"Loh, kok diam? Ada apa kalian berteriak?" tanya Fariz setelah sampai ruang makan.
"Duduk dulu, Kak." Reca berlagak seperti kaget."Ada apa?" Salma penasaran."Hehe … iseng doang, biar kalian akur, duduk di sini lagi. Kak Salma, maafin Reca, ya?"***"Sayang, hari ini kamu akan ngonten lagi kan ya sama Freya," ucap Fariz saat akan berangkat kerja."Betul, rencana pagi ini sebelum masuk kuliah, makanya Cama bilang ke Capa mau berangkat awal."Salma dan Freya ingin mencoba di suasana pagi yang bertempat di depan pintu gerbang kampus. Mereka akan mengambil tema, tentang cara menasihati.Sudah lama mereka tidak ngonten lagi. Karena permasalahan mengenai mantan Reca yang masih berkecimpung tersebut. Fariz juga mengizinkan istrinya untuk melakukan aktivitas baik yang Salma usulkan.Ya,"Apaan sih, Wil? Itu gak mungkin." Perasaan Fariz terbang begitu saja. Ia seperti ditarik untuk ke kampus. Fariz langsung menghampiri istrinya dan membantunya ke kamar mandi. "Sayang, perasaan aku memang gak pernah salah. Kamu kenapa bisa mual gini?" tanya Fariz seraya merangkul istrinya yang terlihat lemah setelah muntah. "Wuiih, romantis banget sih suamiku ini. Untung segera datang, kalau tidak …" "Jangan bilang kalau dipeluk Wildan! Apa jangan-jangan sudah?" "Hahaha …" tawa Salma. *** Sore harinya, Salma dan Fariz mendengar Gus Barra yang juga sakit. Kalau Salma pagi itu hanya masuk angin, karena habis kendaraan jauh juga. Mereka menjenguk Gus Barra sambil ikut acara malam jum'at di pesantren. "Cama, kamu malam ini harusnya istirahat. Besok aja ya jenguknya," tawar Gus Hisham. "Pokoknya sekarang, hari ini acara malam jum'at jadwalnya kumpul para alumni, loh. Tega kamu melihatku tidak berjumpa mereka?" rajuk Salma. "Bukannya begitu, kamu masih lemas. Kan butuh istirahat jug
"Apa, Ver?" tanya Salma. "Ini loh, gelang motif. Aku pas menata ulang barang-barang dari pesantren, nemuin ini. Namun, sorry ya. Baru ingat sekarang," ucap Versi. "Hahaha … Masya Allah, kok kamu masih ingat kalau itu punyaku. Tidak masalah, kok. Itu buat kamu aja, buat kenang-kenangan." *** Mereka masih di pesantren sangat lama. Baby Bafre sangat lengket dengannya. Semenjak Salma datang, ia tidak mau pisah dengan Salma. "Onty, makan," Dikira Bafre minta makan. Ternyata, ia berjalan di tengah para santri, alumni dan keluarga ndalem untuk mengambil makanan yang terhidang. Kemudian menyuapi ke Salma. Salma jadi terharu dan menangis, diperhatiin oleh cucu kyainya. Ia segera mengusap air matanya. Karena semua pandangan terwujud ke dia. Salma juga memeluk Baby Bafre. Freya dan Gus Barra juga senang melihat tingkah putranya. Cara jalan dia itu menggemaskan sekali. Belum lagi pipinya yang unyu, gemoy itu berekspresi ketika menyuapi Salma. Ingin semuanya mencubit pipinya. "Onty Sal, la
"Iya Sayang, itu namanya bintang. Bafre nonton bintang dulu sama Ummah, yuk!" "Mau," jawab Bafre. Akhirnya bisa ditinggal juga. Salma dan Fariz segera bergegas pulang mumpung mood anak kecil itu sedang good job. *** "Sayang, selamat sahur pertama ramadhan bersama suamimu." Fariz terus mengusap pipi Salma sambil bicara sampai istrinya itu terbangun. Saat itu, Salma memang terlihat masih sangat ngantuk. Dia sudah menata menu sahur dari malam. Meskipun, sebagian juga dimasak pagi waktu sahur. Fariz memang mandiri, dari dulu sangat anti dengan wanita. Ia tidak sembarangan mau ada perempuan di rumahnya, kecuali Clarissa saat mereka masih berpacaran. Memang pernah lumayan tersesat Fariz dulu. Saat ramadhan itu, Fariz juga menawarkan untuk ada pembantu saja. Namun, keinginan Salma untuk tidak mau itu tidak bisa diganggu gugat. "Iya Capa, semoga diberkahi," "Capa, kok iniku sakit, ya," ucap Salma. "Apa Sayang? Apanya yang sakit?" tanya Fariz. "Ini loh," Salma meraih tangan Fariz dan
Bab 121. Capa! "Papa dan Mama, Sayang," jawab Fariz setelah melihat siapa yang telepon kemudian mengangkatnya. "Fariz, bagaimana sahur pertamanya?" tanya mama dari telepon. "Lancar jaya, Fariz terlalu over ke anakmu Ris," goda mami Reva. Mereka pun tertawa. Salma juga menyapa kepada orang tuanya. Mereka tidak terlalu lama karena juga harus melanjutkan sahur masing-masing. *** "Habis tarawih, tadarus. Habis tadarus enaknya, ngapain? Belum ngantuk juga," ucap Salma. "Ngapain? Nih, boleh minta tolong?" tanya Fariz. "Asal mutualisme, eh perintah suamiku tercinta, yang penting bukan yang dilarang, disuruh apa?" tanya Salma. "Mutualisme, kok. Pijitin pundak Capa, ya." Salma pun mengiyakan dengan senyum. Namun, Bukannya Salma melihat tapi malah memeluknya. Ia lagi manja-manjanya dan ingin dimanja, sedang tidak mood untuk memanjakan. "Cap," ucap Salma malah mengeratkan pelukannya. "Sayang, ini pijitan jenis apa namanya?" tanya Fariz.. "Ahahaha … jenis manja, Cama inginnya yang di
"Belumlah," jawab Salma. Fariz tersenyum kemudian ikut mengejar tikus. Sampai tikus tersebut tertangkap dan dibawa keluar oleh maminya. "Syukur udah keluar." Salma lega. "Hahaha … penakut!" ejek Fariz. "Biarin! Khusus tikus, kok. Cap, kita jemput Hunaisa, yuk!" ajak Salma. "Sebentar," Fariz mengambil jaketnya yang sudah disiapkan Salma di ranjang bagian pinggir. Ia pun mengambil bukan untuk dipakai, melainkan untuk istrinya yang terlihat masih merinding dipadukan udara di luar dingin, jadi tidak lain, jaket itu untuk Salma. "Cama, kalau jaket ini sudah menghangatkanmu, apakah Capa juga masih berarti?" tanya Fariz seraya memakaikan jaket. "Jaket? Semesta juga tahu, perbedaan jaket dengan Capa. Namun, tidak semua bisa memahami. Aku pun tidak ingin mereka memahamimu. Yang pasti, kau itu sangat Cama cintai. I love you my husband." "I love you to, Sayang," Fariz menatap sang istri. Ia pun meraih pundak istrinya dan memeluknya. Malam itu mereka juga segera menjemput Hunaisa tidur d
"Siapa yang jahat? Oh, Daddy gak jahatin Ummah, kok. Aduh, masya Allah perhatiannya putri Ummah ini," ucap Salma. "Nais, Alhamdulilah kamu perhatian sama Ummah. Kalau Daddy pergi, jagain Ummah ya, Sayang." Fariz mengecup kening Hunaisa. Salma tiba-tiba kebelet. Ia langsung pergi ke toilet untuk buang air besar. Salma lumayan lama di kamar mandi. Fariz mengajak Hunaisa main, karena belum mau tidur lagi. Beberapa kali Fariz menoleh ke arah pintu. Tapi, tetap saja pintunya belum juga terbuka. Itu artinya, Salma belum selesai urusannya di kamar mandi. Hunaisa main sapi-sapian dengan daddynya. Fariz teringat, kata orang itu, mainan anak yang sangat berharga lain dari yang lain itu tubuh orang tuanya. Sentuhan orang tua untuk anak kecilnya itu merupakan mainan yang begitu indah. Fariz merasakannya sekarang. Ternyata rasanya juga beda. Fariz membandingkan, dengan rasanya melihat putrinya itu bermain sendiri dengan mainannya, dibanding dengan sekarang dialah yang menjadi tunggangannya, u
Salma masih diam. Ia terus saja menatap jendela. Ia malas bicara dengan suaminya. Padahal, aslinya sudah dimaafkan. *** "Onty!" teriak Asma. "Hai, Sayang! Minal aidzin Walfaizin, mohon maaf lahir batin, Asma Cantik," ucap Salma seraya menghampiri Asma dan memeluknya. Suasananya benar-benar menyejukkan. Mereka semua bermaaf-maafan satu sama lain, lalu menikmati lezatnya hidangan makanan. Humaira juga ikut ke situ. Ia sangat excited bercerita curhat dengan Humaira. Tanpa Salma sadari, dia itu terus dilirik oleh suaminya. Mungkin sarung hakim yang sangat terbenak, ia khawatir kalau istrinya sedih lagi seperti saat berkumpul arisan keluarga. Ia khawatir, masalah bertanya anak akan membuatnya rapuh lagi. Ternyata, tidak. Di harus itu tidak ada yang menyinggung masalah anak. Mereka saling bercerita apa adanya. Kecuali Humaira, dia itu ngebet nikah banget. "Onty, boleh minta tolong, bukain dong!" ucap Asma yang kesulitan membuka jeli. "Sini, bawa sini yang banyak sekzlian, Sayang!" u
"Apa? Ya yang aku lihat itu wajah tampan kamu," ucap Salma. "Hahaha … bagus deh kalau begitu. Ku kira kamu bakal bilang, tampan kamu yang dulu, sekarang lebih tua, wajahnya tua," jawab Fariz senyum bahagia. Salma terkekeh melihat ekspresi suaminya. Ia pun segera menyahut lagi ucapan Fariz. Memang semakin tua, tapi tidak juga wajahnya terlihat lebih tua secara permanen sekali. Fariz itu parasnya tampan. Jadi, meskipun semakin tua, ketampanan akan tetap terpancar. Apalagi yang melihat itu adalah istrinya. Seorang istri itu, sigap menganggap suaminya selalu yang paling tampan. Meskipun secara kenyataan, memang tidak tampan. Namun, mulut itu akan kalah dengan hati. "Capa, ya jelaslah semakin hari itu semakin bertambah usia. Tapi, nggak ada istilah ketampanan Capa berkurang dalam diri Cama, suamiku tetap tampan selamanya," ucap Salma. *** Clarissa yang tetap saja nekat mengejar Fariz, tidak tahan untuk tidak bersikap buruk ke Salma. Ia dan gengnya membuat banyak jebakan di kampus yang