“Hai, Savanah! Heran ya kenapa aku memakai gaun pengantin juga?” tanya Milka dengan senyum manis ketika mereka bertemu tatap di depan pintu gereja.
Savanah mengangguk dengan kepala penuh pertanyaan.
Sepupunya itu pun kembali mengembangkan senyum dan memutar tubuhnya seakan memamerkan gaun pengantinnya yang berkilauan.
“Karena aku akan menikah hari ini!” sahutnya lagi dengan suara yang terdengar begitu riang.
Savanah terhenyak. Milka akan menikah? Di hari yang sama dengan pernikahannya dengan Moreno? Kenapa mendadak seperti ini?
Karena bisu dan Milka tidak mengerti bahasa isyarat, Savanah pun menggerakkan jarinya dengan sederhana, bertanya, “Kau akan menikah dengan siapa?”
Senyum centil Milka mengembang semakin lebar dengan sepasang matanya memutar genit. Ketika dilihatnya Moreno muncul dari sudut ruangan, Milka cepat memanggil pria itu agar datang padanya.
Savanah semakin heran dengan rasa hati yang mulai berfirasat tak enak.
‘Kenapa Milka memanggil Moreno? Moreno kan calon suamiku?’
‘Ah, mungkin Milka hanya ingin berbagi kabar bahagianya denganku sekalian juga dengan Moreno.’
Savanah tetap berusaha mengatur pikirannya tetap positif.
Hanya saja, ketika Moreno telah tiba di dekat mereka, pria itu malah bergeser ke sisi Milka dan membiarkan tangan Milka bergelanyut di lengannya.
“Maaf ya, Sav, tapi aku akan menikah dengan Moreno.”
Savanah terhenyak lagi.
Milka menikah dengan Moreno? Bagaimana bisa? Tatapan Savanah yang sengit pada Moreno menuntut jawaban.
Namun, Moreno hanya menunduk menghindari tatapan Savanah.
“Ehm! Benar apa yang dikatakan Milka. Keluarga besarku masih sulit menerima kekuranganmu sehingga mereka pun memberikan syarat, jika aku masih ingin menjadi bagian keluarga Dyazz, aku harus menikah dengan wanita yang tanpa cacat satu pun.
Karena itulah, aku pun memilih Milka daripada ditendang dari bagian keluarga Dyazz.
Kau tahu kan arti keluarga Dyazz bagi diriku ini?”
Savanah semakin ternganga. 'Aku wanita cacat?'
Hati Savanah seperti ditusuk belati saat mendengarnya. Dia sungguh tak menyangka jika kebisuannya dianggap sebagai suatu kecacatan.
Padahal bisu ini didapatnya karena kecelakaan.
Sungguh terlalu jahat kata-kata Moreno!
Selagi mengatur emosi yang begitu menyesakkan dalam dadanya, Savanah tiba-tiba mendengar deru mobil yang begitu kencang lewat dan mengerem mendadak di depan halaman gereja.
Sesosok pria bertubuh tinggi besar turun dengan melompat dari Jeep-nya lalu dengan wajahnya yang menahan kemarahan pria itu berjalan cepat menuju Moreno.
Tanpa sepatah katapun, pria yang dikenali Savanah sebagai Storm, kakak tiri Moreno, langsung melayangkan tinjunya pada Moreno.
“Sialan kau! Kau membunuh anjingku! Kau biadab!”
Setelah meninju, Storm menarik lagi kerah jas Moreno agar dia bangkit kembali hanya untuk ditinju lagi.
“Kau tidak berperikemanusiaan! Kau lebih rendah dari Rufus!” ujarnya lagi.
Kericuhan itu mencuri perhatian seketika itu juga. Ibunya Moreno sampai berteriak-teriak dan dalam sekejap security pun sudah dipanggil untuk menenangkan mereka.
“Dasar sialan! Anak haram! Untuk apa kau datang ke sini? Kau tidak diundang! Kau tidak diterima! Jangan mengacau di pernikahan putraku!”
“Diam! Aku datang untuk membalas kematian Rufus!”
“Hah! Anjingmu itu merusak taman bungaku!”
“Merusak taman bungamu?! Hah! Dia itu anjing terlatih, tidak pernah sekalipun dia mendatangi kawasan kalian! Lagipula, dia mati karena peluru di pekarangan rumahku! Kalau bukan kalian menembaknya, siapa lagi?!”
Suasana jadi semakin ricuh karena Storm lagi-lagi mengincar Moreno yang baru juga bangkit berdiri dibantu oleh Milka sebagai tempat pelampiasan kemarahannya.
Security pun dipanggil dan diminta untuk menahan Storm.
Mereka menangkap tubuh Storm yang berusaha meraih Moreno lagi untuk meninjunya lagi.
Storm semakin marah tapi dengan mudahnya dia melepaskan diri dari cekalan tangan-tangan security dan memelototi mereka satu per satu.
Di saat itulah, tatapan Storm tanpa sengaja terpaku pada Milka dan Savanah bergantian.
Rasa penasarannya pun timbul.
“Kenapa dia memakai gaun pengantin?” tanyanya terheran-heran dengan kemarahan yang masih tertera kental di wajahnya.
Kesal karena Storm memukuli Moreno, Milka menjawab lantang dengan dagu terangkat tinggi, “Karena aku yang akan menikah dengan Moreno!”
“Apa?” Storm memandangi Savanah lagi. “Lalu kau?”
Savanah tak sanggup menjawab. Selain karena Storm tidak mengerti bahasa jarinya, dia juga tak sanggup menjelaskan tentang dirinya yang sebentar lagi akan menjadi pengantin yang ditinggalkan.
Tapi lagi-lagi, suara lantang Milka terdengar penuh percaya diri. “Savanah ya tentu saja akan pulang. Moreno dan seluruh keluarga Dyazz sudah memilihku daripada dia yang bisu!”
Hati Savanah kembali perih mendengar kata-kata itu.
Milka sepupunya, kenapa tega berkata begitu? Lagipula, tidakkah dia sadar dirinya memang bisu, tapi tidak tuli?
Berusaha keras agar bulir bening di pelupuk matanya tidak jatuh ke pipi, Savanah terperangah melihat Storm yang wajahnya malah terlihat geram ingin mencabik-cabik Milka.
Pria itu seperti hendak meledak dan menyemburkan kemarahan yang teramat dahsyat. Seperti gunung berapi yang siap meletus.
Ketika pria itu mengalihkan tatap ke Moreno, Storm pun melanjutkan lagi aksinya melampiaskan kemarahan pada Moreno.
Dia mencengkeram kerah Moreno dan berdesis di depannya, “Bagaimana kau bisa seegois ini pada Savanah, hah?! Kalau memang akhirnya begini, seharusnya kau tidak perlu merencanakan pernikahan ini dengannya!”
Storm melepas Moreno dengan dorongan kuat hingga Moreno terjatuh lagi ke lantai.
Savanah begitu tak menyangka bahwa Storm menjadi satu-satunya orang yang membelanya saat ini.
Dipandanginya terus wajah Storm yang masih menyorot marah pada Moreno. Bagaimana bisa Storm mengatakan semua hal tadi?
Jujur saja, Savanah cukup tersentuh.
Namun suara menggelegar ibunya Moreno mengalihkan perhatian Savanah. Petir kilat yang lain kembali menyambar hatinya saat mendengar ibunya Moreno menghardik Storm dengan sengitnya,
“Kalau kau begitu peduli padanya, kenapa tidak kau saja yang menikahi Savanah? Lagipula, kalian sebenarnya sangat cocok, dia bisu dan kau berandalan pengangguran. Kalian pasangan serasi!”
Savanah terhenyak. Dia tak menyangka ibu Moreno sanggup berkata seperti itu tentangnya.
Padahal, ibu Moreno dan ibunya adalah dua teman baik.
Dengan hati yang semakin hancur, Savanah pun membalik tubuhnya. Dia sudah memutuskan lebih baik pulang saja sebagai pengantin yang dibuang, daripada dia mengemis pada Moreno untuk tetap menikahinya.
Dia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Savanah hanya berbalik dan mulai melangkah.
Tapi tiba-tiba saja, terasa tangan Storm menahannya.
Ketika tatapannya mengarah ke wajah Storm, dilihatnya pria itu berkata dengan mantap dan penuh kesungguhan, “Aku tidak akan membiarkanmu menjadi pengantin yang dibuang. Aku yang akan menikahimu, Savanah!”
Savanah makin terhenyak. Storm bersedia menikahinya? Savanah memang cukup mengenal Storm karena pria itu adalah kakak tiri Moreno. Tapi hanya itu saja. Mereka tidak pernah berinteraksi sebelum ini. Masalah lainnya lagi, Storm Schaeffer tidak terkenal karena prestasinya, tapi karena wataknya yang meledak-ledak. Menyinggung seorang Storm sama dengan menawarkan diri menjadi samsak bagi pria itu. Bahkan saat ini pun, Savanah bisa melihat bagaimana tampilan Storm sangat cocok dengan julukan yang disematkan padanya. Berandalan. Tubuh Storm yang tinggi dan kekar ditunjang dengan wajahnya yang memetakan kekerasan hati. Dengan rambut setengah gondrong, serta kemeja lengan panjang yang bagian lengan digulung sampai siku, tapi dikenakannya tanpa dimasukkan ke dalam celana jeans-nya, Storm jauh dari kata rapi. Apalagi saat Savanah menatap bagian depan kemejanya. Tiga kancing bagian dadanya dibiarkan terbuka begitu saja. Tidak bisakah dia merapikan dirinya dulu sebelum datang ke tempat sepe
“Kau lihat tadi? Pengantin wanitanya diganti. Si bisu malah menikah dengan putra haram Braxton Dyazz yang berandalan dan pengangguran. Sungguh kasihan!” “Ya, kau benar. Tapi dari dulu aku sudah tak percaya jika Miranda akan benar-benar merestui putra satu-satunya menikah dengan Savanah yang bisu. Kau tahu kan, Moreno itu ahli waris mereka.” “Ck! Tentulah, seorang Miranda mana mungkin menerima menantu cacat seperti itu. Aku tidak terlalu terkejut saat tadi melihat Savanah malah menikah dengan si pengangguran yang berandal itu. Mereka memang pasangan yang cocok.” Savanah terhenyak ketika sayup-sayup mendengar bisik-bisik orang-orang itu. Hatinya kembali tergores ketika dia disebut sebagai si bisu, lalu dianggap cocok menjadi istri dari Storm hanya karena Storm berandalan dan pengangguran. Begitu pun sebaliknya. "Astaga mulut mereka itu, benar-benar ya?!" Brianna, rekan kerja Savanah di Paradise Cakery, sebuah toko kue terbesar dan paling terkenal di kota mereka, tiba-tiba saja sud
“Aku tinggal di rumah reyot ini. Maaf kalau tempatnya berantakan. Aku sungguh tidak menduga jika hari ini aku akan menikah.” Sepulang dari prosesi pernikahan, Storm membawa Savanah melintasi jalanan yang mengarah ke mansion utama keluarga Dyazz. Sepanjang jalan, Savanah sempat gelisah mengira Storm pun tinggal di mansion keluarga Dyazz. Tapi ternyata, sebelum mencapai mansion keluarga Dyazz, Storm membelokkan mobilnya menuju perkebunan terbengkalai dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang disebutnya rumah reyot. Savanah merayapkan tatapannya pada rumah kayu di hadapannya. Memang tampak sederhana, tapi baginya tidak reyot sama sekali. Bisa dia lihat bahwa rumah itu terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik. Susunan kayu yang terpasang sangat teratur dan rapi. Savanah bisa melihat teknik pembangunan rumah yang bukan asal-asalan. Tiba-tiba saja ekor gaunnya terasa ringan. Ternyata Storm sudah berada di belakangnya dan mengangkat ekor gaunnya agar dia bisa melangkah lebih mudah.
Langit sudah berwarna keoranyean ketika Savanah melintasi jalan setapak dari pekarangan rumah Storm hingga ke teras belakang mansion keluarga Dyazz. Angin malam yang dingin pun mulai membelai kulit Savanah dan meninggalkan jejak dingin yang cukup menusuk. Beruntung jalan setapak yang dilalui Savanah berupa tanah yang kering dan solid. Ketika akhirnya Savanah tiba di teras belakang mansion keluarga Dyazz, langit sudah semakin temaram. Penerangan kini mengandalkan sinar rembulan, lampu taman, serta lampu teras. Savanah sudah menunggu lagi selama lima menit dengan berjalan pelan, bolak balik di teras belakang mansion keluarga Dyazz. Tunggu ditunggu, Milka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. 'Ke mana sih Milka? Dia yang mengajak bertemu tapi tidak muncul-muncul?' Menyesal rasanya karena Savanah meninggalkan ponsel di rumah. Tadinya dia berpikir dia sudah membalas dengan ‘Oke’ pada ajakan bertemu dari Milka. Seharusnya balasannya itu cukup membuat Milka menunggu di titik pertem
Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja. Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya: [Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.] Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!” Suara Storm masih terdengar gusar. Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung. Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ... Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?] “Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!” Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.] “Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!” Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia m
Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah. ‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’ Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu. Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. Dia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.” ‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’ Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak. Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butu
Dua pelayan yang membukakan pintu terlihat kocar kacir berlari ke dalam untuk melakukan apa yang Storm katakan. Savanah melihat mereka berdua dan merasa kasihan. Dua pelayan itu tampak ketakutan karena gertakan Storm. Savanah jadi melirik Storm lagi. Ingin melihat reaksi pria itu. Tapi Storm terlihat amat serius. Savanah pun ikut merasa gugup dan cemas. Dia sungguh tak menyangka permintaannya mengambilkan koper dilaksanakan Storm dengan cara sebrutal ini. “Aduh! Apa yang kau lakukan? Kenapa lari seperti dikejar setan? Jalan yang benar!” Auman marah dari dalam rumah terdengar. Itu suara Moreno! Deg! Jantung Savanah berdetak dua kali lebih kencang ketika mendengar suara Moreno. Dia gugup, karena dia kini datang bersama Storm. Lalu, terlihat olehnya, Moreno menoleh dan mendapati dirinya bersama Storm. Wajah pria itu, yang tadinya marah pada pelayan, kini tampak terbelalak. “Hei! Ada apa kau ke sini, huh?!” teriaknya marah pada Storm. Savanah kembali terkejut. Kenapa mereka lan
Ketika tiba kembali di kamar mereka, Savanah sudah merasa lelah dan teramat mengantuk. Rasanya sekali menyentuh kasur, dia akan langsung terlelap begitu saja. Savanah merapikan sebentar isi kopernya, mengeluarkan baju kerjanya, lalu mengecas ponselnya. Setelah itu, barulah dia menuju tempat tidur. Savanah sempat mengungkapkan pada Storm untuk tidur di tempat tidur, tapi selalu pria itu menjawabnya bahwa lebih baik dia di sofa saja. Savanah menghela napasnya. Entah dia harus merasa lega karena tak terbebani malam pengantin yang dia sendiri belum siap, atau dia harus berpikiran bahwa Storm benar-benar tidak tertarik padanya. Tapi jika Storm tidak tertarik padanya sedikit pun, kenapa pria itu mau menikahinya? Apakah Storm murni hanya ingin menolongnya saja di saat Moreno membuangnya karena bisu? Fiuuuh, entahlah. Savanah merasa tidak ingin memikirkannya lagi. Semakin dia pikirkan, semakin dia penasaran, tapi juga rasa insecure nya pun makin bertambah. 'Bagaimana jika storm menika
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e