"Masih pagi, aku cuma nata ini doang, terus, mau masuk. Malaslah, kalau ketemu tetangga yang seperti waktu itu," ucap Salma terdiam sejenak. "Bertemu mama? Boleh aja, kok. Memangnya mau bahas apa? Kok seperti serius gitu?" tanya Salma. "Ada deh. Capa mau minta maaf udah bikin putrinya mama menangis." Fariz dan Salma bergandengan tangan untuk ke depan. Mereka menemui Risa dan semua keluarga Salma yang sibuk di dapur. Antusias Asma tidak kalah cepat. Ia langsung menyambut datangnya Fariz dengan teriakan menggelegar. "Om Fariz!" teriak Asma sembari menghampirinya. "Hallo, Sayang, udah cantik aja nih pakai seragam," sapa Fariz. Mami Risa dan yang lain hanya bisa ketawa melihat kedatangan Fariz. Karena belum juga tujuh hari, mereka sudah bertemu saja. Fariz langsung bersalaman dengan mertua dan kakaknya Salma. "Ma, maaf. Udah bikin putri Mama nangis," ucap Fariz. "Maaf Pa, maaf Kak," lanjut Fariz. "Iya, Nak. Jangan diulang, ya. Jadinya kan kalian berdua yang menahan rindu, hahaha …
Asma masih terdiam. Terlihat masih mencerna, permen pil? Setelah beberapa detik pun Asma mengiyakan. Fariz melambaikan tanga, kemudian pedagangnya, berjalan ke arah Salma, Fariz dan Asma. Melihat permen itu, mengingat kan masa kecil Salma dan Fariz. Orang tua mereka sering juga mengajak mereka ke acara pengajian dan dibelikan permen pil tersebut. "Belum lama kamu ingatin masa selewengan aku, Cam. Sekarang, jadi teringat masa bocil makan permen ini, Cama juga mau?" tanya Fariz. "Hahaha … Cama juga keinget, mau dong tapi dimakan entar aja di rumah," tawa Salma. *** 'Dalam udara, aku seperti tetap bisa memandangmu di awan itu. Pertama kali meninggalkanmu dalam jarak jauh, mana ada kata rindu tidak menghampiri? Seluruh jiwaku bergetar, batinku menjerit, ragaku meraung, ingin ada kehadiranmu duduk di sampingku. Bertahan dan menahan! Ya … itulah kalimat tajam yang harus terpaku untuk pejuang rindu.' Sangat lesu rasanya. Fariz terus memandang awan luar dari jendela pesawat. Ia berangkat
Janji suci Terlontar dalam rantaian penuh arti Aku menggali Penuh rasa percaya diri Menjadikanku sandaranmu Serta menjadi bahumu Lukisan indah mulai ketemu Dalam garis yang telah bersatu Duniaku begitu terang Saat mengenalmu dalam masa terkenang Kesuraman tersingkir bak perubahan arang Menjadikanku tahu akan pandang Cintaku Ku ukir semua dalam naungan qolbu Mengucap qobiltu Untuk merakit kebersamaan diiringi restu Janganlah kau meragu Jika mulut lupa akan ucapan manis Bukan berarti aku ingin membuatmu menangis Jika waktu membawa kita pada kejauhan Bukan berarti aku tidak merindukan Kau wanita terbaik untukku Tetaplah berdiri saat sandaranmu tidak bersamamu Tetaplah kuat di kala aku membuatmu sayu Capa, Cama … denyut malam tidak akan mengkhianati kita dalam selimut salju Itu puisi Fariz untuk Salma. Namun, kenapa puisi tersebut ditulis ulang oleh Salma? Ternyata, Salma menggabungkan dengan puisi miliknya. Fariz terharu membaca ulangnya. Itu baru puisinya dia se
"Nggak tahu di luar kamar. Cama lihat dulu," ucap Salma. Salma keluar dari kamar dan tetap menyalakan ponselnya. Suara jatuhan tadi adalah suara ulah dari putri kecil mereka. Hunaisa membawa satu gelas minuman coklat favorit Salma yang dibuatkan oleh omanya. Reva tidak menyuruh Hunaisa. Namun, dia ingin menafsirkan ke Salma saat Reva masih ke kamar mandi. Alhasil, tumpah di depan kamar Salma saat akan membuka pintu. "Huwaaaaaa … Ummah, maaf." Kata Hunaisa dengan tangisan dan tercyduk lemas di lantai. "Ya Allah, Sayang … sini-sini." Salma menggendong Hunaisa menyingkir dari pecahan gelas. "Ini mau buat Ummah, iya?" tanya lembut Salma. "Iyaaaa … huwaaaaa … tapi tapi, jatuh," jawab Hunaisa. "Masya Allah, niatnya baik ya Sayang. Ummah ucapin Terima kasih udah dibawain minumannya untuk Ummah. Ndak apa-apa kok terjatuh, entar bisa bikin lagi. Diam duku nangisnya, Nais di kamar, Ummah mau beresin dulu. Lain kali, kalau Nais bawa pakai tangan atom ya, minta ke oma," ucap Salma. "Anak D
"Nais mau itu, donat," jawab Naisa. "Kok donat? Mau makanan?" tanya Salma. "Bukan, itu yang macam-macam," jawab Naisa. Salma baru paham, yang dimaksud putrinya itu adalah mainan masak-masakan. Awalnya Salma berpikir yang dimaksud itu donat susun. Namun, langsung teringat beberapa hari yang lalu, Nais memang minta masak-masakan yang ada aneka ragam makanan, seperti salah satunya donat. "Oh, masak-masakan?" tanya Salma. "Yes," jawab Naisa. Hunaisa tidak suka beli dengan online. Dia pengennya datang langsung ke toko. Sangat hobi juga bercengkrama dengan kasirnya. Salma memandang Hunaisa dengan wajahnya senangnya. Ia ikut tersenyum bahagia, melihat Hunaisa juga bahagia. Hunaisa itu anaknya sangat membuat Salma terharu. Masih kecil, tapi dia itu ketara banget baiknya. Perhatiannya dengan Salma juga sangat dalam. Kalau melihat Hunaisa duduk di kursi mobil dengan tubuh mungil dan senyumnya yang tidak lari, ia jadi merasa seperti suaminya hadir di situ. Biasanya Hunaisa duduk
"Siapa, sih?" Salma kepo tapi jam masuk udah dekat.Salma menahan rasa penasarannya. Kalau ia turuti saat itu, jawaban sudah pasti, TELAT. Namun, saat ini Salma tidak merasa kalau dirinya sedang tidak aman.Dia juga bukan penakut. Dari dulu, Salma sudah menjadi wanita tangguh yang bisa menjaga diri. Terlepas dari sebelum pernikahannya dengan Fariz, hal tersebut sudah menetap dalam diri Salma.***"Wildan, Pak Dorsin, ada apa ya panggil saya?" tanya Salma di kantin kampus."Nyantai, kita ngobrol. Duduklah," ucap Dorsin."Maaf, kalau sekiranya cuma ngobrol biasa, saya,""Nggak biasa. Ini hal penting, Sal," cegah Wildan."Apa?" Salma kembali untuk duduk di kursi yang telah disediakan dengan wahai serius."Baiklah, saya akan katakan. Hal serius itu, DOSE
"Kita jalan-jalan dululah, bentar," ucap Freya. "Iiih! Turunin sini aja," ucap Clarissa tidak betah dengan Salma dan Fariz. "Bentar, kalau aku turunin kasihan… entar Kak Clarissa Sang Ratu, jadi malu. Masa, Ratu jalan kaki sendirian di pinggir jalan," ucap Salma. Mereka mulai bertanya-tanya. Memberikan camilan juga untuk Clarissa. Salma terus saja tidak menggubris rengekan Clarissa untuk minta diturunkan. "Kak Cla, menurut kamu, siapa sih dosen paling cakep?" tanya Freya. Freya duduk di kursi belakang dengan Clarissa. Salma menahan tawanya duduk di depan sambil menyetir mobilnya. Entah karena cemilan itu kesukaan Clarissa jadi dia nyaman, atau memang kenapa. Setelah makan cemilan bersama, ia tidak lagi merengek minta diturunkan. "Menurut aku ya, pak Dorsin," jawab Clarissa. "Waaawwww!" Sontak, Freya hampir saja membuat rencana dihancurkan sendiri. "Kenapa asyik banget gitu? Menurut kamu siapa?Jangan-jangan jalur naksir pak Dorsin, kan?" tanya Clarissa. "Ngawur! Aku udah nikah,
"Ada coklat, banyak kok, entar kamu lihat sendiri sampai rumah," ucap Fariz. Mami dan papinya Fariz juga terlihat sangat kangen. Setelah semua berkumpul, mereka semua bergegas untuk pulang. Fariz juga rindu dengan anak-anak panti, terlebih ke yang paling kecil, Hunaisa. "Papi, Mami, sehat kan?" tanya Fariz sembari memeluk mereka bergantian. "Alhamdulillah, Nak," jawab mereka. Sampai di depan rumah, Hunaisa dan yang lain masih makan siang. Fariz segera bersih-bersih dulu lalu menghampiri mereka. Salma menyisir rambut acak-acajan suaminya biar semakin ganteng. "Gini kan, tambah ganteng," ucap Salma seraya menyisir rambut Fariz. "Hahaha … sayangku," tawa Fariz. "Daddy … Daddy … Daddy … Daddy!" teriak Hunaisa, tanpa permisi nyelonong masuk kamar. "Naisa, Sayang … udah besar aha kamu, Nak. Daddy kangen banten sama Nais." Fariz langsung menggendong putri kecil itu dan memeluknya. Fariz jadi teringat kejadian di London. Bagaimanapun, Hunaisa juga harus diketahui sebenarnya dia ini a
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka