Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja.
Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya:
[Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.]
Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!”
Suara Storm masih terdengar gusar.
Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung.
Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ...
Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?]
“Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!”
Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.]
“Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!”
Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia merasa dibela seperti ini.
Walaupun dia tidak mengerti apa sebenarnya rencana Storm dan bagaimana Storm yang pengangguran akan mampu membalas keluarga Dyazz, tapi mendengar ucapan Storm ini tak dapat dipungkiri hati Savanah menghangat.
***
Ketika Savanah pun akhirnya selesai menyantap hidangan makan malamnya, Storm baru bangkit dan mengumpulkan piring-piring kotor ke wastafel.
Savanah gegas mengikuti untuk membantunya mencuci piring, tapi pria itu melarangnya. Dia menyuruh Savanah untuk menunggu di kamar saja.
Savanah pun pergi ke kamar. Begitu dia duduk di tepian ranjang, ponselnya berbunyi dan ternyata itu adalah pesan dari ibunya.
Savanah membalas pesan dari ibunya yang menanyakan bagaimana keadaannya?
Savanah membalas dengan ‘baik’ tanpa menceritakan bagaimana keadaan rumah Storm.
Baginya, keadaam rumah Storm lebih dari cukup untuknya. Yang terpenting lagi, pria itu ternyata sangat baik dan sangat memikirkan kenyamanannya.
Itu saja sudah membuat Savanah sangat bersyukur atas Storm.
Selesai berkirim pesan dengan ibunya, Savanah baru teringat bahwa besok dia harus masuk kerja sedangkan seluruh pakaiannya masih di koper dan koper miliknya berada di mansion keluarga Dyazz.
'Bagaimana ini? Tidak mungkin aku ke sana malam begini. Haduh! Kenapa aku melupakan koper ini sedari tadi?'
Tak mendapatkan jalan keluar, Savanah pun menghubungi Brianna.
Savanah: [Bri, bisakah besok saat ke cake shop kau membawakanku satu setel pakaian kerja? Koperku ada di rumah Moreno. Aku baru ingat sekarang.]
Jawaban dari sahabatnya itu datang dengan cepat.
Brianna: [Tentu saja! Aku akan membawakan satu setel untuk kau pakai. Tapi ngomong-ngomong, kalau kopermu dan seluruh bajumu ada di rumah mereka, lalu apa yang kau kenakan sekarang?
Tidak mungkin kau masih memakai gaun pengantinmu, kan? Atau jangan-jangan kau ... tidak memakai sehelai benang pun, dan sekarang masih di dalam selimut karena habis ehem-ehem?]
Brianna bahkan menambahkan emoticon tertawa lebar di akhir pesannya kepada Savanah itu.
Senyum masam menghias wajah Savanah.
Dia membalas dengan cepat.
Savanah: [Hei, jangan berpikiran kotor! Aku terpaksa meminjam baju Storm.]
Brianna: [Wow! Sungguh kalian pasangan yang romantis! Baru sah menikah sudah saling bertukaran baju.
Hmm, aku membayangkan kau mengenakan kemejanya yang kepanjangan lalu kau hanya mengenakan celana dalam saja dan pinggulmu saja tercetak jelas di bahan tipis kemeja putih milik Storm.
Dia mungkin bisa menerawang celana dalammu, Sav! Lalu ... kau memakai yang berenda atau polosan? Aku sarankan pakai yang tali tipis saja! Hahahaha.]
Savanah: [Hentikan khayalan kotormu, Bri! Yang kukenakan adalah kaos oblong. Tidak bisa diterawang. Panjangnya saja sampai ke lututku!]
Balasan dari Brianna kemudian hanyalah berubah emoticon tertawa lebar berderet sampai lima.
Setelahnya pesan baru lagi muncul.
[Ya, pokoknya kalau nanti kau sudah unboxing, kau harus menceritakannya padaku. Lengkap dan detil! Hahahha.]
Savanah pun tersenyum masam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya membaca pesan dari Briana yang tak jauh-jauh dari hal messum.
Lalu tiba-tiba saja terlihat baterai ponselnya yang sudah kritis. Savanah pun menghela napasnya lagi. Sekarang ada masalah baru lagi. Charger ponselnya pun ada di koper bajunya.
Pada akhirnya, Savanah meletakkan ponselnya di atas nakas sambil memikirkan bagaimana cara mengambil koper itu malam-malam begini.
'Kalau aku meminta tolong pada Storm, apa mungkin dia mau mengambilkannya? Dia sendiri saja sepertinya tak sudi menginjakkan kakinya ke mansion ayahnya itu. Bagaimana aku bisa meminta tolong padanya?'
Sedang berpikir keras, tiba-tiba saja terdengar bunyi derit pintu kamar. Begitu Savanah menoleh, Storm sudah berdiri menjulang tinggi di sana.
Tatapan Storm tertuju pada Savanah, begitu lekat, begitu mengikat dan seakan memakunya di sana.
Deg!
Jantung Savanah sampai meloncat kencang seketika itu juga. Semua karena tatapan Storm yang begitu menghipnotisnya.
'Ken- kenapa dia menatapku begitu?' tanya Savanah dalam hatinya.
Belum juga mendapatkan jawaban atas pertanyaan sederhananya itu, terlihat Storm sudah mulai melangkah ke arah tempat tidur. Lebih tepatnya, ke arah dirinya.
Tak ayal, jantung Savanah berdetak semakin kencang yang juga diiringi desiran aneh merambati sekujur tubuh lewat pembuluh darahnya.
Lalu ketika Storm mulai mencapai tempat dimana dirinya berada, Savanah baru teringat bahwa malam ini adalah ... malam pengantin mereka.
Savanah tiba-tiba merasa gugup. Jari jemarinya saling meremas di atas pangkuannya.
'Ja- jangan-jangan Storm ingin mengeklaim hak-nya sekarang juga? Aduh, bagaimana ini? Hati, pikiran, dan tubuhku sungguh belum siap!'
Savanah tiba-tiba merasa gugup. Jari jemarinya saling meremas di atas pangkuannya.
Pandangan matanya juga berkeliling kamar karena dia terlalu gugup untuk menatap ke arah Storm.
Sementara itu, Storm terus saja maju, mengamati Savanah dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Jari jemarinya yang saling meremas tertangkap pengamatan Storm membuat pria itu menyadari bahwa Savanah merasa cemas dan gugup.
Mungkinkah Savanah gugup karena ini adalah malam pengantin mereka?
Memikirkan itu, Storm pun berhenti tak jauh dari Savanah.
“Aku pikir kau sudah tidur.” Suara Storm begitu rendah dan entah sejak kapan Savanah merasa suara itu ... seksi.
'Seksi? Ah, yang benar saja? Sejak kapan pria berandalan seperti Storm memiliki suara yang seksi?
Aku pastilah sudah melantur. Ini gara-gara Brianna! Dia sudah meracuni pikiranku! Urgh, Brianna menyebalkan!'
Gadis berambut panjang berwarna dark brown itu menggeleng. Beberapa jumput rambutnya jatuh menutupi setengah wajahnya.
Di saat yang bersamaan, Storm mulai mendekatinya lagi. Tubuh tinggi besar pria itu membungkuk setengah dan mengarah makin mendekati Savanah.
Semua gerakan itu membuat Savanah bertambah gugup hingga dia hanya sanggup mematung di tempatnya, sambil menahan napasnya.
‘Ap- apakah Storm mau menciumku untuk memulai malam pengantin kami?
Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan jika Storm ingin meminta haknya malam ini? Aku masih belum siap.’
Deru napas Savanah kian tercekat bersamaan dengan Storm yang terus mendekat ke arahnya. Napas pria itu pun mulai menerpa pucuk rambut Savanah.
Itu semua membuat gadis itu semakin gugup. Jari jemarinya makin erat saling meremas.
Hingga kemudian ...
Storm ternyata ...
Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah. ‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’ Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu. Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. Dia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.” ‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’ Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak. Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butu
Dua pelayan yang membukakan pintu terlihat kocar kacir berlari ke dalam untuk melakukan apa yang Storm katakan. Savanah melihat mereka berdua dan merasa kasihan. Dua pelayan itu tampak ketakutan karena gertakan Storm. Savanah jadi melirik Storm lagi. Ingin melihat reaksi pria itu. Tapi Storm terlihat amat serius. Savanah pun ikut merasa gugup dan cemas. Dia sungguh tak menyangka permintaannya mengambilkan koper dilaksanakan Storm dengan cara sebrutal ini. “Aduh! Apa yang kau lakukan? Kenapa lari seperti dikejar setan? Jalan yang benar!” Auman marah dari dalam rumah terdengar. Itu suara Moreno! Deg! Jantung Savanah berdetak dua kali lebih kencang ketika mendengar suara Moreno. Dia gugup, karena dia kini datang bersama Storm. Lalu, terlihat olehnya, Moreno menoleh dan mendapati dirinya bersama Storm. Wajah pria itu, yang tadinya marah pada pelayan, kini tampak terbelalak. “Hei! Ada apa kau ke sini, huh?!” teriaknya marah pada Storm. Savanah kembali terkejut. Kenapa mereka lan
Ketika tiba kembali di kamar mereka, Savanah sudah merasa lelah dan teramat mengantuk. Rasanya sekali menyentuh kasur, dia akan langsung terlelap begitu saja. Savanah merapikan sebentar isi kopernya, mengeluarkan baju kerjanya, lalu mengecas ponselnya. Setelah itu, barulah dia menuju tempat tidur. Savanah sempat mengungkapkan pada Storm untuk tidur di tempat tidur, tapi selalu pria itu menjawabnya bahwa lebih baik dia di sofa saja. Savanah menghela napasnya. Entah dia harus merasa lega karena tak terbebani malam pengantin yang dia sendiri belum siap, atau dia harus berpikiran bahwa Storm benar-benar tidak tertarik padanya. Tapi jika Storm tidak tertarik padanya sedikit pun, kenapa pria itu mau menikahinya? Apakah Storm murni hanya ingin menolongnya saja di saat Moreno membuangnya karena bisu? Fiuuuh, entahlah. Savanah merasa tidak ingin memikirkannya lagi. Semakin dia pikirkan, semakin dia penasaran, tapi juga rasa insecure nya pun makin bertambah. 'Bagaimana jika storm menika
“Kenapa kau menganga seperti itu? Kalau ada lebah lewat, mereka bisa masuk berombongan lalu membuat sarang di amandelmu!” kata Storm yang sontak langsung membuat Savanah mengatupkan mulutnya. Wajahnya langsung merah padam mendengar kata-kata Storm. Pria itu menganggap mulutnya sarang bagi lebah? Hm, sedikit keterlaluan! Savanah menahan rasa malunya dengan mengetik di ponsel: [Aku mencarimu di dalam rumah, tapi kau tidak ada. Ternyata kau di sini.] Storm membaca dengan cepat di dalam hatinya, lalu mengangguk. “Iya. Setiap pagi aku di sini. Olahraga. Hmm ...” Pria itu lalu mengamati penampilan Savanah dari atas sampai bawah, lalu berkata lagi, “kau mau pergi kerja?” Savanah mengangguk. “Biar kuantar. Aku mandi sebentar. Tidak akan lama.” Savanah ingin bertanya lagi, tapi Storm sudah melesat masuk ke dalam rumah. “Ada pancake di atas meja. Kau bisa memakannya sambil menungguku!” serunya lagi ketika dia melewati pintu rumah. Savanah pun tersenyum sambil melihat tingkah Storm yang
Seringaian Storm tertangkap penglihatan Moreno. Dari sisi mobilnya, kini Moreno tampak gelisah. Dia teringat akan kejadian semalam saat Storm mengetuk pintu dengan brutalnya. Moreno seperti baru diingatkan lagi bagaimana watak STorm setelah selama ini dia melupakan semua itu hanya karena mereka tidak pernah saling bersinggungan. “Psstt! Psstt!” Dia memanggil Milka lewat kode suaranya. Ketika Milka meliriknya dengan jengkel, Moreno memberinya kode untuk berhenti bicara. Pria itu benar-benar cemas karena sang istri sudah menyinggung Storm. Tapi Milka tampak tidak mengerti. Dia memberengut, “Apa sih?” Moreno membuka mulutnya dengan malas-malasan karena dilihatnya Milka begitu angkuh di depan Storm. Baru membuka setengah, tiba-tiba saja ... Phaaamb! Pintu mobil Jeep milik Storm dibanting dan pria tinggi itu sudah di luar mobilnya. Savanah lagi-lagi terlonjak kedua bahunya mendengar bunyi pintu yang ditutup sangat kuat. Jantungnya terasa jatuh ke tanah. Bahkan Moreno dan terutama
Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Dear readers tersayang, Karena author terlalu bingung dengan bab yang sudah didraft tapi pas publish masih harus disesuaikan, jadi yg bab 11, ada kekurangan isinya. Awal Bab 11 mengambil bab ending bab 10 terlalu banyak, sedangkan ending bab 11 lupa diikutsertakan. Sebenarnya sudah direvisi, tapi biasanya yang sudah membuka bab maka isinya tidak akan berubah. Entah mengapa. Karena itu, author sertakan ending bab 11 di sini agar yg sudah membuka sebelum revisi bisa mengikutinya. Ini bab catatan penulis jadi tidak ada g
“Savanah sudah hamil duluan?” seru Reese.Bukan dia saja yang terkejut tapi juga beberapa staff di dekat mereka yang turut mendengarkan, terutama juga Freya dan Clara.“Berarti dia selingkuh dari Moreno?” tanya Freya.Dengan penuh antusias, Milka mengangguk.“Astaga! Wajahnya saja yang polos tapi ternyata ...”Milka yang mendengar seruan keterkejutan tiga pengikutnya itu pun jadi semakin riang. Wajahnya merekahkan senyum lebar yang begitu senang dan merekah begitu lebar.“Benar kata kalian semua. Savanah itu wajahnya saja polos. Ya ... maaf kata ya, padahal dia cacat, tapi masih juga banyak pilih bahkan berselingkuh!”Tiga pengikutnya itu mangut-mangut setuju pada pernyataan Milka.“Benar! Bisu begitu masih juga selingkuh. Padahal dirinya itu beruntung ada tuan muda dari keluarga ternama yang mau dengannya. Bahkan jika yang mau menikahinya bukan tuan muda sekalipun, dia seharusnya sudah bersyukur!”“Justru itulah Moreno tidak mau lagi dengannya. Dan pada akhirnya, dia malah menikah de
Milka meneliti meski terbingung-bingung dengan maksud Brianna. Clara dan yang lain pun ikut mengamati apa yang tertera di ponsel Brianna.Benar tampilan gambar dengan kata ‘Ford fiesta’ di mesin pencari memunculkan gambar mobil seperti mobil Moreno. Bahkan ada yang berwarna biru metalic yang persis sama dengan mobil Moreno.Brianna mengetik lagi, lalu menunjukkan pada mereka semua.“Nih, lihat sendiri harganya! Ini bukan aku loh yang mengatakannya! Ini harga yang tertera di internet! Tertulis di sini, harganya berkisar dari 13.900 dolar sampai 16.800 an dolar!”Mereka semua mengangguk. Termasuk Milka yang mulai menaikkan dagunya tinggi-tinggi ketika dia baru menyadari harga mobil Moreno setinggi itu.“Ya, pasti Moreno membelinya pas keluaran terbaru. Harga masih di kisaran 25 ribuan dolar! Atau mungkin 30 ribu dolar!” seru Milka tidak mau melepaskan kesempatan untuk meninggikan diri.Brianna pun hanya mend
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e