"Belumlah," jawab Salma. Fariz tersenyum kemudian ikut mengejar tikus. Sampai tikus tersebut tertangkap dan dibawa keluar oleh maminya. "Syukur udah keluar." Salma lega. "Hahaha … penakut!" ejek Fariz. "Biarin! Khusus tikus, kok. Cap, kita jemput Hunaisa, yuk!" ajak Salma. "Sebentar," Fariz mengambil jaketnya yang sudah disiapkan Salma di ranjang bagian pinggir. Ia pun mengambil bukan untuk dipakai, melainkan untuk istrinya yang terlihat masih merinding dipadukan udara di luar dingin, jadi tidak lain, jaket itu untuk Salma. "Cama, kalau jaket ini sudah menghangatkanmu, apakah Capa juga masih berarti?" tanya Fariz seraya memakaikan jaket. "Jaket? Semesta juga tahu, perbedaan jaket dengan Capa. Namun, tidak semua bisa memahami. Aku pun tidak ingin mereka memahamimu. Yang pasti, kau itu sangat Cama cintai. I love you my husband." "I love you to, Sayang," Fariz menatap sang istri. Ia pun meraih pundak istrinya dan memeluknya. Malam itu mereka juga segera menjemput Hunaisa tidur d
"Siapa yang jahat? Oh, Daddy gak jahatin Ummah, kok. Aduh, masya Allah perhatiannya putri Ummah ini," ucap Salma. "Nais, Alhamdulilah kamu perhatian sama Ummah. Kalau Daddy pergi, jagain Ummah ya, Sayang." Fariz mengecup kening Hunaisa. Salma tiba-tiba kebelet. Ia langsung pergi ke toilet untuk buang air besar. Salma lumayan lama di kamar mandi. Fariz mengajak Hunaisa main, karena belum mau tidur lagi. Beberapa kali Fariz menoleh ke arah pintu. Tapi, tetap saja pintunya belum juga terbuka. Itu artinya, Salma belum selesai urusannya di kamar mandi. Hunaisa main sapi-sapian dengan daddynya. Fariz teringat, kata orang itu, mainan anak yang sangat berharga lain dari yang lain itu tubuh orang tuanya. Sentuhan orang tua untuk anak kecilnya itu merupakan mainan yang begitu indah. Fariz merasakannya sekarang. Ternyata rasanya juga beda. Fariz membandingkan, dengan rasanya melihat putrinya itu bermain sendiri dengan mainannya, dibanding dengan sekarang dialah yang menjadi tunggangannya, u
Salma masih diam. Ia terus saja menatap jendela. Ia malas bicara dengan suaminya. Padahal, aslinya sudah dimaafkan. *** "Onty!" teriak Asma. "Hai, Sayang! Minal aidzin Walfaizin, mohon maaf lahir batin, Asma Cantik," ucap Salma seraya menghampiri Asma dan memeluknya. Suasananya benar-benar menyejukkan. Mereka semua bermaaf-maafan satu sama lain, lalu menikmati lezatnya hidangan makanan. Humaira juga ikut ke situ. Ia sangat excited bercerita curhat dengan Humaira. Tanpa Salma sadari, dia itu terus dilirik oleh suaminya. Mungkin sarung hakim yang sangat terbenak, ia khawatir kalau istrinya sedih lagi seperti saat berkumpul arisan keluarga. Ia khawatir, masalah bertanya anak akan membuatnya rapuh lagi. Ternyata, tidak. Di harus itu tidak ada yang menyinggung masalah anak. Mereka saling bercerita apa adanya. Kecuali Humaira, dia itu ngebet nikah banget. "Onty, boleh minta tolong, bukain dong!" ucap Asma yang kesulitan membuka jeli. "Sini, bawa sini yang banyak sekzlian, Sayang!" u
"Apa? Ya yang aku lihat itu wajah tampan kamu," ucap Salma. "Hahaha … bagus deh kalau begitu. Ku kira kamu bakal bilang, tampan kamu yang dulu, sekarang lebih tua, wajahnya tua," jawab Fariz senyum bahagia. Salma terkekeh melihat ekspresi suaminya. Ia pun segera menyahut lagi ucapan Fariz. Memang semakin tua, tapi tidak juga wajahnya terlihat lebih tua secara permanen sekali. Fariz itu parasnya tampan. Jadi, meskipun semakin tua, ketampanan akan tetap terpancar. Apalagi yang melihat itu adalah istrinya. Seorang istri itu, sigap menganggap suaminya selalu yang paling tampan. Meskipun secara kenyataan, memang tidak tampan. Namun, mulut itu akan kalah dengan hati. "Capa, ya jelaslah semakin hari itu semakin bertambah usia. Tapi, nggak ada istilah ketampanan Capa berkurang dalam diri Cama, suamiku tetap tampan selamanya," ucap Salma. *** Clarissa yang tetap saja nekat mengejar Fariz, tidak tahan untuk tidak bersikap buruk ke Salma. Ia dan gengnya membuat banyak jebakan di kampus yang
"Iya, nggak gagal sih, cuma kurang. Kalau Cama minta sesuatu boleh?" tanya Salma. "Apa, Sayang?" tanya Fariz. "Cama ingin ke villa," jawab Salma. "Baiklah, Capa akan segera urus," ucap. Fariz. *** Fariz telah memilih villa terbaik di daerah yang sangat sejuk. Mereka hanya berdua saja. Terlihat sekali, senyum istrinya itu sangat merona terus. Salma itu kalau sedang penat dengan Clarissa, salah satu obat ampuhnya ya hilang dari dia. Salma memejamkan matanya sejenak ketika menyandar ke suaminya di taman villa. Fariz paham, Faris ikut bahagia melihat kebahagiaan istrinya. Apapun akan is coba untuk melakukan demi istrinya bahagia dan terus tersenyum. Dia itu sangat penyayang. Luka sedikit saja pada istrinya, ia berusaha mengobatinya berkubik-kubik. Supaya luka-luka itu bisa benar-benar menyingkir dari istrinya. "Kamu itu loh, bisa banget nariknya," ucap Fariz "Narik apaan?" tanya Salma. "Narik baja, Cama," jawab Fariz. "Baja apa, sih? Gak jelas!" rajuk Salma yang kesal tidak pah
"Coba cari jawabannya sendiri," jawab Salma."Iiih, kamu dendam ya sama Capa,""Nggak Sayang, Cama cinta kok sama Capa," ucap Salma."Manisnya Cantikku, palingan karena kamu ingin ke kamar mandi dulu," ucap Fariz."Hahaha … masa ke kamar mandi satu jam?""Terus, apa dong?""Kamu nanya? Wkwk … Cama pun tak tahu kalau ditunda sebabnya apa, yuk berangkat!***Setelah beberapa hari, mereka pun pulang ke Jakarta. Di tengah perjalanan, Fariz memberhentikan mobilnya dan mengajak istrinya masuk ke restoran mewah.Namanya Restoran Micla. Fariz tahu hal tersebut memang restoran milik papanya Clarissa. Perusahaan papanya Clarissa sangat handal di bidang restoran.Salma tampak biasa saja dan senang masuk restoran itu, karena me
"Nggak mau," jawab Salma."Kenapa tidak mau?" tanya Fariz.''Malas ketemu Clarissa. Aku lihat SW sahabatnya, mereka mau kesana juga.""Cam, Naisa inginnya bareng kamu," ucap Fariz."Hhhh, ya udah kita belanja di tempat lain saja." Salma benar-benar malas berurusan dengan Clarissa.Fariz mengikuti kemauan istrinya. Meskipun tempatnya tidak yang sangat besar, tetapi, kalau istrinya nyaman, ia pun ikut nyaman juga. Fariz juga sangat malas bertemu mantannya itu.Dia itu nekatnya tidak tahu malu. Tidak peduli dengan tempat maupun keadaan. Yang penting dia mood mengganggu, ya sudah terjadilah ia membuat Salma tidak baik-baik saja."Nais, kita ke toko baru ya. Nais nanti kan mau beli mainan piano, berarti yang diambil juga piano aja, janji ya?" ucap Salma."Baik Ummah, Nais janji," ucap Hunaisa.&nbs
"Ada acara," jawab Fariz. "Yahh," keluh Salma. "Acara kantor, ya?" tanya Salma. "Betul sekali, Sayang." Fariz pamit, segera sholat Isyak ke masjid. Salma jadi menyiapkan baju kantornya Fariz. Padahal, malam itu ia ingin suaminya bebas di rumah menemani dia yang sedang sakit. "Buat apa baju kantor? Kok disiapin?" tanya Fariz setelah suaminya pulang dsri masjid. "'Buat Capa ke kantorlah, masa Cama siapin baju tidur," ucap Salma. "Huhuhuhu ... ya iyalah baju tidur, Cama kan mau ke kantor persatuan cm," ucap Fariz mendekati Salma yang terbaring. "Yang bener? Hah? Yeeee ... aku cariin baju yang bikin perut aku lebih sembuh kalau melihatnya," ucap Salma segera bangun dan mengambilkan bajunya Fariz. "Pasti bete banget, kan, Capa bilang mau ke kantor?" tanya Fariz. "Gak usah ditanya udah tahu dong. Istri sakit tuh ya ingin dimanja, apalagi yang modelan kayak aku, gak sakit pun selalu ingin dimanja, apalagi lagi sakit," omel Salma sembari memilihkan baju. "Kamu tuh emang t