"Yaa entar kamu tahu. Surprise kan sifatnya rahasia, Sayang," Fariz mengusap pipi Salma. Belum sempat Salma menjawab, segerombolan mertua dan orang tuanya datang menghampiri Salma. Mereka yang perempuan mengajak Salma ngobrol di sebelah kiri. Sedangkan Fariz juga diajak oleh paman dari Salma. Namun, Fariz tetap berada di meja samping istri, orang tua dan mertuanya bercengkerama. Ia selalu mengawasi istrinya meskipun dengan orang tua dan maminya sendiri karena keadaannya sekarang Salma sedang belum baik-baik saja. Untuk para keluarga yang lain masih melanjutkan makan-makannya. Dan, dugaan Salma terjebak lagi. Tidak lain, mereka juga ikut membahas anak. 'Mi, Ma! Pahami dong perasaan Salma. Tolong jangan bahas ini dulu!' jerit Salma dalam batinnya. "Sayang, jangan lesu dong! Apa kamu sakit?" tanya mami Reva. "Oh, tidak Mi. Salma kelihatan lesu, ya?" "Iya Sal. Mama tahu, kamu gak suka kita bicara masalah anak?" tanya mama Risa. "Bukan begitu, kok. Emang rada melo aja melihat saudar
"Mau ke tempat A atau B. Kamu pilih!" seru Fariz. ”Cama suka yang A saja," "Baiklah," jawab Fariz. Mereka segera menuju restauran yang diinginkan Salma. Baru saat itu, Fariz melihat galaunya Salma sangat mendalam. Sebenarnya, Fariz juga galau tapi tidak ingin membuat istrinya semakin galau. *** "Capa, dingin banget," ucap Salma di malam hari yang sedang hujan. "Lagian, sudah tahu malam dingin begini kok tetap aja di samping jendela. Ya disitu memang dingin," jawab Fariz. "Cama masih mau lihat keindahan alam itu, ambilin jaket, dong!" pinta Salma. Rasanya, ia ingin dekat dengan istrinya. Bukannya kemari untuk diranjang bersama Fariz, ia malah minta diambilkan jaket. Fariz masih mematung berharap Salma bicara yang lain. "Dengar gak, sih?" ucapnya dengan manja. "Iya." Rintik hujan yang terdengar menetes perlahan itu memang indah. Fariz baru menyadari hal tersebut. Ia pun mendorong sofa supaya bisa buat ia dan Salma duduk sembari menyaksikan keindahan alam tersebut.
"Untuk apa?" tanya Salma. "Yaaa untuk apalagi? Capa rindu," ucap Fariz dengan kembali mendaratkan cubitan ke hidung Salma. "Aww! kumat ya resenya. Tapi kali ini Cama gak akan bales lengan Capa. Karena kalau dibales, Cama bisa-bisa terjatuh." Salma mengusap dagu suaminya. "Hahaha ... baguslah. Ayolah Sayang, kita ke ranjang," pinta Fariz dengan manja. "Yee bisa manja juga nih suami tercintaku." "Tentu, aku berdiri yaa. Aku gendong kamu ke ranjang," ucap Fariz. "Iya, gendongnya yang bener. Awas dijatuhin!" Fariz menggendong istrinya ke kasurnya. Setiap sentuhan yang diberikan suaminya, bagi Salma itu adalah kekuatan indah yang teramat dalam antara suami istri. Begitupun dengan Fariz. Detak jantung yang sering menempel, belaian halus yang terus saja mengiringi di setiap langkah, serta tatapan yang bisa bicara dengan bahasa hati, membuat kedua pasangan suami istri itu semakin romantis. Sebuah anugerah, pahala mengalir ketika sebuah pernikahan di penuhi benteng-benteng ketulusan se
"Mmm ... masih rahasia,""Terus, kapan?" "Tunggu aja," ***"Capa! Bye, Cama belajar dulu." Salma meraih tangan Fariz dan menciumnya. Fariz pun juga meraih kening Salma untuk dikecup. Terlihat dari jendela, ia sudah ditunggu oleh Freya di depan taman. "Wah ... ada yang terlihat galau dua hari yang lalu," ucap Clarissa. "Mulut! Bisa diam, gaj?" Freya sangat malas mendengar ocehan Clarissa. "Mau aku galau, bahagia, sedih, apa urusannya dengan Kakak?" Salma mengucap dengan santai. "Hhh, selama kamu punya urusan dengan Fariz, itu juga ururusanku!" "Heee, sadar dong Kakak Cantik, kok gak capek ya jadi pengganggu!" Freya berdiri dari duduknya. "Udah-udah, jangan dilanjut!" Salma menarik Freya untuk pergi dari geng Clarissa. Kesempatan besar untuk Clarissa saat jam istirahat. Ia disuruh papanya untuk mengantar berkas ke ruangan Fariz. Salma yang curiga dengan gerak-gerik Clarissa ketika melangkah ke arah kantor, ia pun mengikuti langkah tersebut. Clarissa memang terlihat begitu dise
Salma terbangun karena gerakan Fariz menaruh ponselnya yang terlalu kuat. Dengan perlahan membuka matanya, membuat wajah Fariz kaget karena baru saja ia khawatir kalau istrinya tahu bahwa ia memposting foto dirinya yang sedang tidur. "Capa kenapa kayak panik? Ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, ya?" "Hehe, nggak kok. Lanjut tidur aja, maaf terlalu kuat gerakannya sampai membangunkan kamu," "Wajah-wajah bohong Capa tuh gak bisa lari dari Cama. Lihat ponselnya!" Insting Salma tiba-tiba muncul kalau suaminya sedang iseng. "Capa! Foto macam ini yang diposting?" Salma memonyongkan bibirnya dan melotot ke Fariz. "Hahaha ... udah jangan marah!' "Ya bagaimana gak marah, ini jelek banget .... " "Kamu cantik. Coba lihat sekali lagi, perhatikan! Imut banget kamu tuh saat tidur begitu," *** Seorang bule Inggris bernama William datang bersama keluarganya ke rumah Fariz. Lamaran pun tercapai untuk Reca. "Reca, apa kau siap jika pernikahannya dipercepat?" tanya William. "Mmm ...
"Ti …" "Iya-iya balik! Mana?" tagih Salma. Fariz langsung tersenyum dan memberikan bukti pembelian skincare yang ke Salma. Karena orang spesial, Fariz meminta datang di malam hari pun, skincare Salma juga datang. Sekitar sepuluh menitan, maminya Fariz sudah menenteng paket skincare tersebut ke kamar Fariz. Salma dengan cekatan membukakan pintu yang diketuk sang mertua. "Terima kasih ya, Mam." Salma dengan sumringah mengambil skincare di tangan mami mertuanya. "Wah, menantu mami terlihat bahagia selalu kan dengan skincare barunya." Fariz mengusap kepala Salma. "Itu bagus. Memang itu yang kamu harapkan, kan? Mami permisi dulu." Mami Reva juga ikut tersenyum manis melihat mereka bahagia. Salma segera masuk dan membuka paket tersebut. Setelah itu, ia menata dulu ke barisan kotak skincarenya. Raut wajahnya sudah tidak ada kecemberutan lagi. *** "Masih ingat surprise?" tanya Fariz. "Ingat banget. Capa lupa, ya? Kok lama sekali memberitahunya," jawab Salma. "Hari ini ada
"Dengan siapa?" Humaira nampak serius. "Dengan pria berusia 30 tahun, hahaha …" tawa Fariz. "Aiihhhhh Kak Fariz! Jangan om-om dong!" Humaira tidak terima. Salma terkekeh mendengar suaminya juga iseng dengan Humaira. Tapi Salma perhatikan, satu tahun terakhirnya Humaira sudah sangat lebih baik. "Humaira, tapi kamu jangan nikah dulu, deh." "Loh, Kak Salma tadi bilang lebih baik menikah, kok berubah?" "Kamu ngabdi dulu aja, kecuali memang disuruh menikah sama abah dan ummi," jawab Salma. "Yaaa, iya sih. Menggali barokah ya, Kak. Tapi rasanya … kok ingin cepat pulang," "Nikmatin dulu masa kamu ini. Entar juga tetep pulang, kok." "Aduh, semoga aja deh aku dijodohin sama beliau-beliau." "Aamiin." Fariz dan Salma terbengong namun juga ikut mengamini do'a sepupunya. Dia sangat terbuka dengan Salma, dan orang terdekat Salma. Jarang sekali ia tidak percaya diri dengan tindakannya. "Sama om umur 30 tadi?" goda Fariz. "Aduh! Kurang lengkap do'anya. Dijodohin dengan anak seusiaku, pint
"Huaaaaa … temanku habis dilamar Gus Dar di ndalem, baru aja sampai kamar." Mata Humaira berbinar-binar."Haa? Baguslah, kamu itu, gitu?" ucap Salma sambil tersenyum samar dengan Fariz.***"Cap, kak Rifki minta tolong untuk kita jemput Asma di sekolah. Ia ladies nemenin kak Royya ke rumah sakit," ucap Salma."Yok berangkat!" ajak Fariz.Hunaisa juga mereka ajak. Namun, saat tiba di dekat sekolah Asma, ia melihat Laki-laki yang pernah ia temui di Turki, yang ia kira itu adalah orang tua asli Hunaisa karena punya tanda lahir yang mirip.Salma hanya sekilas karena orang tersebut segera menutup jendela mobil dan melakukan langkah mobilnya. Tapi, Salma sempat memfoto plat mobil tersebut."Kumat, kurang kerjaan," ucap Fariz."Yeee… Capa gak lihat, apa? Itu orang yang
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka