"Sudah pas kok. Capa di situ ketemu banyak cewek seksi kan?" ucap Salma. "Banyak banget, bahkan foto bareng mereka. Ada yang foto berdua saat di diskotik juga, mau tahu, nggak?" ledek Fariz. "Arrrghh! Capa tega banget, ke diskotik juga?" Salma langsung mematikan ponselnya karena sangat tidak suka dengan yang dikatakan oleh suaminya. Ia tak sanggup mendengar lebih lanjut dengan pengakuannya bersama cewek lain. Padahal sudah jelas, bahwa suaminya hanya bercanda saja. Ia terlalu menganggap semuanya serius karena ia juga terlalu khawatir dengan lingkungan bebas suaminya di luar sana. Fariz mencoba untuk menelpon lagi, beberapa kali baru diangkat oleh Salma. Fariz tertawa melihat ekspresi wajah istrinya menangis dan cemberut. "Hahaha ... percaya dengan ucapan Capa? Gemes banget kamu cemberut sambil nangis begitu, jadi rindu mencubit hidung kamu, Sayang," tawa Fariz. "Iiih Capa gak lucu! Sudah tahu istrinya lagi khawatir dengan kamu yang di alam bebas dengan berbagai macam orang. Awas
"Iish, kamu kok jadi lemot sih," ledek Fariz. "Lemot apaan? Hahaha ... Cama tahu sebenarnya," jawab Salma. "Apa coba? Kenapa nggak dilakuin?" Fariz terlihat merajuk. Salma paham sebenarnya kalau excited Salma itu diarahkan ke suaminya. Ia segera memeluk suaminya dan berterima kasih. Ternyata ia sengaja melakukan hal tersebut, tak lain untuk meledek suaminya sendiri. "Ini kan, yang Capa maksud? Kasihan, jeles sama kasur sekarang ... kalau dulu jelesnya sama tembok. Wkwkwk ..." Salma terkekeh dengan kejelesan suaminya. *** "Capa, ini buat apa alat-alat dan orang-orang ini mau apa?" Salma begitu heran melihat kru yang dibentuk Fariz untuk membantu Salma dan Freya dalam berdakwah melalui media online. Fariz tidak hanya memberi izin semata, tapi juga memfasilitasi dari segi kebutuhan teknologinya maupun manusianya. "Coba baca, baju mereka. Kalian balik badan semua!" perintah Fariz. "BESTIE FS." Salma membaca setiap orang yang memakai baju sama tersebut. Ia baru paham kalau adalah
"Hehehe ... sorry ya. Kita damai kok. Aku juga heran dengan diriku," jawab Freya. "Ooo mungkin faktor kamu hamil. Syukurlah kalau kita baik-baik saja."***Capa, ini sudah dua tahun lebih kita menjalani pernikahan,” ucap Salma. "Iya, tapi kenapa kamu terlihat sedih?" tanya Fariz. "Nggak sedih kok," dusta Salma. "Pertama kita ketemu saja, Capa bisa tahu loh kalau kamu ini sedang berbohong atau tidak. Apalagi sekarang di saat jiwa dan raga kita sudah menyatu. Jangan-jangan kamu merasa tidak bahagia dengan Capa." Fariz sengaja mengucap ngawur di akhir biar istrinya mau mengaku. Karena dia memang terlihat murung terus. Salma segera memandang suaminya dengan wajah kesal. "Aku sangat bahagia bersanding denganmu. Mau satu hari maupun dua tahun ini, kau tetap saja mau menjalankan rutinitas khusus untukku dengan kualitas terbaik. Mana ada istri tidak bahagia jika diratukan, diberi kasih sayang yang tulus, dan juga sangat dihargai oleh suaminya? Bukankah suamiku ini sudah yang terbaik mesk
"Mirip boneka di baju, Nais? Begitu?" "Betul Ummah." Naisa menjawab dengan ceria. Memang saat itu jadinya untuk Hunaisa baju yang dibuat Humaira. Karena melihat Salma belum hamul apalagi melahirkan disaat Humaira wisuda, ia putuskan untuk praktek untuk baju Hunaisa saja. Tapi, teringat baju itu Salma jadi sedih. Sebenarnya itu yang membuat dirinya sedih tadi. Fariz melihat juga wajah istrinya saat akan turun mobil itu sedang meratapi sesuatu. "Kamu capek? Istirahat di mobil aja, biar Capa yang ke dalam sama Naisa," ucap Fariz. "Oh, gak kok. Cama gak capek." Salma segera membungkus perasannya dengan senyum. Fariz tentu tahu dong kalau istrinya itu sedang berbohong. Tapi, ya ia biarkan dulu. Setelah kelar beli boneka, entar langsung ditanya oleh suaminya. Hunaisa terlihat sangat bahagia membawa boneka pink sesuai kesukaannya. Mereka sekalian membelikan mainan juga untuk anak-anak panti. Tidak semua boneka pink seperti Hunaisa, tapi menyesuaikan dengan apa kesukaan dari mereka-mere
"Undangan ke resepsi Anggrek," jawab Fariz. "Yang anaknya tetangga sebelah?" tanya Salma. "Iya," jawab Fariz. *** Fariz menghadiri acara resepsi bersama istrinya. Anggrek merupakan putri dari rekan Fariz juga dalam kerja sama perusahaan. Namun, itu pertama kalinya Salma kena nyinyir tetangga. Keluarga tentu ingin segera hadir putra dari Salma dan Fariz. Namun, mereka tidak mencaci Salma maupun Fariz karena belum kunjung punya sampai dua tahun pernikahan. Dan saat itu tetangganya malah berkata pedas secara langsung, ada pula yang berbisik tak mengenalkan hati. "Salma! Kamu tuh mandul? Huh, sayang deh kalau banyak duit tapi mandul," "Iya tuh, kamu kok belum juga hamil? Padahal nikah muda loh. Jangan-jangan dulu menikah muda karena sudah hamil dan digugurin, makanya sekarang kena imbas," Sungguh ucapan tetangga sama sekali tidak manis untuk Salma. Fariz tidak tahu dengan hal itu karena sedang di kamar mandi. Meski perih, Salma juga tidak mau diinjak di atas hal yang tidak nyata u
"Lagi malas makan, jangan dipaksa ah!" Salma malah tiduran. "Kapan sih Capa maksa Cama? Capa mengajak kamu supaya menjaga pola makan dengan baik. Perasaan, kamu baru aja nasihatin Humaira Soal ini?" Fariz mengusap-usap pipi mulus istrinya. "Nggak mau," jawab Salma tanpa menghiraukan penjelasan. Fariz menghela nafas untuk tetap sabar. Keadaan ia baru aja pulang kerja dan sangat lapar. Ia rela meninggalkan makan malamnya bersama rekan kerjanya karena ingin menemani sang istri makan malam. Menahan laparnya sih, tidak terlalu masalah buat Fariz. Tapi ya sedikit masalah, karena perlu diisi setelah penggunaan tenaga dan otaknya dalam bekerja. Namun, tentu yang lebih menonjol ialah kekhawatiran ia terhadap istrinya. Akhir-akhir ini, wajah istrinya sering terlihat menyimpan luka. Kalau Fariz ingat-ingat, semua masalah yang menimpa mereka telah usai diselesaikan dan berhasil membuatnya tersenyum. Apa Salma hanya membungkus luka dengan senyum saja? 'Aku bingung apa yang sebenarnya kau piki
"Yaa entar kamu tahu. Surprise kan sifatnya rahasia, Sayang," Fariz mengusap pipi Salma. Belum sempat Salma menjawab, segerombolan mertua dan orang tuanya datang menghampiri Salma. Mereka yang perempuan mengajak Salma ngobrol di sebelah kiri. Sedangkan Fariz juga diajak oleh paman dari Salma. Namun, Fariz tetap berada di meja samping istri, orang tua dan mertuanya bercengkerama. Ia selalu mengawasi istrinya meskipun dengan orang tua dan maminya sendiri karena keadaannya sekarang Salma sedang belum baik-baik saja. Untuk para keluarga yang lain masih melanjutkan makan-makannya. Dan, dugaan Salma terjebak lagi. Tidak lain, mereka juga ikut membahas anak. 'Mi, Ma! Pahami dong perasaan Salma. Tolong jangan bahas ini dulu!' jerit Salma dalam batinnya. "Sayang, jangan lesu dong! Apa kamu sakit?" tanya mami Reva. "Oh, tidak Mi. Salma kelihatan lesu, ya?" "Iya Sal. Mama tahu, kamu gak suka kita bicara masalah anak?" tanya mama Risa. "Bukan begitu, kok. Emang rada melo aja melihat saudar
"Mau ke tempat A atau B. Kamu pilih!" seru Fariz. ”Cama suka yang A saja," "Baiklah," jawab Fariz. Mereka segera menuju restauran yang diinginkan Salma. Baru saat itu, Fariz melihat galaunya Salma sangat mendalam.. sebenarnya, Fariz juga galau tapi tidak ingin membuat istrinya semakin galau. *** "Capa, dingin banget," ucap Salma di malam hari yang sedang hujan. "Lagian, sudah tahu malam dingin begini kok tetap aja di samping jendela. Ya disitu memang dingin," jawab Fariz. "Cama masih mau lihat keindahan alam itu, ambilin jaket, dong!" pinta Salma. Rasanya, ia ingin dekat dengan istrinya. Bukannya kemari untuk diranjang bersama Fariz, ia malah minta diambilkan jaket. Fariz masih mematung berharap Salma bicara yang lain. "Dengar gak, sih?" ucapnya dengan manja. "Iya." Rintik hujan yang terdengar menetes perlahan itu memang indah. Fariz baru menyadari hal tersebut. Ia pun mendorong sofa supaya bisa buat ia dan Salma duduk sembari menyaksikan keindahan alam tersebut. Awalnya ia