Asma masih terdiam. Terlihat masih mencerna, permen pil? Setelah beberapa detik pun Asma mengiyakan. Fariz melambaikan tanga, kemudian pedagangnya, berjalan ke arah Salma, Fariz dan Asma. Melihat permen itu, mengingat kan masa kecil Salma dan Fariz. Orang tua mereka sering juga mengajak mereka ke acara pengajian dan dibelikan permen pil tersebut. "Belum lama kamu ingatin masa selewengan aku, Cam. Sekarang, jadi teringat masa bocil makan permen ini, Cama juga mau?" tanya Fariz. "Hahaha … Cama juga keinget, mau dong tapi dimakan entar aja di rumah," tawa Salma. *** 'Dalam udara, aku seperti tetap bisa memandangmu di awan itu. Pertama kali meninggalkanmu dalam jarak jauh, mana ada kata rindu tidak menghampiri? Seluruh jiwaku bergetar, batinku menjerit, ragaku meraung, ingin ada kehadiranmu duduk di sampingku. Bertahan dan menahan! Ya … itulah kalimat tajam yang harus terpaku untuk pejuang rindu.' Sangat lesu rasanya. Fariz terus memandang awan luar dari jendela pesawat. Ia berangkat
Janji suci Terlontar dalam rantaian penuh arti Aku menggali Penuh rasa percaya diri Menjadikanku sandaranmu Serta menjadi bahumu Lukisan indah mulai ketemu Dalam garis yang telah bersatu Duniaku begitu terang Saat mengenalmu dalam masa terkenang Kesuraman tersingkir bak perubahan arang Menjadikanku tahu akan pandang Cintaku Ku ukir semua dalam naungan qolbu Mengucap qobiltu Untuk merakit kebersamaan diiringi restu Janganlah kau meragu Jika mulut lupa akan ucapan manis Bukan berarti aku ingin membuatmu menangis Jika waktu membawa kita pada kejauhan Bukan berarti aku tidak merindukan Kau wanita terbaik untukku Tetaplah berdiri saat sandaranmu tidak bersamamu Tetaplah kuat di kala aku membuatmu sayu Capa, Cama … denyut malam tidak akan mengkhianati kita dalam selimut salju Itu puisi Fariz untuk Salma. Namun, kenapa puisi tersebut ditulis ulang oleh Salma? Ternyata, Salma menggabungkan dengan puisi miliknya. Fariz terharu membaca ulangnya. Itu baru puisinya dia se
"Nggak tahu di luar kamar. Cama lihat dulu," ucap Salma. Salma keluar dari kamar dan tetap menyalakan ponselnya. Suara jatuhan tadi adalah suara ulah dari putri kecil mereka. Hunaisa membawa satu gelas minuman coklat favorit Salma yang dibuatkan oleh omanya. Reva tidak menyuruh Hunaisa. Namun, dia ingin menafsirkan ke Salma saat Reva masih ke kamar mandi. Alhasil, tumpah di depan kamar Salma saat akan membuka pintu. "Huwaaaaaa … Ummah, maaf." Kata Hunaisa dengan tangisan dan tercyduk lemas di lantai. "Ya Allah, Sayang … sini-sini." Salma menggendong Hunaisa menyingkir dari pecahan gelas. "Ini mau buat Ummah, iya?" tanya lembut Salma. "Iyaaaa … huwaaaaa … tapi tapi, jatuh," jawab Hunaisa. "Masya Allah, niatnya baik ya Sayang. Ummah ucapin Terima kasih udah dibawain minumannya untuk Ummah. Ndak apa-apa kok terjatuh, entar bisa bikin lagi. Diam duku nangisnya, Nais di kamar, Ummah mau beresin dulu. Lain kali, kalau Nais bawa pakai tangan atom ya, minta ke oma," ucap Salma. "Anak D
"Nais mau itu, donat," jawab Naisa. "Kok donat? Mau makanan?" tanya Salma. "Bukan, itu yang macam-macam," jawab Naisa. Salma baru paham, yang dimaksud putrinya itu adalah mainan masak-masakan. Awalnya Salma berpikir yang dimaksud itu donat susun. Namun, langsung teringat beberapa hari yang lalu, Nais memang minta masak-masakan yang ada aneka ragam makanan, seperti salah satunya donat. "Oh, masak-masakan?" tanya Salma. "Yes," jawab Naisa. Hunaisa tidak suka beli dengan online. Dia pengennya datang langsung ke toko. Sangat hobi juga bercengkrama dengan kasirnya. Salma memandang Hunaisa dengan wajahnya senangnya. Ia ikut tersenyum bahagia, melihat Hunaisa juga bahagia. Hunaisa itu anaknya sangat membuat Salma terharu. Masih kecil, tapi dia itu ketara banget baiknya. Perhatiannya dengan Salma juga sangat dalam. Kalau melihat Hunaisa duduk di kursi mobil dengan tubuh mungil dan senyumnya yang tidak lari, ia jadi merasa seperti suaminya hadir di situ. Biasanya Hunaisa duduk
"Siapa, sih?" Salma kepo tapi jam masuk udah dekat.Salma menahan rasa penasarannya. Kalau ia turuti saat itu, jawaban sudah pasti, TELAT. Namun, saat ini Salma tidak merasa kalau dirinya sedang tidak aman.Dia juga bukan penakut. Dari dulu, Salma sudah menjadi wanita tangguh yang bisa menjaga diri. Terlepas dari sebelum pernikahannya dengan Fariz, hal tersebut sudah menetap dalam diri Salma.***"Wildan, Pak Dorsin, ada apa ya panggil saya?" tanya Salma di kantin kampus."Nyantai, kita ngobrol. Duduklah," ucap Dorsin."Maaf, kalau sekiranya cuma ngobrol biasa, saya,""Nggak biasa. Ini hal penting, Sal," cegah Wildan."Apa?" Salma kembali untuk duduk di kursi yang telah disediakan dengan wahai serius."Baiklah, saya akan katakan. Hal serius itu, DOSE
"Kita jalan-jalan dululah, bentar," ucap Freya. "Iiih! Turunin sini aja," ucap Clarissa tidak betah dengan Salma dan Fariz. "Bentar, kalau aku turunin kasihan… entar Kak Clarissa Sang Ratu, jadi malu. Masa, Ratu jalan kaki sendirian di pinggir jalan," ucap Salma. Mereka mulai bertanya-tanya. Memberikan camilan juga untuk Clarissa. Salma terus saja tidak menggubris rengekan Clarissa untuk minta diturunkan. "Kak Cla, menurut kamu, siapa sih dosen paling cakep?" tanya Freya. Freya duduk di kursi belakang dengan Clarissa. Salma menahan tawanya duduk di depan sambil menyetir mobilnya. Entah karena cemilan itu kesukaan Clarissa jadi dia nyaman, atau memang kenapa. Setelah makan cemilan bersama, ia tidak lagi merengek minta diturunkan. "Menurut aku ya, pak Dorsin," jawab Clarissa. "Waaawwww!" Sontak, Freya hampir saja membuat rencana dihancurkan sendiri. "Kenapa asyik banget gitu? Menurut kamu siapa?Jangan-jangan jalur naksir pak Dorsin, kan?" tanya Clarissa. "Ngawur! Aku udah nikah,
"Ada coklat, banyak kok, entar kamu lihat sendiri sampai rumah," ucap Fariz. Mami dan papinya Fariz juga terlihat sangat kangen. Setelah semua berkumpul, mereka semua bergegas untuk pulang. Fariz juga rindu dengan anak-anak panti, terlebih ke yang paling kecil, Hunaisa. "Papi, Mami, sehat kan?" tanya Fariz sembari memeluk mereka bergantian. "Alhamdulillah, Nak," jawab mereka. Sampai di depan rumah, Hunaisa dan yang lain masih makan siang. Fariz segera bersih-bersih dulu lalu menghampiri mereka. Salma menyisir rambut acak-acajan suaminya biar semakin ganteng. "Gini kan, tambah ganteng," ucap Salma seraya menyisir rambut Fariz. "Hahaha … sayangku," tawa Fariz. "Daddy … Daddy … Daddy … Daddy!" teriak Hunaisa, tanpa permisi nyelonong masuk kamar. "Naisa, Sayang … udah besar aha kamu, Nak. Daddy kangen banten sama Nais." Fariz langsung menggendong putri kecil itu dan memeluknya. Fariz jadi teringat kejadian di London. Bagaimanapun, Hunaisa juga harus diketahui sebenarnya dia ini a
"Menurut kamu siapa?" tanya Fariz. "Yang pasti, mami dan papi sangat hebat, bisa menjadikan Capa seperti ini." Salma selalu menjunjung tinggi mertuanya. Dia sangat bersyukur diberi mertua yang juga menyayanginya serta sangat memahaminya. Tidak hanya ketika Salma bersanding dengan Fariz. Bahkan, saat ia ke London, mertuanya itu juga selalu ada untuk Salma. "Hahaha … yaaa begitulah, kamu selalu menjujung tinggi mertuamu. Thanks, Sayang," ucap Fariz. "Setiap menantu yang sudah dibukakan hatinya, ya tidak akan pernah tega menghinakan mertua, Cap. Alhamdulillah, Allah membuka hati Cama, ini semua karena Allah, kehendak Allah," jawab Salma. "Udah saatnya, sekarang Capa makan kamu. Sudah nggak tahan, Cam." Fariz begitu menyeramkan, langsung menggendong istrinya ke tempat istimewa mereka. Salma pasrah saja. Batinnya juga sangat bahagia bisa menjalankan ibadah lagi bersama suaminya. Memang, keluarga yang diisi dengan penuh cinta itu tidaklah sia-sia. Pernyataan harta yang paling berharga