Lucas memeluk tubuh Lila. Tubuh mereka sama-sama telanjang di bawah selimut. Lucas menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya. “Kamu pasti sedang gelisah.” Lila memutar tubuhnya. Mendekatkan tubuhnya pada suaminya. “Kenapa tidak mencoba berbicara saja dengan Dad?” Lucas terdiam—kemudian tangannya meraba samping dan menyalakan satu lampu tidur. Ia memandang Lila—mengusap pipi istrinya itu perlahan. “Bagaimana bisa aku bicara dengannya setelah sekian lama.” Lila mengerucutkan bibirnya. “Kenapa? bukankah hal yang baik jika kalian berbicara setelah sekian lama?” Lucas menunduk—mengecup pipi Lila. “Aku…” Lila meraba tangan Lucas. sampai menyentuh leher pria itu dan mengusap rahang Lucas. “Aku juga memikirkan perkataan Mom Chelsea. Aku tidak menyuruh kamu memaafkan Dad ataupun menyuruh kamu melupakan kejadiak buruk itu. tetapi, aku ingi kamu mencoba melihat ketulusan Dad…” Terdiam. Hening. Tidak ada sahutan dari Lucas. Lila merasa lebih kawatir. Ia memel
“Pasti ibumu tidak pernah menceritakan hal itu. Ibumu pasti hanya bercerita hal-hal baik saja tentangku.” Paolo berdecih. “Aku sangat mencintainya. Tapi aku juga sibuk, aku terlalu berambisi pada hal-hal yang membuatku serakah. Itu juga salahku yang memberikan celah ibumu bisa berhubungan dengan pria lain.” “Atau mungkin dari dulu ibumu tidak pernah mencintaiku kembali.” “Atau hanya aku yang mencintainya…” Paolo menghembuskan napas. Kemudian kembali menyesap rokoknya. “Tidak. aku tahu Mom juga mencintai Dad. Dia sering menunggu Dad pulang.” Setelah mengatakan itu Lucas pergi mengambil botol wine. Membawa botol beserta dua gelas itu dan duduk di sofa Lucas menuangkan cairan itu ke gelas. “Apa tubuhmu sudah terlalu tua untuk menerima alkohol?” tanya Lucas. Paolo tertawa pelan. kemudian mengambil duduk di sofa samping Lucas. “Jika aku masih seperti dulu. satu tembakan sudah melayang di dadamu.” Paolo mengangkat gelasnya. Lucas mengedikkan bahu. “kau pikir aku hanya akan
“Kenapa?” tanya Lila. Lucas menarik Lila ke dalam kamar mereka. Lucas hanya diam dan memeluk Lila berbaring di atas ranjang mereka. Lila sendiri bingung dengan suaminya. Tapi ia tidak memaksa jika Lucas tidak ingin berbagi cerita dengannya. “Aku sudah berbicara dengan Dad.” Lucas bergumam. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya. “Tapi aku sulit memaafkannya.” Lucas memejamkan mata. “Tidak masalah..” balas Lila. “Jangan memaksa diri kamu sendiri. its okay…” Lucas mengangkat kepalanya. menatap wajah Lila yang begitu polos. Bagaimana bisa ia menyakiti wanita ini… Ia mengambil tangan Lila. Menggenggamnya perlahan. “Maafkan aku. Perbuatanku pasti sangat menyakitimu.” Lia meraba tangan Lucas. menggenggamnya juga. “Hm..” sembari mengangguk. Lucas menunduk dan mencium bibir Lila. Mengalunkan kedua tangannya di leher Lucas. Lucas melepaskan pangutan di bibir mereka. tangannya terulur mengusap dahi Lila… “Kamu ingin anak kita laki-laki atau perempuan?”
“Door!” Lila memejamkan mata dan menembak ke depan. Lucas yang berada di belakang sangat was-was. Takut kalau Lila mengerahkan seluruh kekuatan untuk melihat dan berakhir pingsan. Yang lebih membahayakan adalah anak mereka yang masih berada di perut. “Tidak terlalu buruk bukan?” tanya Lila. Lucas mengernyit. tembakan Lila melesat sangat jauh dari titik. Haruskah di sebut dengan tidak terlalu buruk? “Kenapa diam saja?” tanya Lila dengan kesal. “Tidak terlalu buruk kan? Masih mengenai papannya?” Lucas akhirnya mengangguk. “Hm. Tidak terlalu buruk. Masih lumayan.” Lila mengerucutkan bibirnya. “bohong.” Lucas mengerjap. “Bagaimana? aku mengatakannya dengan jujur.” Lila berdecak. Akhirnya ia berbalik dan mengambil duduk di kursi. Dengan bibir yang cemberut karena kesal. Lucas mendekat. “Mau mendapat skor yang sempurna?” “Bagaimana.” “Tentu saja dengan bantuanku.” Lila menyipitkan mata. “Kenapa tidak membantuku dari tadi? Kenapa hanya berada di belakangku?” Luc
Pertama kalinya… Lucas, Lila dan Leonard dilukis oleh pelukis profesional. Pelukis itu butuh waktu yang begitu lama untuk memaksimalkan hasil lukisannya. Bahkan Leonard dari yang semangat sampai tertidur. Lucas sendiri sudah lelah dengan punggungnya yang terasa begitu lelah. “selesai.” pelukis itu menunjukkan hasilnya pada Lucas. Persis. Sama persis seperti sebuah foto. Tidak heran, ia mengeluarkan uang yang begitu banyak untuk mendatangkan pelukis ini ke rumahnya. Hasilnya menang luar biasa. Mereka bertiga menggunakan pakaian formal. Dengan yang menggunakan setelah jas hitam dan putih. Lila dengan dress putih. Leonard yang menggunakan kemeja putih dan celana hitam. Lila tersenyum cerah dengan mata birunya yang indah. “Luar biasa. Aku akan menambah bayaranmu!” Lucas memberikan jempolnya dengan puas pada pelukis itu. Setelah mendapatkan bayaran yang diluar ekspektasi, pelukis itu pergi dengan hati yang gembira. Lucas menarik Lila agar duduk. “Mau melihatnya se
Beberapa bulan berlalu. Leonard sudah lumayan lancar berbicara. Bocah itu juga sangat aktif berjalan. Menginjak usia satu tahun setengah. Leonard tumbuh menjadi bocah yang sehat. Saat ini mereka sudah berada di paris dan menuju sebuah tempat untuk menghadiri upacara pernikahan Paolo dan Chelsea. Meski belum sepenuhnya percaya pada wanita itu, tapi Lucas tidak menghalangi hubungan mereka. Toh—ia tidak mengincar harta orang tuanya lagi. Hartanya semakin banyak dan menandingi milik Paolo. Semenjak kehadiran Lila di hidupnya, usahanya menjadi begitu lancar. Semuanya berjalan dengan sesuai rencananya. “Waaah…” Lila membuka matanya. “Semuanya nampak sangat indah.” Lucas mengangguk. “Bukankah si tua itu terlalu berlebihan? Ini pernikahan kedua tapi dirayakan begitu meriah?” “Mungkin saja, Dad sedang mengalami masa puber yang kedua.” Lila memeluk lengan Lucas dari samping. Sedangkan anak mereka yang berada di dalam gendongan Lucas malah diam saja. Mengamati orang sek
5 tahun berlalu. “Leonard Byron Francesco.” Lila berkacak pinggang. Tidak tahu apa yang dilakukan anaknya sekarang. Tapi ia yakin yang dilakukan Leonard adalah menjahili adiknya. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Lila sembari menyipitkan mata. “Kakak….” Panggil seorang anak perempuan yang kini tengah berlari ke arah ibunya. “Mama…” Laluna Aurora Francesco. Anak perempuan yang mempunyai status sebagai anak bungsu dari pasangan Lucas dan Lila. “Mama, kakak…” Luna menoleh ke belakang. Menunjuk kakaknya yang tersenyum. “Kakak mencoret Luna dengan bolpoin.” Menunjuk kakaknya dengan sengit. “Luna yang mulai lebih awal.” Leonard mendekat—mencubit pipi adiknya. “Tidak usah mengadu. Kita sama.” “Astaga…” Lila memejamkan mata. “Mama pusing kalian setiap hari bertengkar.” Lila meraba bahu anaknya sebelum mengambil tangan anak-anaknya. “Ayo ke kamar mandi. Wajah kalian pasti kotor.” Jarak usia mereka hanya dua tahun. Tapi mereka sering kali bertengkar. Leonard sebagai kak
“Leonard..” panggil Lila. “Dengarkan mama ya..” Lila mendudukkan anaknya di tepi ranjang. “Mama tahu, pasti sulit untuk berpura-pura tidak tahu dengan apa yang kamu lihat.” “Tapi—” Lila tersenyum. “Setiap orang pasti mengalami kejadian dan peristiwa sendiri. tidak semua orang bisa membaginya pada orang lain.” Leonard memandang ibunya. “Jadi mama ingin aku tidak usah mengatakan apa yang aku lihat?” “Hm seperti itu.” Lila mengangguk. Anaknya memang pintar dan cepat mengerti. “Apalagi yang kamu lihat itu hanya potongan-potongan kejadian. Kamu tidak tahu apakah kejadian itu buruk atau baik. karena hanya sebuah potongan yang tidak lengkap.” Lila mengambil tangan Leonard. “Kamu masih mengingat apa yang mama katakan?” “Misalnya kamu bertemu dengan orang asing, lalu kamu seperti akan melihat kejadian. Kamu segera alihkan pandangan kamu.” “Atau kamu pejamkan mata kamu. Kalau masih menganggu. Kamu segera pergi. jauhkan diri kamu dahulu. Tenangkan diri kamu.” “T
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se