“Aku tinggal di rumah reyot ini. Maaf kalau tempatnya berantakan. Aku sungguh tidak menduga jika hari ini aku akan menikah.”
Sepulang dari prosesi pernikahan, Storm membawa Savanah melintasi jalanan yang mengarah ke mansion utama keluarga Dyazz. Sepanjang jalan, Savanah sempat gelisah mengira Storm pun tinggal di mansion keluarga Dyazz.
Tapi ternyata, sebelum mencapai mansion keluarga Dyazz, Storm membelokkan mobilnya menuju perkebunan terbengkalai dan berhenti di depan sebuah rumah kayu yang disebutnya rumah reyot.
Savanah merayapkan tatapannya pada rumah kayu di hadapannya. Memang tampak sederhana, tapi baginya tidak reyot sama sekali.
Bisa dia lihat bahwa rumah itu terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik.
Susunan kayu yang terpasang sangat teratur dan rapi. Savanah bisa melihat teknik pembangunan rumah yang bukan asal-asalan.
Tiba-tiba saja ekor gaunnya terasa ringan. Ternyata Storm sudah berada di belakangnya dan mengangkat ekor gaunnya agar dia bisa melangkah lebih mudah.
Storm juga menuntunnya menaiki pijakan tiga anak tangga menuju teras rumahnya.
'Benar, tidak reyot. Lantai papan di teras tidak berderit. Kayu-kayu itu kokoh, bahkan permukaannya terlihat sangat halus.'
Ketika Storm membuka pintu rumah, Savanah bisa melihat isi rumah itu pun cukup rapi. Hanya ada beberapa majalah dan botol minuman yang tergeletak begitu saja di meja ruang tamunya.
“Maaf, akan kubereskan,” kata Storm lagi sembari cepat-cepat memungut satu demi satu barang-barang itu dan membawanya ke dapur.
Sembari menunggu, Savanah melihat sekeliling ruang depan itu.
Rumah kayu itu tidak besar. Di tempatnya berpijak adalah ruang tamu, lalu bersambungan menjadi ruang makan dan dapur, tanpa sekat.
Tidak ada furnitur lemari ataupun rak yang menjadi sekat. Hanya ada tangga menuju lantai dua di antara ruang tamu dan ruang makan bercampur dapur.
Sekilas melihat rumah ini, Savanah merasakan perasaan yang asing namun menentramkan.
Perkebunan terbengkalai ini terasa sepi tapi cukup menenangkan. Lalu di rumah ini, ada banyak jendela besar yang dibiarkan Storm terbuka lebar sehingga angin bebas berkeliaran di sana.
Bagi Savanah angin-angin itu menyegarkan hatinya.
Savanah menyukai tempat ini. Dia hanya tak pernah menyangka jika Storm, yang juga merupakan putra dari Tn. Braxton, selama ini malah tinggal di perkebunan liar yang terbengkalai yang letaknya berada di belakang mansion keluarga Dyazz.
'Tidak apa-apa.'
Savanah menjawabnya dengan gerakan jarinya sembari memberi anggukan dan senyum kecil ketika Storm kembali dari dapur.
Hanya anggukan dan senyuman kecil, tapi Storm tampak terpukau untuk beberapa detik lamanya.
Tatapannya bagai tersihir menatap Savanah, seakan dia tak mampu mengalihkan lagi tatapan matanya dari wajah cantik bersahaja Savanah.
Itu membuat Savanah jadi merona malu.
"Aku rasa lebih baik kau tunggu dulu di sini. Aku akan membereskan kamar dulu.”
Begitu Savanah mengangguk, dua kaki panjang Storm melesat ke tangga menaiki dua bahkan tiga anak tangga sekaligus untuk menuju lantai dua.
Terdengar bunyi barang yang digeser beberapa saat lamanya.
Kemudian barulah Storm kembali terlihat melompati tangga-tangga itu untuk turun dan tiba di hadapan Savanah lagi.
“Sudah beres! Aku harap kau tidak merasa risih dengan kondisi rumahku yang reyot seperti ini. Sungguh aku tidak tahu kalau aku akan menikahimu, Savanah. Kalau aku tahu, sebulan ini akan kugunakan waktu untuk merenovasi rumahku ini.
Semoga kau tidak kesulitan beradaptasi di sini.”
Savanah memandangi mata kecoklatan Storm yang pekat.
Selama ini, setahunya Storm adalah pria yang irit bicara. Tapi seharian ini, dia sudah mendengar Storm berbicara banyak setiap kali membuka mulut.
Sungguh Savanah tak menyangka Storm bisa juga bicara panjang-panjang.
Tapi Savanah lebih terpukau lagi karena dia sungguh tak menyangka pria yang juga dipaksa menikahi dirinya ini ternyata peduli pada perasaannya dan kenyamanannya.
***
Berhubung semua koper miliknya sudah terlanjur diantarkan ke mansion utama keluarga Dyazz, Savanah terpaksa meminjam kaos oblong kebesaran Storm untuk dia kenakan.
Masih terbayang di benaknya bagaimana dia harus meminta bantuan Storm untuk menurunkan resleting gaunnya.
Momen canggung tercipta di antara mereka ketika kulit jemari Storm menyentuh kulit punggungnya.
Desiran kecil terasa menggetarkan hati Savanah.
'Kenapa? Jelek ya?' tanya Savanah lewat gerakan jarinya saat melihat Storm terpaku menatapnya tanpa kedip mengenakan kaos oblongnya.
Dia pasti tampak aneh dengan kaos oblong yang panjangnya mencapai lutut.
Kaos ini tampak seperti dress untuk Savanah.
Namun saat itu, Storm tidak paham apa yang dikatakan Savanah lewat jarinya.
"Maaf aku tak mengerti. Tapi aku heran, kau bisa tetap terlihat cantik walau mengenakan kaos kebesaran seperti ini."
Kata-kata Storm seakan menjawab pertanyaan Savanah, walaupun tadi pria itu berkata tidak mengerti.
Sepertinya jalan pikiran mereka cukup menyambung satu sama lain. Savanah bersyukur jika memang demikian.
'Terima kasih.'
Savanah menggerakkan jarinya lagi berupa bahasa isyarat.
Kali ini, Storm terlihat mengangguk. Sepertinya dia mulai bisa memahami bahasa isyarat, walau masih meraba-raba.
Setelahnya, Storm ikut berganti pakaian lalu dia membereskan gaun pengantin Savanah untuk menyimpannya di lemari bagian teratas.
Setelah selesai, Storm menyapukan pandangan ke arah luar lewat jendela kamar yang terbuka, lalu kembali menatap Savanah.
Sebelah tangannya menyapu rambut lumayan gondrong miliknya, yang panjangnya seleher, sehingga bisa dikuncir menjadi satu ikatan di kepala.
"Hari sudah hampir sore. Aku akan ke belakang sana mengambil bahan-bahan makanan. Baru setelah itu kita makan malam."
Meskipun tak mengerti ada apa di belakang sana, tapi Savanah tetap menganggukkan kepalanya pada Storm. Pria yang posturnya menjulang tinggi dengan tubuh besarnya itu pun berbalik dan melangkah pergi dari hadapan Savanah.
Tinggallah Savanah di rumah kayu itu seorang diri.
Udara segar sore hari yang bertiup dari luar mulai mengisi ruangan demi ruangan di rumah itu lewat jendela besar yang dibiarkan terbuka. Savanah ikut memandangi perkebunan terbengkalai itu dari jendela kamar.
Sekitar lima meter di sekeliling rumah, lahan terlihat kosong tanpa pohon sama sekali.
Pohon-pohon tumbuh agak jauh ke sana di luar radius lima meter tadi.
Savanah ingin mengetahui apa yang Storm kerjakan di belakang sana, tapi dia tidak bisa melihat ada apa di antara pohon-pohon sana karena langit pun sudah mulai kelabu.
Lalu tiba-tiba terdengar dering notifikasi ponsel.
Tring tring!
Savanah gegas melihat ponselnya dan ternyata itu adalah pesan dari ... Milka.
'Milka? Dia masih berani dia mengirim pesan?'
[Sav, kata Moreno kau dan suamimu tinggal di perkebunan liar di belakang mansion mewah kami. Itu sangat menyedihkan, Sav! Apakah kau baik-baik saja di sana?
Tempat tinggal suamimu itu tidak terlalu buruk, kan? Aku sungguh khawatir kau takkan sanggup tinggal di sana satu hari pun.]
Savanah kesal membaca isi pesan Milka. Setelah apa yang terjadi di pernikahan tadi, dia masih berpura-pura baik dan peduli? Yang benar saja!
Savanah pun membalasnya:
[Benar, rumahnya di perkebunan belakang tapi aku tidak merasa ini menyedihkan. Malahan tempat ini sangat menyenangkan. Rumahnya berlantai dua, bersih, dan banyak angin segar di sini.
Perkebunannya pun subur dan indah. Banyak pepohonan di sini membuat musim panas ini terasa lebih sejuk.
Lagipula, aku senang setidaknya dengan tinggal di sini, aku tidak perlu tinggal dengan seluruh keluarga besar Dyazz.
Kau tahu sendiri kan, banyak cerita tidak menyenangkan dari pasangan pengantin yang tinggal bersama mertua mereka.]
Savanah tersenyum membaca pesan balasannya, lalu dia menekan tombol send.
Baru hendak meletakkan ponsel di meja, balasan dari Milka kembali datang.
[Kalau masalah tinggal bersama mertua, memang banyak cerita tak mengenakkan. Tapi aku sih yakin ya kalau hubunganku dengan orang tua Moreno tidak akan retak sekalipun kami tinggal di bawah satu atap.
Ibunya Moreno sangat menyayangiku.
Apalagi saat nanti aku sudah memberikan pewaris bagi keluarga Dyazz. Mereka pasti akan memuja dan meratukanku. Aku yakin itu, Sav.
By the way, bisa kau datang ke teras belakang sini sebentar? Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu. Aku tidak ingin kau berpikiran buruk tentang apa yang terjadi di acara pernikahan tadi siang itu.
Oke, Sav? Temui aku sepuluh menit lagi, oke?]
'Ck! Sombong sekali jawaban Milka. Dia terlalu pede bakalan menjadi menantu kesayangan mertua.'
Setelah apa yang terjadi tadi siang, tentu saja sulit bagi Savanah untuk tidak merasa kesal pada Milka.
Hanya saja, dia juga penasaran apa lagi yang masih ingin dibicarakan Milka? Apakah dia hanya mau berpura-pura minta maaf? Atau ... dia hanya ingin memberikan pembenaran atas apa yang telah terjadi?
Pada akhirnya, rasa penasarannya pun menang. Savanah sangat ingin tahu apa lagi yang masih ingin dibicarakan Milka setelah semua hal yang terjadi tadi siang.
[Oke!] Savanah menjawab dan send.
Lima menit berlalu dengan Storm yang masih tak kelihatan batang hidungnya.
Entah apa yang dia lakukan di belakang sana.
Savanah ingin memberitahukan tentang kepergiannya menemui Milka. Tapi Storm tak kunjung muncul. Savanah pun memutuskan untuk pergi menemui Milka sendirian.
Langit sudah berwarna keoranyean ketika Savanah melintasi jalan setapak dari pekarangan rumah Storm hingga ke teras belakang mansion keluarga Dyazz. Angin malam yang dingin pun mulai membelai kulit Savanah dan meninggalkan jejak dingin yang cukup menusuk. Beruntung jalan setapak yang dilalui Savanah berupa tanah yang kering dan solid. Ketika akhirnya Savanah tiba di teras belakang mansion keluarga Dyazz, langit sudah semakin temaram. Penerangan kini mengandalkan sinar rembulan, lampu taman, serta lampu teras. Savanah sudah menunggu lagi selama lima menit dengan berjalan pelan, bolak balik di teras belakang mansion keluarga Dyazz. Tunggu ditunggu, Milka tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. 'Ke mana sih Milka? Dia yang mengajak bertemu tapi tidak muncul-muncul?' Menyesal rasanya karena Savanah meninggalkan ponsel di rumah. Tadinya dia berpikir dia sudah membalas dengan ‘Oke’ pada ajakan bertemu dari Milka. Seharusnya balasannya itu cukup membuat Milka menunggu di titik pertem
Savanah sungguh tak menyangka jika reaksi Storm akan seperti itu. Dia sendiri pun sampai terlonjak kedua bahunya akibat hantaman tangan besar Storm ke meja. Lalu Savanah cepat-cepat mengetik lagi di ponselnya: [Itu hanya dugaanku saja. Bisa saja itu terjadi karena ketidaksengajaan.] Storm membaca lalu mengernyit lebih tak suka lagi. “Tidak sengaja bagaimana? Kamar Moreno itu ada di lantai tiga! Sedangkan di dekat teras adalah kamar kosong yang tak terpakai!” Suara Storm masih terdengar gusar. Tapi kata-katanya membuat Savanah mematung. Benarkah? Itu hanyalah kamar kosong? Jika iya, berarti ... Savanah mengetik lagi: [Berarti Milka memang sengaja?] “Menurutku begitu. Huh, sangat kurang ajar! Kau tenang saja, Savanah, aku akan membuat perhitungan dengannya!” Savanah: [Tidak perlu, Storm. Biarkan saja.] “Bagaimana bisa biarkan saja? Sekarang kau adalah istriku. Tidak akan aku biarkan siapa pun mempermainkanmu!” Savanah terpana melihat keseriusan wajah Storm. Baru kali ini dia m
Storm ternyata hanya menyentuh helaian rambut Savanah yang turun dan menutupi sebagian wajahnya, untuk menyelipkannya ke belakang telinga Savanah. ‘Eh? Di- dia hanya berniat merapikan rambutku saja?’ Savanah pun mengangkat wajahnya penuh tanya. Terasa beberapa detik lamanya, Storm terpaku di wajah Savanah. Tanpa sadar, gadis itu merona malu. Baru setelah itu, Storm menegakkan tubuhnya dan berdeham ringan. Dia terlihat kikuk dan salah tingkah. “Ehm! Sudah malam, kau tidurlah di tempat tidur. Seprai sudah kuganti yang baru. Aku akan tidur di sofa. Mengenai ... ehm ... malam pengantin kita ... aku rasa ... kau pasti belum siap, jadi aku tidak akan memaksamu selagi kau belum siap.” ‘Apa? Storm ingin menunda malam pengantin ini? Ini sungguh berkah luar biasa!’ Savanah sangat lega tidak perlu memulai malam pengantin bersama Storm malam ini. Setidaknya, dia memiliki waktu lebih banyak. Setelah Savanah diam-diam mengembangkan senyumnya, dia baru menyadari bahwa Storm menunjuk sofa butu
Dua pelayan yang membukakan pintu terlihat kocar kacir berlari ke dalam untuk melakukan apa yang Storm katakan. Savanah melihat mereka berdua dan merasa kasihan. Dua pelayan itu tampak ketakutan karena gertakan Storm. Savanah jadi melirik Storm lagi. Ingin melihat reaksi pria itu. Tapi Storm terlihat amat serius. Savanah pun ikut merasa gugup dan cemas. Dia sungguh tak menyangka permintaannya mengambilkan koper dilaksanakan Storm dengan cara sebrutal ini. “Aduh! Apa yang kau lakukan? Kenapa lari seperti dikejar setan? Jalan yang benar!” Auman marah dari dalam rumah terdengar. Itu suara Moreno! Deg! Jantung Savanah berdetak dua kali lebih kencang ketika mendengar suara Moreno. Dia gugup, karena dia kini datang bersama Storm. Lalu, terlihat olehnya, Moreno menoleh dan mendapati dirinya bersama Storm. Wajah pria itu, yang tadinya marah pada pelayan, kini tampak terbelalak. “Hei! Ada apa kau ke sini, huh?!” teriaknya marah pada Storm. Savanah kembali terkejut. Kenapa mereka lan
Ketika tiba kembali di kamar mereka, Savanah sudah merasa lelah dan teramat mengantuk. Rasanya sekali menyentuh kasur, dia akan langsung terlelap begitu saja. Savanah merapikan sebentar isi kopernya, mengeluarkan baju kerjanya, lalu mengecas ponselnya. Setelah itu, barulah dia menuju tempat tidur. Savanah sempat mengungkapkan pada Storm untuk tidur di tempat tidur, tapi selalu pria itu menjawabnya bahwa lebih baik dia di sofa saja. Savanah menghela napasnya. Entah dia harus merasa lega karena tak terbebani malam pengantin yang dia sendiri belum siap, atau dia harus berpikiran bahwa Storm benar-benar tidak tertarik padanya. Tapi jika Storm tidak tertarik padanya sedikit pun, kenapa pria itu mau menikahinya? Apakah Storm murni hanya ingin menolongnya saja di saat Moreno membuangnya karena bisu? Fiuuuh, entahlah. Savanah merasa tidak ingin memikirkannya lagi. Semakin dia pikirkan, semakin dia penasaran, tapi juga rasa insecure nya pun makin bertambah. 'Bagaimana jika storm menika
“Kenapa kau menganga seperti itu? Kalau ada lebah lewat, mereka bisa masuk berombongan lalu membuat sarang di amandelmu!” kata Storm yang sontak langsung membuat Savanah mengatupkan mulutnya. Wajahnya langsung merah padam mendengar kata-kata Storm. Pria itu menganggap mulutnya sarang bagi lebah? Hm, sedikit keterlaluan! Savanah menahan rasa malunya dengan mengetik di ponsel: [Aku mencarimu di dalam rumah, tapi kau tidak ada. Ternyata kau di sini.] Storm membaca dengan cepat di dalam hatinya, lalu mengangguk. “Iya. Setiap pagi aku di sini. Olahraga. Hmm ...” Pria itu lalu mengamati penampilan Savanah dari atas sampai bawah, lalu berkata lagi, “kau mau pergi kerja?” Savanah mengangguk. “Biar kuantar. Aku mandi sebentar. Tidak akan lama.” Savanah ingin bertanya lagi, tapi Storm sudah melesat masuk ke dalam rumah. “Ada pancake di atas meja. Kau bisa memakannya sambil menungguku!” serunya lagi ketika dia melewati pintu rumah. Savanah pun tersenyum sambil melihat tingkah Storm yang
Seringaian Storm tertangkap penglihatan Moreno. Dari sisi mobilnya, kini Moreno tampak gelisah. Dia teringat akan kejadian semalam saat Storm mengetuk pintu dengan brutalnya. Moreno seperti baru diingatkan lagi bagaimana watak STorm setelah selama ini dia melupakan semua itu hanya karena mereka tidak pernah saling bersinggungan. “Psstt! Psstt!” Dia memanggil Milka lewat kode suaranya. Ketika Milka meliriknya dengan jengkel, Moreno memberinya kode untuk berhenti bicara. Pria itu benar-benar cemas karena sang istri sudah menyinggung Storm. Tapi Milka tampak tidak mengerti. Dia memberengut, “Apa sih?” Moreno membuka mulutnya dengan malas-malasan karena dilihatnya Milka begitu angkuh di depan Storm. Baru membuka setengah, tiba-tiba saja ... Phaaamb! Pintu mobil Jeep milik Storm dibanting dan pria tinggi itu sudah di luar mobilnya. Savanah lagi-lagi terlonjak kedua bahunya mendengar bunyi pintu yang ditutup sangat kuat. Jantungnya terasa jatuh ke tanah. Bahkan Moreno dan terutama
Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Berhubung isi bab 11 sudah benar, skip saja catatan ini. Terima kasih. *** Dear readers tersayang, Karena author terlalu bingung dengan bab yang sudah didraft tapi pas publish masih harus disesuaikan, jadi yg bab 11, ada kekurangan isinya. Awal Bab 11 mengambil bab ending bab 10 terlalu banyak, sedangkan ending bab 11 lupa diikutsertakan. Sebenarnya sudah direvisi, tapi biasanya yang sudah membuka bab maka isinya tidak akan berubah. Entah mengapa. Karena itu, author sertakan ending bab 11 di sini agar yg sudah membuka sebelum revisi bisa mengikutinya. Ini bab catatan penulis jadi tidak ada g
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e