"Ti …" "Iya-iya balik! Mana?" tagih Salma. Fariz langsung tersenyum dan memberikan bukti pembelian skincare yang ke Salma. Karena orang spesial, Fariz meminta datang di malam hari pun, skincare Salma juga datang. Sekitar sepuluh menitan, maminya Fariz sudah menenteng paket skincare tersebut ke kamar Fariz. Salma dengan cekatan membukakan pintu yang diketuk sang mertua. "Terima kasih ya, Mam." Salma dengan sumringah mengambil skincare di tangan mami mertuanya. "Wah, menantu mami terlihat bahagia selalu kan dengan skincare barunya." Fariz mengusap kepala Salma. "Itu bagus. Memang itu yang kamu harapkan, kan? Mami permisi dulu." Mami Reva juga ikut tersenyum manis melihat mereka bahagia. Salma segera masuk dan membuka paket tersebut. Setelah itu, ia menata dulu ke barisan kotak skincarenya. Raut wajahnya sudah tidak ada kecemberutan lagi. *** "Masih ingat surprise?" tanya Fariz. "Ingat banget. Capa lupa, ya? Kok lama sekali memberitahunya," jawab Salma. "Hari ini ada
"Dengan siapa?" Humaira nampak serius. "Dengan pria berusia 30 tahun, hahaha …" tawa Fariz. "Aiihhhhh Kak Fariz! Jangan om-om dong!" Humaira tidak terima. Salma terkekeh mendengar suaminya juga iseng dengan Humaira. Tapi Salma perhatikan, satu tahun terakhirnya Humaira sudah sangat lebih baik. "Humaira, tapi kamu jangan nikah dulu, deh." "Loh, Kak Salma tadi bilang lebih baik menikah, kok berubah?" "Kamu ngabdi dulu aja, kecuali memang disuruh menikah sama abah dan ummi," jawab Salma. "Yaaa, iya sih. Menggali barokah ya, Kak. Tapi rasanya … kok ingin cepat pulang," "Nikmatin dulu masa kamu ini. Entar juga tetep pulang, kok." "Aduh, semoga aja deh aku dijodohin sama beliau-beliau." "Aamiin." Fariz dan Salma terbengong namun juga ikut mengamini do'a sepupunya. Dia sangat terbuka dengan Salma, dan orang terdekat Salma. Jarang sekali ia tidak percaya diri dengan tindakannya. "Sama om umur 30 tadi?" goda Fariz. "Aduh! Kurang lengkap do'anya. Dijodohin dengan anak seusiaku, pint
"Huaaaaa … temanku habis dilamar Gus Dar di ndalem, baru aja sampai kamar." Mata Humaira berbinar-binar."Haa? Baguslah, kamu itu, gitu?" ucap Salma sambil tersenyum samar dengan Fariz.***"Cap, kak Rifki minta tolong untuk kita jemput Asma di sekolah. Ia ladies nemenin kak Royya ke rumah sakit," ucap Salma."Yok berangkat!" ajak Fariz.Hunaisa juga mereka ajak. Namun, saat tiba di dekat sekolah Asma, ia melihat Laki-laki yang pernah ia temui di Turki, yang ia kira itu adalah orang tua asli Hunaisa karena punya tanda lahir yang mirip.Salma hanya sekilas karena orang tersebut segera menutup jendela mobil dan melakukan langkah mobilnya. Tapi, Salma sempat memfoto plat mobil tersebut."Kumat, kurang kerjaan," ucap Fariz."Yeee… Capa gak lihat, apa? Itu orang yang
"Ya tahulah," "Tahu dari?" "Capa, entar aja ceritanya, sekarang habisin makanan dan kita segera pulang," Wah, ikatan gerak-gerik yang kuat antara Salma dan anaknya. Salma segera menyiapkan barang-barng Hunaisa untuk dibawa ke mobil. *** "Astaghfirullaahal'adziim, dia ingin ditangkap apa bagaimana?" Salma geram melihat Vidio dari CCTV yang sengaja membakar bagian ruang parkir perusahaan. "Dia sengaja melakukan hal tersebut untuk memancing. Masih ingat, kan? Dia masa lalu Reca, yang membuat dia nyaris bunuh diri karena paksaan dia untuk tinggal di hotelnya." "Aduh, terus apa yang akan Capa lakukan?" Fariz terlihat gusar. Ia merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Seumur-umur, baru saat itu perusahaan terluka fisiknya. Salma paham dengan apa yang dirasakan suaminya. Ia pun juga bingung mau berbuat apa. Ia pun mengambilkan teh hangat untuk Fariz, berharap biar suaminya itu lebih kuat lagi. "Capa, ini Minum dulu," ucap Salma. "Sayang, maafin Capa, ya. Sini minum berdua," ucap
"Ngeyel banget," "Ngeyelnya kan bener," jawab Salma. "Yaaa, kita berangkat," Tanpa Fariz ketahui, setelah kebakaran di area parkiran, ternyata pelaku tetap masih bertindak. Ia malah membakar kembali ruangan paling belakang, sangat pintar mencari celah padahal keamanan dimana-mana. *** Sebuah kerja sama dengan beberapa perusahaan pun dibatalkan dan perusahaan mengalami kebangkrutan. Hal yang bersifat mendadak itu, tetap saja ulah dari Kevin, masa laku adiknya Fariz. Fariz tidak terlalu paham apa yang ia lakukan. Tapi dia sudah bosan. Sekarang malah bertindak yang lebih dan lebih lagi. Reca merasakan sangat bersalah dan izin ke Fariz untuk menemuinya. "Kak, aku temui dia." "Jangan! Kamu mau cari api? Kita hanya dijebak kalau menemui dia saat ini. Apalagi waktu pertemuanku dengan Salma dia menginginkan kamu gagal menikah dengan William, tahu sendiri lah dia bagaimana. Menurut Kakak, kamu ke luar negeri aja deh, sekarang," jelas Fariz. "Ya mana tega aku, Kak. Keadaan kacau malah a
"Cama mah, apa aja mau," jawab Salma. "Untung Capa tuh punya Cama." Fariz merangkul istrinya. "Apa coba untungnya?" tanya Salma. "Semuanya. Kamu itu bisa jadi teman, penghibur, dan sekarang penguat. Kehadiran sang istri, memang seperti mempunyai kekuatan super kayak di film-film. Saat Capa terpuruk, tanpa bosannya kamu terus menguatkan Capa. Thanks Sayang." Fariz mengecup kening Salma. "Hehe ... sama aja. Kehadiran suami itu juga membawa asupan yang sangat bermanfaat. Kamu tuh seperti imun, pelindung. Jangan lemah, kalau kamu lemah bagaimana dengan aku? Aku kan badannya, kamu imunnya," ungkap Salma. Suami dan istri, semuanya saling keterkaitan. Kenyamanan di antara keduanya merupakan hal yang diidamkan. Sebuah keluarga yang bahagia, tentu merupakan harapannya. Namun, mereka juga sadar. Hidup di dunia, tidak hanya bahagia. Ada sedih, dan lain-lainnya yang ikut menghiasi. Ada kemakmuran, ada kalanya juga merosot. Tidak ada yang namanya kesempurnaan. Yang ada, ialah usaha untuk bis
"Untuk bantuin Capa," jawab Fariz. "Iya, bantuin apa?" tanya Salma. "Bantuin Capa minum kopi asin," ucap Fariz. "Huu … bilang aja mau menyuruh buatin! Waktu tidur kok malah minta kopi!" *** Hari pernikahan Reca, ia masih di luar negeri. Ia mendapat kabar dari orang rumah kalau pernikahannya terpaksa gagal. Saat itu belum bisa dilaksanakan karena keadaan yang masih rumit. Padahal, masalah dengan masa lalu Reca itu sudah kelar. Ucapan Salma berhasil menghipnotis orang tersebut sampai mau ganti rugi. Mereka, ingin membuat kejutan untuk Reca. Ya, mereka tidak bohong. Gagal nikah di Indonesia, tapi akan menikah di Inggris. Bahkan, papanya Reca dan William juga belum tahu akan hal tersebut. Dalam video yang dikirim asisten Reca, mereka sangat kasihan tapi juga ingin ketawa melihat sikap Reca yang ngambek, kesal, tapi selalu dikuatkan oleh William dan juga papanya. "Reca … kangen banget," ucap Salma setelah melihat video. "Iya, Sayang, sebentar lagi juga sampai. Kamu hebat banget si
"Aku mau, Capa yang bikinkan!" "Baiklah, kamu di sini apa ikut?" tanya Fariz. "Mmm… di sini aja. Entar kalau ikut, Capa salah kasih garam, karena mau ambil gula tangannya ditarik, udah kemanisan lihat Cama." "Hahaha … bisa jadi sih," tawa Fariz. *** "Alhamdulillah, kalian sudah sah. Udah boleh tuh berpelukan, kemarin gak sabaran banget," ucap Salma dengan tersenyum. Salma mengingatkan kelakuan Reca kemarin. Memang adik iparnya itu, karena terlalu senang ingin memeluk William. Sikapnya dia terbawa karena terbiasa juga. Fariz dan adiknya, masih sering bersikap begitu sebelum menikah. Tetapi, dengan kehadiran Salma, mereka semua bisa berubah. Meskipun, tidak langsung seratus persen. Namun, perubahan mereka juga banyak. Sahabat Reca yang di Indonesia pun hadir setelah akad dilaksanakan. Meskipun di Inggris, yang hadir juga sangat banyak. Tidak kalah dengan di Indonesia. Belum lagi sahabat Reca yang tinggal di Inggris. Rekan papanya juga banyak. Karena memiliki cabang perusahaan di
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka