Aiden dan Ayah memberi mandat pada para sesepuh dan anak buah Aiden untuk mengurus musuh yang sudah sekarat. Mereka sepakat jalur hukum adat adalah pilihan terbaik, mengingat kekuatan magis yang dipakai musuh-musuh tidak akan pernah bisa dijelaskan di pengadilan umum atau dicatat sebagai bukti. “Para sesepuh akan mengurus hukuman yang pantas,” kata Ayah, matanya tajam menatap sesepuh yang mengantar kami ke mobil. Dia yang mengangguk hormat menyetujui ucapan ayah. “Keputusan Ayah bukan tentang apa yang mereka lakukan pada kita saja, tetapi aksi perusakan di alam ini. Hukum adat akan jadi saksi mutlak, biar mereka tak mengulanginya lagi.”Aiden menyilangkan lengan di dada. “Benar, Pak Wijaya. Mereka harus tau kalau setiap pelanggaran memiliki konsekuensi,” ujarnya dingin. “Para penjaga akan menuntut keadilan yang sepadan, dan kita akan memastikan hukuman ini tidak berakhir di sini.”Sesepuh terdekat mendekat, mengangguk penuh pengertian pada Aiden dan Ayah. “Kami akan membawa mereka ke
Papa Gito melirik Kak Andre sebelum menjawab, seakan memberikan isyarat bahwa jawaban ini bukanlah kabar baik. “Sony dan Hendro sudah berada di tahanan, tapi mereka menolak berbicara, Sayang. Mereka berusaha menutupi siapa saja yang terlibat dalam jaringan ini.”Aiden mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Kita tidak boleh membiarkan mereka lolos begitu saja, Pa. Apa bukti kita belum cukup? Berani-beraninya melakukan kegiatan sampai membangun bunker seperti itu di tanah kita.”Papa Gito menghela napas tampak lelah, tapi memaksakan diri untuk tetap tegar. "Bukti yang kita miliki sudah cukup kuat untuk menahan mereka, tetapi mereka punya koneksi yang sangat luas, Aiden. Bahkan untuk kasus sebesar ini, mereka memiliki pengaruh yang menghalangi proses hukum."Saat suasana menegang, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan seorang pria bertubuh tegap dengan setelan rapi masuk. Dia tersenyum kecil, menyapa kami dengan anggukan kepala. Itu adalah Devano, sahabat karib Aiden. Kehadirannya lan
Suasana ruangan langsung berubah tegang. Wajah Papa yang tadinya tampak optimis langsung pesimis. Sementara Andre berdiri dengan tatapan tak percaya. Aiden mengepalkan tangannya, matanya berkilat marah. “Bagaimana bisa mereka kabur?” bentaknya dengan nada tajam.Petugas itu menelan ludah, tampak ketakutan dan gugup. “Maaf, Pak. Kami belum tahu detailnya, tetapi mereka kabur setelah terjadi pemadaman listrik mendadak di area sel. Sepertinya ada orang dalam yang membantu mereka.”Devano menghela napas berat, mencoba menjaga ketenangan. “Ini artinya mereka sudah mempersiapkan ini sejak awal. Kemungkinan besar jaringan mereka lebih besar dari yang kita bayangkan.”Papa mertua menatap Devano dan Aiden dengan emosi yang membara. “Kalau begitu, kita harus bertindak cepat sebelum mereka bisa melarikan diri lebih jauh. Mereka pasti punya rencana cadangan.”Aiden mengangguk cepat, beralih ke petugas tersebut. “Segera beri tahu semua unit kepolisian dan perketat keamanan di perbatasan. Jangan bi
Napasku tercekat ketika melihat sosok Wendy yang melangkah maju. Entah dari kapan wanita itu sudah berada di sini. Wajahnya dipenuhi amarah dan sorot mata penuh dendam. Ada kegilaan dalam tatapannya yang membara. Awalnya aku kira dia mengarah padaku, tapi sekejap tiba-tiba sorot matanya fokus pada Aiden, suamiku. Tubuhku yang sebelumnya terasa kaku, seperti dibekukan oleh teror yang memancar dari matanya mendadak menghadangnya begitu saja. Rasa kegilaan mulai merasukiku!Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan, rasa sakit yang mengerikan menghantam pelipisku. Aku tersentak, kepalaku berdenyut hebat, pandanganku mulai kabur. Rasa perih dan panas menyebar di sekitar pelipis, dan pandanganku berputar, dunia seolah goyah di sekelilingku.Telingaku menangkap suara teriakan ayahku yang penuh rasa takut dan panik, suaranya menggema, menembus hiruk pikuk kantor yang ramai. "Tidak! Dea!!!" teriaknya, nada suaranya seolah berusaha menahan bencana yang sudah terlanjur terjadi."Apa-apaan kamu, Wend
Suara di sekelilingku mulai redup. Kesadaran yang sempat hilang kini tenggelam dalam suara langkah kaki Ayah yang terburu-buru. Napas Ayahku terdengar mengehembus cepat, bahkan aku bisa merasakan detak jantungnya yang berderu cepat. Rasa nyeri terus menggerogoti tubuhku, terutama di perut. Di sana terasa hangat oleh darah yang tak kunjung berhenti mengalir. Rasanya setiap detik semakin menguras energiku. Pandanganku sangat gelap, tetapi aku bisa merasakan pelukan kuat Ayah yang terus membopongku, memberikan kehangatan di tengah rasa dingin yang semakin merayapi. "Ayah," gumamku lirih, nyaris tak terdengar. Aku berusaha tetap mempertahankan kesadaranku yang ada di ujung batas. "Ssstt, Iya, Sayang. Ayah ada di sini. Bertahanlah, kita hampir sampai. Jangan pernah menyerah, Dea," suaranya terdengar begitu bergetar, seperti ia sedang menahan rasa sakit yang sama denganku. Di sepanjang jalan, aku bisa merasakan deru mesin mobil. "Lebih cepat lagi!" teriak Ayahku. Beliau sepertinya sangat
Gemerisik dokter dan perawat adalah satu-satunya yang menembus batas antara kesadaranku yang kian redup dari dunia nyata. Aku mendengar suara mesin-mesin yang berdentang halus, mencoba menjaga detak jantungku yang semakin lemah. Setiap detik yang berlalu terasa seperti tarikan halus antara hidup dan mati, seolah tubuhku harus memilih antara menyerah pada rasa sakit yang tak kunjung berhenti atau berjuang untuk bertahan.Rasa dingin menjalar di setiap inci tubuhku, tetapi samar-samar aku bisa merasakan kehangatan dari tangan ayah yang mungkin saja masih berada di ruang tunggu. Aku mencoba mencari sedikit kekuatan dari bayangannya, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatan untuk tetap berada di sini.Suara perawat yang mengatakan, "Tekanan darahnya turun." Menyentakku kembali ke kesadaran yang nyaris pudar. Aku bisa membayangkan wajah dokter utama yang kini bekerja semakin cepat, matanya mungkin penuh konsentrasi di balik masker yang menutupi wajahnya. Para perawat di sekelilingnya tampak
"Nak, kedua matamu masih diperban. Jadi, sabar dulu ya, Nak," jawab Ayahku yang terdengar nada bergetar di akhir kalimat. Pengheliatanku sangat gelap sekarang. Rasanya sangat sesak karena tidak bisa melihat apapun. Aku mengangguk pelan, meski rasa sesak itu terus menghimpitku. Gelapnya dunia di sekelilingku seperti menyelimuti neraka ketidakpastian. Aku meraba-raba ujung selimut yang menutupi tubuhku, mencoba mencari rasa aman di tengah rasa putus asa yang perlahan-lahan merayap.Setelah beberapa hari bangun dari koma. Dokter berkali-kali mengecek keadaanku tanpa banyak memberi kejelasan apa yang terjadi pada tubuhku. Keluargaku pun engga mengatakan apapun tentang kondisiku. Mereka hanya memberikan semangat agar aku lekas sembuh.“Ayah, bagaimana kalau aku tidak bisa melihat lagi?” tanyaku lirih, suara yang bahkan aku sendiri nyaris tidak bisa mendengarnya. Sekarang aku benar-benar jengah dengan bungkamnya semua orang.Ayah menggenggam tanganku erat. “Jangan bicara seperti itu, Dea.
Setelah mendapat rujukan dari dokter. Aku bersama keluargaku langsung terbang ke Amerika. Sebenarnya aku sangat penasaran bagaimana kabar Aiden, dan kasus yang ia tangani. Namun, Ayah bersikeras untuk bungkam. Kondisiku yang tidak bisa melihat apapun sangat menyulitkan rutinitas keseharianku."Ayah sudah mengacukan perceraian kalian ke pengadilan. Sekarang kamu fokus ke pengobatanmu saja, Nak. Jangan tanyakan apapun soal mereka. Cukup sampai sini saja penderitaanmu," ujar Ayah. Aku tak ingin menjawab apapun soal perceraian tersebut. Lagipula, kami tidak saling mencintai, dan pernikahan ini dilaksanakan atas dasar terpaksa. Kuturuti permintaan Ayah untuk fokus ke pengobatan. Smartphone yang biasanya tak lepas dari genggamanku pun entah hilang ke mana.Saat aku tertidur, tanpa sengaja kudengar suara berbisik antara Ayah dan Ibu."Aku sudah diberitahu Kanjeng Ratu soal masalah yang akan dihadapi putri kita. Tapi aku tidak menyangka ia akan mendapatkan penusukan tersebut. Kukira hanya ak
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba