Istri Bayaran Sang Opa Menawan
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 4 : Jual MahalMobil kembali dilajukan oleh supir Opa Jhon. Sepanjang perjalanan kami tidak ada bicara apa pun. Sibuk dengan pemikiran masing-masing saja. Opa Jhon orangnya memang jutek, jadi tidak asyik jika diajak bicara dan bercanda. Mataku terus melihat keluar dari jendela samping kiriku. Menikmati pemandangan di samping kiri lebih mengenakkan mata dibandingkan dengan pemandangan samping kananku. Berselang setengah jam lebih, tibalah kami di area parkir mall yang dituju. Setelah memarkirkan mobil, kami turun bersama-sama. Lebih tepatnya Opa Jhon berjalan lebih cepat dariku. Aku kesusahan mengimbangi langkahnya yang lebar. Sesampainya di dalam mall, Opa Jhon langsung menuju sebuah toko pakaian yang menjual khusus untuk wanita. Dia masuk ke dalam toko yang bermerek. Aku mengekor saja dari belakang. “Selamat datang Tuan dan Nona, selamat berbelanja. Ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang wanita cantik yang menjaga toko ini. “Saya mau belikan b
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 5 : Xeon VS LolySetelah mengelilingi mall sampai berjam-jam dan membeli barang-barang keperluanku, Opa Jhon mengajak pulang. Baguslah, kakiku juga sudah pegal rasanya. Si kakek tua ini enak, kerjanya hanya duduk manis saja menungguku belanja ini dan itu. Aku meletakkan semua paper bag ke kursi belakang. Lalu aku duduk di kursi sampingnya, masih seperti posisi tadi saat pergi. Mobil Opa Jhon yang dikemudikan oleh supirnya pun meluncur keluar dari area mall dan membelah jalanan. Aku menyandarkan punggung di kursi dan menghela napas dengan kasar. Meski pun belanja di mall dengan sepuasnya, tapi tetap saja ini melelahkan. Aku bahkan hampir kehabisan energi. Huh. Aku mencoba untuk memejamkan mata dan tertidur sampai ke rumah nanti. “Loly! Bangun! Apa kamu mau tidur di sini sampai nanti malam?” Terdengar suara tegas seorang lelaki. Aku membuka mata dan Opa Jhon telah melebarkan matanya. Ah, rasanya baru sebentar aku terlelap, mengapa sudah sampai r
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 6 : Daftar Ulang"Hey, bangun, katanya hari ini mau daftar ulang?!"Aku masih berada di alam mimpi saat terdengar samar-samar suara Opa Jhon disertai timpukan sesuatu di wajahku.Kukucek mata sebelum membukanya secara perlahan, di atas ranjang terlihat pria tua itu sedang menatap jengkel ke arahku lalu fokus kembali kepada benda pipih di tangannya."Apaan sih, Opa, gak bisa apa kalo bangunin aku gak usah pakai nimpuk-nimpuk gini?" Aku segera bangun, berkata agak ngegas sebab rasanya kesal saja melihat tingkah juteknya kepadaku.Hmm ... di malam kedua pernikahan kami, aku masih aja disuruh tidur di lantai. Suami gak ada akhlak emang dia. Tapi ... rela sih aku, dari pada diobok-obok ama dia, aku belum siap. Aku menelan ludah."Memangnya kamu mau dibangunkan dengan cara seperti apa?" Dia melepaskan tablet di tangannya lalu bergeser pinggir ranjang, tatapannya terlihat aneh.Aku meringis risih dan memundurkan tubuh ke belakang, sedikit gelagapan soalnya
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 7 : Bertemu Teman SMAKutatap mobil Si Opa jutek yang telah sah menjadi suamiku itu, mobil hitam itu kian menjauh pergi. Sedikit ngeri dengan ancamannya tadi, dasar aki-aki bau tanah. Amit-amit, jangan dulu deh. Dengan langkah anggun layaknya seorang gadis yang kaya raya, aku melangkah memasuki pintu gerbang Universitas Harapan Nusantara--salah satu Universitas terbaik di kotaku. Berjalan menyusuri koridor kampus dan melewati beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Hari ini aku akan mendaftar ulang karena aku sudah resmi diterima di Fakultas Ilmu manajemen dengan jurusan Management Bisnis. Aku ingin sekali bisa bekerja di kantoran. Karena itu adalah impianku sejak lama. Rasanya bekerja di sebuah kantor adalah sebuah pencapaian dan pekerjaan yang luar bisa. Bergengsi dan juga terlihat sangat keren. Pergi bekerja memakai jas, berdandan rapi dan duduk di kursi yang empuk. Aku benar-benar ingin mengubah hidupku secara total. Itulah sebabnya aku mengambil
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 8 : Chat dari Siapa?Sesampainya di kantin, kami duduk di salah satu meja yang berbentuk bulat. Kebetulan sekali suasana di kantin ini tidak terlalu ramai bahkan hanya ada dua meja saja yang terisi. Syukur lah. Intan meraba tasku, lenganku, bajuku dan melirik ke arah sepatuku juga. Dia amati semua yang kupakai hari ini. Mungkin dia sedang memeriksa apakah tas dan bajuku ini barang palsu atau asli. Hahaha. “Hari ini kamu pakai baju baru, tas baru dan sepatu baru. Semuanya serba baru. Bahkan rambut kamu juga udah tertata rapi sekarang. Terlihat terawat, wangi, dan lembut. Sudah tidak acak-acakan dan bau seperti dulu lagi,” cerocos Intan menilai perubahan penampilanku hari ini. Aku hanya tersenyum anggun sambil mengipas-ngipaskan tanganku ke udara.“Kamu kok bisa sih secepat ini berubahnya?” tanya Intan penasaran sambil keheranan. Sementara Bagas hanya diam menyimak saja. “Kamu cantik banget loh sekarang. Aku sampai pangling tahu,” puji Intan dan ak
Istri Bayaran Sang Opa MenawanBab 9 : Tebakan IntanDemi keamanan, sebaiknya tak kubuka dulu chat dari Si Opa alias suami tuaku itu. Anggap aja aku gak tahu kalau dia ada chat. Yeah, itu bagus. Setidaknya biarkanlah aku bersama teman-temanku dulu.Aku memanggil pelayan di kantin. Wanita yang memakai baju kaos itu segera menghampiri meja kami. Kupersilakan Intan dan Bagas untuk memilih dan memesan makanan serta minuman yang mereka mau. Setelah itu baru lah aku memesan makanan dan minuman untukku. Usai mencatat pesanan aku, Intan dan Bagas, wanita yang kuperkirakan berusia tiga puluhan tahun itu pergi meninggalkan meja kami. Tiba-tiba aku kepikiran untuk menanyakan keadaan mereka setelah lulus sekolah kemarin. Firasatku mengatakan bahwa nanti Intan akan menuntutku untuk menceritakan tentang mengapa perubahan diriku cepat sekali, sebaiknya kualihkan dulu topik obrolan ini.“Oh iya, apa aktivitas kalian berdua setelah lulus sekolah kemarin?” “Kalau aku sih cari-cari informasi tentang
Istri Bayaran Sang Opa Menawan Bab 10 : Sindiran Musuh bebuyutanku itu--Xeon, menatapku dengan tajam dan penuh permusuhan. Lalu pria tukang bully itu mengajak teman-temannya untuk duduk tak jauh dari meja kami. Aku yakin, pasti akan ada yang diperbuatnya di situ karena sengaja duduk berdekatan dengan meja ini. “Hei! Kalian tahu gak? Aku mencium aroma-aroma busuk di sini. Kalian apa gak merasakan?” tanya Xeon yang bernada sindiran dengan suara yang nyaring. Aku tahu, itu pasti sindiran untukku. Ternyata dia benar-benar tidak kenal tempat untuk mencari masalah. Namun, aku tetap harus tenang dan tak boleh terpancing olehnya. Lebih baik aku cuekin saja dia mau ngomong apa. 'Kan nanti capek sendiri mulutnya. “Hadeuh. Dasar ya, orang kampung! Kalau dekil mah, ya, tetep dekil aja gak usah belagu deh!” sindirnya lagi. Aku membuang napas dengan kasar. Laki-laki yang tak memiliki akal pikiran sehat itu terus saja mengeluarkan kata-kata pedasnya untukku. Hah! “Kok aroma busuknya maki
Bab 11 : Serba DilayaniAku berdiri di depan mobil sambil memasang tampang cemberut pada dua pria ini. Lalu dibukakan pintu oleh salah seorang pengawalnya Opa Jhon, aku pun masuk ke dalamnya. Mobil pun melaju keluar dari halaman kampus ternama ini. Aku melemparkan pandangan keluar jendela sambil menyandarkan punggung dan kepala di kursi mobil. Apa-apaan sih si kakek tua itu? Aku dongkol banget lihat tingkah dia. Ngapain coba mesti ngirimin bodyguard kayak gini untuk aku? Tanpa dijaga juga aku bisa jaga diri. Aku merasa ini terlalu berlebihan sekali sih menurutku dan aku sebenarnya tidak menyukai ini.Mentang-mentang dia orang kaya, banyak duit, jadi bisa seenaknya melakukan semua ini. Mengirim pengawal untuk menjemputku. Padahal aku hanya ke kampus dan bisa menelepon sopir juga nanti jika memang sudah waktunya untuk pulang. Aku mendengus kesal di dalam mobil. Tak ada yang bisa kulakukan selain menurut dan patuh. Menyebalkan sekali! Setelah beberapa saat di jalan, tibalah kami di de
Bab 63 : Selamat“Lolyta, ayo. Kita gak punya waktu banyak.” Xeon masih terus memaksaku. Bukannya aku tidak mau beranjak dari tempat ini. Namun, aku takut di pertengahan jalan nanti dia malah pingsan atau malah bisa kenapa-kenapa. Sungguh, pasti aku akan semakin panik kalau sampai itu terjadi. “Tapi keadaanmu sekarang lagi demam, Xeon.” “Sudahlah, aku sudah tidak apa-apa. Kamu lihat kan, aku baik-baik saja sekarang. Ayo!” imbuh Xeon dengan sedikit memaksa. Aku tahu itu. Tanpa aba-aba, Xeon pun langsung menggandeng tanganku. Mungkin saja dia tidak sabar menunggu jawaban setuju dariku lagi. Akan tetapi ... tunggu dulu, apa ini? Xeon menggandeng tanganku? Apa-apaan dia ini? Kenapa tanganku mesti harus digandeng segala sih sama dia? Ingin sekali rasanya kutepis tangan Xeon. Sebab ini seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Akan tetapi, akal sehatku menyuruh untuk selalu berpikiran yang positif saja. Karena dia masih dalam kondisi sedang demam. Jadi anggap saja bahwa Xeon itu ta
Bab 62 : Dia DemamDengan terpaksa aku membuka mata karena merasa silau dengan sinar matahari, yang menyelusup dari celah-celah pohon mengenai tepat ke arah mataku. Untuk beberapa saat, nyawaku separuh masih melayang belum terkumpul semua. Kulihat Xeon sudah meringkuk di atas pangkuanku. Kurang ajar sekali dia, berani-beraninya, lancang sekali dia tidur di pangkuan. Dia gunain kesempatan ini rupanya, ya! Lihat saja kamu, ya. Hati ini amat dongkol melihat tingkahnya.Aku hendak membangunkannya, tetapi saat menyentuh tubuhnya, terasa amat panas. Aku memeriksa dahinya, ternyata rasanya sama. Panas, seperti saat seseorang sedang tidak enak badan. “Apa jangan-jangan dia demam, ya?” gumamku dengan memutar bola mata ke atas. Waduh, aku harus bagaimana ini kalau sampai Xeon demam? Kami harus keluar dan pergi dari hutan ini. Kami harus secepatnya mencari dan mendapatkan bantuan. Namun, jika keadaan Xeon sedang sakit begini, aku tidak bisa mengajaknya untuk berlari lagi. Aku melihat Xeon mu
Bab 61 : Masih di siniXeon gantian berkomat kamit tanda dia sedang mengatakan sesuatu. Aku yang tidak mengerti dia berbicara apa hanya ha he ho saja. Bahkan saat dia memberikan sebuah isyarat pun aku masih tidak mengerti juga. Aku terus saja menggelengkan kepala sebagai tanda tak mengerti apa maksudnya. Xeon terlihat gelisah dan frustasi. Tampak sekali dia sedang menahan amarahnya, tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tahu apa katanya. Akhirnya Xeon geram dan dengan mengesot mendekatiku. Lalu dia membisikkan lagi sebuah rencananya. Lagi-lagi aku menurut. Kami saling membuka ikatan di tangan lagi. Lalu kami sama-sama membuka tali yang mengikat kaki kami. Rasanya sakit, tapi aku harus bisa menahannya. Kini ikatan tali di tubuh kami benar-benar sudah terlepas lagi. Kami pun mulai berjalan ke arah dapur untuk kabur lewat pintu dapur lagi. Kali ini lebih mudah karena pintu sudah terbuka dan bodohnya mereka, mereka lupa menutupnya kembali. “Ayo Lolyta,” ucap Xeon memberi aba-
Bab 60 : DisekapSetelah ikatan di tangan kami terlepas, kami saling membuka kain penutup mata. Dan betapa terkejutnya aku dengan pria yang membantuku membuka ikatan tali. Kami sama-sama melongo beberapa saat. “Xeon!” seruku. “Lolyta!” Dia pun tak kalah berseru juga. Kami sama terkejutnya. Mengapa pula musuh bebuyutanku ada di sini bersamaku? Bisa tidak sih kalau teman sesama korban penculikan di sini itu orang lain selain dia? Pria yang berparas tampan, tapi juga menyebalkan itu memasang wajah aneh. Dari rautnya tersimpan banyak tanya di dalam kepalanya. Mungkin saja dia terpesona dengan kecantikanku kali ini kan? Bisa saja itu terjadi. Ya, aku pasti tidak salah lagi, sebab dia memandangku tidak berkedip sama sekali. Mungkin dia telah terpana dengan kecantikan pari purna di hadapannya ini. “Ngapain kamu mandangin aku kayak gitu? Kamu mau bilang kalau aku ini cantik kan?” tanyaku dan membuatnya langsung tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Xeon mendengus pelan. “
Bab 59 : DisekapBibirku gemetar, tubuhku lemas, dan hatiku panik. Rasa kaget, cemas dan takut menjadi satu. Aku takut kalau Opa Jhon meninggalkan aku, sedangkan kami belum melakukan ritual malam pertama. Ya, Tuhan, aku mohon selamatkan Opa Jhon. Jangan ambil Opa Jhon dulu sebelum aku memiliki anak darinya. Aku berdoa dalam hati. Aku harus menyusul dan melihat keadaan Opa Jhon di sana. Namun, bagaimana caranya sedangkan aku tidak membawa uang. Sepertinya jalan satu-satunya adalah meminjam pada Intan. “Intan, kamu ada bawa uang lebih gak? Aku boleh pinjem dulu? Soalnya ini keadaannya darurat banget.” “Apanya yang darurat? Emang siapa yang ngehubungi kamu barusan?” tanya Intan. “Saudara aku, Tan. Dia kecelakaan,” sahutku dengan ragu-ragu menyebutkan Opa Jhon adalah seorang saudara. Wajah Intan dan Bagas tampak terkejut. “Boleh ya, Intan, aku pinjem duit kamu dulu buat ongkos taksi. Aku harus pergi sekarang juga,” sambungku lagi. Intan membuka tas dan mengambil dompetnya meski wa
Bab 58 : Telepon Misterius Cucu angkatnya Opa Jhon itu terlihat cuek saja saat melihat aku menyembunyikan dua botol jamu ke belakang punggung. Dia pun berlalu begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin, dia pasti sangat mendengar obrolanku dengan Oma Jenny tadi. Aku pun menaiki anak tangga menuju lantai atas. Aku masuk ke dalam kamar untuk menyimpan botol jamu ini lalu kembali keluar kamar dan turun ke bawah. “Bik Maria,” panggilku pada asisten pribadiku itu. Wanita itu mendekat. “Ada apa, Nyonya?” “Kenapa Opa Jhon belum pulang ya, Bik? Ke mana beliau?” tanyaku. “Tuan Jhon sedang pergi bersama asistennya sejak siang tadi, Nyonya,” jawabnya. Aku pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Aku lantas menyuruh wanita paruh baya itu untuk kembali melanjutkan tugas atau aktivitasnya tadi yang sempat terhenti karena aku panggil. Ke mana ya perginya Opa Jhon? Tumben sekali. Ponselku tiba-tiba berdering, ada yang menelepon. Ternyata Intan yang menghubungi. “Hallo, Ntan
Bab 57 : Ancaman OmaAku menunjukkan sikap memancing kepada Opa Jhon, tapi pria tua ini sepertinya tidak tertarik denganku. Dia hanya berdecak pelan saja lalu beralih pada tabletnya. Dia benar-benar hanya cuek saja dan tidak menggubris sama sekali. “Dasar kakek-kakek jutek. Sok jual mahal banget sih,” gerutuku dalam hati. Meski dia terlihat jual mahal, tapi aku akan tetap memintanya menyentuhku hingga aku benar-benar hamil. *** Beberapa bulan telah berlalu, aku duduk di dalam kamar berdua di atas ranjang bersama Opa Jhon. Aku tidak bisa lagi menahannya. Perhatian dan pancinganku selama ini sepertinya tidak berhasil untuk menggoda Opa Jhon. Jadi sebaiknya kuutarakan saja niat aku ini. “Mas, aku mau ngomong sesuatu.” “Ngomong soal apa?” tanyanya. “Aku ingin punya anak dari kamu, Mas, dan mengabulkan keinginan Oma Jenny,” jawabku sambil menatap wajah keriput di depanku ini dengan serius. “Apa kamu serius dengan keinginanmu itu?” Aku mengangguk. “Iya serius, Mas.” “Apa alasannya
Bab 56 : KesambetAku memutuskan untuk izin kuliah selama seminggu. Aku sudah menelepon Pak Juan dan mengatakan sedang menjaga keluarga yang sedang sakit, dan meminta tolong dia menguruskan izinku kepada ketua jurusan. Alhamdulillah, Pak Juan menyanggupi dan semoga saja pertolongannya ini tulus dan tak mengharapkan imbalan. Aku tidak ingin meninggalkan Opa Jhon dan aku menjaganya dengan baik selama 3 hari dirawat di rumah sakit ini. Oma Jenny dan Xeon juga melakukan hal yang sama. Mereka juga menjaga dan merawat Opa Jhon dengan baik. Kami bertiga bekerja sama dalam menunggui Opa Jhon. Dalam beberapa hari ini aku melihat ada perubahan dalam diri Xeon. Lelaki berambut hitam pekat itu berubah menjadi sosok yang peduli. Sangat berbeda dengan Xeon yang biasa aku lihat sehari-hari. Selama 3 hari ini tidak ada Xeon yang arogant, yang ada hanyalah Xeon baik hati dan perhatian. Dia juga terlihat sedikit ramah padaku. Akan tetapi, meski Xeon sudah bersikap baik dan peduli, aku tetap waspada
Bab 55 : Mendoakan SuamiAku tidak tahan lagi di sini. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam sini. Bayangan Opa Jhon sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat hatiku pilu. Aku harus melakukan sesuatu. Suara azan magrib sudah berkumandang dari arah Musala terdekat sini. "Oma, saya izin ke Musala dulu ya mau salat magrib," ucapku lirih di dekat telinga Oma Jenny yang sedang menangis. Dia memandangku dan mengangguk seraya menyeka air matanya dengan ujung jarinya. Aku pun menepuk pelan pundaknya dan beranjak dari tempat duduk. Aku melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit menuju Musala yang ada di lingkungan sekitar rumah sakit ini. Sesampainya di Musala, aku langsung menuju ke belakang untuk mengambil air wudu. Usai mengambil wudu, aku masuk ke dalam dan mencari tempat mukena, ternyata ada. Aku mengucapkan syukur dalam hati. Sebab tak jarang di musala-musala itu tak memiliki persediaan mukena. Musala ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Mung