” “Adik ipar kamu sampai dirawat di rumah sakit karena menyelamatkan kamu.” Michael menghempaskan tangan ibunya begitu kasar. “Kenapa ibu menyalahkanku?” suara Michael. “Jangan membuat ulah lagi dan membahayakan adik iparmu!” “Kenapa? Setidaknya supaya dia menebus dosanya dulu. Jika dia tidak menabrak ayah, ayah masih bersama kita. Anggap saja Leonard sedan
Pertama kalinya dalam seumur hidupnya Ruby menampar kakaknya. Tangannya sedikit bergetar setelah melayangkan tamparan di pipi kakaknya itu. “Kau berani—” Michael mendekat. Namun ibu buru-buru menghadangnya. “Berhentilah, Michael.” Ruby mengepalkan tangannya—ia bebalik dan berjalan pergi. “Kau mau ke mana?” teriak Michael. “Berhenti, Michael!” teriak ibu. “Berhenti mengganggu hidup adikmu!” “Mulai sekarang urus saja urusanmu sendiri dan jangan ganggu hidup kita!” ucapan ibu pada akhirnya. Kesabarannya sudah habis. Ia tidak bisa lagi menghadapi anak laki-lakinya ini yang selalu membawa masalah untuk keluarga. “BU!” Michael melebarkan mata. “Ibu membela Ruby daripada aku?” “Iya, memang kenapa?” tanya Ibu. “Ibu sudah menahannya selama ini. ibu dan Ruby banting tulang untuk membantu melunasi hutang-hutang kamu!” “Kita didatangi rentenir! Ibu dan Ruby diteror rentenir. Apa kamu pernah memikirkan ibu?” tanya ibu pada Michael. “Tidak kan?” tanya Ibu lagi. “Kamu selalu sibuk judi,
“Apa?” tanya leonard. “Aku ingin bercerai,” ulang Ruby. Leonard mendekat. “Kenapa? kamu bilang kamu akan menungguku. Kamu bilang kita saling mencintai tapi kenapa tiba-tiba seperti ini?” Ruby menggeleng. “Aku tidak mencintaimu. Aku ingin bercerai dengan mengakhiri perjanjian sialan itu!” Ruby membalikkan tubuhnya. Namun baru saja hendak berjalan. tangannya dicekal oleh Leonard. Leonard mencekal pergelangan tangannya. “Jangan pergi.” Ruby melepaskannya dengan kasar. “Lepaskan aku!” Leonard menarik pinggang Ruby—sampai tubuh mereka bertabrakan. Ruby tidak bisa melepaskan diri dari Leonard. Leonard memeluk pinggang Ruby supaya wanita itu tidak melarikan diri darinya. “Aku sedang kehilangan ingatanku dan aku sedang bingung. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang seharusnya berjalan.” “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa penjelasan seperti ini. semuanya tidak masuk akal bagiku!” Ruby berdecih pelan. “Semuanya tidak masuk akal bagimu karena kau mengira semua
“Tidak mungkin.” Ruby mendorong tubuh Leonard. Pria itu mundur beberapa langkah. “Tidak ada yang tidak mungkin. Aku memang anak itu. aku adalah bocah yang kau tabrak, sampai mataku terluka dan aku harus operasi mata. Karena kau juga, ayahku meninggal. Karena kau juga hidupku menderita sejak saat itu!” Ruby setengah berteriak. Leonard memejamkan mata—terduduk lemas di sebuah kursi. Ia memijit keningnya. “Dan kamu tahu hari ini?” tanya Leonard. Ruby mengangguk. “Jika aku tahu dari awal, aku tidak akan mau menikah denganmu. Jika tahu dari awal aku pasti akan menghindarimu!” Leonard menunduk—kepalanya terasa berputar. Pening—ia memejamkan mata. Memegang kedua kepalanya dengan tangannya. “Leonard…” panggil Ruby pelan. Leonard masih mendengar panggilan Ruby itu sebelum akhirnya ia… Pingsan. ~~ Berada di dalam rumah seseorang. Tatapannya kosong. Ruby menggenggam sebuah gelas kaca yang berisi air. Setelah ini, ia tidak tahu arah hidupnya bagaimana. Ana ber
Perlahan membuka mata. Leonard menyipitkan mata pelan. Dia berada di rumah sakit. Terakhir kali yang ia ingat adalah ia dan Ruby berada di ruang kerjanya. Setelah perdebatan mereka, ia pusing dan berakhir pingsan. “Pa!” panggil Leonard. Kedua orang tuanya berada di ruangannya. “kamu sudah bangun?” tanya Lila berjalan mendekat. “Bagaimana kepala kamu? pusing?” Leonard menggeleng. “Sudah tidak.” “Di mana Ruby, Ma?” tanyanya. Ia memang harus bertemu dengan wanita itu. Mereka belum selesai. Ya, permasalahan di antara mereka belum selesai. Leonard bangun—menurunkan kedua kakinya. “Ada masalah di antara kalian?” tanya Lucas. “Kamu sudah mengingat Ruby?” Leonard terdiam. Pasti orang tuanya tidak tahu perjanjian itu. Pasti hanya dirinya dan Ruby yang tahu. “Aku belum mengingat Ruby. Tapi aku tidak bisa melepaskannya.” Lila mengernyit. “Apa yang terjadi?” “Ruby ingin bercerai. Dia bilang dia membenciku karena aku adalah penabraknya. Dan membuat orang tuanya meninggal.” Luc
“Di mana Ruby?” tanya Leonard. Ana menatap Leonard. untuk pertama kalinya setelah pertemuan mereka di klub. Leonard kehilangan berat badan. Pria itu nampak lebih kurus dengan wajah yang pucat. “Tidak ada di sini!” Ruby mengedikkan bahu. Leonard menyipitkan mata—mencoba mencari keberadaan Ruby di dalam apartemen menggunakan matanya. “Aku bilang tidak ada di sini. dia sudah pergi.” Ana melipat tangannya. “Ke mana?” tanya Leonard. “Beritahu aku,” desaknya. Ana terdiam. “Entahlah ke mana.” Leonard hendak berjalan pergi—tapi ia berhenti dengan panggilan wanita itu. “Percuma jika kau bertemu dengan Ruby sekarang.” Ana menatap Leonard kasihan. Kasihan karena wajah Leonard nampak bingung dan minta dikasihani. Entahlah pokoknya wajah Leonard saat ini sangat kasihan. “Ruby masih begitu emosional. Bukannya aku ikut campur.” Ana sedikit ragu mengatakannya. Ia juga tidak igin terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi—Ruby datang ke sini saja ia sudah ikut campu
Ruby bangkit—tiga pria itu mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya. Ruby tidak melihat adanya petugas kereta. Entah ke mana perginya. Atau mungkin—orang-orang ini membuat petugas kereta tidak berani. “Hei jalang!” salah satu pria itu. “Kau tidak akan bisa melawan kami. Ajak perempuan ini pergi bersamamu!” Menunjuk perempuan yang berlindung di belakang Ruby. Entah sejak kapan perempuan itu sudah berada di belakang Ruby. Seakan membuat Ruby sebagai tembok pelindung. Ruby berdecih. “Aku akan pergi setelah menghajarmu.” “Dasar gila.” pria itu meludah ke bawah. “Kau mau aku menghajar jalang kecil sepertimu?” tanya pria bertato dengan tubuh besar itu. “Sini kalian.” Ruby mengambil ancang-ancang bela diri. “Aku akan menghajar kalian.” Pria itu mendekat—namun belum sempat melayangkan pukulan. “SIAPAPUN TOLONG KAMI. TOLONG KAMI PRIA INI INGINI MEMUKUL TEMANKU!” “TOLOOOOOOONG!” Bahkan suara dari perempuan di belakang Ruby bisa memekakkan telinga. Suaranya melambun
Kenapa hidup Ruby tidak bisa tenang sedikitpun. Bolehkan ia curiga pada Leonard sekarang? Bisa jadi orang-orang ini merupakan orang-orang yang dikirim Leonard untuk mengawasinya. Ruby berdecih pelan—ia mengusap keningnya pelan. Lihat saja, kalau berani mengekangnya seperti ini Ruby tidak akan menahannya lagi. Ia akan meminta cerai langsung. Ruby melebarkan matanya—kenapa bahunya basah? Siapa yang menyiram air di bahunya. Ngook.. Ruby menyipitkan mata. “Stormi!” panggilnya. Stormi yang hampir terjatuh dengan panggilan Ruby. Bibir wanita itu terbuka dengan air liur ke mana-mana. Ruby mendesah kesal. “Kaosku warnanya putih!” Melihat bahunya yang telah ternodai dengan air liur Stormi. Ruby berdecak dengan kesal. Ruby tidak pernah sekesal ini pada orang asing yang baru saja ia kenal. “Omaygat!” bukannya mengelap kaos Ruby. Stormi justru sibuk mengela bibirnya dahulu. Barulah setelah itu—mencari tisu di dalam tasnya. “Maaf-maaf…” Stormi menggosok bahu Ruby den
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”
Kenapa hidup Ruby tidak bisa tenang sedikitpun. Bolehkan ia curiga pada Leonard sekarang? Bisa jadi orang-orang ini merupakan orang-orang yang dikirim Leonard untuk mengawasinya. Ruby berdecih pelan—ia mengusap keningnya pelan. Lihat saja, kalau berani mengekangnya seperti ini Ruby tidak akan menahannya lagi. Ia akan meminta cerai langsung. Ruby melebarkan matanya—kenapa bahunya basah? Siapa yang menyiram air di bahunya. Ngook.. Ruby menyipitkan mata. “Stormi!” panggilnya. Stormi yang hampir terjatuh dengan panggilan Ruby. Bibir wanita itu terbuka dengan air liur ke mana-mana. Ruby mendesah kesal. “Kaosku warnanya putih!” Melihat bahunya yang telah ternodai dengan air liur Stormi. Ruby berdecak dengan kesal. Ruby tidak pernah sekesal ini pada orang asing yang baru saja ia kenal. “Omaygat!” bukannya mengelap kaos Ruby. Stormi justru sibuk mengela bibirnya dahulu. Barulah setelah itu—mencari tisu di dalam tasnya. “Maaf-maaf…” Stormi menggosok bahu Ruby den
Ruby bangkit—tiga pria itu mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya. Ruby tidak melihat adanya petugas kereta. Entah ke mana perginya. Atau mungkin—orang-orang ini membuat petugas kereta tidak berani. “Hei jalang!” salah satu pria itu. “Kau tidak akan bisa melawan kami. Ajak perempuan ini pergi bersamamu!” Menunjuk perempuan yang berlindung di belakang Ruby. Entah sejak kapan perempuan itu sudah berada di belakang Ruby. Seakan membuat Ruby sebagai tembok pelindung. Ruby berdecih. “Aku akan pergi setelah menghajarmu.” “Dasar gila.” pria itu meludah ke bawah. “Kau mau aku menghajar jalang kecil sepertimu?” tanya pria bertato dengan tubuh besar itu. “Sini kalian.” Ruby mengambil ancang-ancang bela diri. “Aku akan menghajar kalian.” Pria itu mendekat—namun belum sempat melayangkan pukulan. “SIAPAPUN TOLONG KAMI. TOLONG KAMI PRIA INI INGINI MEMUKUL TEMANKU!” “TOLOOOOOOONG!” Bahkan suara dari perempuan di belakang Ruby bisa memekakkan telinga. Suaranya melambun
“Di mana Ruby?” tanya Leonard. Ana menatap Leonard. untuk pertama kalinya setelah pertemuan mereka di klub. Leonard kehilangan berat badan. Pria itu nampak lebih kurus dengan wajah yang pucat. “Tidak ada di sini!” Ruby mengedikkan bahu. Leonard menyipitkan mata—mencoba mencari keberadaan Ruby di dalam apartemen menggunakan matanya. “Aku bilang tidak ada di sini. dia sudah pergi.” Ana melipat tangannya. “Ke mana?” tanya Leonard. “Beritahu aku,” desaknya. Ana terdiam. “Entahlah ke mana.” Leonard hendak berjalan pergi—tapi ia berhenti dengan panggilan wanita itu. “Percuma jika kau bertemu dengan Ruby sekarang.” Ana menatap Leonard kasihan. Kasihan karena wajah Leonard nampak bingung dan minta dikasihani. Entahlah pokoknya wajah Leonard saat ini sangat kasihan. “Ruby masih begitu emosional. Bukannya aku ikut campur.” Ana sedikit ragu mengatakannya. Ia juga tidak igin terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi—Ruby datang ke sini saja ia sudah ikut campu
Perlahan membuka mata. Leonard menyipitkan mata pelan. Dia berada di rumah sakit. Terakhir kali yang ia ingat adalah ia dan Ruby berada di ruang kerjanya. Setelah perdebatan mereka, ia pusing dan berakhir pingsan. “Pa!” panggil Leonard. Kedua orang tuanya berada di ruangannya. “kamu sudah bangun?” tanya Lila berjalan mendekat. “Bagaimana kepala kamu? pusing?” Leonard menggeleng. “Sudah tidak.” “Di mana Ruby, Ma?” tanyanya. Ia memang harus bertemu dengan wanita itu. Mereka belum selesai. Ya, permasalahan di antara mereka belum selesai. Leonard bangun—menurunkan kedua kakinya. “Ada masalah di antara kalian?” tanya Lucas. “Kamu sudah mengingat Ruby?” Leonard terdiam. Pasti orang tuanya tidak tahu perjanjian itu. Pasti hanya dirinya dan Ruby yang tahu. “Aku belum mengingat Ruby. Tapi aku tidak bisa melepaskannya.” Lila mengernyit. “Apa yang terjadi?” “Ruby ingin bercerai. Dia bilang dia membenciku karena aku adalah penabraknya. Dan membuat orang tuanya meninggal.” Luc
“Tidak mungkin.” Ruby mendorong tubuh Leonard. Pria itu mundur beberapa langkah. “Tidak ada yang tidak mungkin. Aku memang anak itu. aku adalah bocah yang kau tabrak, sampai mataku terluka dan aku harus operasi mata. Karena kau juga, ayahku meninggal. Karena kau juga hidupku menderita sejak saat itu!” Ruby setengah berteriak. Leonard memejamkan mata—terduduk lemas di sebuah kursi. Ia memijit keningnya. “Dan kamu tahu hari ini?” tanya Leonard. Ruby mengangguk. “Jika aku tahu dari awal, aku tidak akan mau menikah denganmu. Jika tahu dari awal aku pasti akan menghindarimu!” Leonard menunduk—kepalanya terasa berputar. Pening—ia memejamkan mata. Memegang kedua kepalanya dengan tangannya. “Leonard…” panggil Ruby pelan. Leonard masih mendengar panggilan Ruby itu sebelum akhirnya ia… Pingsan. ~~ Berada di dalam rumah seseorang. Tatapannya kosong. Ruby menggenggam sebuah gelas kaca yang berisi air. Setelah ini, ia tidak tahu arah hidupnya bagaimana. Ana ber
“Apa?” tanya leonard. “Aku ingin bercerai,” ulang Ruby. Leonard mendekat. “Kenapa? kamu bilang kamu akan menungguku. Kamu bilang kita saling mencintai tapi kenapa tiba-tiba seperti ini?” Ruby menggeleng. “Aku tidak mencintaimu. Aku ingin bercerai dengan mengakhiri perjanjian sialan itu!” Ruby membalikkan tubuhnya. Namun baru saja hendak berjalan. tangannya dicekal oleh Leonard. Leonard mencekal pergelangan tangannya. “Jangan pergi.” Ruby melepaskannya dengan kasar. “Lepaskan aku!” Leonard menarik pinggang Ruby—sampai tubuh mereka bertabrakan. Ruby tidak bisa melepaskan diri dari Leonard. Leonard memeluk pinggang Ruby supaya wanita itu tidak melarikan diri darinya. “Aku sedang kehilangan ingatanku dan aku sedang bingung. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Apa yang seharusnya berjalan.” “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa penjelasan seperti ini. semuanya tidak masuk akal bagiku!” Ruby berdecih pelan. “Semuanya tidak masuk akal bagimu karena kau mengira semua
Pertama kalinya dalam seumur hidupnya Ruby menampar kakaknya. Tangannya sedikit bergetar setelah melayangkan tamparan di pipi kakaknya itu. “Kau berani—” Michael mendekat. Namun ibu buru-buru menghadangnya. “Berhentilah, Michael.” Ruby mengepalkan tangannya—ia bebalik dan berjalan pergi. “Kau mau ke mana?” teriak Michael. “Berhenti, Michael!” teriak ibu. “Berhenti mengganggu hidup adikmu!” “Mulai sekarang urus saja urusanmu sendiri dan jangan ganggu hidup kita!” ucapan ibu pada akhirnya. Kesabarannya sudah habis. Ia tidak bisa lagi menghadapi anak laki-lakinya ini yang selalu membawa masalah untuk keluarga. “BU!” Michael melebarkan mata. “Ibu membela Ruby daripada aku?” “Iya, memang kenapa?” tanya Ibu. “Ibu sudah menahannya selama ini. ibu dan Ruby banting tulang untuk membantu melunasi hutang-hutang kamu!” “Kita didatangi rentenir! Ibu dan Ruby diteror rentenir. Apa kamu pernah memikirkan ibu?” tanya ibu pada Michael. “Tidak kan?” tanya Ibu lagi. “Kamu selalu sibuk judi,
“Ibu hanya ingin kamu tidak bertingkah lagi. Leonard sudah banyak melakukan hal untuk kita…” lirih ibu yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya sungguh lelah karena selalu bekerja di toko. “Berhentilah berinvestasi atau apalah itu.”“Aku hanya ingin membuat kita banyak uang. Kalau aku banyak uang, kita tidak perlu tinggal di rumah yang jelek ini.” menunjuk dinding. “Ibu juga tidak perlu bekerja di toko lagi jika aku punya banyak uang!” Ibu Ruby bangkit. mendekati anaknya—mengambil tangan anaknya itu. “Ibu mohon berhentilah, Michael. Kamu membuat kita menderita. perbuatan kamu membuat adik kamu mengalami banyak penderitaan!” “Adik ipar kamu sampai dirawat di rumah sakit karena menyelamatkan kamu.” Michael menghempaskan tangan ibunya begitu kasar. “Kenapa ibu menyalahkanku?” suara Michael. “Jangan membuat ulah lagi dan membahayakan adik iparmu!” “Kenapa? Setidaknya supaya dia menebus dosanya dulu. Jika dia tidak menabrak ayah, ayah masih bersama kita. Anggap saja Leonard sedan