"Untuk bantuin Capa," jawab Fariz. "Iya, bantuin apa?" tanya Salma. "Bantuin Capa minum kopi asin," ucap Fariz. "Huu … bilang aja mau menyuruh buatin! Waktu tidur kok malah minta kopi!" *** Hari pernikahan Reca, ia masih di luar negeri. Ia mendapat kabar dari orang rumah kalau pernikahannya terpaksa gagal. Saat itu belum bisa dilaksanakan karena keadaan yang masih rumit. Padahal, masalah dengan masa lalu Reca itu sudah kelar. Ucapan Salma berhasil menghipnotis orang tersebut sampai mau ganti rugi. Mereka, ingin membuat kejutan untuk Reca. Ya, mereka tidak bohong. Gagal nikah di Indonesia, tapi akan menikah di Inggris. Bahkan, papanya Reca dan William juga belum tahu akan hal tersebut. Dalam video yang dikirim asisten Reca, mereka sangat kasihan tapi juga ingin ketawa melihat sikap Reca yang ngambek, kesal, tapi selalu dikuatkan oleh William dan juga papanya. "Reca … kangen banget," ucap Salma setelah melihat video. "Iya, Sayang, sebentar lagi juga sampai. Kamu hebat banget si
"Aku mau, Capa yang bikinkan!" "Baiklah, kamu di sini apa ikut?" tanya Fariz. "Mmm… di sini aja. Entar kalau ikut, Capa salah kasih garam, karena mau ambil gula tangannya ditarik, udah kemanisan lihat Cama." "Hahaha … bisa jadi sih," tawa Fariz. *** "Alhamdulillah, kalian sudah sah. Udah boleh tuh berpelukan, kemarin gak sabaran banget," ucap Salma dengan tersenyum. Salma mengingatkan kelakuan Reca kemarin. Memang adik iparnya itu, karena terlalu senang ingin memeluk William. Sikapnya dia terbawa karena terbiasa juga. Fariz dan adiknya, masih sering bersikap begitu sebelum menikah. Tetapi, dengan kehadiran Salma, mereka semua bisa berubah. Meskipun, tidak langsung seratus persen. Namun, perubahan mereka juga banyak. Sahabat Reca yang di Indonesia pun hadir setelah akad dilaksanakan. Meskipun di Inggris, yang hadir juga sangat banyak. Tidak kalah dengan di Indonesia. Belum lagi sahabat Reca yang tinggal di Inggris. Rekan papanya juga banyak. Karena memiliki cabang perusahaan di
"Loh, kok diam? Ada apa kalian berteriak?" tanya Fariz setelah sampai ruang makan. "Duduk dulu, Kak." Reca berlagak seperti kaget. "Ada apa?" Salma penasaran. "Hehe … iseng doang, biar kalian akur, duduk di sini lagi. Kak Salma, maafin Reca, ya?" *** "Sayang, hari ini kamu akan ngonten lagi kan ya sama Freya," ucap Fariz saat akan berangkat kerja. "Betul, rencana pagi ini sebelum masuk kuliah, makanya Cama bilang ke Capa mau berangkat awal." Salma dan Freya ingin mencoba di suasana pagi yang bertempat di depan pintu gerbang kampus. Mereka akan mengambil tema, tentang cara menasihati. Sudah lama mereka tidak ngonten lagi. Karena permasalahan mengenai mantan Reca yang masih berkecimpung tersebut. Fariz juga mengizinkan istrinya untuk melakukan aktivitas baik yang Salma usulkan. Ya,
"Apaan sih, Wil? Itu gak mungkin." Perasaan Fariz terbang begitu saja. Ia seperti ditarik untuk ke kampus. Fariz langsung menghampiri istrinya dan membantunya ke kamar mandi. "Sayang, perasaan aku memang gak pernah salah. Kamu kenapa bisa mual gini?" tanya Fariz seraya merangkul istrinya yang terlihat lemah setelah muntah. "Wuiih, romantis banget sih suamiku ini. Untung segera datang, kalau tidak …" "Jangan bilang kalau dipeluk Wildan! Apa jangan-jangan sudah?" "Hahaha …" tawa Salma. *** Sore harinya, Salma dan Fariz mendengar Gus Barra yang juga sakit. Kalau Salma pagi itu hanya masuk angin, karena habis kendaraan jauh juga. Mereka menjenguk Gus Barra sambil ikut acara malam jum'at di pesantren. "Cama, kamu malam ini harusnya istirahat. Besok aja ya jenguknya," tawar Gus Hisham. "Pokoknya sekarang, hari ini acara malam jum'at jadwalnya kumpul para alumni, loh. Tega kamu melihatku tidak berjumpa mereka?" rajuk Salma. "Bukannya begitu, kamu masih lemas. Kan butuh istirahat jug
"Apa, Ver?" tanya Salma. "Ini loh, gelang motif. Aku pas menata ulang barang-barang dari pesantren, nemuin ini. Namun, sorry ya. Baru ingat sekarang," ucap Versi. "Hahaha … Masya Allah, kok kamu masih ingat kalau itu punyaku. Tidak masalah, kok. Itu buat kamu aja, buat kenang-kenangan." *** Mereka masih di pesantren sangat lama. Baby Bafre sangat lengket dengannya. Semenjak Salma datang, ia tidak mau pisah dengan Salma. "Onty, makan," Dikira Bafre minta makan. Ternyata, ia berjalan di tengah para santri, alumni dan keluarga ndalem untuk mengambil makanan yang terhidang. Kemudian menyuapi ke Salma. Salma jadi terharu dan menangis, diperhatiin oleh cucu kyainya. Ia segera mengusap air matanya. Karena semua pandangan terwujud ke dia. Salma juga memeluk Baby Bafre. Freya dan Gus Barra juga senang melihat tingkah putranya. Cara jalan dia itu menggemaskan sekali. Belum lagi pipinya yang unyu, gemoy itu berekspresi ketika menyuapi Salma. Ingin semuanya mencubit pipinya. "Onty Sal, la
"Iya Sayang, itu namanya bintang. Bafre nonton bintang dulu sama Ummah, yuk!" "Mau," jawab Bafre. Akhirnya bisa ditinggal juga. Salma dan Fariz segera bergegas pulang mumpung mood anak kecil itu sedang good job. *** "Sayang, selamat sahur pertama ramadhan bersama suamimu." Fariz terus mengusap pipi Salma sambil bicara sampai istrinya itu terbangun. Saat itu, Salma memang terlihat masih sangat ngantuk. Dia sudah menata menu sahur dari malam. Meskipun, sebagian juga dimasak pagi waktu sahur. Fariz memang mandiri, dari dulu sangat anti dengan wanita. Ia tidak sembarangan mau ada perempuan di rumahnya, kecuali Clarissa saat mereka masih berpacaran. Memang pernah lumayan tersesat Fariz dulu. Saat ramadhan itu, Fariz juga menawarkan untuk ada pembantu saja. Namun, keinginan Salma untuk tidak mau itu tidak bisa diganggu gugat. "Iya Capa, semoga diberkahi," "Capa, kok iniku sakit, ya," ucap Salma. "Apa Sayang? Apanya yang sakit?" tanya Fariz. "Ini loh," Salma meraih tangan Fariz dan
Bab 121. Capa! "Papa dan Mama, Sayang," jawab Fariz setelah melihat siapa yang telepon kemudian mengangkatnya. "Fariz, bagaimana sahur pertamanya?" tanya mama dari telepon. "Lancar jaya, Fariz terlalu over ke anakmu Ris," goda mami Reva. Mereka pun tertawa. Salma juga menyapa kepada orang tuanya. Mereka tidak terlalu lama karena juga harus melanjutkan sahur masing-masing. *** "Habis tarawih, tadarus. Habis tadarus enaknya, ngapain? Belum ngantuk juga," ucap Salma. "Ngapain? Nih, boleh minta tolong?" tanya Fariz. "Asal mutualisme, eh perintah suamiku tercinta, yang penting bukan yang dilarang, disuruh apa?" tanya Salma. "Mutualisme, kok. Pijitin pundak Capa, ya." Salma pun mengiyakan dengan senyum. Namun, Bukannya Salma melihat tapi malah memeluknya. Ia lagi manja-manjanya dan ingin dimanja, sedang tidak mood untuk memanjakan. "Cap," ucap Salma malah mengeratkan pelukannya. "Sayang, ini pijitan jenis apa namanya?" tanya Fariz.. "Ahahaha … jenis manja, Cama inginnya yang di
"Belumlah," jawab Salma. Fariz tersenyum kemudian ikut mengejar tikus. Sampai tikus tersebut tertangkap dan dibawa keluar oleh maminya. "Syukur udah keluar." Salma lega. "Hahaha … penakut!" ejek Fariz. "Biarin! Khusus tikus, kok. Cap, kita jemput Hunaisa, yuk!" ajak Salma. "Sebentar," Fariz mengambil jaketnya yang sudah disiapkan Salma di ranjang bagian pinggir. Ia pun mengambil bukan untuk dipakai, melainkan untuk istrinya yang terlihat masih merinding dipadukan udara di luar dingin, jadi tidak lain, jaket itu untuk Salma. "Cama, kalau jaket ini sudah menghangatkanmu, apakah Capa juga masih berarti?" tanya Fariz seraya memakaikan jaket. "Jaket? Semesta juga tahu, perbedaan jaket dengan Capa. Namun, tidak semua bisa memahami. Aku pun tidak ingin mereka memahamimu. Yang pasti, kau itu sangat Cama cintai. I love you my husband." "I love you to, Sayang," Fariz menatap sang istri. Ia pun meraih pundak istrinya dan memeluknya. Malam itu mereka juga segera menjemput Hunaisa tidur d