“Segalanya…” Lucas tersenyum miring dengan keberanian adik tiri Lila. Lucas melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. “Sekarang?” tanya Maria melihat Lucas yang membuka dasi. Pikirannya sudah mengelana Lucas kemudian menoleh. “Kau memikirkan apa hm?” tanya Lucas sembari mendekat. Maria menggigit bibir bawahnya. Tapi—BRAK! Lucas mendorong dan mencekik Maria ke tembok. “Dirimu tidak ada apa-apanya dibandingkan Lila.” Lucas tersenyum miring—tangannya masih menekan leher Maria. Maria berusaha melepaskan tangan Lucas yang berada di lehernya. Ia bahkan tidak bisa bernafas apalagi berbicara. Otot-otot leher Lucas bahkan terliahat sangat jelas. Wajahnya menakutkan dengan keringat yang membanjiri wajahnya. Lucas melepaskan Maria yang kehabisan oksigen. “Hah..!” Maria mengusap lehernya dengan tangan yang gemetar hebat. Tidak menyangka Lucas akan melakukan hal seperti ini. Maria tidak berani menatap Lucas lagi. Lucas tersenyum—kemudian tertawa. “Hah! Hanya s
Lucas mendekati Lila. Sedangkan Maria melengos ketika melewati mereka. Lucas mengambil tangan Lila. Namun, Lila menepisnya dengan cepat. “Lila..” geram Lucas. Lucas mengambil tangan Lila lagi dan menggenggamnya lebih erat. “Sorry paman. Tapi aku harus membawa istriku pulang,” ucapnya pada paman Carlo. Paman Carlo menatap Lila. “Dia belum makan dari siang.” Lucas menatap Carlo dengan wajahnya yang kejam. “Anda pikir saya akan membiarkannya kelaparan.” Mulut Carlo seketika tertutup. Ia tidak lagi berkomentar. Membiarkan Lucas membawa Lila keluar dari restoran. Lila menghempaskan tangan Lucas. Lucas berkacak pinggang menatap Lila. “Kau cemburu?” tanyanya. “Tidak!” balas Lila. “Lalu kenapa kau marah?” tanya Lucas mendekat. Dari sudut matanya—ia melihat Maria yang menguping di dekat mereka. Pasti wanita itu ingin melihatnya bertengkar dengan Lila. Lucas tersenyum miring. “Jadi kau memang cemburu…” mengusap pelan pipi Lila. Lila mendengus. “Kenapa harus d
Lila melupakan hal yang sangat penting. Seharusnya setelah ia sampai di restoran, ia langsung pergi ke toilet untuk memompa asinya. Tapi Lucas justru menariknya pergi dan mereka berciuman cukup lama untuk membuat adik tirinya itu pergi. Sekarang Lila meminta waktu untuk bisa memompa asinya di dalam mobil. Sedangkan Lucas berada di luar mobil. Menjaga agar tidak ada siapapun yang melihatnya. Lucas menghisap rokoknya pelan. memejamkan mata—melepaskan kancing terasa kemejanya. Tahan… tahan… Ada yang sedang ditahannya mati-matian. Lucas berdecak pelan… ‘Aku bisa gila jika terus berdekatan denganny.’ Dia penglarisku, harta berhargaku sekarang. Aku tidak boleh berbuat sembarangan. Tapi dia sungguh menggoda. “Lucas,” panggil Lila. Lucas menoleh dan membuang putung rokoknya ke bawah. Lucas masuk ke dalam mobil. Menyetir mobilnya sendiri. Banyak bodyguard yang mengawalnya. Mengikutinya dengan mobil yang berbeda. Berkecimpung di dunia gelap, Lucas memiliki banyak m
“Kenapa jarang menemuiku hm?” Isabel mendongak. Jemarinya menyentuh rahang tegas Lucas. Tubuh mereka sama-sama telanjang setelah melakukan aktivitas panas. Hanya tertutupi dengan selimut berwarna putih. “Pekerjaanku banyak…” Lucas memejamkan mata. Membawa Isabel ke dalam pelukannya. Isabel mengerucutkan bibirnya. “Ada apa dengan hari ini. Kamu sangat menggebu-gebu tadi.” Lucas membuka matanya. bahkan Isabel menyadari ada yang aneh pada dirinya. Tapi Lucas tidak mungkin menjawab bahwa semua yang terjadi padanya karena Lila. “Aku hanya sedikit kesal.” Isabel mengeratkan pelukannya. Ia menyandarkan kepalanya di dada Lucas. “Kapan dia akan hamil anak kamu?” tanyanya. “Dia baru saja melahirkan anaknya sendiri. Jadi aku memberinya waktu untuk beristirahat.” Isabel mendongak—mengecup bibir Lucas pelan. “Aku mendukung semua yang kamu lakukan.” “Bagus. that’s my girl.” Mengusap pipi Isabel pelan. “I love you big boss!” memeluk Lucas lebih erat. Lucas tertawa pelan
“Instingnya benar.” Lucas mengambil jasnya. “Tapi—” “Aku tidak mau berdebat.” Lucas memutar tubuhnya. Mengeluarkan sebuah kartu dari dalam sakunya. “Pakai ini.” Sebuah kartu yang berisi uangnya. Semua uang yang berada di dalamnya ia serahkan pada Isabel untuk digunakan berbelanja. Isabel menerima kartu itu. Baiklah—ia tidak akan meributkan hal ini. “Baiklah. Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini.” Isabel menghalangi Lucas yang ingin pergi. “Tapi aku tetap mau kamu menjaga jarak dengan wanita itu!” Lucas mengangguk samar. Isabel berjinjit dan mengecup pipi Lucas pelan. “Aku pergi dulu.” Mengusap pelan puncak kepala Isabel. Isabel menatap punggung Lucas yang kian menjauh. Lucas sedikit berubah. Itu yang ia rasakan. Mungkin semenjak bertemu dengan Lila. Tapi ia yakin Lucas tidak akan berpaling darinya hanya karena wanita buta itu. Dari segi manapun, jelas ia lebih unggul dari wanita itu. Isabel menatap kartu yang berada di tangannya ini dengan senang.
Lucas berada di kantornya. Seharusnya ia langsung pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi ia langsung menuju rumah Lila ketika mendapatkan kabar wanita itu tidak kunjung bangun dari tidur. Sesampainya di sana, Lucas langsung masuk ke dalam kamar Lila. “Nona sudah 7 jam tidur tapi tidak kunjung bangun. Saya kawatir maka dari itu saya langsung menghubungi anda, Tuan.” Lucas mengangguk. “Apa yang dia lakukan sampai sepert ini?” “Tadi, nona menyuruh orang untuk memasang layar proyektor. Kemudian menyambungkannya dengan ponselnya dan menampilkan tempat.” “Saya tidak tahu apa yang nona lakukan, karena nona menyuruh saya pergi. ketika saya ke sini, hidung nona sudah berdarah.” “Hidungnya berdarah?” ulang Lucas. “Iya tuan.” “Aku mengerti. anda bisa pergi.” Bi Rosa ragu. “Tapi tuan—” Lucas menatap Lila. “Dia baik-baik saja. dia akan segera bangun. Dia tidak butuh dokter.” “Tinggalkan kita.” Perintah Lucas. Bi rosa tidak berani membantah dan memilih pergi.
“Saat kau siap.” Tok tok! “Apa nona sudah bangun? Adek menangis nona!” teriak Bi Rosa dari luar pintu. Lila bangkit—secepatnya berdiri dan meninggalkan Lucas begitu saja. Lila berhenti. “Jangan mengikutiku!” Akhirnya Lucas berhenti—bisa-bisanya dia diperintah seperti itu. Lila berada di dalam kamar anaknya. Memberi anaknya asi. Lila mengusap pelan punggung Leonard. Bayi mungil itu langsung terdiam ketika berada di dalam pelukan ibunya. “Bi, kalau saya seperti itu lagi. tolong jangan panggil Lucas ya.” Bi Rosa merasa bersalah. “Bibi kawatir terjadi sesuatu pada nona. Bibi sangat takut kalau nona tidak bisa bangun.” Lila tersenyum. “Lila baik-baik saja. terkadang Lila memang seperti itu. bibi tidak usah kawatir. Kalau saya seperti itu lagi. bibi cukup mengecek saya masih bernafas atau tidak.” Bi Rosa mengangguk patuh. “Dan saya minta pada Bibi. Jangan biarkan Lucas bertemu dengan Leonard.” Bi Rosa mengernyit kebingungan. “Ayah Leonard tidak ada. Saya tidak ingin
21++ “Lalu?” tanya Lila. “Kau akan menyentuhku? Kita akan berhubungan fisik?” “Hm.” Lucas mengangguk. “Kau pikir aku suka hal rumit seperti datang ke dokter?” Lucas tersenyum miring melihat wajah Lila yang mendadak pucat. “Aku lebih suka hal-hal praktis dan tentunya menyenangkan.” Lucas mendekat—mengikis jarak di antara mereka. Jemarinya terangkat menyentuh pipi Lila. Turun—mengusap bibir Lila pelan. “Lucas…” lirih Lila. “Pertama, kau harus terbiasa dengan sentuhanku.” Jemari Lucas menyusuri leher Lila. Turun ke bawah—sampai di belahan dada Lila yang sedikit terbuka. Lila lupa mengancing satu kancing teratas dress setelah menyusui. Lagi-lagi dadanya sedikit basah setelah menyusui anaknya. Lucas menatap dada Lila yang bulat sempurna. “A-aku..” Lila menghentikan tangan Lucas. Membawa tangan Lucas menjauh dari dadanya. “Kau terlihat sangat canggung dengan sentuhan. Bukankah kau sudah melakukannya dengan ayah anakmu itu?” tanya Lucas. Lila masih menggengga
“Berhenti!” Ruby menoleh ketika ada yang berani menyentuh tangannya. “Berhenti. Dia bisa mati!” Pria itu menunjuk salah satu cctv yang ada di pojok bangunan. “Jika kau ingin membunuhnya. Lakukan di tempat yang aman. Setidaknya jangan di depan orang-orang!” Ruby menatap sekitarnya. Banyak orang ternyata. Ia menjatuhkan tubuh Dario begitu saja. Ruby mengusap rambutnya kasar. Beginilah…. Ia hilang kendali… Berakhir dengan menggunakan kekuatannya yang sudah lama ia sembunyikan. Ruby menatap pria itu. “Terima kasih atas bantuannya. Suatu hari aku pasti akan membalasmu. Aku juga akan mengganti sepatumu.” “Dan maaf. Aku muncul di hadapanmu. Tapi setelah ini aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ruby melewati pria itu. Ia mendekati Stormi yang masih saja tidur. “Kalau begitu, berikan aku kartu namamu,” ucap pria itu. Ruby mengerjap. kartu nama… Apakah ia masih punya. Kartu nama yang mana. kartu nama sebagai barista, pelayan klub atau penjaga roti.. atau bisa j
Dario mendekat. Namun—Ruby lebih dulu menangkis pukulan pria itu. Ruby berkacak pinggang. Dario mundur beberapa langkah. “Sini. kau tidak akan berhenti sampai kau pingsan!” Ruby sedikit meregangkan tubuhnya. Takutnya kalau terlalu banyak bergerak—dressnya bisa sobek. Tapi ternyata aman saja. Dress ini sangat lentur, jadi ia bisa bergerak dengan bebas. Emosi Dario semakin memuncak. Egonya terluka atas kekalahaannya memukul Ruby. Dario berlari—kali ini ia bersiap menendang perut Ruby. Namun Ruby lebih dulu menedang lebih dulu kaki pria itu. Ruby menendang kaki Dario menggunakan seluruh kekuatannya. Sehingga—tubuh Dario sampai melayang. Jatuh ke tanah dengan posisi terlentang! BRUUUK Ruby mengusap rambutnya. “Menyebalkan!” “Jika dia mati. Aku bisa berurusan dengan polisi.” Ruby berlari—menunduk dan melihat Dario lebih dekat. Menyentuh tangan pria itu dengan jijik. Lalu memeriksa denyut nadi pria itu masih berdetak. Dario masih hidup! namun Ruby tidak bisa
Dario… Pria itu ada di sini. Penampilan pria itu terlihat kumuh. Tidak ada lagi pakaian mewah yang selalu membalut tubuh pria itu. Akhirnya Dario mau keluar dan membawa Stormi bersamanya. Masih memeluk Stormi seakan wanita itu adalah kekasihnya. Sedangkan, Stormi yang sudah mabuk tidak punya kendali atas tubuhnya untuk melawan. Ruby frustasi melihatnya. “Lepaskan temanku!” “Beri aku lima belas ribu dollar.” Dario tersenyum miring. Ruby berdecih pelan—mimpi saja. Ruby melepaskan heels yang berada di kakinya. menggulung rambut panjangnya. “Kau masih ingat dengan pelajaran olahraga dulu?” tanya Ruby. “Apa kau tidak trauma setelah bola itu mengenai tubuhmu?” tanya Ruby. Dario tertawa. “Dulu itu kau hanya beruntung. Tidak sekarang!” Dario membawa tubuh Stormi ke belakang—menududukkan Stormi di tembok belakangnya. “Kau harus ingat kalau aku juga pemegang sabuk hitam bela diri.” Dari tersenyum miring. “Jangan melawanku dan beri saja aku uang!” “Hidupku berantakan ka
“Kau gila?!” Stormi menyeka bibirnya—tidak lupa mengusap meja dengan tisu. Ia menoleh—menunduk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. “Dia yang tadi di kereta!” Ruby melebarkan mata. Bagaimana? pria itu bilang jangan pernah bertemu lagi. bagaimana sekarang? apakah Ruby harus pergi? Ruby terpaku—tubuhnya membeku. Pria itu juga menatapnya. Namun untungnya hanya sekilas. “Dia tidak mengingat kita. kau diam saja. jangan membuat keributan!” Ruby membungkam bibir Stormi. Dari sudut matanya—Ruby melihat pria itu berjalan kemudian duduk di salah satu bangku yang sepertinya sangat spesial. Bangku itu berada di tengah. Menggunakan sofa besar. Meja panjang yang dipenuhi dengan berbagai minuman dan makanan. Ruby mengalihkan pandangannya. Jangan sampai pria itu menyadarinya. “Haruskah kita pergi?” tanya Stormi. “Aku takut dia mengingat kita dan membalas dendam karena sepatunya!” Ruby menoleh. “Tidak masalah. Dia tidak akan mengingat kita. lagipula kita tidak se
Stormi menggeleng. “Kau sakit.” Semua testpack yang digunakan oleh Ruby bergaris satu. Ruby mundur—mengusap perutnya. “Mungkin aku memang lapar.” Stormi mendesah kecewa. “Aku sangat antusias menyambut bayimu. Tapi yasudahlah…” Ruby mengambil duduk di sofa. setelah meminum obat yang diberikan oleh Stormi, ia akhirnya makan. Untungnya Stormi membeli banyak obat. Ia bisa memilih obat mana yang bisa ia minum. “Bagaimana dengan suamimu…” ucap Stormi. “Apa dia tidak mencarimu?” “Mungkin.” Ruby mengangguk. “Dia bisa mencariku dengan mudah—bahkan menemukanku. Tapi kalau hari ini aku melihatnya, aku tidak akan bisa menahan emosiku.” “Aku bertengkar dengannya.” Ruby menoleh. “Itulah kenapa—aku ingin sedikit menenangkan diri dari dia. Jika aku melihatnya saat ini—aku akan marah lagi.” Stormi mengangguk dengan paham. “Siapa suamimu? Aku penasaran.” “melihat kartu yang ada di dompetmu, pasti suamimu orang kaya kan?” tanya Stormi. “Sangat kaya,” balas Ruby. “Dia bahkan bisa melakukan ap
“Hueek!” Ruby kembali muntah. Tubuhnya serasa lemas. Selain memang lapar, ia juga lelah ditambah kembali muntah. Ruby memegang wastafel. “Apa yang terjadi denganku…” “Sebentar lagi layanan makan akan datang.” Stormi mendekat. “Sebenarnya…” Stormi menatap Ruby. “Aku curiga pada satu hal.” Stormi menyipitkan mata. “Apa kau punya pacar?” Ruby menggeleng. “Ah..” Stormi mengangguk. “Kalau begitu mungkin memang kau sedang kelalahan dan mabuk perjalanan saja—” “Aku punya suami. Tapi sebentar lagi—” “APA?!” nampak Stormi sangat kaget. “Kau punya suami dan kau baru bilang sekarang?” Stormi mendekat—tiba-tiba saja mengusap perut Ruby. “Bagaimana jika kau hami? Kau mual kan? Itu gejala orang hamil. Kenapa kau tidak berpikir ke arah sana?” “Atau kau selalu menggunakan pengaman?” tanya Stormi lagi. Ruby menggeleng. “Aku tidak pernah menggunakannya…” Tidak pernah. sekalipun tidak pernah. Leonard dan dirinya memang menginginkan bayi. Mereka sepakat untuk tidak menggunak
Kota Ardotalia terletak di ujung barat negeri ini. Kota yang memiliki suhu paling rendah. Memiliki penduduk yang juga sedikit. Di kelilingi pegunungan. Terlihat modern dengan bangunan tinggi meski desain bangunan ala eropa kuno. Udaranya begitu sejuk. “Kita harus membeli jaket.” Stormi menarik Ruby untuk masuk ke sebuah toko. Di sanalah ada berbagai jenis jaket. Uniknya semua jaket di jahit sendiri oleh si penjahit yang di sini. Bahkan mereka bisa memesan dahulu. Seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Mereka nampak mengukur tubuh mereka. Ruby memilih untuk membeli langsung. Namun… Apakah uangnya cukup? Ia mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Perjalanan panjang ini ia hanya membawa tas kecil yang ia selempangkan di bahunya. “Uangku tidak cukup.” Ruby menghitung uang yang berada di dompetnya. Stormi juga—uangnya hanya cukup membeli satu jaket saja. Namun matanya cemerlang ketika melihat satu kartu hitam yang berada di dompet Ruby. “Kau bisa me
Ruby terbelalak. Muntahannya terkena sepatu pria itu. “Maaf. Maafkan aku!” Ruby menunduk. ia hendak menyeka sepatu pria itu dengan roknya. Namun—perutnya bergejolak lagi. Ruby menutup mulutnya lagi. Ia segera berlari ke toilet. Di dalam toilet. Ruby memuntahkan seluruh isi perutnya. Hueeek! Hueeek! Ruby memejamkan mata—perutnya terasa langsung kosong. Di belakangnya—Stormi mengusap punggungnya. Tidak lupa mengambil tisu. Ia mengusapkan tisu di bibir Ruby. “Kau sepertinya mabuk perjalanan.” Stormi mengeluarkan sebuah minyak. Kemudian di oleskannya di leher Ruby. Minyak yang memiliki aroma khas. Minyak itu juga membuatnya Ruby hangat. “Aku tidak tahu. Aku tidak pernah naik kereta. Tapi aku tidak separah itu. aku biasanya naik bus atau mobil. Tidak pernah mabuk perjalanan. Aku juga pernah naik Yacht. Juga tidak masalah…” jawabnya. “Tentu saja berbeda. Kereta dengan kendaraan yang kau sebutkan tidak sama. bisa jadi tubuhmu tidak begitu kuat naik kereta.”
“Maaf tuan…” petugas itu menunduk. Ruby mengernyit—ia mundur selangkah. Begitupun Stormi yang tidak melepaskannya sama sekali. Pria dengan setelan hitam. Pria itu lumayan tampan sebenarnya, namun sangat menyeramkan. Tapi tidak akan mengalahkan ketampanan Leonard. “Apa kalian sengaja tinggal di sini?” tanya pria itu. Ruby dan Stormi langsung menggeleng. “Tidak. tentu saja tidak. kami ketiduran, seharusnya kami turun sejak tadi.” “Kalian memang seharusnya tidak ketiduran!” ucap petugas kereta itu. nadanya meninggi seperti memarahi Ruby dan Stormi. “Seharusnya kalian lebih hati-hati. kenapa kalian ketiduran segala. Hanya satu jam kan. Hanya satu jam seharusnya kalian bisa menahannya.” Ruby berkacak pinggang. “Bagaimana kami tidak ngantuk? Pemandangannya bagus. udaranya dingin. Satu jam itu lama, pak! Satu jam itu cukup membuat energi saya kembali!” “Bapak tidak tahu kan? Kami ini sangat kelelahan!” omel Ruby. Petugas kereta itu mengerjap. “Kenapa jadi kami yang memarahi saya?”