Savanah makin terhenyak.
Storm bersedia menikahinya?
Savanah memang cukup mengenal Storm karena pria itu adalah kakak tiri Moreno.
Tapi hanya itu saja. Mereka tidak pernah berinteraksi sebelum ini.
Masalah lainnya lagi, Storm Schaeffer tidak terkenal karena prestasinya, tapi karena wataknya yang meledak-ledak. Menyinggung seorang Storm sama dengan menawarkan diri menjadi samsak bagi pria itu.
Bahkan saat ini pun, Savanah bisa melihat bagaimana tampilan Storm sangat cocok dengan julukan yang disematkan padanya. Berandalan.
Tubuh Storm yang tinggi dan kekar ditunjang dengan wajahnya yang memetakan kekerasan hati. Dengan rambut setengah gondrong, serta kemeja lengan panjang yang bagian lengan digulung sampai siku, tapi dikenakannya tanpa dimasukkan ke dalam celana jeans-nya, Storm jauh dari kata rapi.
Apalagi saat Savanah menatap bagian depan kemejanya. Tiga kancing bagian dadanya dibiarkan terbuka begitu saja.
Tidak bisakah dia merapikan dirinya dulu sebelum datang ke tempat seperti ini?
Meski begitu, Storm yang berandal bukanlah hal yang paling meresahkan, melainkan statusnya yang pengangguran.
Dia berandal, juga pengangguran. Kehidupan macam apa yang bisa didapatkannya dari menikahi pria seperti itu?
Memikirkan itu saja sudah membuat Savanah resah bukan main.
Namun, sudut benaknya tiba-tiba mengingatkannya akan satu hal.
Dia sendiri bukanlah wanita sempurna. Dan dia baru saja merasakan sakitnya direndahkan ibunya Moreno. Lantas, kenapa kini dia malah merendahkan Storm di dalam pikirannya.
Savanah tiba-tiba merasa malu pada dirinya sendiri.
Dia sampai tak kunjung meraih uluran tangan Storm yang sedari tadi menunggu Savanah untuk menyambutnya.
“Sudah, terima saja, Sav! Daripada kau tidak jadi menikah, itu bisa bad luck lho! Berita ini akan tersiar dengan cepat. Lalu, lelaki mana lagi yang akan bersedia mempersuntingmu? Namamu sudah pasti rusak setelah ini!”
Kata-kata Milka berhasil membuat Savanah tersadar dari perenungannya dan mendelik tajam padanya.
Milka sepupunya, kenapa tiba-tiba menjadi sejahat padanya?
Semua ini demi Moreno kah? Atau demi status sosial yang bisa dia dapatkan dari menjadi bagian dari keluarga Dyazz?
Andai dia bisa bicara, Savanah sudah pasti akan membalas kata-kata jahat Milka.
Meskipun demikian, saat ini pun rasanya Savanah ingin sekali mencekik leher Milka dan melihatnya megap-megap kehabisan napas. Jika sudah begitu, masihkah dia bisa berbicara seburuk tadi?
Gejolak kemarahan itu semakin melilit sekujur tubuhnya sampain-sampai dia tak menyadari saat tubuhnya ditarik menjauh dari kerumunan keluarga Moreno.
Ternyata Storm-lah yang menariknya dan setelah cukup jauh, pria itu tiba-tiba menggenggam tangannya dan berbisik hangat padanya,
“Menikahlah denganku.
Aku akan sungguh-sungguh mengasihimu sebagai istriku. Aku juga akan mencukupkan segala kebutuhan hidupmu. Dan aku berjanji akan memastikan tidak ada satu orang pun yang berani merendahkanmu.
Menikahlah denganku, Sav.”
***
Pada akhirnya Savanah menerima Storm dan pernikahan berlangsung bersamaan dengan Moreno dan Milka juga.
Sulit untuk tidak membuat tamu terkejut akan pernikahan mereka apalagi jika pasangan yang awalnya Moreno dan Savanah, kini menjadi Moreno-Milka, lalu Storm-Savanah.
Ketika upacara pernikahan telah selesai pun Savanah masih bisa merasakan lirikan para tamu mengandung keheranan yang mendalam terhadapnya. Lalu mereka akan berbisik-bisik.
Sudah pasti dia-lah yang menjadi bahan pergunjingan.
Savanah sebenarnya tidak terlalu peduli pada semua pergunjingan itu. Toh semua itu sudah berlangsung dua tahun lamanya sejak dia kecelakaan dan menjadi sulit bicara.
Savanah sudah biasa.
Hanya saja, ketika Milka lagi-lagi bersuara, Savanah tak bisa menahan lagi gejolak kemarahan di dalam dadanya.
“Fiuuuh ... akhirnya dia mau juga menerima kakak tirimu itu, Beib. Dengan demikian, kau tidak perlu dicap sebagai penjahat hanya karena membuang wanita cacat sepertinya demi masa depanmu.”
Langkah Savanah terhenti seketika itu juga dan dia berbalik hendak menarik tatanan rambut Milka. Kata-kata Milka begitu menyakitinya hingga Savanah siap untuk menjadi tontonan orang banyak saat itu juga.
Tapi Storm yang berada di sampingnya, sigap menahan tubuh Savanah dan menuntunnya menjauh dari Milka.
“Tidak perlu dengarkan dia, Sav! Biarkan saja dia kali ini.
Ada waktunya nanti kita akan membalas mereka semua!”
Savanah menatap heran pada sepasang mata Storm yang tampak menyorot tajam. Hatinya pun bertanya-tanya, 'Kita? Membalas? Bagaimana caranya?'
Savanah masih dipenuhi keraguan dan tanda tanya besar karena beranggapan tidak memiliki apapun untuk membalas Milka dan keluarga Moreno. Namun usapan lembut pada sisi pinggangnya membuat Savanah menoleh pada Storm.
Tepat saat pandangan mereka saling beradu, Storm berbisik meyakinkannya, “Percayalah padaku, Sav. Kita akan menghempas mereka. Beri aku sedikit waktu lalu kita akan membalas setiap penghinaan mereka padamu!”
“Kau lihat tadi? Pengantin wanitanya diganti. Si bisu malah menikah dengan putra haram Braxton Dyazz yang berandalan dan pengangguran. Sungguh kasihan!” “Ya, kau benar. Tapi dari dulu aku sudah tak percaya jika Miranda akan benar-benar merestui putra satu-satunya menikah dengan Savanah yang bisu. Kau tahu kan, Moreno itu ahli waris mereka.” “Ck! Tentulah, seorang Miranda mana mungkin menerima menantu cacat seperti itu. Aku tidak terlalu terkejut saat tadi melihat Savanah malah menikah dengan si pengangguran yang berandal itu. Mereka memang pasangan yang cocok.” Savanah terhenyak ketika sayup-sayup mendengar bisik-bisik orang-orang itu. Hatinya kembali tergores ketika dia disebut sebagai si bisu, lalu dianggap cocok menjadi istri dari Storm hanya karena Storm berandalan dan pengangguran. Begitu pun sebaliknya. "Astaga mulut mereka itu, benar-benar ya?!" Brianna, rekan kerja Savanah di Paradise Cakery, sebuah toko kue terbesar dan paling terkenal di kota mereka, tiba-tiba saja sud
“Aku tinggal di rumah reyot ini. Maaf kalau tempatnya berantakan. Aku sungguh tidak menduga jika hari ini aku akan menikah.” Sepulang dari prosesi pernikahan, Storm membawa Savanah melintasi jalanan yang mengarah ke mansion utama keluarga Dyazz. Sepanjang jalan, Savanah sempat gelisah mengira Storm pun tinggal di mansion keluarga Dyazz. Tapi ternyata, sebelum mencapai mansion keluarga Dyazz, Storm membelokkan mobilnya menuju perkebunan terbengkalai dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang disebutnya rumah reyot. Savanah merayapkan tatapannya pada rumah kayu di hadapannya. Memang tampak sederhana, tapi baginya tidak reyot sama sekali. Bisa dia lihat bahwa rumah itu terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik. Susunan kayu yang terpasang sangat teratur dan rapi. Savanah bisa melihat teknik pembangunan rumah yang bukan asal-asalan. Tiba-tiba saja ekor gaunnya terasa ringan. Ternyata Storm sudah berada di belakangnya dan mengangkat ekor gaunnya agar dia bisa melangkah lebih mudah.
Langit sudah berwarna keoranyean ketika Savanah melintasi jalan setapak dari pekarangan rumah Storm hingga ke teras belakang mansion keluarga Dyazz. Angin malam yang dingin pun mulai membelai kulit Savanah dan meninggalkan jejak dingin yang cukup menusuk. Beruntung jalan setapak yang dilalui Savanah berupa tanah yang kering dan solid. Ketika akhirnya Savanah tiba di teras belakang mansion keluarga Dyazz, langit sudah semakin temaram. Penerangan kini mengandalkan sinar rembulan, lampu taman, serta lampu teras. Savanah sudah menunggu lagi selama lima menit dengan berjalan pelan, bolak balik di teras belakang mansion keluarga Dyazz. Tunggu ditunggu, Milka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. 'Ke mana sih Milka? Dia yang mengajak bertemu tapi tidak muncul-muncul?' Menyesal rasanya karena Savanah meninggalkan ponsel di rumah. Tadinya dia berpikir dia sudah membalas dengan ‘Oke’ pada ajakan bertemu dari Milka. Seharusnya balasannya itu cukup membuat Milka menunggu di titik pertem
Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja. Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya: [Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.] Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!” Suara Storm masih terdengar gusar. Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung. Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ... Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?] “Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!” Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.] “Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!” Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia m
Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah. ‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’ Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu. Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. Dia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.” ‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’ Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak. Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butu
Dua pelayan yang membukakan pintu terlihat kocar kacir berlari ke dalam untuk melakukan apa yang Storm katakan. Savanah melihat mereka berdua dan merasa kasihan. Dua pelayan itu tampak ketakutan karena gertakan Storm. Savanah jadi melirik Storm lagi. Ingin melihat reaksi pria itu. Tapi Storm terlihat amat serius. Savanah pun ikut merasa gugup dan cemas. Dia sungguh tak menyangka permintaannya mengambilkan koper dilaksanakan Storm dengan cara sebrutal ini. “Aduh! Apa yang kau lakukan? Kenapa lari seperti dikejar setan? Jalan yang benar!” Auman marah dari dalam rumah terdengar. Itu suara Moreno! Deg! Jantung Savanah berdetak dua kali lebih kencang ketika mendengar suara Moreno. Dia gugup, karena dia kini datang bersama Storm. Lalu, terlihat olehnya, Moreno menoleh dan mendapati dirinya bersama Storm. Wajah pria itu, yang tadinya marah pada pelayan, kini tampak terbelalak. “Hei! Ada apa kau ke sini, huh?!” teriaknya marah pada Storm. Savanah kembali terkejut. Kenapa mereka lan
Ketika tiba kembali di kamar mereka, Savanah sudah merasa lelah dan teramat mengantuk. Rasanya sekali menyentuh kasur, dia akan langsung terlelap begitu saja. Savanah merapikan sebentar isi kopernya, mengeluarkan baju kerjanya, lalu mengecas ponselnya. Setelah itu, barulah dia menuju tempat tidur. Savanah sempat mengungkapkan pada Storm untuk tidur di tempat tidur, tapi selalu pria itu menjawabnya bahwa lebih baik dia di sofa saja. Savanah menghela napasnya. Entah dia harus merasa lega karena tak terbebani malam pengantin yang dia sendiri belum siap, atau dia harus berpikiran bahwa Storm benar-benar tidak tertarik padanya. Tapi jika Storm tidak tertarik padanya sedikit pun, kenapa pria itu mau menikahinya? Apakah Storm murni hanya ingin menolongnya saja di saat Moreno membuangnya karena bisu? Fiuuuh, entahlah. Savanah merasa tidak ingin memikirkannya lagi. Semakin dia pikirkan, semakin dia penasaran, tapi juga rasa insecure nya pun makin bertambah. 'Bagaimana jika storm menika
“Kenapa kau menganga seperti itu? Kalau ada lebah lewat, mereka bisa masuk berombongan lalu membuat sarang di amandelmu!” kata Storm yang sontak langsung membuat Savanah mengatupkan mulutnya. Wajahnya langsung merah padam mendengar kata-kata Storm. Pria itu menganggap mulutnya sarang bagi lebah? Hm, sedikit keterlaluan! Savanah menahan rasa malunya dengan mengetik di ponsel: [Aku mencarimu di dalam rumah, tapi kau tidak ada. Ternyata kau di sini.] Storm membaca dengan cepat di dalam hatinya, lalu mengangguk. “Iya. Setiap pagi aku di sini. Olahraga. Hmm ...” Pria itu lalu mengamati penampilan Savanah dari atas sampai bawah, lalu berkata lagi, “kau mau pergi kerja?” Savanah mengangguk. “Biar kuantar. Aku mandi sebentar. Tidak akan lama.” Savanah ingin bertanya lagi, tapi Storm sudah melesat masuk ke dalam rumah. “Ada pancake di atas meja. Kau bisa memakannya sambil menungguku!” serunya lagi ketika dia melewati pintu rumah. Savanah pun tersenyum sambil melihat tingkah Storm yang
“Sekolah yang baik, ya!” Storm memeluk satu per satu anak-anak ketika mengantarkan mereka ke gerbang sekolah.“Dah, Daddy, dah Mommy! Dah Aspen! See you all!”Sky dan River menyahut ceria karena hari ini mereka diantar sekolah oleh daddy dan mommy bersama-sama. Rasanya senang sekali.Setelah kedua bocah itu tak terlihat lagi dari depan gerbang sekolah, Storm pun merangkul Savanah menuju mobil.Aspen berada di genggaman tangan Savanah.“Kita akan ke rumah baru. Oliver menunggu di sana.”Savanah mengangguk lalu tersenyum.Dengan mengikuti share loc dari Oliver, Storm melajukan mobilnya.Mereka berhenti di depan sebuah perumahan mewah yang memiliki keamanan tingkat tinggi di sana.Security terlihat berjaga di depan pos perumahan.Dan Oliver sudah menunggu di sana dengan mobilnya.“Ini bos saya,” kata Oliver pada security di sana.Mereka mengangguk lalu mempersilakan mobil Storm lewat.Savanah menatap kagum pada tempat itu. Setiap rumah yang mereka lewati terdapat beberapa lantai dan sang
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su