21++ Leonard menarik pinggang Ruby semakin mendekat pada tubuhnya. Mencium bibir wanita itu dengan rakus. Leonard mengukung tubuh Ruby… Sampai mengangkat tubuh Ruby ke atas sebuah meja. Leonard menunduk—ciumannya turun ke leher Ruby. Dengan tangan yang tidak berhenti bergerak mengusap dada wanita itu. Membuka seluruh pakaian yang digunakan Ruby. Ruby tidak menolak. Justru menyambut setiap sentuhan yang diberikan oleh Leonard. “Kamu yakin di sini?” tanya Ruby. Leonard berhenti—menyatukan dahi mereka. Leonard menyipitkan mata dan menatap tubuh Ruby yang sudah tidak terbalut oleh apapun. Ruby mengerjap. pipinya bersemu—meski mereka sudah melakukannya, tetap saja ia merasa malu. “Hm.. di sini.” suara Leonard yang terdengar rendah. Leonard menarik tengkuk Ruby dan mencium bibir wanita itu kembali. Ruby mendongak—tangannya membantu membuka kancing kemeja yang digunakan oleh Leonard. “Ahh!” Ruby meremas rambut Leonard. Lidah Leonard itu menyapu puncak dadanya.
21++ Pertama kali membuka mata. Ruby merasa pinggangnya begitu berat. Ia memutar tubuhnya—wajah Leonard tepat di depannya. Wajah tampan pria itu nampak begitu damai ketika tertidur. Ruby menghela napas. Tadi malam… Saat dirinya sangat lelah. Ia mendengar sama-samar suara Leonard yang bilang menyukainya. Ruby mengintip ke dalam selimut. Ia menggunakan piyama. Apa Leonard yang memakaikannya? Ruby mengernyit. “Sepertinya tidak mungkin…” “Apanya yang tidak mungkin?” Leonard menarik Ruby ke dalam pelukannya. Ruby mendongak—mengerjap pelan. Leonard masih menutup mata meski pria itu sudah bangun. Ruby tersenyum pelan. begitu nyaman di pelukan pria ini. Bahkan aroma Leonard saja ia suka. “Kau tidak percaya jika aku yang memakaikanmu pakaian?” tanya Leonard. Menaruh wajahnya di ceruk leher Ruby. “Apa iya?” tanya Ruby. Leonard tertawa pelan. Tangannya menggelitik pelan pinggang Ruby. “Hentikan haha…” Ruby sedikit menjauh. Namun Leonard menariknya kembali.
21++ Ruby pergi ke toilet. Sedangkan Leoanard mengambil telepon yang sedari tadi berbunyi. Mengangkatnya dengan malas. “Siapa?” tanyanya. “Saya, sir.” Itu Eddy, Sekretarisnya. “Saya tidak mau mengganggu acara honeymoon anda, Sir. Tapi saya hanya mengingatkan kalau besok anda ada harus datang ke acara pernikahan rekan bisnis anda.” Leonard berkacak pinggang. “Oke. masih besok kan?” “Iya tapi anda harus bersiap-siap. Saya sudah menyiapkan keperluan anda dan nyonya Ruby.” “Ya, baiklah.” Leonard segera menutup teleponnya. Ruby masih belum kembali. Ia memutuskan untuk menyusul wanita itu. Leonard memeluk Ruby dari belakang. Menatap Ruby dari bayangan cermin di depan mereka. “Kau mual?” Ruby menggeleng. “Tidak.” Leonard mengecup bahu Ruby. “Besok ikut denganku ke pesta pernikahan rekan bisnisku.” Ruby mengerjap. “Kamu yakin?” Leonard mengernyit—memutar pinggang Ruby. “Maksudmu?” “Aku tidak pernah datang ke acara itu. Aku hanya takut membuatmu malu.” Leonard t
Dress berwarna maroon yang begitu cantik melekat pada tubuh Ruby. Dress cantik yang sopan dengan panjang selutut. Tentu saja Leonard yang memilihkan dress itu. Jangan sampai ada orang lain yang melihat tubuh Ruby. Pokoknya hanya dirinya yang boleh melihat tubuh Ruby. Leonard membukakan pintu mobil untuk Ruby. Ruby turun perlahan. Heels yang cukup tinggi itu membantu tingginya sebatas bahu Leonard. Ruby menatap sekitarnya. Dari depan gedung saja nampak sangat mewah. banyak mobil mewah yang berjajar. Pasti rekan bisnis Leonard ini tidak main-main. “Sepertinya yang datang banyak selebritis ya?” tanya Ruby. Leonard menatap wartawan yang memotret banyak tamu undangan yang masuk. “Mungkin.” Leonard mengambil tangan Ruby. Membawa tangan itu merangkul lengannya. Ruby berbalik—menatap dirinya di depan kaca mobil. “Sebentar…” Ruby merapikan rambutnya dengan gugup. Leonard merangkul pinggang Ruby dari samping. pria itu nampak tenang—sedikit tersenyum melihat tingkah
Melihat seorang pria yang tengah tersenyum kepadanya. Ruby mengernyit kecil. Ia tidak terlalu ingat siapa pria ini. Namun… Wajah pria ini tidak terlalu asing. Mungkin satu sekolah atau satu kelasnya. “Kau satu kelas denganku selama tiga tahun di SMA.” Pria itu mengulurkan tangannya. “Kalau tidak ingat akan aku ingatkan kembali.” Ruby menurunkan kue yang berada di tangannya. kemudian menjabat tangan pria itu. “Kau ketua kelas kan?” tanya Ruby. Pria itu mengangguk. “Aku Dario.” Ruby mengangguk. “Kau bersama siapa?” tanya Dario. Menatap Ruby dari atas hingga bawah. “Seingatku kau dulu…” tidak melanjutkan ucapannya. Ruby tersenyum pelan. “Tentu saja bersama suamiku,” jawabnya. Ini waktunya menyombong jika dirinya adalah istri Leonard. Leonard tidak malu memperkenalkan dirinya, untuk apa dia ragu memperkenalkan Leonard sebagai suaminya. Dario tersenyum miring. “Suami?” “Kau sudah menikah? tidak ada yang tahu kau sudah menikah. kau sungguh sudah menikah?” tany
Setelah Dario melepaskannya, Ruby segera berdiri dan mendekati Leonard. “Perkenalkan, suamiku.” Ruby menggandeng tangan Leonard. Dengan wajah yang sombong. Ruby mengangkat dagunya dengan percaya diri. Dario menatap Ruby lalu beralih menatap Leonard. “Aku suami Ruby,” ucap Leonard. “Jangan pernah mengganggu istriku.” Dario tertawa pelan. “Kau tidak salah?” tanyanya. “Kau mau menikah dengannya?” tanya Dario pada Leonard. “Kau tidak tahu dia seperti apa..” Ruby melotot. “Dasar tidak tahu malu..” Ruby menarik lengan Leonard. “Ayo pergi saja.” “Memangnya kenapa?” tanya Leonard. “Dia ini—” menunjuk Ruby. “Dari dulu dia ini menyedihkan. Dia tidak pernah bergaul dengan orang lain. dia juga—” “Lalu?” tanya Leonard. “Lalu kenapa?” “Dia bekerja untuk keluarganya. Meskipun dia bekerja dan tidak bergaul dengan siapapun dia tetap menjadi peringkat pertama.” Leonard menggenggam tangan Ruby. Jemari mereka saling bertaut. Menunjukkan bahwa hubungan mereka memang serius. “La
Leonard mendekat dan mencium bibir Ruby. Menarik pinggang istrinya itu dan membawanya ke atas pangkuannya. “Leonard—” Ruby mendongak. bibir Leonard sudah menghisap lehernya. “Jangan di sini!” Ruby menghentikan Leonard. “Jika menghentikanku. Harus ada imbalannya…” Leonard tersenyum miring. Ruby mengerjap. “Baiklah.” Mengangguk dengan mantap. Leonard tertawa. “Apa yang akan kau berikan padaku?” Ruby menyipitkan mata. “Apapun. Asal jangan di sini, di tempat terbuka..” “Oke.” Leonard mengusap pipi Ruby pelan. “Aku akan mengajakmu bersenang-senang.” Leonard mengusap bibir bawah Ruby pelan. Bersenang-senang yang dimaksud oleh Leonard adalah pergi ke klub Garry. Demi apapun, sebenarnya Ruby canggung pergi ke sini. Banyak rekan kerjanya di sini. dan juga…. Meskipun Garry teman suaminya, tapi Garry itu mantan bosnya. Rasanya sangat canggung. tapi Leonard setia menggenggam tangannya. Tidak membiarkannya sendiri. Mereka masuk ke klub. Membelah lautan manusia dan me
“Ana!” panggil Ruby pada rekan kerjanya itu. Wanita yang dipanggil itu berhenti. namun menatap Ruby dengan tidak suka. “Apa kau mengenalku? Apa kau temanku?” tanya Ana menegaskan. Ruby mengerjap. Ia tersenyum canggung. “Maaf aku tidak memberitahu apapun padamu. padahal kau selalu menghawatirkanku. Maafkan aku.” Anak berkacak pinggang. “Aku sangat mencemaskanmu. Saat wajahmu babak belur. Aku tidak berhenti melihatmu.” “Kau bilang kau baik-baik saja tapi setelah itu tidak masuk kerja. Sampai semua orang di sini mendengar jika kau menikah dengan teman bos Garry.” Ana menggeleng pelan. “Kita sudah bekerja beberapa bulan di sini tapi kau tidak menganggapku teman kan? Hanya aku yang mengganggapmu temanku?” “Pergilah. Hidupmu sekarang pasti sudah lebih baik.” “Tidak. aku juga mengganggpmu temanku…” ucapnya dengan ragu. “Tapi pernikahanku dilakukan tertutup jadi aku tidak bisa mengundang orang-orang.” “Tapi setidaknya beritahu aku kalau menikah dan kau berhenti bekerja.” Ana
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se