“Instingnya benar.” Lucas mengambil jasnya. “Tapi—” “Aku tidak mau berdebat.” Lucas memutar tubuhnya. Mengeluarkan sebuah kartu dari dalam sakunya. “Pakai ini.” Sebuah kartu yang berisi uangnya. Semua uang yang berada di dalamnya ia serahkan pada Isabel untuk digunakan berbelanja. Isabel menerima kartu itu. Baiklah—ia tidak akan meributkan hal ini. “Baiklah. Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini.” Isabel menghalangi Lucas yang ingin pergi. “Tapi aku tetap mau kamu menjaga jarak dengan wanita itu!” Lucas mengangguk samar. Isabel berjinjit dan mengecup pipi Lucas pelan. “Aku pergi dulu.” Mengusap pelan puncak kepala Isabel. Isabel menatap punggung Lucas yang kian menjauh. Lucas sedikit berubah. Itu yang ia rasakan. Mungkin semenjak bertemu dengan Lila. Tapi ia yakin Lucas tidak akan berpaling darinya hanya karena wanita buta itu. Dari segi manapun, jelas ia lebih unggul dari wanita itu. Isabel menatap kartu yang berada di tangannya ini dengan senang.
Lucas berada di kantornya. Seharusnya ia langsung pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi ia langsung menuju rumah Lila ketika mendapatkan kabar wanita itu tidak kunjung bangun dari tidur. Sesampainya di sana, Lucas langsung masuk ke dalam kamar Lila. “Nona sudah 7 jam tidur tapi tidak kunjung bangun. Saya kawatir maka dari itu saya langsung menghubungi anda, Tuan.” Lucas mengangguk. “Apa yang dia lakukan sampai sepert ini?” “Tadi, nona menyuruh orang untuk memasang layar proyektor. Kemudian menyambungkannya dengan ponselnya dan menampilkan tempat.” “Saya tidak tahu apa yang nona lakukan, karena nona menyuruh saya pergi. ketika saya ke sini, hidung nona sudah berdarah.” “Hidungnya berdarah?” ulang Lucas. “Iya tuan.” “Aku mengerti. anda bisa pergi.” Bi Rosa ragu. “Tapi tuan—” Lucas menatap Lila. “Dia baik-baik saja. dia akan segera bangun. Dia tidak butuh dokter.” “Tinggalkan kita.” Perintah Lucas. Bi rosa tidak berani membantah dan memilih pergi.
“Saat kau siap.” Tok tok! “Apa nona sudah bangun? Adek menangis nona!” teriak Bi Rosa dari luar pintu. Lila bangkit—secepatnya berdiri dan meninggalkan Lucas begitu saja. Lila berhenti. “Jangan mengikutiku!” Akhirnya Lucas berhenti—bisa-bisanya dia diperintah seperti itu. Lila berada di dalam kamar anaknya. Memberi anaknya asi. Lila mengusap pelan punggung Leonard. Bayi mungil itu langsung terdiam ketika berada di dalam pelukan ibunya. “Bi, kalau saya seperti itu lagi. tolong jangan panggil Lucas ya.” Bi Rosa merasa bersalah. “Bibi kawatir terjadi sesuatu pada nona. Bibi sangat takut kalau nona tidak bisa bangun.” Lila tersenyum. “Lila baik-baik saja. terkadang Lila memang seperti itu. bibi tidak usah kawatir. Kalau saya seperti itu lagi. bibi cukup mengecek saya masih bernafas atau tidak.” Bi Rosa mengangguk patuh. “Dan saya minta pada Bibi. Jangan biarkan Lucas bertemu dengan Leonard.” Bi Rosa mengernyit kebingungan. “Ayah Leonard tidak ada. Saya tidak ingin
21++ “Lalu?” tanya Lila. “Kau akan menyentuhku? Kita akan berhubungan fisik?” “Hm.” Lucas mengangguk. “Kau pikir aku suka hal rumit seperti datang ke dokter?” Lucas tersenyum miring melihat wajah Lila yang mendadak pucat. “Aku lebih suka hal-hal praktis dan tentunya menyenangkan.” Lucas mendekat—mengikis jarak di antara mereka. Jemarinya terangkat menyentuh pipi Lila. Turun—mengusap bibir Lila pelan. “Lucas…” lirih Lila. “Pertama, kau harus terbiasa dengan sentuhanku.” Jemari Lucas menyusuri leher Lila. Turun ke bawah—sampai di belahan dada Lila yang sedikit terbuka. Lila lupa mengancing satu kancing teratas dress setelah menyusui. Lagi-lagi dadanya sedikit basah setelah menyusui anaknya. Lucas menatap dada Lila yang bulat sempurna. “A-aku..” Lila menghentikan tangan Lucas. Membawa tangan Lucas menjauh dari dadanya. “Kau terlihat sangat canggung dengan sentuhan. Bukankah kau sudah melakukannya dengan ayah anakmu itu?” tanya Lucas. Lila masih menggengga
Malam itu. Lucas meninggalkannya begitu saja. Tanpa sepatah katapun. Kosong. Meski Lila senang. Tapi setelah kejadian itu, Lucas tidak pernah menghubunginya. Sudah beberapa bulan berlalu. Masalahnya adalah Lila ingin tahu bagaimana rencana pria itu untuk membalaskan dendamnya pada orang yang telah menyakitinya. Lila meremas ponselnya—apakah ia harus menghubungi pria itu untuk bertanya? Ponsel Lila diatur hanya untuk menelepon dan mengirim pesan suara. Lila berdiri—berjalan mendekati jendela. Menguatkan tekadnya untuk menghubungi Lucas. Tapi panggilan pertama ditolak. Panggilan kedua… Panggilan seterusnya… “Dia sungguh marah denganku.” Lila akhirnya mendekatkan ponsel itu pada bibirnya. Mengirimkan pesan suara. “Lucas kalau aku ada salah aku sungguh minta maaf padamu. Jangan mengabaikanku.” Beberapa menit berlalu—Lucas tidak kunjung meneleponnya kembali. Tapi ada satu pesan suara yang masuk—pesan suara itu langsung berputar. “Aku sedang sibuk!” itu suar
Lucas berdecih pelan. Pria tua itu tidak juga menyerah mengusiknya. Thomas adalah polisi yang sering mengikutinya. Ia kira sudah berhenti dan menyerah. tapi ternyata mengumpulkan pasukan lebih banyak untuk memata-matainya. Lucas mengusap rambutnya…. Mengarahkan pistol pada jantung pria itu. “Haruskah aku bunuh dia sekarang juga?” tanya Lucas pada anak buahnya yang lain. Setidaknya ada anak buahnya yang ia percaya. Mereka nampak ragu untuk menjawab. “Kenapa kalian diam saja? kalian tidak rela melihatnya mati?” tanya Lucas. Dua anak buahnya menggeleng. “Tidak, Sir. Tapi kita belum terlalu dalam menggali informasi darinya,” balas Sam Lucas menurunkan pistolnya. “Siapa lagi temanmu di sini. katakan padaku siapa lagi temanmu yang juga membantu Thomas bajingan itu?” Pria itu menggeleng. “Tidak ada gunanya menanyainya.” Lucas berdecak pelan. “Siapapun yang berusaha kabur setelah tertangkapnya tikus ini. itulah temannya.” Lucas menoleh. “Tangkap yang berusaha kabur. M
Lila memejamkan mata—menghirup aroma dari pria yang baru datang ini. Amis—pasti darah. Lila membuka mata. “Kau habis membunuh orang?” Lucas tersenyum—menghisap rokoknya pelan sebelum menjawab. “Hm. Memang benar.” “Aku langsung ke sini setelah menembak kepala orang.” Lucas menatap kemeja putihnya yang terdapat bercak darah. “Pakaianku kotor. ada banyak darah yang menempel di kemejaku.” Lila terdiam kaku. Sungguh? padahal ia hanya bertanya asal-asalan. Tapi memang benar pria itu habis membunuh seseorang. Lila tersenyum canggung. “Siapa yang kau bunuh?” tanyanya. Lucas menarik Lila hingga duduk di sampingnya. Saat ini mereka berada di taman belakang rumah. Di taman yang terang dengan banyak lampu. Mereka bisa melihat langit yang jernih dengan bulan dan bintang. Bukan mereka, tapi Lucas yang bisa melihat cerahnya langit malam. “Orang yang berhianat,” balas Lucas mendongak—menatap langit. “Ucapanmu benar. Ada penghianat yang menyusup menjadi anak buahku. Aku menang
“Baiklah aku mengerti.” Lucas menatap Lila lebih dalam. Bagaimana wanita yang menggunakan pakaian tertutup tapi tetap menggoda di matanya. Itu hanya berlaku pada Lila. Saat ini wanita itu menggunakan dress panjang berwarna hijau. Pakaiannya pun longgar. Sama sekali tidak menampilkan lekuk tubuh.Tapi bongkahan padat dada wanita itu masih terlihat jelas. Membuat Lucas sulit untuk berkonsentrasi saat berbicara. “Apa yang kau inginkan?” “Aku ingin…” Lila menjeda ucapannya. Seolah meyakinkan diri bahwa keputusannya melakukannya adalah benar. “…Dia kalah. Aku tidak ingin menjadi menjadi dewan.” “Hm. Oke. Aku terima.” Lucas menyelipkan helaian rambut Lila ke belakang. Sebagai wanita, jika yang melakukan semua hal ini bukanlah Lucas. Lila akan menganggapnya perhatian. Tapi ini Lucas Francesco. Seorang Mafia yang terkenal memiliki tidak punya hati dan sangat kejam. Salah bersikap saja—nyawanya bisa menjadi taruhan. “Ibu tiriku.. aku juga ingin melihatnya hancur.” “Oke,” balas Lu
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
Dario… Pria itu ada di sini. Penampilan pria itu terlihat kumuh. Tidak ada lagi pakaian mewah yang selalu membalut tubuh pria itu. Akhirnya Dario mau keluar dan membawa Stormi bersamanya. Masih memeluk Stormi seakan wanita itu adalah kekasihnya. Sedangkan, Stormi yang sudah mabuk tidak punya kendali atas tubuhnya untuk melawan. Ruby frustasi melihatnya. “Lepaskan temanku!” “Beri aku lima belas ribu dollar.” Dario tersenyum miring. Ruby berdecih pelan—mimpi saja. Ruby melepaskan heels yang berada di kakinya. menggulung rambut panjangnya. “Kau masih ingat dengan pelajaran olahraga dulu?” tanya Ruby. “Apa kau tidak trauma setelah bola itu mengenai tubuhmu?” tanya Ruby. Dario tertawa. “Dulu itu kau hanya beruntung. Tidak sekarang!” Dario membawa tubuh Stormi ke belakang—menududukkan Stormi di tembok belakangnya. “Kau harus ingat kalau aku juga pemegang sabuk hitam bela diri.” Dari tersenyum miring. “Jangan melawanku dan beri saja aku uang!” “Hidupku berantakan ka
“Kau gila?!” Stormi menyeka bibirnya—tidak lupa mengusap meja dengan tisu. Ia menoleh—menunduk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. “Dia yang tadi di kereta!” Ruby melebarkan mata. Bagaimana? pria itu bilang jangan pernah bertemu lagi. bagaimana sekarang? apakah Ruby harus pergi? Ruby terpaku—tubuhnya membeku. Pria itu juga menatapnya. Namun untungnya hanya sekilas. “Dia tidak mengingat kita. kau diam saja. jangan membuat keributan!” Ruby membungkam bibir Stormi. Dari sudut matanya—Ruby melihat pria itu berjalan kemudian duduk di salah satu bangku yang sepertinya sangat spesial. Bangku itu berada di tengah. Menggunakan sofa besar. Meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai minuman dan makanan. Ruby mengalihkan pandangannya. Jangan sampai pria itu menyadarinya. “Haruskah kita pergi?” tanya Stormi. “Aku takut dia mengingat kita dan membalas dendam karena sepatunya!” Ruby menoleh. “Tidak masalah. Dia tidak akan mengingat kita. lagipula kita tidak se
Stormi menggeleng. “Kau sakit.” Semua testpack yang digunakan oleh Ruby bergaris satu. Ruby mundur—mengusap perutnya. “Mungkin aku memang lapar.” Stormi mendesah kecewa. “Aku sangat antusias menyambut bayimu. Tapi yasudahlah…” Ruby mengambil duduk di sofa. setelah meminum obat yang diberikan oleh Stormi, ia akhirnya makan. Untungnya Stormi membeli banyak obat. Ia bisa memilih obat mana yang bisa ia minum. “Bagaimana dengan suamimu…” ucap Stormi. “Apa dia tidak mencarimu?” “Mungkin.” Ruby mengangguk. “Dia bisa mencariku dengan mudah—bahkan menemukanku. Tapi kalau hari ini aku melihatnya, aku tidak akan bisa menahan emosiku.” “Aku bertengkar dengannya.” Ruby menoleh. “Itulah kenapa—aku ingin sedikit menenangkan diri dari dia. Jika aku melihatnya saat ini—aku akan marah lagi.” Stormi mengangguk dengan paham. “Siapa suamimu? Aku penasaran.” “melihat kartu yang ada di dompetmu, pasti suamimu orang kaya kan?” tanya Stormi. “Sangat kaya,” balas Ruby. “Dia bahkan bisa melakukan ap
“Hueek!” Ruby kembali muntah. Tubuhnya serasa lemas. Selain memang lapar, ia juga lelah ditambah kembali muntah. Ruby memegang wastafel. “Apa yang terjadi denganku…” “Sebentar lagi layanan makan akan datang.” Stormi mendekat. “Sebenarnya…” Stormi menatap Ruby. “Aku curiga pada satu hal.” Stormi menyipitkan mata. “Apa kau punya pacar?” Ruby menggeleng. “Ah..” Stormi mengangguk. “Kalau begitu mungkin memang kau sedang kelalahan dan mabuk perjalanan saja—” “Aku punya suami. Tapi sebentar lagi—” “APA?!” nampak Stormi sangat kaget. “Kau punya suami dan kau baru bilang sekarang?” Stormi mendekat—tiba-tiba saja mengusap perut Ruby. “Bagaimana jika kau hami? Kau mual kan? Itu gejala orang hamil. Kenapa kau tidak berpikir ke arah sana?” “Atau kau selalu menggunakan pengaman?” tanya Stormi lagi. Ruby menggeleng. “Aku tidak pernah menggunakannya…” Tidak pernah. sekalipun tidak pernah. Leonard dan dirinya memang menginginkan bayi. Mereka sepakat untuk tidak menggunak
Kota Ardotalia terletak di ujung barat negeri ini. Kota yang memiliki suhu paling rendah. Memiliki penduduk yang juga sedikit. Di kelilingi pegunungan. Terlihat modern dengan bangunan tinggi meski desain bangunan ala eropa kuno. Udaranya begitu sejuk. “Kita harus membeli jaket.” Stormi menarik Ruby untuk masuk ke sebuah toko. Di sanalah ada berbagai jenis jaket. Uniknya semua jaket di jahit sendiri oleh si penjahit yang di sini. Bahkan mereka bisa memesan dahulu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Mereka nampak mengukur tubuh mereka. Ruby memilih untuk membeli langsung. Namun… Apakah uangnya cukup? Ia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Perjalanan panjang ini ia hanya membawa tas kecil yang ia selempangkan di bahunya. “Uangku tidak cukup.” Ruby menghitung uang yang berada di dompetnya. Stormi juga—uangnya hanya cukup membeli satu jaket saja. Namun matanya cemerlang ketika melihat satu kartu hitam yang berada di dompet Ruby. “Kau bisa me
Ruby terbelalak. Muntahannya terkena sepatu pria itu. “Maaf. Maafkan aku!” Ruby menunduk. ia hendak menyeka sepatu pria itu dengan roknya. Namun—perutnya bergejolak lagi. Ruby menutup mulutnya lagi. Ia segera berlari ke toilet. Di dalam toilet. Ruby memuntahkan seluruh isi perutnya. Hueeek! Hueeek! Ruby memejamkan mata—perutnya terasa langsung kosong. Di belakangnya—Stormi mengusap punggungnya. Tidak lupa mengambil tisu. Ia mengusapkan tisu di bibir Ruby. “Kau sepertinya mabuk perjalanan.” Stormi mengeluarkan sebuah minyak. Kemudian di oleskannya di leher Ruby. Minyak yang memiliki aroma khas. Minyak itu juga membuatnya Ruby hangat. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah naik kereta. Tapi aku tidak separah itu. aku biasanya naik bus atau mobil. Tidak pernah mabuk perjalanan. Aku juga pernah naik Yacht. Juga tidak masalah…” jawabnya. “Tentu saja berbeda. Kereta dengan kendaraan yang kau sebutkan tidak sama. bisa jadi tubuhmu tidak begitu kuat naik kereta.”
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”