"Hehehe ... sorry ya. Kita damai kok. Aku juga heran dengan diriku," jawab Freya. "Ooo mungkin faktor kamu hamil. Syukurlah kalau kita baik-baik saja."***Capa, ini sudah dua tahun lebih kita menjalani pernikahan,” ucap Salma. "Iya, tapi kenapa kamu terlihat sedih?" tanya Fariz. "Nggak sedih kok," dusta Salma. "Pertama kita ketemu saja, Capa bisa tahu loh kalau kamu ini sedang berbohong atau tidak. Apalagi sekarang di saat jiwa dan raga kita sudah menyatu. Jangan-jangan kamu merasa tidak bahagia dengan Capa." Fariz sengaja mengucap ngawur di akhir biar istrinya mau mengaku. Karena dia memang terlihat murung terus. Salma segera memandang suaminya dengan wajah kesal. "Aku sangat bahagia bersanding denganmu. Mau satu hari maupun dua tahun ini, kau tetap saja mau menjalankan rutinitas khusus untukku dengan kualitas terbaik. Mana ada istri tidak bahagia jika diratukan, diberi kasih sayang yang tulus, dan juga sangat dihargai oleh suaminya? Bukankah suamiku ini sudah yang terbaik mesk
"Mirip boneka di baju, Nais? Begitu?" "Betul Ummah." Naisa menjawab dengan ceria. Memang saat itu jadinya untuk Hunaisa baju yang dibuat Humaira. Karena melihat Salma belum hamul apalagi melahirkan disaat Humaira wisuda, ia putuskan untuk praktek untuk baju Hunaisa saja. Tapi, teringat baju itu Salma jadi sedih. Sebenarnya itu yang membuat dirinya sedih tadi. Fariz melihat juga wajah istrinya saat akan turun mobil itu sedang meratapi sesuatu. "Kamu capek? Istirahat di mobil aja, biar Capa yang ke dalam sama Naisa," ucap Fariz. "Oh, gak kok. Cama gak capek." Salma segera membungkus perasannya dengan senyum. Fariz tentu tahu dong kalau istrinya itu sedang berbohong. Tapi, ya ia biarkan dulu. Setelah kelar beli boneka, entar langsung ditanya oleh suaminya. Hunaisa terlihat sangat bahagia membawa boneka pink sesuai kesukaannya. Mereka sekalian membelikan mainan juga untuk anak-anak panti. Tidak semua boneka pink seperti Hunaisa, tapi menyesuaikan dengan apa kesukaan dari mereka-mere
"Undangan ke resepsi Anggrek," jawab Fariz. "Yang anaknya tetangga sebelah?" tanya Salma. "Iya," jawab Fariz. *** Fariz menghadiri acara resepsi bersama istrinya. Anggrek merupakan putri dari rekan Fariz juga dalam kerja sama perusahaan. Namun, itu pertama kalinya Salma kena nyinyir tetangga. Keluarga tentu ingin segera hadir putra dari Salma dan Fariz. Namun, mereka tidak mencaci Salma maupun Fariz karena belum kunjung punya sampai dua tahun pernikahan. Dan saat itu tetangganya malah berkata pedas secara langsung, ada pula yang berbisik tak mengenalkan hati. "Salma! Kamu tuh mandul? Huh, sayang deh kalau banyak duit tapi mandul," "Iya tuh, kamu kok belum juga hamil? Padahal nikah muda loh. Jangan-jangan dulu menikah muda karena sudah hamil dan digugurin, makanya sekarang kena imbas," Sungguh ucapan tetangga sama sekali tidak manis untuk Salma. Fariz tidak tahu dengan hal itu karena sedang di kamar mandi. Meski perih, Salma juga tidak mau diinjak di atas hal yang tidak nyata u
"Lagi malas makan, jangan dipaksa ah!" Salma malah tiduran. "Kapan sih Capa maksa Cama? Capa mengajak kamu supaya menjaga pola makan dengan baik. Perasaan, kamu baru aja nasihatin Humaira Soal ini?" Fariz mengusap-usap pipi mulus istrinya. "Nggak mau," jawab Salma tanpa menghiraukan penjelasan. Fariz menghela nafas untuk tetap sabar. Keadaan ia baru aja pulang kerja dan sangat lapar. Ia rela meninggalkan makan malamnya bersama rekan kerjanya karena ingin menemani sang istri makan malam. Menahan laparnya sih, tidak terlalu masalah buat Fariz. Tapi ya sedikit masalah, karena perlu diisi setelah penggunaan tenaga dan otaknya dalam bekerja. Namun, tentu yang lebih menonjol ialah kekhawatiran ia terhadap istrinya. Akhir-akhir ini, wajah istrinya sering terlihat menyimpan luka. Kalau Fariz ingat-ingat, semua masalah yang menimpa mereka telah usai diselesaikan dan berhasil membuatnya tersenyum. Apa Salma hanya membungkus luka dengan senyum saja? 'Aku bingung apa yang sebenarnya kau piki
"Yaa entar kamu tahu. Surprise kan sifatnya rahasia, Sayang," Fariz mengusap pipi Salma. Belum sempat Salma menjawab, segerombolan mertua dan orang tuanya datang menghampiri Salma. Mereka yang perempuan mengajak Salma ngobrol di sebelah kiri. Sedangkan Fariz juga diajak oleh paman dari Salma. Namun, Fariz tetap berada di meja samping istri, orang tua dan mertuanya bercengkerama. Ia selalu mengawasi istrinya meskipun dengan orang tua dan maminya sendiri karena keadaannya sekarang Salma sedang belum baik-baik saja. Untuk para keluarga yang lain masih melanjutkan makan-makannya. Dan, dugaan Salma terjebak lagi. Tidak lain, mereka juga ikut membahas anak. 'Mi, Ma! Pahami dong perasaan Salma. Tolong jangan bahas ini dulu!' jerit Salma dalam batinnya. "Sayang, jangan lesu dong! Apa kamu sakit?" tanya mami Reva. "Oh, tidak Mi. Salma kelihatan lesu, ya?" "Iya Sal. Mama tahu, kamu gak suka kita bicara masalah anak?" tanya mama Risa. "Bukan begitu, kok. Emang rada melo aja melihat saudar
"Mau ke tempat A atau B. Kamu pilih!" seru Fariz. ”Cama suka yang A saja," "Baiklah," jawab Fariz. Mereka segera menuju restauran yang diinginkan Salma. Baru saat itu, Fariz melihat galaunya Salma sangat mendalam.. sebenarnya, Fariz juga galau tapi tidak ingin membuat istrinya semakin galau. *** "Capa, dingin banget," ucap Salma di malam hari yang sedang hujan. "Lagian, sudah tahu malam dingin begini kok tetap aja di samping jendela. Ya disitu memang dingin," jawab Fariz. "Cama masih mau lihat keindahan alam itu, ambilin jaket, dong!" pinta Salma. Rasanya, ia ingin dekat dengan istrinya. Bukannya kemari untuk diranjang bersama Fariz, ia malah minta diambilkan jaket. Fariz masih mematung berharap Salma bicara yang lain. "Dengar gak, sih?" ucapnya dengan manja. "Iya." Rintik hujan yang terdengar menetes perlahan itu memang indah. Fariz baru menyadari hal tersebut. Ia pun mendorong sofa supaya bisa buat ia dan Salma duduk sembari menyaksikan keindahan alam tersebut. Awalnya ia
"Untuk apa?" tanya Salma. "Yaaa untuk apalagi? Capa rindu," ucap Fariz dengan kembali mendaratkan cubitan ke hidung Salma. "Aww! kumat ya resenya. Tapi kali ini Cama gak akan bales lengan Capa. Karena kalau dibales, Cama bisa-bisa terjatuh." Salma mengusap dagu suaminya. "Hahaha ... baguslah. Ayolah Sayang, kita ke ranjang," pinta Fariz dengan manja. "Yee bisa manja juga nih suami tercintaku." "Tentu, aku berdiri yaa. Aku gendong kamu ke ranjang," ucap Fariz. "Iya, gendongnya yang bener. Awas dijatuhin!" Fariz menggendong istrinya ke kasurnya. Setiap sentuhan yang diberikan suaminya, bagi Salma itu adalah kekuatan indah yang teramat dalam antara suami istri. Begitupun dengan Fariz. Detak jantung yang sering menempel, belaian halus yang terus saja mengiringi di setiap langkah, serta tatapan yang bisa bicara dengan bahasa hati, membuat kedua pasangan suami istri itu semakin romantis. Sebuah anugerah, pahala mengalir ketika sebuah pernikahan di penuhi benteng-benteng ketulusan se
"Mmm ... masih rahasia,""Terus, kapan?" "Tunggu aja," ***"Capa! Bye, Cama belajar dulu." Salma meraih tangan Fariz dan menciumnya. Fariz pun juga meraih kening Salma untuk dikecup. Terlihat dari jendela, ia sudah ditunggu oleh Freya di depan taman. "Wah ... ada yang terlihat galau dua hari yang lalu," ucap Clarissa. "Mulut! Bisa diam, gaj?" Freya sangat malas mendengar ocehan Clarissa. "Mau aku galau, bahagia, sedih, apa urusannya dengan Kakak?" Salma mengucap dengan santai. "Hhh, selama kamu punya urusan dengan Fariz, itu juga ururusanku!" "Heee, sadar dong Kakak Cantik, kok gak capek ya jadi pengganggu!" Freya berdiri dari duduknya. "Udah-udah, jangan dilanjut!" Salma menarik Freya untuk pergi dari geng Clarissa. Kesempatan besar untuk Clarissa saat jam istirahat. Ia disuruh papanya untuk mengantar berkas ke ruangan Fariz. Salma yang curiga dengan gerak-gerik Clarissa ketika melangkah ke arah kantor, ia pun mengikuti langkah tersebut. Clarissa memang terlihat begitu dise