“Sebenarnya aku memang tertembak. Tapi—” Stormi menatap kedua orang itu yang sudah melototinya. “Tapi aku melakukan ini untuk menyelamatkan orang.” “Astaga…” ibu Stormi mengusap dadanya. “Ada banyak hal yang harus Stormi beritahu. Tapi jangan kaget.” “Apa?” tanya ibu. “Kamu membuat ibu kawatir…” “Aku batal menikah. bajingan itu berselingkuh dengan teman sekantorku. Lalu aku memutuskan untuk resign. Lalu aku berencana untuk pulang tapi aku malah bertemu dengan pria tampan. Dan aku menyelamatkan pria tampan itu dari tembakan. Lalu kita saling menyukai..” Stormi menceritakan itu semua dengan cepat. Sehingga membuat adik dan ibunya melongo. Tapi tidak lama setelah keheningan singkat itu… Suara yang bising terdengar dari atas rumah. Lalu tak lama. Pintunya diketuk. “Dia ini bicara apa?” omel Steven pada kakaknya. “Tunggu!” Stormi berjalan ke arah pintu. Membuka pintunya perlahan. Betapa terkejutnya ia melihat pria yang beberapa menit ia tinggalkan ini sudah berada di
“Mau bagaimana lagi?” tanya ibu Stormi. “Kalian saling tergila-gila. bagaimana bisa ibu menghalangi hubungan kalian…” lanjutnya. Diego tersenyum. Ia menunduk dengan sopan. “Terima kasih.” “Saya akan menjaga Stormi. Saya janji,” ucap Diego dengan sangat yakin dan lugas. Stormi memandang Diego dengan senyum centil. Ibu yang melihatnya hanya berdecih pelan. “Tarik nafas, bu.” Steven mendekati ibunya. “Tenang. Tenang. Tensi ibu memang naik. Jangan pikirkan dia. Pikirkan saya aku.” Stormi tertawa. “Memangnya anaknya hanya kau?” Steven menatap Diego. “Kau!” “Di mana sopan santunmu!” Stormi memukul bahu Steven. Steven menggosok bahunya yang dipukul Stormi. Ia menatap Diego. “Dengarkan aku..” Steven melotot. “Meskipun dia menyebalkan. Tapi jangan buat dia lecet. Kulitnya sensitif asal kau tahu. Dia gampang takut dan gampang menangis. intinya jangan buat dia dalam bahaya.” Stormi tertawa pelan. “Dia pasti gila… sejak kapan dia dewasa,” lirihnya. “Kau mendengarku, kakak ip
“Ibu akan kembali bekerja di restoran. Kamu kuliah dengan tenang, tidak usah melakukan pekerjaan paruh waktu.” Steven membantu ibunya memasak. Laki-laki itu memang sudah terbiasa membantu ibunya memasak dan membersihkan rumah. “Jangan. Pokoknya aku tidak akan mengijinkan ibu kembali bekerja. ibu bisa stress dan tekanan darah ibu bisa naik. Itu bisa membuat ibu pusing,” balas Steven yang memotong bahan makanan. “Aku sudah memikirkan hal ini. Aku juga berpikir tidak bisa terus menerima uang dari kakak. Aku akan mengambil pijaman sepenuhnya dari pemerintah untuk kuliahku. Aku akan melunasinya saat menjadi dokter.” Ibu mengambil duduk di kursi depan meja. “Itu akan sangat mahal. Kalau ibu bekerja, kamu bisa terus mengambil pinjaman setengah untuk kuliah kamu.” Pemerintah memang menyediakan pinjaman bank untuk pendidikan. Namun itu juga memiliki bunga. Kuliah kedokteran memerlukan biaya yang sangat tinggi. walaupun terkadang mendapatkan beasiswa, tetap saja tidak bisa menutup
Stormi menggeleng. “Tidak. Aku hanya kurang tidur.” Diego mendekatkan dirinya pada Stormi. Menatap kedua mata Stormi yang sembab. “Aku sangat teliti. Aku tidak mungkin salah menganalisa.” “Katakan padaku kenapa menangis?” tanya Stormi. “Kau bertengkar dengan ibu atau adik ipar?” Stormi malah tertawa pelan. ia mendorong pelan dada Diego. Kenapa pria tiu senagn sekali dengan sebutan ipar. Hubungan mereka saja belum resmi. Tapi semua itu memang lucu. “Aku baik-baik saja…” balas Stormi sembari tertawa. Diego berjalan mendekat—membuat Stormi terpojok sampai terbentur dengan dinding. “Aku tidak akan melepaskanmu sampai memberitahuku alasan kenapa kau menangis.” Stormi mendongak. “Menghawatirkanku?” “Aku selalu menghawatirkanmu.” Diego mengusap pipi Stormi. “Katakan padaku sebelum aku menggigit bibirmu dan membuatmu membuka mulut.” Bicara pria ini memang vulgar. Stormi berdecak pelan. “Intinya adalah…” Stormi menceritakan permasalahannya pada Diego. Kenapa sampa
21++ Di belahan bumi yang berbeda. “Sayangku kenapa lama sekali?” teriak Leonard tidak sabaran menanti Ruby yang berada di dalam kamar mandi. “Iya…” Ruby menggigit bibirnya pelan. Ia keluar—menggunakan ligerie yang berbentuk jaring-jaring itu. Tubuhnya tembus pandang. Jaring-jaring hitam itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang begitu berlekuk. Leonard sampai menahan nafasnya melihat istrinya. Ruby berjalan ke arahnya. “Kamu bilang aku yang memimpin malam ini? tapi kenapa wajah kamu terlihat ingin menerkamku secepatnya.” Leonard mendongak—tangannya merengkuh pinggul Ruby. “Sepertinya aku tidak bisa. Biarkan aku—” Bruk! Ruby mendorong tubuh Leonard sampai berbaring di ranjangnya yang kecil itu. Perlahan Ruby merangkah ke atas tubuh Leonard. Tangan Ruby yang lentik melepaskan pakaian atas Leonard. Ia mendekat—menangkup wajah Leonard—kemudian mencium bibir pria itu. Leonard membalas pangutan Ruby dengan liar. Tangannya sudah bergilya masuk ke dalam
21++ Makan malam yang kurang diharapkan oleh Diego sebenarnya. Karena ia harus menunda hukuman untuk Stormi. Sedangkan Stormi cengengesan seolah sedang mengejeknya. Tangan Diego tidak berhenti mengusap pinggang Stormi dari samping. Benar-benar tidak bisa jauh dari Stormi. “Aku tidak mau masak besok,” ucap Steven. “Biar dia saja yang masak.” Menunjuk Stormi. Stormi mengerjap. “Jangan mempermalukanku. Aku tidak bisa memasak.” “Besok ibu saja yang masak.” Ibu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya santai. “Bukankah besok itu jadwal itu membersihkan rumah lama itu?” tanya Steven. “Rumahnya sudah ditempati cucunya. Dia baru saja kembali bersama suaminya. Jadi ibu bisa bersantai,” jelas ibu. Stormi mengernyit. “Siapa?” “Anak yang dulu kamu takuti. Dia juga sudah dewasa dan ternyata dia sudah menikah,” jawab ibu. “Siapa namanya? Dari dulu aku sudah takut duluan melihatnya. Jadi tidak pernah tahu nama dan wajahnya lagi.” “Ruby…” balas ibu. “UHUUUK!” St
“Terima kasih, aunty…” Stormi tersenyum. Bibi yang merawat rumahnya membawakan makanan. Sehingga ia tidak perlu pergi keluar mencari makan dengan Leonard. “Kemarin saya melihat rumah aunty ada helikopter dan beberapa orang…” ucap Ruby. “Sepertinya saya mengenal anak aunty.” Ibu Stormi mengangguk. ia mengambil duduk di samping Ruby di depan meja makan. “Aunty juga bilang pada anak bibi. Kalian memang saling mengenal.” “Sebenarnya, Aunty sedikit menghawatirkan Stormi. Dia pulang-pulang membawa pria bersamanya. Memang pria itu tampan, tapi aunty takut kalau Stormi terlibat hal yang berbahaya bersama pria itu.” Ruby mengerti… Wajar saja ibu Stormi menghawatirkan anaknya. Awalnya Ruby juga memang sedikit kawatir jika Stormi berhubungan dengan Deigo. Ruby menoleh ketika Leonard turun dari tangga. Ruby menatap Leonard sebentar. “Saya dan Suami saya juga mengenal Diego. meskipun belum lama. Tapi yang saya lihat…” “Diego memperlakukan Stormi dengan baik. Jadi aunty jangan te
Leonard menutup bibirnya tidak percaya. Ia mendongak. kenapa rasanya panas sekali matanya. Ruby mendekat dan tertawa. “Kita akan jadi orang tua.” Leonard memeluk tubuh Ruby. Sedikit mengangkat tubuh Ruby dan memutarnya. “Aku sangat bahagia.” Leonard mengecup dahi Ruby beberapa detik. “Terima kasih.” “Akhirnya!!!” suara Stormi yang begitu bahagia. Ia melompat dengan bahagia sembari memeluk lengan Diego. Diego tersenyum melihat tingkah Stormi. Ia juga ikut bahagia dengan kehamilan Ruby. “Kamu harus ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengecekan lebih lanjut.” Ibu Stormi memeluk Ruby. “Mulai sekarang hati-hati. Awal kehamilan adalah masa yang paling rentan.” “Selamat ya,” ucap ibu Stormi. Ruby mengangguk dengan bahagia. “Terima kasih, aunty.” Tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat senang. Ia menyentuh perutnya. Tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Leonard menoleh mendapatkan tepukan dari samping. “Kau jago juga,” ucap Die
Leonard menutup bibirnya tidak percaya. Ia mendongak. kenapa rasanya panas sekali matanya. Ruby mendekat dan tertawa. “Kita akan jadi orang tua.” Leonard memeluk tubuh Ruby. Sedikit mengangkat tubuh Ruby dan memutarnya. “Aku sangat bahagia.” Leonard mengecup dahi Ruby beberapa detik. “Terima kasih.” “Akhirnya!!!” suara Stormi yang begitu bahagia. Ia melompat dengan bahagia sembari memeluk lengan Diego. Diego tersenyum melihat tingkah Stormi. Ia juga ikut bahagia dengan kehamilan Ruby. “Kamu harus ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengecekan lebih lanjut.” Ibu Stormi memeluk Ruby. “Mulai sekarang hati-hati. Awal kehamilan adalah masa yang paling rentan.” “Selamat ya,” ucap ibu Stormi. Ruby mengangguk dengan bahagia. “Terima kasih, aunty.” Tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang. Yang pasti ia sangat senang. Ia menyentuh perutnya. Tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Leonard menoleh mendapatkan tepukan dari samping. “Kau jago juga,” ucap Die
“Terima kasih, aunty…” Stormi tersenyum. Bibi yang merawat rumahnya membawakan makanan. Sehingga ia tidak perlu pergi keluar mencari makan dengan Leonard. “Kemarin saya melihat rumah aunty ada helikopter dan beberapa orang…” ucap Ruby. “Sepertinya saya mengenal anak aunty.” Ibu Stormi mengangguk. ia mengambil duduk di samping Ruby di depan meja makan. “Aunty juga bilang pada anak bibi. Kalian memang saling mengenal.” “Sebenarnya, Aunty sedikit menghawatirkan Stormi. Dia pulang-pulang membawa pria bersamanya. Memang pria itu tampan, tapi aunty takut kalau Stormi terlibat hal yang berbahaya bersama pria itu.” Ruby mengerti… Wajar saja ibu Stormi menghawatirkan anaknya. Awalnya Ruby juga memang sedikit kawatir jika Stormi berhubungan dengan Deigo. Ruby menoleh ketika Leonard turun dari tangga. Ruby menatap Leonard sebentar. “Saya dan Suami saya juga mengenal Diego. meskipun belum lama. Tapi yang saya lihat…” “Diego memperlakukan Stormi dengan baik. Jadi aunty jangan te
21++ Makan malam yang kurang diharapkan oleh Diego sebenarnya. Karena ia harus menunda hukuman untuk Stormi. Sedangkan Stormi cengengesan seolah sedang mengejeknya. Tangan Diego tidak berhenti mengusap pinggang Stormi dari samping. Benar-benar tidak bisa jauh dari Stormi. “Aku tidak mau masak besok,” ucap Steven. “Biar dia saja yang masak.” Menunjuk Stormi. Stormi mengerjap. “Jangan mempermalukanku. Aku tidak bisa memasak.” “Besok ibu saja yang masak.” Ibu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya santai. “Bukankah besok itu jadwal itu membersihkan rumah lama itu?” tanya Steven. “Rumahnya sudah ditempati cucunya. Dia baru saja kembali bersama suaminya. Jadi ibu bisa bersantai,” jelas ibu. Stormi mengernyit. “Siapa?” “Anak yang dulu kamu takuti. Dia juga sudah dewasa dan ternyata dia sudah menikah,” jawab ibu. “Siapa namanya? Dari dulu aku sudah takut duluan melihatnya. Jadi tidak pernah tahu nama dan wajahnya lagi.” “Ruby…” balas ibu. “UHUUUK!” St
21++ Di belahan bumi yang berbeda. “Sayangku kenapa lama sekali?” teriak Leonard tidak sabaran menanti Ruby yang berada di dalam kamar mandi. “Iya…” Ruby menggigit bibirnya pelan. Ia keluar—menggunakan ligerie yang berbentuk jaring-jaring itu. Tubuhnya tembus pandang. Jaring-jaring hitam itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang begitu berlekuk. Leonard sampai menahan nafasnya melihat istrinya. Ruby berjalan ke arahnya. “Kamu bilang aku yang memimpin malam ini? tapi kenapa wajah kamu terlihat ingin menerkamku secepatnya.” Leonard mendongak—tangannya merengkuh pinggul Ruby. “Sepertinya aku tidak bisa. Biarkan aku—” Bruk! Ruby mendorong tubuh Leonard sampai berbaring di ranjangnya yang kecil itu. Perlahan Ruby merangkah ke atas tubuh Leonard. Tangan Ruby yang lentik melepaskan pakaian atas Leonard. Ia mendekat—menangkup wajah Leonard—kemudian mencium bibir pria itu. Leonard membalas pangutan Ruby dengan liar. Tangannya sudah bergilya masuk ke dalam
Stormi menggeleng. “Tidak. Aku hanya kurang tidur.” Diego mendekatkan dirinya pada Stormi. Menatap kedua mata Stormi yang sembab. “Aku sangat teliti. Aku tidak mungkin salah menganalisa.” “Katakan padaku kenapa menangis?” tanya Stormi. “Kau bertengkar dengan ibu atau adik ipar?” Stormi malah tertawa pelan. ia mendorong pelan dada Diego. Kenapa pria tiu senagn sekali dengan sebutan ipar. Hubungan mereka saja belum resmi. Tapi semua itu memang lucu. “Aku baik-baik saja…” balas Stormi sembari tertawa. Diego berjalan mendekat—membuat Stormi terpojok sampai terbentur dengan dinding. “Aku tidak akan melepaskanmu sampai memberitahuku alasan kenapa kau menangis.” Stormi mendongak. “Menghawatirkanku?” “Aku selalu menghawatirkanmu.” Diego mengusap pipi Stormi. “Katakan padaku sebelum aku menggigit bibirmu dan membuatmu membuka mulut.” Bicara pria ini memang vulgar. Stormi berdecak pelan. “Intinya adalah…” Stormi menceritakan permasalahannya pada Diego. Kenapa sampa
“Ibu akan kembali bekerja di restoran. Kamu kuliah dengan tenang, tidak usah melakukan pekerjaan paruh waktu.” Steven membantu ibunya memasak. Laki-laki itu memang sudah terbiasa membantu ibunya memasak dan membersihkan rumah. “Jangan. Pokoknya aku tidak akan mengijinkan ibu kembali bekerja. ibu bisa stress dan tekanan darah ibu bisa naik. Itu bisa membuat ibu pusing,” balas Steven yang memotong bahan makanan. “Aku sudah memikirkan hal ini. Aku juga berpikir tidak bisa terus menerima uang dari kakak. Aku akan mengambil pijaman sepenuhnya dari pemerintah untuk kuliahku. Aku akan melunasinya saat menjadi dokter.” Ibu mengambil duduk di kursi depan meja. “Itu akan sangat mahal. Kalau ibu bekerja, kamu bisa terus mengambil pinjaman setengah untuk kuliah kamu.” Pemerintah memang menyediakan pinjaman bank untuk pendidikan. Namun itu juga memiliki bunga. Kuliah kedokteran memerlukan biaya yang sangat tinggi. walaupun terkadang mendapatkan beasiswa, tetap saja tidak bisa menutup
“Mau bagaimana lagi?” tanya ibu Stormi. “Kalian saling tergila-gila. bagaimana bisa ibu menghalangi hubungan kalian…” lanjutnya. Diego tersenyum. Ia menunduk dengan sopan. “Terima kasih.” “Saya akan menjaga Stormi. Saya janji,” ucap Diego dengan sangat yakin dan lugas. Stormi memandang Diego dengan senyum centil. Ibu yang melihatnya hanya berdecih pelan. “Tarik nafas, bu.” Steven mendekati ibunya. “Tenang. Tenang. Tensi ibu memang naik. Jangan pikirkan dia. Pikirkan saya aku.” Stormi tertawa. “Memangnya anaknya hanya kau?” Steven menatap Diego. “Kau!” “Di mana sopan santunmu!” Stormi memukul bahu Steven. Steven menggosok bahunya yang dipukul Stormi. Ia menatap Diego. “Dengarkan aku..” Steven melotot. “Meskipun dia menyebalkan. Tapi jangan buat dia lecet. Kulitnya sensitif asal kau tahu. Dia gampang takut dan gampang menangis. intinya jangan buat dia dalam bahaya.” Stormi tertawa pelan. “Dia pasti gila… sejak kapan dia dewasa,” lirihnya. “Kau mendengarku, kakak ip
“Sebenarnya aku memang tertembak. Tapi—” Stormi menatap kedua orang itu yang sudah melototinya. “Tapi aku melakukan ini untuk menyelamatkan orang.” “Astaga…” ibu Stormi mengusap dadanya. “Ada banyak hal yang harus Stormi beritahu. Tapi jangan kaget.” “Apa?” tanya ibu. “Kamu membuat ibu kawatir…” “Aku batal menikah. bajingan itu berselingkuh dengan teman sekantorku. Lalu aku memutuskan untuk resign. Lalu aku berencana untuk pulang tapi aku malah bertemu dengan pria tampan. Dan aku menyelamatkan pria tampan itu dari tembakan. Lalu kita saling menyukai..” Stormi menceritakan itu semua dengan cepat. Sehingga membuat adik dan ibunya melongo. Tapi tidak lama setelah keheningan singkat itu… Suara yang bising terdengar dari atas rumah. Lalu tak lama. Pintunya diketuk. “Dia ini bicara apa?” omel Steven pada kakaknya. “Tunggu!” Stormi berjalan ke arah pintu. Membuka pintunya perlahan. Betapa terkejutnya ia melihat pria yang beberapa menit ia tinggalkan ini sudah berada di
Perjalanan pulang dengan perut yang kenyang. Ruby memejamkan mata. Namun tidak tidur sama sekali. Ia membuka matanya sedikit melihat Leonard yang fokus menyetir. Leonard tertawa pelan. “Jangan mengelabuhiku.” Ruby membuka mata dan menguap. “Aku hampir bermimpi…” Leonard menoleh—tangannya terulur mengusap puncak kepala Ruby. Ruby menoleh. mereka sudah dekat dengan rumah. Tapi—ada satu hal yang begitu mencolok. “Dia..” Ruby menunjuk satu pria. “Apa yang dia lakukan di sini?” tanya Ruby begitu bingung. Leonard mengikuti arah pandang Ruby. Di sebuah rumah sederhana. Ada orang-orang yang berpakain hitam. Ada beberapa mobil dan satu helikopter. Lalu… yang paling mencolok adalah satu pria yang saat ini baru saja masuk ke dalam rumah tersebut. “Oh…” Ruby mengernyit. “Mereka…” Leonard hanya fokus menyetir. Dia juga sedikit bingung tapi tidak seheboh Ruby. “Ada banyak yang tidak kita ketahui,” ucap Leonard. Ruby menoleh. “Jadi dia bocah itu…” lirih Ruby. “Aku sa